Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fijri Auliyanti
Abstrak :
Latar belakang. Gangguan tidur pada remaja memiliki prevalens yang tinggi dan dapat memengaruhi prestasi akademik di sekolah. Namun, sejauh ini di Indonesia, belum terdapat studi yang meneliti prestasi akademik pada remaja dengan gangguan tidur serta faktor yang berhubungan. Tujuan. Penelitian ini untuk mengetahui: (1) prevalens dan pola gangguan tidur berdasarkan SDSC, (2) proporsi murid SMP dengan gangguan tidur yang memiliki prestasi akademik di bawah rerata, (3) hubungan antara: jenis kelamin, motivasi dan strategi belajar, nilai IQ, tingkat pendidikan ibu, tingkat sosial ekonomi keluarga, struktur keluarga, pendidikan di luar sekolah, adanya TV/komputer di kamar tidur, durasi tidur di hari sekolah, perbedaan waktu tidur dan bangun, dan prestasi akademik murid SMP dengan gangguan tidur. Metode. Penelitian potong lintang analitik di lima SMP di Jakarta pada bulan Januari hingga Maret 2013. Skrining gangguan tidur dengan kuesioner Sleep Disturbance Scale for Children dilakukan terhadap 491 orang murid SMP di Jakarta. Murid yang memenuhi kriteria gangguan tidur diminta mengisi kuesioner motivasi dan strategi pembelajaran. Peneliti meminta nilai IQ subjek penelitian. Hasil. Terdapat 129 subjek yang memenuhi kriteria gangguan tidur. Empat orang subjek di drop-out karena tidak memiliki nilai IQ. Prevalens gangguan tidur sebesar 39,7% dengan jenis gangguan tidur terbanyak adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur (70,2%). Sebanyak 47,6% subjek memiliki prestasi akademik di bawah rerata. Sebagian besar subjek perempuan (71%), termasuk sosial ekonomi menengah ke bawah (58,9%), memiliki motivasi dan strategi belajar yang cukup (72,6%), dan mengikuti pendidikan di luar sekolah (87,9%). Tiga belas subjek yang memiliki nilai IQ di bawah rata-rata tidak diikutsertakan dalam analisis bivariat dan multivariat. Berdasarkan uji regresi logistik, faktor yang paling berhubungan dengan prestasi akademik di bawah rerata secara berurutan, yaitu pendidikan di luar sekolah (> 2 jenis, non-akademik), nilai IQ rata-rata, dan jenis kelamin lelaki. Simpulan. Prevalens gangguan tidur pada murid SMP di Jakarta adalah 39,7% dengan jenis gangguan tidur terbanyak adalah gangguan memulai dan mempertahankan tidur. Sebanyak 47,6% subjek memiliki prestasi akademik di bawah rerata. Faktor yang terbukti berhubungan dengan prestasi akademik di bawah rerata adalah pendidikan di luar sekolah (> 2 jenis, non-akademik), nilai IQ rata-rata, dan jenis kelamin lelaki. ...... Background. Sleep disorders are prevalent in adolescents and may influence their academic achievement at school. However, in Indonesia, no research has ever been done to study academic achievement in students with sleep disorders and related factors. Objectives. This study aimed to define: (1) the prevalence of sleep disorders and their patterns based on the SDSC questionnaire, (2) the proportion of junior high school students having low average academic achievement, (3) the relationship between factors; i.e gender, motivation and learning strategies, IQ level, mothers' educational level, socioeconomic level, family structure, non-formal education, TV/computer set inside the bedroom, sleep duration during schooldays, bedtimewakeup time difference; and the academic achievement in junior high school students with sleep disorders. Method. This was an analytical cross-sectional study, performed at five junior high schools in Jakarta between January to March 2013. Screening for sleep disorders, based on the Sleep Disturbance Scale for Children questionnaires, was done in 491 junior high school students. Students who fulfilled the criteria of sleep disorders, were asked to fill in the Motivated Strategies for Learning Questionnaire (MSLQ). The IQ level of each subjects was also measured. Results. There were 129 subjects who fulfilled the sleep disorders criteria. Four subjects were dropped out due to they didn?t have IQ level. The prevalence of sleep disorder in this study was 39.7%, mostly difficulty in initiating and maintaining sleep (70.2%). There were 47.6% subjects had low average academic achievement. As many as 13 subjects had low average IQ level and were not included in bivariate and multivariate analysis. Subjects mostly female (71%), with middle-low income (58.9%), had moderate motivation and learning strategies (72.6%), and attended non-formal education (87.9%). Based on the logistic regression analysis, the most influencing factors to the low average academic achievement are consecutively: the non-formal education ( > 2 types, non-academic), the average IQ level, and male sex. Conclusion. The prevalence of sleep disorders in junior high school students in Jakarta are 39.7%, mostly difficulty in initiating and maintaining sleep. There were 47.6% subjects had low average grade. Factors related to the low average academic achievement are non-formal education ( > 2 types, non-academic), the average IQ level, and male sex.
