Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Justus Hardi
"ABSTRAK
Untuk penanggulangan korban bencana dari luar rumah sakit, diperlukan suatu perencanaan dalam bentuk Disaster Plan. Setiap rumah sakit harus membuat Disaster Plan yang disesuaikan dengan kondisi masing-masing rumah sakit. Pelayanan Kesehatan Sint Carolus telah menyusun suatu Disaster Plan korban dari luar rumah sakit sejak tahun 1990. Sejak tahun 1990 itu, belum pernah dilakukan latihan penanggulangan bencana serta belum teruji dengan keadaan bencana yang sebenarnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengbasilkan suatu struktur model Disaster Plan korban dari luar rumah sakit yang baik dan cocok bagi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus. Penelitian ini merupakan studi komparatif dengan menggunakan metode wawancara mendalam dan dirancang dengan analisis ? kualitatif. Sebagai bahan pembanding digunakan struktur model dari kepustakaan serta model aplikatif dari dua rumah sakit. Penelitian ini dilakukan di Pelayanan Kesehatan Sint Carolus dengan melakukan analisis terhadap aspek struktur model Disaster Plan korban dari luar rumah sakit. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini berupa struktur model Disaster Plan yang baik dan cocok bagi Pelayanan Kesehatan Sint Carolus, yang terdiri dari organisai, akses informasi, sistem aktivasi struktural dan operasional, koordinasi dan pengendalian, ruang penerimaan korban, informasi data korban, cadangan logistik, perencanaan tiap satuan kerja, kasus huru-hara, kasus keracunan dan penanganan pasca bencana. Kesimpulan utama dari penelitian ini adalah ada semacam pola umum dalam penanggulangan korban bencana dari luar rumah sakit, dengan kekhususan pada beberapa struktur model sesuai dengan kharakteristikc tiap rumah sakit.
Saran-saran yang diusulkan antara lain:
1. Perlu dilakukan sosialisasi dan latihan penanggulangan bencana bagi semua unsur rumah sakit yang terkait.
2. Perlu kejelasan sistem aktivasi terutama aktivasi tenaga medis dan perawat
3. Perlu peningkatan dalam hal informasi data korban serta peningkatan kinerja sumber daya yang berhubungan dengan komunikasi
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk pertimbangan dalam perbaikan pelayanan bagi korban bencana dan luar rumah sakit.

ABSTRACT
To render service to external disaster victims a hospital needs a program which called Disaster Plan Every hospital should make a Disaster Plan adjusted with its condition. Sint Carolus Health Services has made a Disaster Plan since 1990. But any exercise has never been performed since then. A real condition has also never examined the program. This study intends to produces a model structure of External Hospital Disaster Plan which matches to Sint Carolus Health Services. This is a comparative study using in-depth interview and is designed by a qualitative analysis. Two hospitals and bibliography are used as a comparative model. This study was performed in Sint Carolus Health Services using analytical study towards the model of structure aspect of Disaster Plan which is appropriate with Sint Carolus Health Services, comprising of organization, access or information, structural and operational activation system, coordination and control system, victim admission room, victim data information, logistics, unit planning, riot cases, poison cases and post disaster program. The important result of this study is that there is a general pattern in handling external disaster victims, with specialties in some model structure according to the hospital characteristics.
Suggestions after completing the study are :
1. It is necessary to perform a socialization and an exercise program for every unit involved.
2. It is necessary to clarify the activation system especially for the medical and nursing staff
3. It is necessary to improve the information system for the victims identification and improve the performance of the information system sources.
The results of the study are supposed to be a consideration in improving the service rendered to the external disaster victims.
