Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Erni Hernawati Purwaningsih
"This study is proposed to solve the main problem in the first experiment which has the pitfall of the incorporation of methylprednisolone (MPL) into liposome's membrane. The liposomal-methylprednisolone (L-MPL) has already been formulated by Mishina, et at31.32 and experimented on several studies of organ transplantation in rat, successfully. But, all procedures even using other combination and ratio of lipids are irreproducible methods. The pitfall of the incorporation of MPL into liposome's membrane is caused by the micelle formation of MPL.
To reduce or may be to inhibit the micelle formation of MPL that usually formed spontaneously when it is dispersed in aqueous media, the reactive -OH group at C21 position should have been esterified with palmitate to enhance the lipophilicity of the drug. This reaction, based on the Benameur's method, yielded 71% of pure methylprednisolonepalmitate (MPLP) as a new drug. To analyze the properties of this drug such as the stability or the availability of the drug both in liposome's membrane and in several organs in vivo, several studies have already been done in this study using sophisticated equipment.
The incorporation of the new drug , MPLP, into liposome's membrane of a conventional liposome of Egg-yolk Phosphatidylcholine (EPC) was 70 %_ The incorporation was increased to approximately 95 % in liposome's membrane of EPC and tetra ether lipids (TEL) from Sulfolobus acidocaldarius as a stabilizer of the liposomal membrane The newest drug that is proposed in evaluating the stability of the drug in vitro and the distribution of the drug on several organs in mice is liposomal- methylprednisolone-palmitate (L-MPLP).
The stability of L-MPLP in vitro was evaluated on their particle size. They were more stable at 20° C for 9 days of incubation than at room temperature. In vivo study of L-MPLP were shown as a distribution of the metabolite of MPL or MPLP on several organs on TLC where the distribution in the liver has more higher than in the spleen, kidney, thymus, and bone-marrow, in sequence. The distribution of the metabolite of L-MPLP in the liver has also shown higher than the metabolite of the control group of liposome, MPL, or MPLP as a free drug.
Because of these successful results, this experiment will have to be continued to improve the stability of this drug and to analyze the other effects on immunosuppressive properties, toxicity, pharmacokinetics and pharmacodynamics of the drug."
Depok: Universitas Indonesia, 2002
D269
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumamur P. K.
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Batas Sehat Pemaparan Kerja (BSPK) dan standar operasional Batas Pemaparan Kerja Operasional (BPKO) merupakan konsep yang terakhir dalam perlindungan kesehatan tenaga kerja. Penelitian ini menguji penerapan BSPK sebagai suatu standar praktek higene perusahaan dan kesehatan kerja (Hiperkes). Pengujian penerapan BSPK kepada timbal (Pb) pada pabrik aki bertujuan menentukan besarnya BSPK untuk timbal, menilai standar yang sekarang berlaku yaitu kadar timbal udara sebesar 150 pg/m3 dan menyusun BPKO untuk timbal atas dasar nilai BSPK tersebut. Untuk pengujian penerapan BSPK timbal dipergunakan kelompok kelola yang terdiri atas 97 dan 44 orang laki-laki dan wanita yang sehat, tidak mengalami pemaparan timbal dan berusia lebih dari 20 dan kurang dari 55 tahun, dan tenaga kerja pria yang mengalami pemaparan timbal pada pabrik aki nomor 1, 2, 3, dan 4 dengan masing-masing 153, 112, 41 dan 111 orang serta 43, 20 dan 38 tenaga kerja wanita pada pabrik aki nomor I, 2 dan 4. Kadar timbal darah atau larutan sampel debu timbal udara ditentukan dengan metoda spektrofotometri absorpsi atom tanpa nyala api. Kadar seng-protoporfirin sel darah merah diukur secara flu orometri menurut metoda ekstraksi dengan etanol. Pengambilan sampel debu dari udara dilaksanakan dengan mempergunakan alat pengambil sampel debu perorangan. Selain itu, diperiksa pula kesehatan, kadar Hb, hematokrit, dan adanya sel darah merah bernoktah basofil.