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Paramita
Abstrak :
Latar belakang: Pengukuran suhu tubuh sebenarnya (core body temperature) tidak lazim dilakukan pada anak karena invasif dan sulit, sehingga pengukuran suhu aksila dan membran timpani lebih disukai. Namun sampai saat ini ketepatan hasil pengukuran suhu membran timpani dan aksila masih diperdebatkan. Tujuan: Membandingkan ketepatan hasil pengukuran suhu membran timpani dan aksila dengan rektal, mengetahui metode terbaik pengukuran suhu tubuh, dan cut off demam pada anak berdasarkan masing-masing metode pengukuran suhu. Metode: Penelitian diagnostik potong lintang pada anak demam berusia 6 bulan ? 5 tahun yang dipilih secara konsekutif di Poliklinik Anak, IGD Anak, dan Ruang Perawatan Anak Gedung A RSCM antara bulan Desember 2014 ? Januari 2015. Hasil: Dengan cut off demam suhu aksila 37,4oC dan membran timpani 37,6oC didapatkan sensitivitas 96% (IK 95% 0,88-0,98) dan 93% (IK 95% 0,84-0,97), spesifisitas 50% (IK 95% 0,47-0,84) dan 50% (IK 95% 0,31-0,69), NDP 90% (IK 95% 0,81-0,95) dan 85% (IK 95% 0,75-0,91), NDN 83% (IK 95% 0,61-0,94) dan 69% (IK 95% 0,44-0,86). Cut off optimal demam suhu membran timpani dan aksila pada penelitian ini adalah 37,8oC (AUC 0,903 dan 0,903). Simpulan: Hasil pengukuran suhu aksila sama baik dengan membran timpani dalam mendeteksi demam dan dapat digunakan dalam praktik klinis sehari-hari maupun di rumah. Dengan cut off demam 37,8oC didapatkan sensitivitas 81% dan 88%, spesifisitas 86% dan 73%, NDP 95% dan 91%.
Background: Core body temperature measurement is not common in pediatric population because it is invasive and difficult. Therefore tympanic and axillary temperature measurement are prefereble but their accuracy still debated. Objective: To compare the accuracy of axillary and tympanic temperature to rectal temperature in children with fever and measure the cut off point for fever based on each temperature measurement method. Methods: A cross-sectional diagnostic study was conducted among children age 6 months ? 5 years which was selected consecutively at Pediatric Out-patient clinic, Pediatric emergency unit, and the in-patient wards in building A RSCM from December 2014 to January 2015. Results: With the cut off for fever on axilla 37,4oC and tympanic membrane 37,6oC the sensitivity was 96% (95% CI 0,88-0,98) and 93% (95% CI 0,84-0,97), specificity 50% (95% CI 0,47-0,84) and 50% (95% CI 0,31-0,69), NDP 90% (95% CI 0,81-0,95) and 85% (95% CI 0,75-0,91), NDN 83% (95% CI 0,61-0,94) and 69% (95% CI 0,44-0,86). Optimal cut off of tympanic membrane and axilla temperature was 37,8oC (AUC 0,903 dan 0,903). Conclusions: Axillary temperature measurement is as good as the tympanic membrane temperature measurement and can be used at the daily clinical practice or at home. By increasing the optimum fever cut off point for axilla temperature and tympanic membrane to 37,8oC, we found sensitivity 81% and 88%, specificity 86% and 73%, NDP 95% and 91%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58925
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Halim
Abstrak :
Latar Belakang. Dermatitis atopi merupakan manifestasi penyakit alergi yang sering pada anak. Prevalens dermatitis atopi (DA) meningkat di seluruh dunia dengan awitan tersering pada usia 1 tahun pertama. Lesi DA cenderung relaps hingga usia 5 tahun, diikuti allergic march yang dapat menetap hingga dewasa. Beberapa faktor risiko DA ialah riwayat atopi keluarga, pajanan dini alergen, defek barier kulit dan berkurangnya kekerapan infeksi. Alergen yang sering mencetuskan DA berasal dari makanan. Peran ASI dalam mencegah DA dilaporkan dalam banyak studi, namun masih kontroversi. Studi mengenai hal ini belum banyak dilakukan di Indonesia. Tujuan. Mengetahui manfaat pemberian ASI eksklusif dalam mencegah kejadian DA pada anak. Metode. Desain penelitian ini ialah kasus-kontrol berpasangan dengan matching terhadap kelompok usia dan adanya riwayat atopi keluarga. Penelitian dilakukan pada anak berusia 7-24 bulan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak dua Rumah Sakit swasta dan di sebuah Posyandu di Jakarta, pada bulan Juli-Desember 2012. Diagnosis DA ditegakkan pada kelompok kasus dengan kriteria Hanifin-Rajka. Hasil. Sebanyak 108 anak ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar anak dengan DA berusia 7-24 bulan dan memiliki riwayat atopi keluarga. Awitan DA tersering pada usia 6 bulan pertama dengan predileksi lesi di wajah. Tidak terdapat perbedaan pola dan lama menyusui pada kelompok anak dengan dan tanpa DA. Manfaat ASI dalam mencegah DA pada anak pada penelitian ini belum dapat dibuktikan (RO 0,867;IK95% 0,512-2,635; p 0,851). Simpulan. Penelitian ini belum dapat membuktikan manfaat pemberian ASI eksklusif untuk