"
Lengkap +
Depok: Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aru Wisaksono Sudoyo
"Kanker usus besar atau kolorektal (KKR) termasuk dalam penyakit keganasan urutan 10 tersering di dunia, termasuk di Indonesia. Dihubungkan dengan lingkungan dan gaya hidup (lifestyle), KKR lebih banyak didapatkan di negara-negara maju. Di negara-negara tersebut, KKR mempunyai angka kejadian yang meningkat tajam setelah usia 50 tahun - untuk usia muda di bawah 40 tahun hanya sebesar 3%, dan sebagian besar memenuhi kriteria Amsterdam/modifikasi Bethesda untuk HNPCC atau hereditary nonpolyposis colon cancer dengan karakteristik khas yaitu 1) lokasi di sebelah kanan;2) stadium patologik Iebih rendah; 3) tidak cenderung bermetastasis; dan 4) mempunyai prognosis yang Iebih baik. Selain itu, menurut jalur kejadian terjadinya kanker (karsinogenesis) - kanker kolorektal adalah jenis kanker yang paling banyak dipelajari dan digunakan sebagai model karsinogenesis dengan sekuens adenoma-karsinomanya - KKR usia muda mengikuti jalur instabilitas miktrosateiit, dan KKR sporadik terutama mengikuti jalur instabilitas kromosom.
Di Indonesia didapatkan angka yang berbeda. Untuk usia di bawah 40 tahun di Bagian Patologi Anatomik FKUI dari tahun 1996 hingga 1999 didapatkan angka 35.265% dan laporan Departemen Kesehatan dari empat kota Jakarta, Bandung, Makassar dan Padang mendapatkan angka untuk usia di bawah 45 tahun sebagai berikut: Jakarta 47,85% (1494i3122), Makassar 54,5% (390/715), Padang 44,3% (375l846), dan Bandung 48,2% (706/1464).
Pembedahan merupakan modalitas pengobatan utama pada KKR, namun banyak pasien-pasien sudah datang dalam tahapan penyakit yang memerlukan kemoterapi dan radioterapi (untuk kanker rektum). Selain angka mudausia yang lebih tinggi dari laporan di negara maju, pasien-pasien KKR usia muda di Indonesia juga datang dengan penyakit yang lebih cepat berkembang dan seringkali tidak responsif terhadap kemoterapi. Hai ini akan berdampak besar terhadap produktivitas dan keuangan keluarga, mengingat usia mereka yang masih muda. Karena itu dianggap perlu untuk meneliti lebih jauh perangai dari KKR usia muda ini.
Kanker kolorektal merupakan model karsinogenesis yang paling Iengkap, dengan pengetahuan yang sudah dicapai mengenai akumulasi berbagai kelainan genetik sehingga terjadi kanker dan dikenal dua jalur utama pembentukan KKR. Pentama, jalur instabilitas kromosom (CIN - chromosome! instability) dengan kelainan-kelainan berupa aneuploidi dan mencakup mutasi pada antara gen-gen APC, Ki-ras, DCC, Smad dan p53 jalur ini ditemukan pada 90% KKR sporadik (laporan negara maju). Jalur kedua adalah jalur instabilitas mikrosatelit (MIN - microsatellite instability) dengan komponen utamanya mutasi pada gen perbaikan ketidakcocokan atau mismatch repair genes yang diwakili oleh MSH2, MLH1, MSH3, MSH3, PMS1 dan PMS2. Di negara maju, jalur ini ditemukan pada sebagian besar KKR berusia muda, dan biasanya mempunyai prognosis baik.
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul adalah : Pertama, apakah pasien-pasien KKR Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun mempunyai karakteristik molekuler yang berbeda dengan pasien-pasien di negara-negara maju pada kelompok usia yang sama?. Kedua, apakah instabilitas mikrosatelit pada pasien-pasien KKR di Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun lebih sedikit dibandingkan angka yang dilaporkan di negara-negara maju? Dan ketiga, Apakah instabilitas mikrosatelit pada pasien-pasien KKR di Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun lebih sedikit dibandingkan pasien-pasien yang berusia 60 tahun atau Iebih?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan penelitian eksploratif dan analitik terhadap pasien-pasien bangsa Indonesia - dalam hal ini peneliti memilih kelompok etnik Jawa, Sunda, Makassar dan Minang atas dasar penelusuran studi-studi antropologik mengenai pola migrasi manusia modern ke kawasan kepulauan Indonesia serta data genetik dari penelitian mengenai Thalassemia di Indonesia. Peneliti menganggap penetapan kelompok penelitian ini penting untuk di masa depan, di mana pendekatan kanker tidak hanya pada opulasi melainkan akan berpindah pada profil genetik individual sebagai dasar penentuan strategi pencegahan, deteksi dini dan terapi kanker kolorektal.