Hasil dan Kesimpulan: Pada kelompok kelola pria dan wanita yang berusia rata-rata 33,1 (DS = 8,3) dan 27,6 (DS = 5,4) tahun, rata-rata kadar timbal darah adalah 117,3 (DS = 61,0) dan 102,2 (DS = 49,4) pg/l masing-masing untuk pria dan wanita. Adapun rata-rata kadar sengprotoporfirin sel darah merah pada kelompok kelola adalah 534,2 (DS = 174,2) dan 571,5 (DS = 173,6) pg/l masing-masing untuk pria dan wanita. Kadar seng-protoporfirin sel darah merah yang dipakai untuk menetapkan BSPK timbal darah dan didapat dari rumus nilai rata-rata kadar normal + 2 deviasi standar dengan ditambah 50 % dan nilai jumlah tersebut adalah 1324 dan 1378 pig/1 masing-masing bagi pria dan wanita. Nilai BSPK timbal darah untuk pria ditemukan sebesar 376,8 gel dengan batas nilai dari 331,2 sampai dengan 422,4 pg/l (p 0,05). Nilai BSPK timbal darah bagi pria ini diperoleh dengan menggunakan persamaan-persamaan garis regresi dari masing-masing, pecahan atau gabungan tenaga kerja pabrik aid nomor 2, 3 dan 4. Koefisien korelasi antara kadar seng-protoporfirin sel darah merah dan kadar timbal darah pada tenaga kerja terse but secara statistik adalah bermakna atau sangat bermakna ( p adalah < 0,05, <0,01 atau <0,001 ). Nilai BSPK ini adalah nilai rata-rata dari seluruh nilai BSPK yang dihasilkan oleh delapan persamaan garis regresi. Nilai BSPK timbal darah untuk wanita adalah 306,9 pg/l dengan batas nilai dari 269,7 sampai dengan 344,0 pg/1 (p = 0,05). Nilai BSPK timbal darah untuk wanita ini ditetapkan dengan menggunakan nilai BSPK timbal darah untuk pria setelah diadakan penyesuaian atas dasar data kadar timbal darah dan kadar seng-protoporfirin set darah merah pada kelompok kelola pria dan wanita. Nilai BSPK tersebut dapat dikatakan sama dengan nilai yang ditetapkan oleh Kelompok Studi Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) yaitu 400 pg/l dan 300 pbf l masing-masing untuk pria dan wanita (masing-masing p > 0,05). Kadar timbal udara ternyata tidak berkorelasi secara statistik bermakna dengan kadar timbal darah (masing-masing p > 0,05). Sebagai standar BPKO, kadar tertinggi timbal darah yang tidak boleh dilewati guna melindungi kesehatan tenaga kerja adalah 700 pgf 1 bagi pria dan 600 pg/l bagi wanita. Se-lain itu, pada kadar timbal darah 500-599 pg/l terjadi kenaikan secara kentara reaksi dalam bentuk kadar seng-protoporfirin sel darah nierah yang sama atau lebih besar dari 3000 pg/l. Selanjutnya, kadar timbal udara yang tidak boleh dilewati sebagai standar operasional higene dan lingkungan dianjurkan sebesar 70 pgjm3 debu timbal yang respirabel dalam udara. Kadar timbal udara ini tidak boleh dipakai untuk pemantauan dan pengendalian tingkat pemaparan timbal kepada tenaga kerja, melainkan hanya petunjuk bagi aplikasi dan penilaian ketepatan teknologi pengendaiian kadar timbal dalam udara tempat kerja. Dengan demikian, maka standar NAB sebesar 150 pgfm3 timbal dalam udara perlu ditinjau kembali serta disesuaikan dengan standar BPKO untuk timbal sebagai hasil penelitian ini."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1986
D178
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akmal Taher
"ABSTRAK
Impotensi seksual adalah keadaan dimana ereksi penis tidak dapat dicapai atau dipertahankan untuk melakukan hubungan kelamin. Batasan ini hanya meliputi kemampuan ereksi penis dan tidak melibatkan masalah libido, ejakulasi serta orgasme (KRANE dkk 1989).
Keluhan impotensi, tidak hanya menimbulkan masalah bagi penderita dan pasangannya, akan tetapi bagi seluruh keluarga dan masyarakat lingkungannya. Hilangnya kemampuan ereksi mempunyai dampak lebih besar daripada sekedar kegagalan hubungan kelamin, akan tetapi dirasakan juga sebagai hilangnya sifat kejantanan. Dapatlah dimengerti mengapa keadaan tersebut merupakan sesuatu yang menakutkan bagi penderita. Penderita akan mengalami kecemasan, gangguan komunikasi dan depresi. Dalam keadaan ini keutuhan keluarga sulit untuk dipertahankan lagi (HENGEVELD 1983).
Walaupun angka prevalensi gangguan seksual telah banyak dilaporkan di kepustakaan, akan tetapi kurang dapat menggambarkan masalah kegagalan ereksi. Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 10 juta pria menderita impotensi (SHABSIGH 1988). Impotensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan usia. Keadaan ini diidap oleh sekitar 1.9% pria berusia 40 tahun, angka kejadian ini meningkat menjadi 25% pada usia 65 tahun (KRANE dkk 1989). Angka kejadian ini akan lebih meningkat lagi pada populasi rumah sakit. Impotensi sangat sering timbulImpotensi seksual adalah keadaan dimana ereksi penis tidak dapat dicapai atau dipertahankan untuk melakukan hubungan kelamin. Batasan ini hanya meliputi kemampuan ereksi penis dan tidak melibatkan masalah libido, ejakulasi serta orgasme (KRANE dkk 1989).
Keluhan impotensi, tidak hanya menimbulkan masalah bagi penderita dan pasangannya, akan tetapi bagi seluruh keluarga dan masyarakat lingkungannya. Hilangnya kemampuan ereksi mempunyai dampak lebih besar daripada sekedar kegagalan hubungan kelamin, akan tetapi dirasakan juga sebagai hilangnya sifat kejantanan. Dapatlah dimengerti mengapa keadaan tersebut merupakan sesuatu yang menakutkan bagi penderita. Penderita akan mengalami kecemasan, gangguan komunikasi dan depresi. Dalam keadaan ini keutuhan keluarga sulit untuk dipertahankan lagi (HENGEVELD 1983).