mencegah kejadian DA pada anak. Pemberian ASI eksklusif masih sangat direkomendasikan karena memiliki banyak manfaat dan keunggulan dibandingkan susu formula. ......Latar Belakang. Dermatitis atopi merupakan manifestasi penyakit alergi yang sering pada anak. Prevalens dermatitis atopi (DA) meningkat di seluruh dunia dengan awitan tersering pada usia 1 tahun pertama. Lesi DA cenderung relaps hingga usia 5 tahun, diikuti allergic march yang dapat menetap hingga dewasa. Beberapa faktor risiko DA ialah riwayat atopi keluarga, pajanan dini alergen, defek barier kulit dan berkurangnya kekerapan infeksi. Alergen yang sering mencetuskan DA berasal dari makanan. Peran ASI dalam mencegah DA dilaporkan dalam banyak studi, namun masih kontroversi. Studi mengenai hal ini belum banyak dilakukan di Indonesia. Tujuan. Mengetahui manfaat pemberian ASI eksklusif dalam mencegah kejadian DA pada anak. Metode. Desain penelitian ini ialah kasus-kontrol berpasangan dengan matching terhadap kelompok usia dan adanya riwayat atopi keluarga. Penelitian dilakukan pada anak berusia 7-24 bulan di Poliklinik Ilmu Kesehatan Anak dua Rumah Sakit swasta dan di sebuah Posyandu di Jakarta, pada bulan Juli-Desember 2012. Diagnosis DA ditegakkan pada kelompok kasus dengan kriteria Hanifin-Rajka.Hasil. Sebanyak 108 anak ikut serta dalam penelitian. Sebagian besar anak dengan DA berusia 7-24 bulan dan memiliki riwayat atopi keluarga. Awitan DA tersering pada usia 6 bulan pertama dengan predileksi lesi di wajah. Tidak terdapat perbedaan pola dan lama menyusui pada kelompok anak dengan dan tanpa DA. Manfaat ASI dalam mencegah DA pada anak pada penelitian ini belum dapat dibuktikan (RO 0,867;IK95% 0,512-2,635; p 0,851). Simpulan. Penelitian ini belum dapat membuktikan manfaat pemberian ASI eksklusif untuk mencegah kejadian DA pada anak. Pemberian ASI eksklusif masih sangat direkomendasikan karena memiliki banyak manfaat dan keunggulan dibandingkan susu formula.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Miranti Fristy Medyatama
Abstrak :
Latar belakang. Hipoparatiroid merupakan salah satu komplikasi yang terjadi pada talasemia mayor akibat deposisi besi di kelenjar paratiroid. Sampai dengan saat ini belum diketahui berapa prevalens hipoparatiroid pada anak talasemia mayor di Indonesia. Keterlambatan dalam diagnosis dan tata laksana dapat menyebabkan risiko terjadinya morbiditas seperti fraktur, osteoporosis, atau kejang. Tujuan. Mengetahui prevalens hipoparatiroid pada pasien talasemia mayor usia 7-12 tahun dan faktor yang memengaruhi. Metode. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang dilakukan pada 64 pasien talasemia mayor usia 7-12 tahun di RSCM. Pengambilan darah puasa dilakukan untuk menilai kalsium ion (Ca), serum fosfat (P), magnesium, 25-(OH)D3 dan intak paratiroid hormon (iPTH). Subyek diklasifikasikan sebagai hipoparatiroid primer bila mengalami hipokalsemia dan penurunan iPTH, hipoparatiroid subklinis bila hipokalsemia dan atau penurunan 25-(OH)D3 tanpa peningkatan iPTH. Analisis bivariat dan regresi multipel logistik dilakukan untuk menilai faktor risiko hipoparatiroid. Hasil. Rerata usia subyek adalah 9,7(SB 1,6) tahun dengan lelaki 51,6%(n=33). Ditemukan hipoparatiroid primer sebanyak 6/64 (9,4%) subyek (rerata iPTH 11,9(SB 2,3) pg/mL), hipoparatiroid subklinis 34/64 (53,1%) subyek (median iPTH 31,4(20,0-64,0) pg/mL). Kejadian hipoparatiroid lebih banyak ditemukan pada subyek dengan frekuensi transfusi >1x/bulan, kepatuhan kelasi tidak baik dan Hb pre-transfusi <9 g/dL. Namun, berdasarkan hasil analisis regresi logistik hanya lama sakit >5 tahun yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian hipoparatiroid (rasio odd 8,6 interval kepercayaan 2,1-35,7 p=0,003). Terdapat korelasi negatif ringan dan sedang antara nilai rerata feritin (r-0,34, p=0,01) dan saturasi transferin (r=-0,41, p<0,0001) dengan kejadian hipoparatiroid. Kesimpulan. Prevalens hipoparatiroid pada dekade pertama kehidupan pada pasien talasemia mayor di Indonesia cukup tinggi. Lama sakit >5 tahun adalah faktor prediktor yang sangat memengaruhi kejadian hipoparatiroid pada anak talasemia mayor. ......Background. Hypoparathyroidism is a complication that occurs in thalassemia major due to iron deposition in the parathyroid glands. Until now, the prevalence of hypoparathyroidsm in children with thalassemia major is unknown. Delay in diagnosis and treatment can increase the risk of developing morbidities such as fractures, osteoporosis, or seizure. Methods. This study was cross-sectional, conducted on 64 thalassemia major patients, aged 7-12 years, in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). Blood samples were collected in fasting to determine Calcium ion (Ca), Phosphorus (P), Magnesium (Mg) , 25-(OH)D3 and