Penelitian dimulai dengan penelusuran data rekam medik pasien-pasien KKR berusia 40 tahun dan kurang serta mereka yang berumur 60 tahun atau Iebih termasuk alamat rumah mereka. Data dengan menelusuri arsip spesimen KKR di Bagian-bagian Patologi Anatomik fakultas-fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan Universitas Hasanuddin. Setelah itu pasien-pasien atau keluarganya (bila pasien sudah meninggai) diwawancara mengenai kelompok etniknya dan apakah mereka termasuk KKR herediter yang memenuhi kriteria Amsterdam/Bethesda.
Spesimen tumor pasien-pasien tersebut menjalani pemeriksaan histopatologik ulang dengan menetapkan jenis histopatologi dan grade tumornya. Kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia terhadap ekspresi protein MLH1 dan MSH2 sebagai gen mismatch repair yang paling dominan, serta terhadap ekspresi protein SMAD4 untuk rekonfirmasi membedakan antara jalur MIN dan CIN. MSH2 positif; jika ditemukan ekspresi protein MSH2 Iebih dari 20%. NILH1 positif: jika ditemukan ekspresi protein MLH1 Iebih dari 20%. Kriteria interpretasi di atas juga berlaku untuk interpretasi hasit puiasan Smad4. Tujuannya terutama adalah untuk membuktikan apakah jaringan tumor dari KKR usia muda mengikuti jalur MIN seperti pada KKR usia muda di kepustakaan negara maju.
Telah berhasil berhasil dikumpulkan 121 kasus secara konsekutif dari lima rumah sakit (RS) di Indonesia, yaitu 20 kasus dari RSUPN Cipto Mangunkusumo (Jakarta), 18 kasus dari RS Kanker Dharmais (Jakarta), 3 kasus dari RSPAD Gatot Subroto (Jakarta), 56 kasus dari RSUD Hasan Sadikin (Bandung), dan 24 kasus dari RSUD Dr. Wahidin (Makassar). Kelompok etnik penderita terdiri dari 64 (52,9%) orang suku Sunda, 28 (23,1%) orang suku Jawa, 25 (20,7%) orang suku Bugis/ Makassar, serta 4 (3,3%) orang suku Minang.
Dari 118 data histopatologi yang tersedia, adenokarsinoma merupakan tipe histopatologi terbanyak dan sebagian besar memiliki grade 1 Selanjutnya jika penderita dikelompokkan menurut usia, tampak bahwa karsinoma sel cincin dan adenokarsinoma musinosum secara bermakna (p=0,000) lebih banyak pada kelompok penderita usia muda dibandingkan usia tua. Terdapat perbedaan grade yang bermakna (p=0,001) di antara penderita usia muda dan usia tua; kanker Grade 3 Iebih banyak ditemui pada penderita usia muda dibandingkan dengan usia tua.
Dari 121 data penderita yang berhasil dikumpulkan, pulasan imunohistokimia untuk protein MSH2 berhasil dilakukan pada 92 spesimen, sedangkan untuk protein MLH1 berhasil dilakukan pada 97 spesimen. Lebih dari 50% kasus memperlihatkan ekspresi protein MSH2 (positif), namun ekspresi MLH negatif pada 83,5% spesimen_ Terdapat 88 spesimen yang berhasil dilakukan pulasan anti-MSH2 dan anti-MLH1 secara serempak. Pola ekspresi MLH1 tampak tidak paralel dengan pola ekspresi MSH2. Sebanyak 55% (41 dari 74) kasus dengan ekspresi MLH1 negatif memiiiki ekspresi MSH2 yang normal. Ekspresi MSH2 dan MLH1 tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara Iokasi tumor di kolon kanan dan kolon kiri. Namun ada kecenderungan bahwa proporsi spesimen yang menghasilkan ekspresi MSH2 negatif lebih banyak pada kolon kanan. Ekspresi MLH1 di kolon kanan bahkan tidak muncul sama sekali. Tidak adanya perbedaan ekspresi MSH2 dan MLH1 pada lokasi kolon juga tidak tampak bila penderita dikelompokkan berdasarkan usia, walaupun ada kecenderungan Iebih banyak penderita usia muda yang tidak mengekspresikan MSH2 dan MLH1. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara ekspresi MSH2 dan MLH1 dengan pentahapan (grading) tumor. Ini berarti pada penderita yang diteliti tidak terdapat hubungan antara instabilitas mikrosatelit dengan grade tumor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Penderita kanker kolorektal usia muda pada orang Indonesia suku Jawa, Sunda, Minang dan Makassar tidak memperlihatkan perbedaan pola ekspresi protein MSH2 dan MLH1 dibandingkan dengan penderita kanker kolorektal usia tua. 2) Kanker kolorektal usia muda pada orang Indonesia suku Jawa, Sunda, Minang dan Makassar tidak ada yang dapat dikelompokkan dalam kanker kolorektal herediter berdasarkan hasil wawancara yang menggunakan perangkat kriteria Amsterdam sehingga dapat dimasukkan dalam kategori kanker kolorektal sporadik. 3) Ekspresi MLH1 dan MSH2 secara imunohislokimia saja tidak bisa digunakan untuk mendeteksi instabilitas mikrosatelit pada KKR usia muda pada etnik Jawa, Sunda, Makassar, Minang; dan 4) Kriteria Amsterdam dan modifikasi Bethesda masih merupakan Cara paling efektif untuk menentukan sporadisitas KKR. Pola hasil yang didapat menunjukkan bahwa amat mungkin KKR usia muda pada populasi ini merupakan jenis yang lain dari KKR di negara maju bahkan diluar jalur MIN dan CIN.
Apakah ?manusia Indonesia" menua lebih cepat sehingga ditemukan KKR pada usia yang lebih muda? Penelusuran kepustakaan terhadap terjadinya penuaan biologik menunjukkan bahwa pada proses penuaan (aging) secara almiah tidak terdapat perbedaan - namun didapat beberapa pengaruh Iinternal dan eksternal dalam lingkungan yang berpengaruh terhadap karsinogenesis KKR.
Secara internal pada karsinogenesis KKR berperan interaksi antara stres oksidatif, yang mempengaruhi mitokondria. Pada proses menua terjadi disfungsi mitokondria yang menghasilkan stres oksidatif dan mempengaruhi berbagai penentu karsinogenesis seperti penghambatan apoptosis, aktivasi onkogen, peningkatan fenotip mutator dan inaktivasi gen supresor tumor. Kejadian tersebut dipercepat oleh faktor eksternal yang penting - yaitu status sosioekonomi - yang dapat menyebabkan terjadinya instabilitas genetik, antara lain 1) infeksi dan infiamasi ; dan 2) diet serta nutrisi.
Saran yang muncul dari penelitian ini adalah, dalam paradigma pendekatan terhadap kanker yang saat ini sudah muiai bergeser ke motekuler/individu dan bukan umum / empirik lagi, diterapkan penelitian-penelitian epidemiologi molekuler terhadap populasi pasien kanker di Indonesia. Pengobatan kanker di masa yang akan datang akan mengacu pada profil genetik seseorang atau sekelompok populasi - dan pengetahuan yang didapat pada penelitian ini diharapkan menjadi landasan berpijak.

Colorectal cancer (CRC) ranks among the 10 omost common cancers in the world, including indonesia. Related to environment and lifestyle, CRC has been to more common the developed countries.
In developed countries, the incidence of CRC increases sharply after the age of 50 years - whereas only 3% are found among those below 40 years, most complying with the Amsterdam / Bethesda modification criteria for HNPCC (hereditary nonpolyposis colon cancer) characterized by : 1) right-sided location; 2) a lower pathologic stage; 3) less tendency to metastasis; and 4) a good prognosos. Colorectal cancer is the most studied of cancers, and the adenome- carcinoma sequence of its carcinogenesis is used as a model for othercancers. There are two main pathways of carcinogenesis in CRC, i,e., the chromosomal instability (CIN) pathway - mainly found in sporadic CRC, and the microsatellite instability (MIN) -found in the majority of hereditary CRC.
In Indonesia a different pattern emerged from hospitals. Data at the Department of Anatomic Pahtology from 1996 to 1999 revealed that there were 35.2% CRC cases under 40 years old. From the Ministry of Health it was found that, in 4 major cities of Indonesia, i.e., Jakarta, Bandung, makassar and Padang, CRC cases under 45 years old were, 47.85%, 54.5%, 44.3 and 48.2%, respectively.