Walaupun angka prevalensi gangguan seksual telah banyak dilaporkan di kepustakaan, akan tetapi kurang dapat menggambarkan masalah kegagalan ereksi. Di Amerika Serikat diperkirakan sekitar 10 juta pria menderita impotensi (SHABSIGH 1988). Impotensi merupakan penyakit yang berhubungan dengan usia. Keadaan ini diidap oleh sekitar 1.9% pria berusia 40 tahun, angka kejadian ini meningkat menjadi 25% pada usia 65 tahun (KRANE dkk 1989). Angka kejadian ini akan lebih meningkat lagi pada populasi rumah sakit. Impotensi sangat sering timbul pada penderita kencing manis, sklerosis multipel, penyakit tekanan darah tinggi ataupun gagal ginjal.
Pada suatu survai, didapatkan sekitar 50% pria penderita kencing manis ternyata mengalami impotensi (LINCOLN dkk, 1987). TUTTLE dkk melaporkan bahwa sekitar 10% penderita infark otot jantung ternyata menderita kehilangan kemampuan ereksi yang menetap. Keadaan ini juga sering diketemukan pada pria dengan penyakit hipertensi arterial, dengan angka kejadian yang bervariasi antara 20-30% tergantung pada jenis obat-obatan yang digunakan (WEIN dan ARSDALEN, 1988).
Sampai saat ini belum pernah ada laporan angka kejadian impotensi seksual di Indonesia. Faktor psikologis, yang menyebabkan penderita tidak mencari pengobatan ke rumah sakit diduga merupakan penyebab seolah-olah rendahnya angka kejadian ini. Hal ini dapat mengaburkan besarnya permasalahan yang ada. Lebih jauh lagi, langkanya dokter yang terlatih dan sarana diagnostik yang memadai menyebabkan pelayanan penderita impoten secara ilmiah tidak memuaskan."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1993
D410
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Iskandar Wahidiyat
"ABSTRAK
Istilah thalassemia berasal dari kata Yunani, yaitu Talassa yang berarti taut. Mula-mula istilah ini dipakai oleh WHIPPLE dan BRADFORD pada tahun 1936. Yang dimaksud dengan Taut tersebut ialah Laut Tengah, oleh karena penyakit ini mula-mula banyak dikenal di daerah sekitar Laut Tengah. Sebenarnya gejala-gejala penyakitnya telah dikenal sejak tahun 1925 oleh COOLEY dan LEE sehingga penyakit itu disebut pula penyakit COOLEY. Penyakit thalassemia diturunkan secara resesif, menurut hukum MENDEL dari orang tua kepada anak-anaknya (VALENTINE dan NEEL, 1944).
Istilah penyakit tersebut meliputi suatu keadaan penyakit dengan variasi yang luas, yaitu dari gejala klinis yang paling ringan (bentuk heterozigot) hingga yang paling berat (bentuk homozigot). Bentuk heterozigot ini disebut thalassemia minor, sedangkan yang homozigot disebut thalassemia major. Di antara kedua keadaan itu terdapat berbagai tingkat keadaan penyakit. Dikenai pula suatu keadaan penyakit yang disebut thalassemia intermedia. Pada keadaan ini gejala klinisnya tidak seberat pada thalassemia major dan sifat genetiknya diduga berbentuk heterozigot ganda (double heterozygote).
Meskipun telah banyak dilakukan penyelidikan dalam berbagai bidang mengenai penyakit ini tetapi hingga sekarang masih banyak sekali persoalan mengenai thalassemia yang belum diketahui. Persoalan yang masih merupakan teka-teki ini bukan saja bagi para sarjana kedokteran, tetapi juga bagi para ahli biokimia, genelika, epidemiologi dan mungkin juga bagi para ahli sejarah, ahli bangsa-bangsa dan ilmu bumi. Hingga sekarang belum diketahui dengan pasti mengapa sel darah merah penderita thalassemia itu umurnya pendek, mengapa pada seorang anak gejalanya lebih ringan daripada yang lain, mengapa pada suatu keluarga semua anak-anaknya terkena thalassemia major sedangkan pada keluarga lain hanya seorang saja anaknya yang terkena di antara sekian banyak saudara-saudaranya. Padahal menurut hukum Mendel dari perkawinan 2 pembawa sifat ini secara teoritis akan menimbulkan 25% daripada anak-anaknya menderita thalassemia major, 50% sebagai pembawa sifat dan 25% lagi ialah anak yang genotip maupun fenotipnya sehat. Di samping hal-hal yang disebut tadi masih banyak sekali persoalan yang belum dapat dipecahkan. Suatu hal yang lebih berat lagi ialah bagi penderita thalassemia itu sendiri, bahwa hingga saat ini belum ditemukan pengobatan yang dapat menyembuhkannya atau yang dapat mencegah timbulnya penyakit Thalassemia major hampir selalu diakhiri dengan kematian menjelang umur dewasa, bahkan kebanyakan sudah meninggal pada umur kurang dari 10 tahun."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1979
D419
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asman Boedisantoso Ranakusuma
"Diketahui kekerapan diabetes melitus (DM) sangat tinggi pada sirosis hepatitis (SH) post netkrotik (makronodular) yang diidap 90% pasien di Indonesia. Meskipun demikian patofisiologisnya tetap belum jelas dan sampai saat ini kelompok pasien SH DM belum dicantumkan dalam klasifikasi baru diabetes melitus 1980. Oleh karena itu penelitian ini akan menilai kemampuan fungsional dan cadangan sel beta pankreas serta memberikan nama dan pendekatan klinis pada diabetes melitus tipe sirosis hepatis untuk kelompok pasien yang disebut sirosis hepatis untuk kelompok pasien yang disebut sirosis hepatis dengan diabetes melitus agar sesuai dengan klasifikasi diabetes melitus baru 1980. pada akhirnya akan disusun patofisiologi DM tipe SH"
Depok: Universitas Indonesia, 1986
D277
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Azis Hanafi
"ABSTRACT
As the center of national defense and security system, The Indonesian Armed Forces requires a certain complement of strong troops within a relatively slender organization, but effective and efficient, consisting of professionally well trained soldiers. With such a kind of requisite, it was necessary to focused on the system to examine the health condition and physical fitness of the men power resources in accordance to standardized soldier?s health test system, which should be easy and inexpensive, effective and efficient enough and could be applied in extensive mass health selection. Meanwhile there was a problem observed in Gatot Soebroto Hospital as the top referral hospital of The Armed Forces Health Service, indicated the increased CHD prevalence among the soldier's society within 10 years from January 1976 to December 1985 as the following reports :
1.The number of cardiac patients, both the ambulatory as well as the admitted patients, showed the tendency to increase from year to year.