intact parathyroid hormone (iPTH). Subjects were classified into primary hypoparathyroidism (low Ca and low iPTH), subclinical hypoparathyroidsm (low Ca and/or low 25(OH)D3 without an increase of iPTH). Bivariate analysis and multiple logistic regression were performed to assess risk factors for hypoparathyroidsm. Result. The mean age of the subjects was 9.7(SD 1.6) years with 51.6% male (n=33). primary hypoparathyroidism was found in 6/64(9.4%) subjects (mean iPTH 11.9(SD 2.3 pg/mL), subclinical hypoparathyroidism in 34/64(53.1%) subjects (median iPTH 31.4(20-64) pg/mL). The prevalence of hypoparathyroidism was more common in subjects with tranfusion frequency >1x/month, poor chelation compliance and pre-transfusion haemoglobin <9 g/dL. However, based on the results of logistic regression analysis, only duration of illness >5 years had a significant relationship with hypoparathyroidism (odds ratio 8.6, confidence inrerval 2.1-35.7 p=0.003). There was a mild and moderate negative correlation between the mean value of ferritin (r=-0.34, p=0.01) and transferrin saturation (r=-0.41, p<0.0001) with hypoparathyroidism. Conclusion. The prevalence of hypoparathyroidism in the first decade of life in thalassemia major in Indonesia is quite high. Duration of illness >5 years is a predictor factor that greatly influences the incidence of hypoparathyroidism in children with thalassemia major.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meilianawati
Abstrak :
BELAKANG: aterosklerosis adalah proses yang mendasarinya penyakit kardiovaskular dan telah terbentuk sejak usia dini. Obesitas dan dislipidemia pada usia anak dan remaja merupakan faktor risiko perkembangan aterosklerosis. Modulasi mikrobiota usus dengan pemberian probiotik pada awal kehidupan diharapkan dapat mencegah obesitas dan dislipidemia. TUJUAN: mengevaluasi efek suplementasi probiotik pada masa kanak-kanak terhadap indeks massa tubuh (IMT) dan profil lipid, setelah 10 tahun pemberian. METODE: Sebanyak 494 anak telah berpartisipasi pada studi baseline(studi Probiocal) di tahun 2007-2008. Saat ini, sebanyak 151 remaja yang berusia 11-18 tahun ikut serta pada penelitian tindak lanjut, yaitu: 42 remaja pada kelompok casei, 43 remaja pada kelompok reuteri, dan 66 remaja pada kelompok kontrol. Pengambilan data dilakukan di dua kelurahan di Jakarta Timur. Kepada seluruh subjek dilakukan pemeriksaan fisik serta wawancara sosio-demografi, aktivitas fisik, dan asupan makanan. Pengukuran antropometri berupa pengukuran berat badan, tinggi badan, dan lingkar pinggang. Pemeriksaan profil lipid berupa kadar trigliserida, kolesterol LDL, dan HDL dilakukan setelah subjek berpuasa. HASIL: rerata kadar kolesterol HDL pada remaja di kelompok probiotik reuteri cenderung lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol, sebelum penyesuaian (p = 0.093). Pemberian probiotik L. casei atau L. reuteri pada masa kanak-kanak tidak memberikan efek jangka panjang terhadap IMT serta kadar trigliserida, kolesterol LDL, dan HDL pada remaja, setelah dilakukan penyesuaian dengan faktor perancu (p > 0.05). KESIMPULAN: Kadar kolesterol HDL yang cenderung lebih tinggi pada kelompok probiotik reuteri dapat disebabkan oleh efek pemberian probiotik pada masa kanak-kanak. Jumlah subjek follow-up yang terbatas membuat sulit untuk menyimpulkan efek suplementasi probiotik pada masa kanak-kanak terhadap IMT dan profil lipid pada saat remaja. ......Purpose: Recent studies have discovered the role of probiotic in the prevention of obesity and dyslipidemia. The purpose of the study was to evaluate the effect of probiotic supplementation during childhood on body mass index (BMI) and lipid profile in the adolescence period. Methods: Of 494 children included in baseline study (Probiocal study), 151 entered the follow-up at 11-18 years of age, n = 42 in the casei, n = 43 in the reuteri, and n = 66 in the regular calcium group. This study was conducted in 20 communities in East Jakarta. Subjects underwent physical examination and interviewed of socio-demography, smoking behaviour, physical activity, and dietary intake. Anthropometrics (weight, height, and waist circumference) were assessed. Triglyceride, low-density lipoprotein (LDL), and high-density lipoprotein (HDL) level were determined after overnight fasting.  ......Results: The effect of probiotic supplementation was shown as a tendency to increase the HDL level before adjusted (p = 0.093). The evaluation of lipid profile adjusted for age, sex, and waist circumference showed no differences in the mean of triglyceride, LDL, and HDL level between casei or reuteri groups and control. Lactobacillus casei or reuteri did not affect BMI in adolescent after adjusted for age, sex, and BMI at the end of baseline study (p > 0.05). Conclusion: The higher level of HDL cholesterol in reuteri group might have been a response to probiotic supplementation during childhood. As a relatively small sample was entered in this follow-up study, our research needs to be replicated in different settings to produce comparable findings.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Firda Fairuza