Surgery is the main treatment modality for CRC, but many patients present themselves in an advanced state such that chemotherapy and radiotherapy (for rectal cancer) have to be used. Aside form the higher incidence compared to developed countries, the tumors of young CRC patients in Indonesia are more progressive and do not repond well to cancer anticytostatics, impacting on health facilities and economics as they are in a productive age. lt is thus deemed necessary to investigate further the charactelstics of the tumors.
Previously, colorectal cancer is regarded as the model for carcinogenesis. The cancer is known to be the result of an accumulation of gene mutations and it is now known to follw 2 main pathways. The first, the chromosomal instability (CIN) pathway, is based on aneuploidy and consists of mutations of severla genes, among others SAPC, Ki-ras, DCC, Smad and p53 - it is found in more than 90% of sporadic CRC. The second pathay involves microsatellite instability (MIN) and involves mutations of the mismatch repair genes, i.e., MLH1, MLH2, MSH2, MSH3, MSH6, PM1 and PMS2. In devolped countries, MIN is found in the majority of young CRC patients, usually having a better prognosis.
The question is thus, Firstly, whether young (40 years and younger) Indonesian CRC patients have a different molecular patter than their counterparts in developed countries? Secondly, is MIN in young Indonesian CRC patients less in incidence than in developed countries. Thirdly, is MIN among young Inodnesian CRC paitents found less than among the elderly (60 years and older)?
In order to be able to answer the abovementioned questions, we conducted an explorative and analytic study on native lndonesians - represented by the four ethnic groups i.e., Javanese, Sundanese, Makarasses and Minang. The choice of the ethnic groups was based on anthropological (the pattern of migration of modern humans into Southeast Asia) and genetic (based on studies on Thalassemia in Indonesia). We regard the initial categorization of ethnic choice to be important, as in the future the approach to cancer will be based on the shifting paradigm in which the individual genetic profile is the base for strategy planning in cancer prevention, early detection, and treatment.
The study was started with the perusal of medical records form designated hospitals for data of young (40 years and younger) and old (60 years and older) CRC patients including their home addresses. Data was obtained from the archives of the Anatomic Pathology departments of the University of Indonesia, Padjadjaran University, and Hasanuddin University. The patients or their relatives were subsquently interviewed for ethnicity and compliance with the Amsterdam / Bethesda criteria for hereditary CRC.
Tumor specimens underwent evaluation for histopathology and grading. immunohistochemistry (IHC) was done for expression of MLH1 and MSH2 proteins to detect MIN and for the SMAD4 protein to reconfirrn that the specimens were not of MIN origin. The IHC test was regarded as positive if expression was found to be 20% or more - aforementioned criteria to be used for all IHC tests. The aim was mainly to prove whether the tumor specimens of young CRC patients foiled the MIN pathway as reported for cases in devolped countries.
One hundred and twenty cases were consecutively compiled from 5 hospitals in Indonesia, i.e., the Cipto mangnkusumo hospital (20 cases), Dharmais Cancer Hospital (18 cases), Gatot Subroto Army Hospital (3 cases), all in Jakarta, the Hasan Sadikin Hospital in Bandung (56 cases) and Dr Wahidin hospital in Makassar (24 cases)- They comprise the ethnic groups : 64 Sundanese (52.9%), 28 Javanese (23.1%), 25 Buginese / Makassarese (20.7%) and 4 Minang (3.3%).
From 118 available specimens, adenocarcinoma was the most dominant histopathology, and most were grade 1. categorized based on age, signet tring cell and mucinous adenocarcinoma were statistically significant (p=0.000) found more among the young CRC group. There was a statistically significantly difference in grade between the young and old patients, in which grade 3 is found more among the young patients.
From 121 specimens, IHC for the MSH2 protein was done on 92 specimens, whereas MHL1 in 97. more than 50% of cases showed expressions for MSH2, but MLH1 was negative in 83-5 specimens. Done simultaneously in 88 specimens, it was shown that there was no parallel between MLH1 and MSH2. Efty tive percent (41 out of 74) with negative MLH1 expression were positive for MSH2. there was no statistically significant difference in expressions between the right and left colon.