2.In regards to the type of Cardiovascular Disease, CHD was found being the majority.
3.CHD was mostly found among active soldiers in the top of soldier's career in their productive ages beyond high positions in the armed services.
4.CHD showed high enough morbidity and mortality rates.
5.The clinical manifestations of CHD often appeared as unexpected episodes of AMI and often ended as unexpected cardiac deaths in their first attacks.
The underlying causes of high morbidity and mortality of CHD was hypothesized to be due to inadequate health examinations of candidates and soldiers during extensive mass health screening. In clinical observation it was seen that the health test system recently applied was still not effective enough, chiefly because it could not anticipate the tendency of CHD to appear during their active duty in the armed services."
1993
D59
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oentoeng Iskandar
"ABSTRAK
Sel limfosit darah perifer dan sel fibroblast kulit manusia, yang telah dibenihkan dapat dipakai untuk penelitian mutagenita in vitro. Begitu pula SCE dapat digunakan sebagai titik akhir biologik untuk mengukur mutagenitas beberapa agens. Pambenihan sel limfosit darah perifer mudah dan sederhana. Oleh karena itu sel limfosit merupakan bahan pilihan terbaik untuk menganalisa kromosom dalam pemeriksaan rutin diagnostik sitogenetik. Pada keadaan-keadaan tertentu, misalnya pada pemeriksaan ?point mutation" pembenihan sel fibroblast sangat diperlukan. Penelitian-penelitian yang dikemukakan dalam tesis ini diawali dengan usaha untuk mengembangkan suatu metoda baru yang lebih baik, untuk mendeteksi micronucleus didalam sel darah limfosit perifer, sehingga dapat digunakan untuk mengukur efek-efek mutagen. Karena micronucleus itu berasal dari fragmen kromosom yang tidak mengandung sentromir, sehingga ditinggalkan di dalam sitoplasma ?daughter cell" pada mitosis, maka adalah penting pada metoda
yang diperbaiki itu, untuk mempertahankan keutuhan sitoplasma sel limfosit. Pencampuran sel darah limfosit perifer dengan suatu larutan hipotonik lemah, merupakan suatu langkah penting untuk mempertahankan agar sitoplasma itu tetap utuh. Secara eksperimental dapat ditemukan bahwa larutan hipotonik lemah tersebut ialah suatu campuran garam faali (0,9 8 natriu klorida) dan 5,6 gr/1 kalium klorida dengan perbandingan 10 dan 1. Campuran ini ternyata mempunyai tekanan osmotik sebesar 285 milliosmol. Bila metoda ini digunakan, maka membedakan suatu
struktur yang mirip micronucleus (umpama fragmen dari sel yang sedang mengalami kemunduran dan akan mati) dan micronucleusnya sendiri tidaklah sukar lagi. Ternyata metoda yang telah diperbaiki ini dapat pula diterapkan pada sel fibroblast manusia, untuk mempertahankan agar sitoplasma itu utuh, sehingga micronuoleus yang terletak didalamnya dapat dideteksi. (lihat karangan IV dan gambar 16). Sel fibroblast itu berubah menjadi hulat, dengan sitoplasma yang utuh. Bila didalamnya terdapat micronucleus, akan tampak jelas. Frekuensi micronucleus spontan pada penderita "chromosomal breakage disease" (Fanconi'S anemia, karangan IV; Blackfan Diamond, karangan II; Down?s syndrome, karangan VI) dengan mudah dapat ditentukan. Ternyata freknensi spontan pada penderita penyakit tersebut lebih tinggi daripada pada orang normal. Karena micronucleus ltu didalam sitoplasma dapat tinggal lama, maka sel yang mengandunqnya dapat diperiksa dari pembenihan, pada saat mana saja setelah proses tersebut dimulai. (Yang optimum adalah 72 jam setelah dibenihkan). Dari panelitian dapat disimpulkan bahwa frekuensi micronucleus spontan dapat digunakan untuk mandeteksi adanya suatu "chromosome breakage syndrome". Kesederbanaan atau mudahnya tehnik yang diperbaiki ini sehagai metoda untuk pemeriksaan atau pengukuran efek-efek mutagen dapat dilihat dari makalah II dan VI untuk MMC dan sinar X, makalah III untuk Aflatoxin B1, serta karangan IV untuk acataldehida dan akhirnya karangan V untuk EMS dan MMC. Peningkatan efek-efek mutagen Aflatoxin B1 olah ?S9 mix" dapat diukur dengan frekuensi MN yang meningkat, hal mana dapat dipelajari di makalah III. Analisa kelainan atruktur kromosom dan