Abstrak :
Latar belakang. Kolestasis terkait sepsis (KTS) masih merupakan permasalahan medis di negara berkembang disebabkan tingginya morbiditas, mortalitas dan lama rawat. Inflamasi usus akibat disfungsi sawar usus diduga berperan dalam KTS sehingga perlu dibuktikan perannya terhadap terjadinya KTS. Inflamasi dan permeabilitas mukosa usus dapat dinilai melalui kadar kalprotektin dan alfa-1 antitripsin (AAT) pada tinja. Tujuan. Untuk mengetahui hubungan antara terjadinya KTS pada sepsis neonatorum dengan inflamasi dan gangguan permeabilitas usus yang dinilai dengan peningkatan kadar kalprotektin dan α-1-antitripsin dalam tinja. Metode. Studi kohort prospektif di ruang rawat inap Perinatologi dan Neonatal Intensive Care Unit Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo periode Juni 2012- Oktober 2013. Delapan puluh neonatus diambil secara consecutive sampling dari 271 subjek proven sepsis yang dirawat pada periode studi ini, terbagi menjadi 2 kelompok (KTS dan sepsis tidak kolestasis) masing-masing 40 subjek. Dilakukan pemeriksaan kadar kalprotektin dan AAT tinja. Hasil penelitian. Tidak ditemukan perbedaan antara KTS dan sepsis tidak kolestasis dalam ekskresi kalprotektin tinja [KTS vs. sepsis tidak kolestasis, median (rentang) 104,4 (25 sampai 358,5) vs. 103,5 (5,4 sampai 351) μg/g; p = 0,637] dan alfa-1 antitripsin tinja [median (rentang) 28 (2 sampai 96) vs. 28 (2 sampai 120) mg/dL; p = 0,476). Tidak ditemukan peningkatan bermakna kadar kalprotektin tinja dengan nilai p = 0,63 (IK 95% 0,4 sampai 3,6) dan kadar AAT tinja dengan nilai p=0,152 (IK 95% 0,4 sampai 3,3). Simpulan. Kadar kalprotektin dan alfa-1 antitripsin tinja tidak terbukti dapat memprediksi kejadian KTS pada sepsis neonatorum. Tidak ada bukti proses inflamasi usus yang terjadi pada KTS melalui peningkatan permeabilitas paraselular usus. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai patogenesis inflamasi usus yang terjadi melalui peningkatan permeabilitas trans-selular dan kerusakan enterosit usus pada KTS.
Background. Sepsis-associated cholestasis (SAC) remain a medical problem in developing countries due to high morbidity, mortality and length of hospital. Intestinal inflammation as the causes of intestinal barrier dysfunction are suspected play a role in SAC, so it is necessary to prove its contribution to SAC. Intestinal inflammation and increased permeability were assessed through faecal calprotectin and alpha-1 antitrypsin (AAT) concentrations. Objective. To determine the association between SAC in sepsis neonatorum with intestinal inflammation and permeability were assessed through increased faecal calprotectin and AAT levels. Methods. This was cohort prospective study at Perinatologi and Neonatal Intensive Care Unit Department of Child Health Cipto Mangunkusumo Hospital during June 2012 to October 2013. Eighty neonates were obtained by consecutive sampling, of which 271 proven sepsis hospitalized in this period, devided 2 groups (SAC and non cholestasis sepsis) respectively 40 subjects. Faecal calprotectin and AAT concentrations was measured. Results. There was no significant association between SAC and faecal calprotectin excretion [SAC vs. non cholestasis sepsis, median (range) 104.4 (25 to 358,5) vs. 103.5 (5.4 to 351) μg/g; p = 0.637] and faecal AAT [median (range) 28 (2 to 96) vs. 28 (2 to 120) mg/dL; p = 0.476). Increased faecal calprotectin (CI 95% 0.4 to 3.6; p = 0,63) and AAT (CI 95% 0.4 to 3.3; p=0.152) did not differ significantly between the two groups. Conclusions. Faecal calprotectin and alpha-1 antitrypsin concentrations is not associated with SAC in sepsis neonatorum. There is no evidence of intestinal inflammation causes increased paracellular intestinal permeability in SAC. Further research is needed on the pathogenesis of intestinal inflammation in SAC which may result in increased intestinal permeability by transcellular and enterocyte damage.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr Irma Roosyana Lestyowati
Abstrak :