There was, however, a tendency for the proportions of specimens which had negative MSH2 expression to be located in the right colon. The MLH1 was negative for all right-sided specimens. There lack of difference in expressions of MLH1 and MSH2 was also found when the specimens were compared based on patient age, althoughthere were more of the young patients whi had negative expressions for both MLH1 and MSH2. there was no significant difference between the expressions of MLH1 and NMSH2 regarding tumor grading -this is interpreted as no correlation between MLH1 expression and tumor grade.
The results of the study revealed that 1 1) CRC in young patients of Javanese, Sundanese, Makassarese and lvlinang ethnic groups did not show any difference with regard to expressions of MLH1 and MSH2 compred to old patients; 2) young CRC patients of Javanese, Sundanese, Nlakassarese and Minang ethnic groups cannot be categorized as hereditary CRC based on interviews using the Amsterdam fBethesda criteria and are henceforth regarded as sporadic. 3) the expression of MLH1 and MSH2 by IHC cannot be used to detect microsatellite instability among patients of Javanese, Sundanese, Nlakassarese and Minang ethnic groups; and 4) use of the Amsterdam I Bethesda criteria for HNPCC is still the most reliable method to determine sporadicity of CRC patients among patients of Javanese, Sundanese, Malcassarese and Minang ethnic groups. The pattern of results also brings to light the possibilty that CRC among young patiens do not follow either MIN nor CIN pathways.
Does an Indonesian age faster, therefore CRC found at a younger age? Study of the literature on the aging process revealed that natural aging per se is no different from other populations - but other factors from the environment is thought to enter and influence the biological aging of cells and speed up carcinogenesis.
Internally, carcinogenesis of CRC is influenced by the interaction between oxidative stress involving the mitochondria, in which mitochondrial dysfunction resulted in the production of oxidative stress affecxting various components of carcinogenesis i.e., inhibition of apoptosis, activation of oncogenes, increase in mutator phenotype and inactivation of tumor suppression genes. The events are accelerated by important external factors - namely soscioeconomic status - causing the cell to be genetically unstable, a prerequisite for cancer formation, among these involving 1) infection and inflammation; and 2) diet and nutrition.
It is recommended that from this study that, in the shifting paradigm of cancer, moving from empirical tpo molecular oncology - further research be implemented with molecular epidemiology techiques on cancer populations in Indonesia. The approach of cancer in Indonesia in the future will also have to be based on the genetic profile of the individual or specific population group - and the knowledge obtained thus utilized.
"
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D708
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Sjarifuddin Madjid
"ABSTRAK
Latar belakang
Hipoperfusi splanknik tetap terjadi pada pasca-resusitasi renjatan perdarahan. Hipoperfusi splanknik dapat menimbulkan kerusakan mukosa usus, translokasi bakteri usus ke sistemik, dan kemungkinan gagal organ multipel. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh anestesi epidural torasik (AEV) Iidokain terhadap perubahan perfusi splanknik pasca-resusitasi renjatan perdarahan.
Metode dan Bahan Penelitian Suatu penelitian acak tersamar ganda dilakukan pada 16 ekor Macaca nemestrina, terdiri atas kelompok kontrol (n = 8) dan AET (n = 8). Kedua kelompok mendapat ketamin pada tahap persiapan, dan dilakukan pemasangan kateter epidural pada 17-8, selanjutnya diberikan anestesia-umum. Renjatan perdarahan dicapai dengan cara darah dialirkan secara pasif keluar tubuh secara bertahap sehingga tekanan arteri rerata (TAR) 40 mm Hg dan dipertahankan selama 60 menit. Resusitasi dilakukan dengan cara darah dikembalikan disertai pemberian kristaloid. Pasca-resusitasi, kelompok AET mendapatkan lidokain 2% dan kontrol salin melalui kateter epidurai. Pemantauan tekanan parsial CO2 gaster (PQCOQ), selisih tekanan CO2 gaster - arteri [P(g-a)CO2], pH mukosa gaster (pHi), parameter hemodinamik, asam basa dan Iaktat darah dilakukan secara berkala. Kadar norepinefrin dan kortisol diukur pada menit 90, kultur darah, dilakukan pada saat prarenjatan dan menit 180, biopsi usus, hati dan ginjal dilakukan saat prarenjatan, menit 60, 90, dan 270 selama penelitian.