frékuensi MN (yang timbul karena dirangsang) pada yenderita Down's syndrome dan pada orang normal disajikan dalam tulisan VI. Didalam eksperimen ini ditunjukkan pula kepekaan sel limfosit darah penderita Down's syndrome pada sinar X. yang mennnjukkan adanya hubungan dengan umur, serta refleksinya dapat terlihat pada frekuensi disentrik dan M yang meninggi. Data yang diperoleh, memperkhat pula kesimpulan-kesimpulan Hedrile yang menyatakan bahwa meningkatnya frekuensi MN lebih merupakan refleksi kelainan jenis "exchanges" daripada frekuensi " chromosome breaks ". Suatu kesan yang kuat tentang kemungkinan adanya suatu respons in vitro yang berbeda dan bersangkut-paut dengan sex, disajikan dalam karangan VI. Tldak adanya perbedaan respons semacam itu untuk MMC, juga disajikan dalam karangan tersebut. Pada penelitian ini meningkatnya frekuensi M yang berbeda antara pria dan wanita akibat exposure pada EMS, merupakan hukti adanya perbedaan yang herkaitan dengan sex. Kesimpulan ini diperkuat dengan analisa dari frekuensi SCE yang meninggi pada wanita, akibat pemaparan sel limfosit A nya pada BMS. Frekuensi MN akibat pemaparan pada EMS, nenunjukkan perbedaan yang menyolok antara pria dan wanita, tetapi tidaklah demikian halnya dengan response terhadap MMC. Karena data SCE tidak dapat dihasilkan untuk donor VI, suatn kesimpulan yang tegas belumlah dapat dibuat. Tetapi penemuan lain, menimbulkan dugaan yang kuat tentang adanya suatu respons yang
herbeda terhadap EMS bagi pria dan wanita, tetapi tidak untuk MMC. Hasil-hasil yang didapat dari semua eksperimen menunjukkan bahwa metoda yang diperbaiki untuk mendeteksi MN dalam sel limfosit manusia dan sel fibroblast itu mudah, cepat dan dapaf disesuaikan dengan tujuan suatu penelitian. Karenanya faedah dari etoda ini dihari kamudian nampaknya besar. Jadi apa yang diramalkan dalam hipotesa itu ternyata benar.

ABSTRACT
Peripheral blood lymphocytes and cultured skin fibroblasts can be used as materials for in vitro mutagenicity studies, using chromosomal aberrations, micronuclei, as well as SCEs as biological endpoints for assessing mutagenicity of diverse agents. However, for routine diagnostic cytogenetic work, in clinics culture of peripheral blood lymphocytes is really the material of choice, in view of the ease and simplicity with which they can be cultured and processed for chromosomal analysis. In some situations, such as point mutation studies, culture of fibroblasts is essential. The studies in this thesis were initiated to develop an improved method for the detection of MN in peripheral human lymphocytes, which can be used for assaying effects of mutagens. As a micronucleus is left behind in the cytoplasm of a daughter cell following cell division, it should be important in an improved method to preserve the cytoplasm of the lymphocytes intact. Mild hypotonic treatment was found to be the important step in preserving cytoplasm. This mild hypotonic solution consists of a mixture of physiological saline (0.9% sodium chloride) and 5,6 gr/l potassium chloride with a proportion of 10 to 1, of which the osmotic pressure was found to be 285 milliosmol.
To distinguish an intracytoplasmic localized micronucleus and other structures resembling M is very easy by this method. This improved method seems also to be applicable for human fibroblasts, with regard to preserving the cytoplasm intact for detecting a micronucleus (see paper IV and figure 16), The fibroblasts are transformed to a spherical shaped cell with an intact cytoplasm and a micronucleus inside when present. The frequencies of spontaneous M in normal individuals, and in patients with chromosomal breakage disease (Fanconi's anemia, paper IV; Blackfan Diamond, paper II; and Down's syndrome paper VII), can be easily determined. The frequencies are higher in chromosomal breakage syndrome when compared to normal. Since MN persists for a long time, a larger number of cells carrying them can be scored in the culture at any time following initiation. From these studies we can conclude that the frequencies of spontaneous MN can be used easily for detection of a chromosome breakage syndrome. The ease with which the improved method can be used as a method of assay for effects of mutagens are also demonstrated in papers II, VI, VII for MMC and X-ray irradiation, paper III for Aflatoxin Bl, paper IV for acetaldehyde, paper VI for EMS and MMC.