Latar Belakang: Instruksi penggunaan reagen PPD RT 23 2 TU yang dibuat oleh Statens Serum Institut Denmark yang menyatakan bahwa reagen PPD tidak boleh disimpan dan digunakan kembali setelah dibuka lebih dari 24 sampai 48 jam sulit untuk dipatuhi karena harga satu vial reagen yang mahal dan jumlah pasien yang tidak selalu ada untuk dilakukan tes tuberkulin. Tujuan: Untuk melihat apakah penggunaan reagen PPD RT 23 yang vialnya sudah dibuka lebih dari 24 jam mempengaruhi hasil tes tuberkulin dan aman digunakan. Metode: Studi potong lintang, non-inferiority study bulan Juni hingga bulan November 2017 pada 150 subjek. Dua tes tuberkulin dilakukan secara bersamaan pada tiap lengan pasien anak tersangka TB, satu tes tuberkulin menggunakan reagen yang vialnya dibuka <24 jam (kontrol) dan tes tuberkulin yang lainnya menggunakan reagen yang sudah dibuka 1 minggu (kelompok studi pertama) atau 1 bulan (kelompok studi kedua). Diameter indurasi masing-masing lengan diukur setelah 72 jam. Hasil: Jumlah subjek pada kelompok studi pertama sebanyak 64 anak, dengan rata-rata diameter indurasi 3,14 mm (SD 6,409) dan 3,41 mm (SD 6,732) untuk kontrol (p=0,364). Jumlah subjek pada kelompok studi kedua sebanyak 86 anak, dengan rata-rata diameter indurasi 3,33 mm (SD 5,491) pada perlakuan dan 3,41 mm (5,555) pada kontrol (p=0,559). Tidak ada perbedaan yang bermakna pada jumlah subjek dengan hasil tes tuberkulin positif (diameter indurasi ≥10 mm) dan tidak ada perbedaan selisih diameter yang bermakna (p=0,000). Tidak didapatkan efek samping maupun tanda infeksi pada lokasi tempat penyuntikan. Simpulan: Reagen PPD RT 23 2 TU tidak berkurang efektivitasnya walaupun sudah dibuka 1 minggu dan 1 bulan dan aman untuk digunakan.
Background: Recommendations that purified protein derivative (PPD) RT-23 tuberculin should not be kept and used more than 24 to 48 hours after opening are rarely complied with because of the high price of a vial PPD tuberculin and there are not always patients to administer the test to. Objective: To examine whether keeping opened vials of PPD RT-23 tuberculin for longer than 24 hours could affect the results of the test and safe. Methods: A cross-sectional study, non-inferiority study was conducted during June to November 2017 at 150 subjects. Two tuberculin tests were simultaneously administered one in each forearm, to pediatric patient with suspect tuberculosis, one test using a recently opened vial of tuberculin (control) and the other using tuberculin that had been opened a week before (first phase of study tuberculin) or a month before (second phase of study tuberculin) then we measure diameter of the induration of each forearm after 72 hours. Results: Total subject 64 patients in the first group (tuberculin opened 1 week), the mean (SD) diameter of the induration was 3.14 (6.409) mm and 3.41 (6.732) mm for the control (P=.3). Total subject 86 patients in the second group (tuberculin opened 1 month), the mean diameter of the induration was 3.33 (5.491) mm and 3.41 (5.555) mm for the control (P=.5). There were no differences between the number of positive tests (diameter of induration ≥10 mm) found and there were no significant differences of the difference of diameter of induration between the study tuberculin and control (P=.0). No adverse reaction and none sign of infection on the site of injection.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58958
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Astuti Mirasanti
Abstrak :
Pneumonia merupakan masalah kesehatan anak di seluruh dunia. Terapi antibiotik digunakan secara empiris karena sulitnya pengambilan sampel langsung dari sumber infeksi. Namun, di era resistensi antibiotik ini, identifikasi patogen spesifik bermanfaat untuk pemberian antimikroba yang tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil mikroorganisme penyebab pneumonia pada anak dan sensitivitasnya terhadap antibiotik empiris yang diberikan. Penelitian ini merupakan suatu studi potong lintang terhadap 106 pasien di RSCM yang dirawat dengan pneumonia sepanjang Juli 2018 – Juni 2020. Data demografi serta jenis mikroorganisme, daftar sensitivitasnya, dan antibotik yang digunakan diambil dari rekam medis. Mayoritas mikroorganisme yang tumbuh adalah kuman Gram negatif dengan jenis kuman terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa (38,3%). Antibiotik terbanyak yang digunakan adalah sefotaksim (37,7%) dan sensitivitas mikroorganisme terhadap antibiotik empiris adalah sebesar 17,3%. Perbaikan klinis didapatkan pada 35,8% subjek dan amikasin memiliki tingkat sensitivitas terbesar dari mikroorganisme yang tumbuh (65,4%). Pemeriksaan biakan setelah atau pada 5 hari perawatan memiliki rasio odds 1,264 kali untuk memiliki etiologi berupa polimikroba (p=0,641). pengambilan sampel dari saluran napas bawah untuk biakan pada hari rawat ke-13 dan selanjutnya memiliki rasio odds sebesar 6,328 kali lebih tinggi untuk tumbuhnya jamur (p=0,014). Angka mortalitas pada penelitian ini sebesar 35,8%. Angka mortalitas pada subjek yang mengalami sepsis lebih tinggi dibandingkan pada subjek yang tidak mengalami sepsis (rasio odds 4,222 (95%IK 1,792-9,947); p=0,0001).