Hasil
Nilai PgCO; lebih rendah secara bermakna pada kelompok TEA pada menit ke- 90 (11,0 (SD 8,0) vs. 19,0 (8,0) kPa; p=0,038), 150 (9,9 (8,-4) vs. (19,5 (8,6) kPa; p=0,023), dan pada akhir penelitian (270 menit) (10,1 (8,3) vs. 20,7 (10,0) kPa; p=0,041); di mana P(g-a) CO2 lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-150 dan 270; and pHi lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-90 and 150. Parameter Iain tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Translokasi bakteri ditemukan Iebih sedikit pada kelompok AET dari pada kontrol. Histopatologi duodenum kelompok AEI' lebih sedikit mengalami perburukan dari pada kontrol (p = 0,0456).
Kesimpulan
Perfusi splanknik kelompok AEl'|id0kBir1 pascz-rresusitasi renjatan perdarahan lebih baik dari pada kontrol.

ABSTRACT
Background
Splanchnic hypoperfusion still exists despite of successful resuscitation of hemorrhagic shock. Studies have shown that splanchnic hypoperfusion may lead to increased permeability of gastrointestinal mucosa, bacterial translocation, and increased risk of developing multiple organ failure. The aim of this study was to assess the effect of lidocaine thoracic epidural anesthesia (TEA) on splanchnic perfusion in post-resuscitation of hemorrhagic shock.
Methods
This is a double blind randomized controlled study. Sixteen Macaca nemescrinas were randomly selected into two groups, i.e TEA group (n=8) and control (n=8). Both groups were anesthetized with ketamine during preparation, an epidural catheter was inserted at 17-8, then were given the same anesthesia procedure. Hemorrhagic shock was induced by drawing blood gradually to a mean arterial pressure (MAP) of 40 mm Hg, and maintained for 60 minutes. Animals were then resuscitated by their own blood and crystalloid solution. Post resuscitation, the control group were given salin epidurally and the TEA group Iidocaine 2%. During this study PgCO2, P(g-a)CO2, pHi, hemodynamic parameters, acid-base balance and lactate acid were monitored. Blood norepinephrine and cortisol concentrations were measured at 90 minute, blood sample at preshock and 180 minute were cultured and intestinal, liver, and kidney biopsies were done at preshock, 60 minute, 90 minute, and 270 minute during timeof study.
Results
Means of PgCO2 were consistently significantly lower in the TEA group compared to control at 90 minute (11.0 (SD 8.0) vs. 19.0 (8.0) kPa; p=0.038), 150 minute (9.9 (8.4) vs. (19.5 (8.6) kPa; p=0.023, and at the end of this study (270 minute) (10.1 (8.3) vs. 20] (10.0) kPa; p=.041); whereas P(g~a)CO, were lower in TEA group at 150 and 270 minute and pHi were lower in TEA group at 90 and 150 minute. Other parameters did not show significant difference between groups. Bacterial translocations were less in TEA group than in control group. Duodenum histopathology deterioration was less in the TEA group than in control (p = 0,0456).
Conclusion
Splanchnic perfusion in hemorrhagic shock post resuscitation in TEA Iidocaine group as better than in control group.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
D784
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Amir Sjarifuddin Madjid
"ABSTRAK
Latar belakang
Hipoperfusi splanknik tetap terjadi pada pasca-resusitasi renjatan perdarahan. Hipoperfusi splanknik dapat menimbulkan kerusakan mukosa usus, translokasi bakteri usus ke sistemik, dan kemungkinan gagal organ multipel. Tujuan penelitian ini adalah mempelajari pengaruh anestesi epidural torasik (AEV) Iidokain terhadap perubahan perfusi splanknik pasca-resusitasi renjatan perdarahan.