The enhancement of effect of Aflatoxin B1 by S9 mix, assessed by the frequencies of induced MN, is.also shown in paper III.
An analysis of the induced chromosomal aberrations and micronuclei in Down's syndrome patients and in normal individuals is presented in paper VII. In this experiment is shown the age related sensitivity the patients to X-ray, which is reflected in the yield of both dicentrics and micronuclei: Our data also support Heddle's conclusion that the increase of frequencies of micronuclei is more a reflection of the exchange type of aberrations, than the frequencies of chromosome breaks.
A strong.suggestion about the possible existence of a sex related difference of in vitro responses between male and female to aus is presented in paper VI. The absence of such difference for MMC is also shown in that paper. In this study, the differential increase of frequencies of induced M , following exposure to EMS between male and female, provides some evidence to conclude a sex related difference of responses. This conclusion is supported by the analysis of the frequencies of induced SCEs (for each treatment as well as controls) The frequencies of induced HN, show a considerable difference between male and female donors, which is not the case following exposure to MMC. As SCE data are not available for donor VI, a firm conclusion cannot be reached as yet. But the other findings, strongly suggest the existence of a sex related response to EMS, but not for MMC.
The results obtained from all experiments indicate that the improved method for the detection of MN in human lymphocytes and fibroblasts, is easy, fast amdadaptable to the aim of an investigation. Therefore the utility of this method in the future investigations appears to be high, It is clear, that what is stated in the hypothesis is true."
1981
D1102
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Endang Susalit
"Penderita gagal ginjal kronik progresif yang tidak dapat diatasi dengan pengobatan konservatif akan mengalami gagal ginjal tahap akhir. Untuk kelangsungan hidupnya, penderita gagal ginjal tahap akhir memerlukan terapi pengganti yang dapat berupa hemodialisis, dialisis peritoneal, atau transplantasi ginjal.
Penanggulangan gagal ginjal di Indonesia belum mencapai hasil yang diinginkan, walaupun sudah dilakukan sejak tahun 1960-an, karena sarana yang ada sekarang masih terbatas (3). Transplantasi ginjal yang berhasil sebenarnya merupakan cara penanggulangan gagal ginjal tahap akhir yang ideal karena dapat mengatasi seluruh jenis penurunan fungsi ginjal (3). Selain itu, transplantasi organ tubuh menipakan prosedur klinik yang sudah diterima di seluruh dunia.
CycIosporine-A (siklosporin) merupakan obat imunosupresif pilihan pada transplantasi organ karena sudah berhasil meningkatkan angka ketahanan hidup (survival) organ, tanpa menimbulkan supresi sumsum tulang. Meskipun pada transplantasi ginjal siklosporin telah dapat meningkatkan angka ketahanan hidup ginjal dan penderita secara dramatis, obat ini mempunyai beberapa efek samping, antara lain yang terpenting adalah efek nefrotoksisitas.
Efek nefrotoksisitas siklosporin dalam klinik dapat terjadi secara akut dan kronik. Faktor yang berperan pada tipe akut adalah penurunan aliran darah ginjal sebagai akibat vasokonstriksi arterial aferen glomerulus, sedangkan pada tipe kronik disebabkan oleh iskemia kumulatif sebagai akibat vasokonstriksi arleriol aferen glomerulus pada fase akut dan lesi iskemik vaskuler yang berupa arteriolopati sebagai akibat pengaktifan trombosit lokal. Efek nefrotoksisitas sebagai akibat penggunaan siklosporin jangka panjang yang berupa arteriolopati sukar dihambat, sedangkan efek vasokonstriksi akin siklosporin masih mungkin dikurangi; misalnya dengan penambahan obat seperti antagonis kalsium yang dapat menghambat efek vasokonsriksi tersebut.
Antagonis kalsium dikenal sejak tiga dekade yang lalu. Namun, baru pada dekade terakhir manfaat golongan obat ini terhadap fungsi ginjal diselidiki secara lebih mendalam. Antagonis kalsium termasuk kedalam golongan obat antihipertensi dan pemakaiannya semakin banyak di Indonesia.
Beberapa penelitian sudah dilakukan dengan mencoba memberikan antagonis kalsium bersama siklosporin, baik pada hewan percobaan maupun dalam penelitian klinik. Penelitian tersebut menyimpulkan bahwa antagonis kalsium verapamil dan diltiazem agaknya bermanfaat mengurangi nefrotoksisitas yang disebabkan oleh siklosporin, walaupun faktor yang berperan belum diketahui secara pasti. Antagonis kalsium verapamil dan diltiazem dilaporkan dapat meninggikan kadar siklosporin dalam darah resipien, yang disebabkan oleh metabolisme kompetitif obat tersebut dan siklosporin pada sistem enzim sitokrom P-450 dalam hepar. Antagonis kalsium golongan dihidropiridin, kecuali nikardipin, dilaporkan tidak mengganggu metabolisme siklosporin karena golongan obat ini tidak terlalu lerkonsentrasi dalam hepar.