Pneumonia is one of child health problem in the world. Antibiotic therapy is used empirically due to difficulty in obtaining sample from the source of infection. However, in this antibiotic resistance era, identification of specific pathogen is more beneficial. We aimed to identify microorganisms causing pneumonia in children and their sensitivity towards empiric antibiotic. This is a cross sectional study examined 106 patients hospitalized with pneumonia during July 2018 - June 2020. Baseline characteristics, species of microorganisms, their sensitivity pattern, and antibiotics used were obtained from medical record. Most microbes were Gram negative species. The most common bacteria was Pseudomonas aeruginosa (38.3%). The most frequently used empiric antibiotic was cefotaxime (37.7%) and microorganisms' sensitivity towards empiric antibiotic was 17.3%, Clinical improvement was shown in 35.8% subjects. Amikacin had the highest sensitivity rate (65.4%). Culture performed on the 5th day of admission onwards had higher odds for multiple growth (OR 1.264, p=0,641) while culture performed on the 13th day of admission onwards had higher odds for the growth of fungi (OR 6.328, p=0,014). Mortality rate was 35,8%. Mortality rate was higher in subjects with sepsis (OR 4.222; 95% CI 1.792-9.947; p=0.0001).
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Handayani Utami
Abstrak :
Latar belakang dan tujuan: Kemampuan kogntiif anak merupakan salah satu indikator penting perkembangan manusia. Kegagalan pertumbuhan linear (KPL) diketahui berdampak pada kemampuan kognitif anak. Selain itu, faktor gizi juga diketahui memiliki kontribusi penting terhadap kognitif anak. Pendekatan Faktor Risiko Kumulatif (FRK) telah dilakukan pada beberapa studi sebelumnya, namun belum ada yang melakukan pendekatan risiko kumulatif terkait nutrisi di awal kehidupan. Studi ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kegagalan pertumbuhan linear pada awal kehidupan dan risiko kumulatif terkait gizi di awal kehidupan dengan kemampuan kognitif anak usia 4-6 tahun. Metode: Disain studi merupakan studi longitudinal, yang dilakukan di kota Bogor, Indonesia pada tahun 2012, yang mengikuti anak-anak sejak lahir. Untuk analisis ini yang menjadi responden penelitian yaitu 139 anak berusia 4-6 tahun. Variabel terikat yaitu perkembangan kognitif yang diukur dengan Wechsler Prescool and Primary Scale of Intelligence (WPPSI) Indonesia dengan indikator Full-scale IQ (FSIQ), Verbal IQ (VIQ) dan Performance IQ (PIQ). Variabel bebas utama yaitu kegagalan pertumbuhan linear dan indeks kumulatif terkait gizi pada awal kehidupan. Analisis multivariat dengan menggunakan uji regresi cox proportional hazard regression digunakan untuk menganalisis pengaruh faktor independen terhadap kemampuan kognitif anak. Hasil: Sepertiga dari anak memiliki kegagalan pertumbuhan linear di awal kehidupan. Studi ini tidak menemukan hubungan yang bermakna antara kegagalan pertumbuhan linear di awal kehidupan dengan skor kognitif yang rendah, namun terdapat kecenderungan terjadinya perawakan pendek di awal kehidupan berhubungan dengan rendahnya kemampuan kognitif, juga terdapat hubungan yang bermakna dengan subtes dari VIQ yaitu aritmetika sedangkan hubungan ini tidak ditemukan bermakna pada subtes dari PIQ. Indeks risiko kumulatif terkait gizi di awal kehidupan yang dikembangkan merupakan kombinasi dari 15 faktor risiko yang terkait dengan gizi. Indeks tersebut tingkat konsistensi nya baik dengan nilai Cronbach alpha 0.863. Uji multivariat menemukan indeks tersebut merupakan faktor risiko terhadap rendahnya kognitif anak walaupun secara statistik tidak bermakna. Kesimpulan: Kegagalan pertumbuhan linear pada awal kehidupan belum ditemukan memiliki hubungan yang bermakna dengan rendahnya kognitif anak. Terjadi nya perawakan pendek serta indeks kumulatif terkait gizi pada awal kehidupan di awal kehidupan ditemukan sebagai salah satu faktor risiko terhadap kemampuan kognitif yang rendah walaupun secara statistik tidak bermakna. ......Background and objective: Children's cognitive abilities are one of the important indicators of human development. Linear growth failure is known to have an impact on child cognitive abilities. In addition, nutritional factors are also known to have an important contribution to children cognitive. A cumulative risk approach has been carried out in several previous studies, but no one has yet approached a cumulative risk related to early life nutrition. Thus, this study aims to investigate the association between linear growth failure (LGF) and Nutrition-related Cumulative risk Factors (NCRF) in early life with children cognitive development in 4-6 years. Methods: A sampled longitudinal study started in Bogor City, Indonesia, in 2012, and children were followed from birth. For this analysis, we considered 139 children aged 4-6 years. The dependent variable in this analysis is cognitive development as measured by the Indonesian Wechsler Preschool and Primary Scale of Intelligence (WPPSI) with the indicators of Full-Scale IQ, Verbal IQ and Performance IQ. The main independent variables are LGF and NCRF in early life. Multivariate analysis used Cox regression test. Results: One third of children have LGF in early life. Most of them are