Metode dan Bahan Penelitian Suatu penelitian acak tersamar ganda dilakukan pada 16 ekor Macaca nemestrina, terdiri atas kelompok kontrol (n = 8) dan AET (n = 8). Kedua kelompok mendapat ketamin pada tahap persiapan, dan dilakukan pemasangan kateter epidural pada 17-8, selanjutnya diberikan anestesia-umum. Renjatan perdarahan dicapai dengan cara darah dialirkan secara pasif keluar tubuh secara bertahap sehingga tekanan arteri rerata (TAR) 40 mm Hg dan dipertahankan selama 60 menit. Resusitasi dilakukan dengan cara darah dikembalikan disertai pemberian kristaloid. Pasca-resusitasi, kelompok AET mendapatkan lidokain 2% dan kontrol salin melalui kateter epidurai. Pemantauan tekanan parsial CO2 gaster (PQCOQ), selisih tekanan CO2 gaster - arteri [P(g-a)CO2], pH mukosa gaster (pHi), parameter hemodinamik, asam basa dan Iaktat darah dilakukan secara berkala. Kadar norepinefrin dan kortisol diukur pada menit 90, kultur darah, dilakukan pada saat prarenjatan dan menit 180, biopsi usus, hati dan ginjal dilakukan saat prarenjatan, menit 60, 90, dan 270 selama penelitian.
Hasil
Nilai PgCO; lebih rendah secara bermakna pada kelompok TEA pada menit ke- 90 (11,0 (SD 8,0) vs. 19,0 (8,0) kPa; p=0,038), 150 (9,9 (8,-4) vs. (19,5 (8,6) kPa; p=0,023), dan pada akhir penelitian (270 menit) (10,1 (8,3) vs. 20,7 (10,0) kPa; p=0,041); di mana P(g-a) CO2 lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-150 dan 270; and pHi lebih rendah pada kelompok TEA pada menit ke-90 and 150. Parameter Iain tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. Translokasi bakteri ditemukan Iebih sedikit pada kelompok AET dari pada kontrol. Histopatologi duodenum kelompok AEI' lebih sedikit mengalami perburukan dari pada kontrol (p = 0,0456).
Kesimpulan
Perfusi splanknik kelompok AEl'|id0kBir1 pascz-rresusitasi renjatan perdarahan lebih baik dari pada kontrol.

ABSTRACT
Background
Splanchnic hypoperfusion still exists despite of successful resuscitation of hemorrhagic shock. Studies have shown that splanchnic hypoperfusion may lead to increased permeability of gastrointestinal mucosa, bacterial translocation, and increased risk of developing multiple organ failure. The aim of this study was to assess the effect of lidocaine thoracic epidural anesthesia (TEA) on splanchnic perfusion in post-resuscitation of hemorrhagic shock.
Methods
This is a double blind randomized controlled study. Sixteen Macaca nemescrinas were randomly selected into two groups, i.e TEA group (n=8) and control (n=8). Both groups were anesthetized with ketamine during preparation, an epidural catheter was inserted at 17-8, then were given the same anesthesia procedure. Hemorrhagic shock was induced by drawing blood gradually to a mean arterial pressure (MAP) of 40 mm Hg, and maintained for 60 minutes. Animals were then resuscitated by their own blood and crystalloid solution. Post resuscitation, the control group were given salin epidurally and the TEA group Iidocaine 2%. During this study PgCO2, P(g-a)CO2, pHi, hemodynamic parameters, acid-base balance and lactate acid were monitored. Blood norepinephrine and cortisol concentrations were measured at 90 minute, blood sample at preshock and 180 minute were cultured and intestinal, liver, and kidney biopsies were done at preshock, 60 minute, 90 minute, and 270 minute during timeof study.
Results
Means of PgCO2 were consistently significantly lower in the TEA group compared to control at 90 minute (11.0 (SD 8.0) vs. 19.0 (8.0) kPa; p=0.038), 150 minute (9.9 (8.4) vs. (19.5 (8.6) kPa; p=0.023, and at the end of this study (270 minute) (10.1 (8.3) vs. 20] (10.0) kPa; p=.041); whereas P(g~a)CO, were lower in TEA group at 150 and 270 minute and pHi were lower in TEA group at 90 and 150 minute. Other parameters did not show significant difference between groups. Bacterial translocations were less in TEA group than in control group. Duodenum histopathology deterioration was less in the TEA group than in control (p = 0,0456).
Conclusion
Splanchnic perfusion in hemorrhagic shock post resuscitation in TEA Iidocaine group as better than in control group.
"
Lengkap +
2006
D844
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library