Amlodipin yang termasuk kedalam golongan dihidropiridin generasi terbaru, mempunyai beberapa kelebihan jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Kelebihan tersebut di anlaranya adalah mempunyai rasio selektivitas vaskuler yang sangat tinggi dan dosis hanya sekali sehari, serla tidak menimbulkan efek inotropik negatif, aritmia, dan takikardia. Selain itu. efek samping seperti sakit kepala, pusing, dan edema lebih ringan dan lebih jarang terjadi. Amlodipin dengan dosis 5-10 mg sekali sehari sudah dibuktikan dapat menaikkan laju filtrasi glomerulus 13% dan aliran plasma ginjal efektif 19%, serla mcnurunkan resislensi vaskuler ginjal 25% pada penderita hipertensi esensial (18). Seperti diketahui, laju filtrasi glomerulus dan aliran plasma ginjal efektif menggambarkan fungsi glomerulus dan tubulus. Secara keseluruhan kedua fungsi tersebut dapat menggambarkan fungsi ginjal..."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
D369
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soehardjono Sastromihardjo
"Pengelolaan diare akut pada bayi dan anak telah mengalami kemajuan pesat sejak ditingkatkannya pengetahuan tentang faktor-faktor yang menjadi penyulit (komplikasi) diare akut. Sejak sebelum tahun 1960 pada waktu angka kematian diare akut di Bangsal Anak RSCM/FKUI masih 60,2 % diketahui bahwa komplikasi diare akut berupa asidosis merupakan salah satu penyebab utama kematian, maka cairan intravena yang semula terdiri dari glukosa dan NaCl 0.9 % dimodifikasi dengan menambahkan Na-laktat. Penggunaan cairan baru tersebut menyebabkan penurunan angka kematian dari 60,2 %menjadi 20,2 %.
Pengalaman Sutejo dkk. di atas telah ntenggugah penulis untuk mempelajari lebih lanjut masalah diare akut, sehingga penanggulangannya akan lebih baik dan lebih memadai dengan hasil angka kematian dapat diturunkan. Faktor penyebab kematian berupa komplikasi lain (renjatan dan hipokalemia) dan masalah lain yang berkaitan dengan diare akut belum sepenuhnya ditanggulangi secara memadai dan menyebabkan angka kematian diare akut masih tinggi.
Masalah lain yang berkaitan dengan diare akut tersebut ialah antara lain penyakit penyerta (PEM atau malnutrisi protein energi, ensefalitis. bronkopneumonia, sepsis dan lainnya), diare akut yang melanjut dan diare akin pada penyakit bedah usus (Hirschsprung, 'Necrotizing enterocolitis, NEC' dan lainnya ). Yang cara penatalaksanaan termasuk pendekatan diagnosis dan pengobatannya adalah berbeda. Pada tahun 1980 angka kematian karena diare akut dan penyakit penderita masih tinggi. berkisar antara 14 dan 20 %.
Di komunitas, berdasarkan penelitian rumah tangga ('household study') di Indonesia pada tahun 1980 diperkirakan kematian oleh karena diare merupakan l8 % dari seluruh kematian penduduk per tahun, besarnya masalah kematian bayi disebabkan oleh diare digambarkan oleh angka-angka berikut, jumlah kematian bayi pada tahun 3980 karena diare adalah 24% dari seluruh kematian. Jumlah bayi Indonesia pada tahun 1980 adalah 35.9 x 147.500.000 = 5.295.250. Angka kematian hayi ('infant mortality rate') 1.000 di Indonesia adalah 100 per 1.000 bayi.
Diare akut pada bayi dan anak merupakan masalah karena :
(a) kematian penderita disebabkan oleh diare akut masih tinggi dan pengobatan (penanggulangan) terhadap komplikasinya berupa dehidrasi berat/renjatan dan hipokalemia belum memadai (di klinik);
(b) pengaruh daripada faktor penyakit lain seperti penyakit penyerta (PEM, penyakit bedah usus dan lainnya) pada diare akut yang akan memperberat penyakitnya dan pengobatan yang belum memadai."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1985
D381
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Oo Suprijana
"Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh dari macam lemak dalam diet terhadap kemampuan belajar dan komposisi asam lemak otak pada tikus putih. Dalam penelitian ini dilakukan dua eksperimen secara terpisah. Dalam ekperimen pertama, terhadap dua kelompok tikus yang sedang bunting, masing-masing diberikan suatu diet eksperimen (dalam bentuk pelet) yang mengandung 9% lemak yang berupa minyak kelapa atau minyak kedele, dimulai sekitar dua minggu sebelum melahirkan. Setelah disapih kepada anak-anak tikus tetap diberikan diet yang sama dengan induk sampai dilakukan uji kemampuan belajar dan selanjutnya dibunuh Eksperimen kedua dirancang serupa dengan ekperimen pertama kecuali diet yang diberikan disini (berbentuk tepung) mengandung 9% minyak kedele atau minyak ikan Diet yang digunakan dalam penelitian ini adalah isoenergitik dan isonitrogen.