having early stunted. This study did not find significant association between LGF in early life with low cognitive scores. However, there is a trend of the children that experience stunted in early life have lower score on all cognitive domain, with the significant association found with arithmetic subtest. NCRF index in early life course developed is a combination of 15 risk factors which are indicators of nutrition related problems. The index is reliable (Cronbach alpha 0.863) and most of its components are valid (p value < 0.05 Chi square test). The index is found to be a risk factors of low cognitive among children 4-6 years old eventhough not statistically significant. Conclusions: LGF in early life not found to be a significant factor for children low cognitive development in 4 to 6 years, while experience of stunted found to be a risk factors of low cognitive outcomes. NCRF index in early life course found to be a risk factor for child low cognitive development after adjusting other factors eventhough not statistically significant.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fatimah Hidayati
Abstrak :
Latar belakang: Diare akut masih merupakan masalah kesehatan yang penting dengan angka morbiditas dan mortalitas yang cukup tinggi. Virus merupakan penyebab tersering diare akut pada anak. Diare akut akibat virus akan menyembuh sendiri dan tidak membutuhkan terapi antibiotik. Namun, data dari Kemenkes Indonesia menyebutkan bahwa 85 pasien dengan diare di Jakarta diobati dengan antibiotik. Sampai saat ini, penelitian prevalens dan manifestasi klinis tentang diare akut akibat virus selain rotavirus masih jarang dilakukan. Penelitian tentang prevalens dan gambaran klinis diare akibat virus rotavirus, adenovirus, norovirus dan astrovirus belum pernah dilakukan di Indonesia. Tujuan: Mengetahui proporsi dan manifestasi klinis diare akut yang disebabkan oleh rotavirus, norovirus, adenovirus, dan astrovirus pada anak. Metode: Studi potong lintang dilakukan di RSCM dan RSUD Budhi Asih Jakarta, sejak Februari hingga September 2017. Penelitian melibatkan 100 orang anak berusia 6-36 bulan yang datang dengan keluhan diare akut. Spesimen tinja diperiksa menggunakan rapid test CerTest untuk mendeteksi adanya rotavirus, adenovirus, norovirus dan astrovirus, kemudian dilakukan pemeriksaan analisis tinja untuk menilai terjadinya intoleransi laktosa. Hasil: Diare akut akibat virus didapatkan pada 36 dari 100 anak, terdiri dari rotavirus 74,3 sebagai penyebab tersering, diikuti adenovirus 17,9 , norovirus 5,1 dan astrovirus 2,6 . Tiga spesimen ditemukan terdapat koinfeksi 2 virus. Diare akut akibat virus lebih sering terjadi pada anak berusia kurang dari 24 bulan 73,2 , dan 55,6 diantaranya mengalami gizi kurang. Laki-laki lebih banyak terinfeksi sebesar 1,5 kali dibandingkan perempuan. Muntah merupakan gejala yang bermakna secara statistik terkait diare akut akibat virus ini 66,7 ; p=0,045 . Manifestasi klinis lainnya yaitu diare lebih dari 10 kali per hari 58,3 , dehidrasi 68,8 , batuk 66,7 , pilek 77,8 , demam 88,6 , dan warna tinja kuning hijau 44,4 . Analisis tinja menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna secara statistik antara diare akut akibat virus dengan terjadinya intoleransi laktosa pH. ......Background Acute diarrhea remains a major cause of morbidity and mortality in Indonesia and worldwide. Virus is the most common cause of acute diarrhea in children. Viral acute diarrhea is usually self limited, and does not require antibiotic therapy. However, data from Ministry of Health Indonesia reported that 85 of patients with diarrhea in Jakarta are treated with antibiotics. Data on the prevalence and clinical manifestations of viral acute diarrhea other than rotavirus are still limited. Research on prevalence and clinical features of viral diarrhea rotavirus, adenovirus, norovirus and astrovirus has not been done in Indonesia. Objective To know the prevalence of acute diarrhea caused by virus in children and its clinical manifestations. Methods A cross sectional study was conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital and Budhi Asih Hospital from February to September 2017. A total of 100 stool specimens were collected from patients aged 6 36 months with acute diarrhea and tested for rotavirus, adenovirus, norovirus and astrovirus by rapid test and then performed for stool analysis. Results Of the 100 specimens, 36 36 were found to be positive for virus causing diarrhea. Rotavirus 74.3 was the most frequently detected, followed by adenovirus 17.9 , norovirus 5.1 and astrovirus 2.6 . Three specimens were found positive by two viruses. Viral diarrhea was seen in 73.2 of children aged under 24 months, of whom 55.6 of them were undernourished. Males were affected 1.5 times as much as females. Vomiting was significantly associated with viral acute diarhhea 66.7 p 0.045 . Other clinical manifestations were passage of diarrheic stools more than 10 times a day 58.3 , dehydration 68.8 , cough 66.7 , rhinorhea 77.8 , fever 80.6 , and yellow greenish stools 44.4 . Stool analysis revealed that there was no statistically significant association between viral diarrhea and lactose intolerance pH
Jakarta: Fakultas Kedokteran, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>