Terhadap anak-anak tikus (jantan don betina dalam berbagai umur) dilakukan apa yang disebut.passive avoidance test, food retrieval test, dan small open field test_Konsentrasi kolesterol don trigliserida dalam plasma darah diukur, dan komposisi asam lemak pada otak don plasma, balk pada tikus induk maupun pada anak-anaknya jugs dianalisis Jika dibandingkan dengan minyak kelapa, minyak kedele menurunkan konsentrasi kolesterol dan trigliserida dalam plasma darah pada tikus induk dan keturunannya yang betina. Pada keturunan yang jantan efek ini hanya terlihat pada minyak ikan jika dibandingkan dengan minyak kedele. Dibandingkan dengan minyak kelapa, minyak kedele secara bermakna meningkatkan median latency dalam passive avoidance test balk pada keturunan yang jantan maupun yang betina Minyak ikan dan minyak kedele memberikan latency yang serupa. Macam asam lemak dalam diet ternyata tidak memberikan dampak terhadap hasil food retrieval test maupun small open field test.
Komposisi asam lemak otak pada tikus induk secara bermakna dipengaruhi oleh macam asam lemak dalam diet. Dibandingkan dengan minyak kelapa, minyak kedele meningkatkan persentase asam linoleat (C18:2n--6) dan asam dokosapentaenoat (C22:5n-3). Sedangkan minyak ikan bila dibandingkan dengan minyak kedele menurunkan konsentrasi asam linoleat, dan asam arakhidonat (C20:4n-6), tetapi meningkatkan konsentrasi eicosapentaenoat (C20:5n-3) dan asam docosaheksaenoat (C22:6n-3). Efek serupa terlihat pada tikus keturunannya, baik yang jantan maupun yang betina. Akan tetapi selain itu bila dibandinghkan dengan minyak kelapa, minyak kedele juga menaikkan persentase asam dokosaheksaenoat dan asam dokosapentaenoat dan menurunkan asam dokosatetraenoat (C22:4 n--6). Pengaruh minyak ikan dalam diet terhadap komposisi asam lemak lipid plasma sangat jelas terlihat balk pada tikus induk maupun keturunannya.
Dapat disimpulkan bahwa pada kondisi ekperimen yang di_terapkan, macam asam lemak dalam diet dapat mempengaruhi kemampuan belajar pada tikus; pengaruh ini tidak tergantung dari aspek ketaj aman penglihatan (visualacuity). Dibandingkan dengan minyak kelapa, minyak kedele meningkatkan kemampuan belajar, sedangkan minyak ikan jika dibandingkan dengan minyak kedele tidak memberikan pengaruh yang berbeda terhadap kemampuan belajar Komposisi asam lemak pada otak dipengaruhi oleh macam asam lemak dalam diet, tapi tidak ada hubungan jelas antara perubahan komposisi asam lemak otak dengan perubahan dalam kemampuan belajar yang disebabkan oleh perubahan macaw lemak dalam diet. Komposisi asam lemak otak juga dipengaruhi oleh asam lemak dalam diet, tetapi tidak ditemukan hubungan yang jelas antara perubahan komposisi asam lemak otak dengan kemampuan belajar pada tikus.

The effects of the type of fat in the diet on learning ability and brain lipid composition in rats have been studied Two separate experiments were performed. In experiment 1 pregnant rats received a purified diet (in pelleted form) containing 9% w/w of, either coconut fat or soybean oil as from two weeks before parturition After weaning the offspring remained on their mother's diet until they were tested and subsequently killed. In the second experiment, a similar design was fopllowed out, but the diets (in meal form) contained either 9% w/w soybean oil or fish oil The diets used were isoenergetic and isonitrogeneous.
With the offspring (males and females at different ages) the so called passive avoidance test, food retrieval test and small-open-field test were performed. In blood plasma of dams and offspring, plasma cholesterol and triglyceride concentrations were determined Fatty acid composition of whole brain and plasma from both the dams and offspring was analyzed. Soybean oil versus coconut fat and fish oil versus soybean oil were found to lower group mean plasma concentrations of cholesterol and triglycerides in the dams and female offspring_ In the male offspring, however, this effect was seen only for fish oil versus soybean oil. Soybean oil versus coconut fat significantly increased median latency in the passive avoidance test in both male and female offspring_ Fish oil and soybean oil in did produced similar latencies_ The type of fat in the diet had no impact on results of the food-retrieval test or small-open-field test.
Brain fatty acid composition in the dams was significantly affected by the type of fat in the diet. Soybean oil versus coconut fat significantly raised the percentage of linoleic acid (C18.2n-6) and that of docosapentaenoic acid (C22.5n--3)_ Fish oil versus soybean oil lowered the amount of linoleic acid and arachidonic acid (C20=4n-6) but elevated the proportion of eicosapentaenoic acid (C20:5n-3) and docosahexaenoic acid (C22;6n-3)_ In the offspring similar effects were seen, but soybean oil versus coconut fat also raised percentage of docosahexaenoic acid and fish oil versus soybean oil lowered that of docosatetraenoic acid (C22:4n-6). The impact of fish oil on fatty acid composition of plasma lipids was-quite obvious.
It is concluded that under the experimental conditions applied, the type of fat in the diet may influence learning ability in rats, this influence being independent of any aspect of visual acuity_ Compared with coconut fat, soybean oil improved learning ability, whereas fish oil and soybean oil did not differently influence learning ability The fatty acid composition of whole brain lipids was influenced by diet, but there was no clear relation between changes of brain fatty acid composition and changes in learning ability as induced by altered dietary fat type.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 1992
D347
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>