Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marsha Rayfa Pintary
Abstrak :
Perkembangan terapi edema makula diabetik hingga saat ini terus dieksplorasi, dengan terapi anti-VEGF sebagai lini pertama. Yellow Subthreshold Micropulse Laser (SMPL) merupakan inovasi laser fotokoagulasi konvensional yang menargetkan epitel pigmen retina (RPE) telah dianggap aman terhadap populasi kaukasian. Laser tersebut diajukan sebagai alternatif terapi edema makula ringan dengan ketebalan retina di bawah 400 μm. Data prospektif perubahan struktural dan elektrofisiologis SMPL sebagai monoterapi pada non proliferative diabetic retinopathy (NPDR) dengan DME ringan masih terbatas, khususnya di Asia yang memiliki perbedaan ketebalan densitas RPE. Studi eksperimental pre-post tanpa pembanding ini bertujuan untuk mengetahui perubahan Average Macular Thickness (AMT), amplitudo dan waktu implisit gelombang P1 dan N1 mfERG, dan DR score pada DME ringan pasca SMPL. Subyek yang masuk kriteria inklusi dilakukan laser SMPL dengan follow-up untuk menilai AMT dengan Optical Coherence Tomography (OCT) pada 4 dan 8 minggu, serta mfERG, dan DR score menggunakan RETeval Handheld ERG pada 8 minggu pasca laser. Terdapat 15 subyek (17 mata) yang diikutkan pada studi ini. Hasil menunjukkan perbaikan AMT signifikan pada minggu ke-8 pasca laser (p=0.001). Amplitudo dan waktu implisit gelombang P1 dan N1 tidak menunjukkan adanya perubahan bermakna pada setiap ring (p>0.05). Pemeriksaan DR score seluruh pasien DME menunjukkan hasil abnormal sesuai cut-off studi sebelumnya, serta tidak menunjukkan perubahan bermakna antara sebelum dan setelah terapi (p>0.05). Penelitian ini menunjukkan adanya perbaikan anatomis makula dan stabilisasi kondisi sel fotoreseptor dan Muler dilihat dari nilai elektrofisiologis dalam followup 8 minggu. Terapi SMPL dapat dipertimbangkan sebagai alternatif terapi yang aman dan bermanfaat untuk kasus NPDR dengan DME ringan. ......The management of DME is still under investigating and research, with currently intra vitreal anti-VEGF as the mainstay therapy. Yellow Subthreshold Micropulse Laser (SMPL) is a conventional photocoagulation laser innovation that targets retinal pigment epithelium (RPE) and has been reported its safety on Caucasian population. This laser method is considered as an alternative treatment for mild DME with retinal thickness below 400 μm. Prospective data on structural and electrophysiological changes of SMPL as monotherapy in non-proliferative diabetic retinopathy (NPDR) with mild DME are still limited, especially in Asia that has RPE density thickness differences. This pre-post study without comparison aims to determine changes in average macular thickness, amplitude and implicit time of P1 and N1 mfERG, and DR score in mild DME post SMPL. Subjects who met the inclusion criteria underwent SMPL laser was examined using Optical Coherence Tomography for average macular thickness parameter at 4- and 8-week post-laser, as well as mfERG and DR score using RETeval handheld ERG at 8-week post-laser. Fifteen subjects (17 eyes) were included in the study. Remarkable AMT improvement at 8-week post-laser was noted in this study (p=0.001). The amplitudes and implicit times of P1 and N1 waves showed no significant changes in each ring (p>0.05). All DME eyes showed abnormal DR score results at baseline according to the cut-off value of previous studies. There was no significant changes of DR score after therapy (p>0.05). This study showed an anatomical improvement of the macula and stabilization of photoreceptor and Muller cells as seen from electrophysiological values at 8-week follow-up. SMPL can be considered as a safe and beneficial alternative therapy in NPDR cases with mild DME.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwie Aprina
Abstrak :
Latar Belakang: Lensa kontak lunak (LKL) torik digunakan untuk mengkoreksi astigmatisma. LKL torik mengkombinasikan kekuatan lensa sferis, kekuatan dan aksis silinder. Dikarenakan banyaknya kombinasi yang mungkin antara ketiga hal tersebut, LKL torik diproduksi dengan kekuatan dan aksis yang terbatas. Keterbatasan LKL Torik yang tersedia di pasaran menyebabkan peresepan LKL torik pada penyandang astigmatisma tidak sesuai dengan kekuatan dan aksis yang seharusnya. Studi oleh Sha et al. meneliti efek ketidaksesuaian kekuatan dan aksis silinder pada penyandang astigmatisma menggunakan kacamata tanpa memperhatikan jarak verteks, hasilnya didapatkan penurunan ketajaman dan kualitas penglihatan pada ukuran dan aksis tertentu. Tujuan: Melakukan evaluasi atas perubahan kekuatan dan aksis silinder LKL Torik pada penyandang astigmatisma ringan-sedang dalam pengaruhnya terhadap kualitas penglihatan, kepuasan, dan vision acceptability. Metodologi: Penelitian ini merupakan jenis penelitian analitik komparatif numerik berpasangan dengan desain penelitian eksperimental dengan double-masking. Dalam uji ini, 20 penyandang astigmatisma diuji untuk kondisi berikut pada hari yang berbeda: koreksi silinder penuh dan pengurangan kekuatan silinder sebesar 0,50, dan 1.0 D. Dilakukan ketidaksejajaran aksis antara –10° dan +10° pada setiap perubahan kekuatan silider. Pada setiap kunjungan, dilakukan pemeriksaan ketajaman penglihatan dengan Snellen chart, sensitivitas kontras menggunakan Pelli-Robson, serta penilaian kejernihan, kepuasan dan Vision Acceptability menggunakan metode VAS. Hasil: Pengurangan kekuatan silinder memiliki perubahan yang signifikan (P<0.05) terhadap semua variabel. Secara keseluruhan, pengurangan kekuatan silinder 1 D lebih memiliki pengaruh (P<0.005) dibandingkan dengan pengurangan kekuatan silinder 0,5 D. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok astigmatisma derajat ringan dan sedang, kecuali pada variabel ketajaman penglihatan saat dikurangi kekuatan silinder 0.5 D. Ketidaksesuaian aksis dengan menambah atau mengurangi aksis sebesar 10 derajat memiliki pengaruh yang signifikan pada semua variabel, kecuali sensitivitas kontras (P>0.05). Kesimpulan: Pengurangan kekuatan silinder LKL torik sebesar 0,5 dan 1 Dioptri serta perubahan aksis  100 memberikan penurunan yang signifikan terhadap ketajaman penglihatan, sensitivitas kontras, kejernihan, kepuasan dan vision acceptability pada penyandang astigmatisma ringan-sedang. Keywords: Astigmatisma, lensa kontak lunak, lensa kontak lunak torik, ketidaksesuaian aksis, kualitas penglihatan ......Background: Toric soft contact lenses (SCL) are used to correct astigmatism. Toric SCL combines the power of a spherical lens, the power and axis of a cylinder. Due to the numerous possible combinations between sphere powers, cylinder powers, and cylinder axes, manufacturers of disposable soft toric contact lenses limit their toric lens range. Because of the limitation, the prescribing of Toric SCL for astigmatism is not in accordance with the power and axis that should be. The study by Sha et al. examined the effect of discrepancies in the power and axis of the cylinder in astigmatism using glasses regardless of the vertex distance, the result was a decrease in visual acuity and quality at certain power and axis. Objective: To evaluate the changes in the power and axis of SCL Toric in mild-moderate astigmatism in impact on vision quality, satisfaction, and vision acceptability. Methods: In comparative analytic, experimental, double-masking design, 20 people with astigmatism were tested for the following conditions on different days: full cylinder correction and under correction of cylinder power by 0.50 and 1.0 D. Axis was also misaligned between –10° and +10° for each change in cylinder power. For each configuration, participants were examined their visual acuity by Snellen chart, contrast sensitivity with Pelli-Robson Chart, and assessed clarity, satisfaction and vision acceptability using the VAS method. Results: Undercorrecting cylinder power had a significant change (P<0.05) on all variables. Overall, undercorrection by 1 D was more significantly different (P<0.005) than a reduction in cylinder power of 0.5 D. There was no significant difference between the mild and moderate astigmatism groups, except for the visual acuity when undercorrection by 0.5 D. Misalignment by 100 had a significant effect on all variables, except contrast sensitivity (P>0.05). Conclusion: Undercorrection of cylinder of toric SCL by 0.5 and 1 D as well as misalignment of 100 had a significant effect on visual acuity, contrast sensitivity, clarity, satisfaction and vision acceptability in people with mild to moderate astigmatism.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuri Dwi Mayasari
Abstrak :
Glaukoma merupakan suatu kelompok neuropati optik progresif yang ditandai dengan kelainan struktural dan fungsi saraf optik. Fungsi penglihatan yang paling terganggu pada penderita glaukoma adalah lapang pandangan. Pemeriksaan perimetri berguna untuk mengidentifikasidan mengukur defek lapang pandangan serta memperkirakan progresivitas glaukoma. Aplikasi perimetri berbasis tablet atau website sangat berguna untuk pemantauan pasien selama pandemi Covid-19 dan dapat digunakan di daerah terpencil dengan keterbatasan alat Humphrey Field Analyzer (HFA). Perimetri Melbourne Rapid Fields (MRF) merupakan teknologi baru yang terjangkau, mudah dibawa dan andal, serta dapat memberikan manfaat yang sama dengan perimetri HFA.  Tujuan: Menilai kesesuaian hasil perimetri MRF terhadap HFA pada pasien glaukoma derajat sedang– berat dengan tajam penglihatan terganggu. Metode: Penelitian observasional dengan desain potong lintang untuk menilai hubungan tajam penglihatan terhadap kesesuaian hasil perimetri MRF 24-2 dibandingkan dengan HFA 24-2 pada pasien glaukoma derajat sedang-berat. Dilakukan pengelompokan subjek ke dalam dua grup berdasarkan tajam penglihatan. Setiap subjek dilakukan pemeriksaan dengan dua macam alat, urutan pemeriksaan dilakukan randomisasi blok. Pemeriksaan perimetri HFA sebanyak satu kali dan pemeriksaan MRF sebanyak dua kali. Hasil pemeriksaan yang memenuhi kriteria dilakukan analisis komparatif, korelasi, kesesuaian, serta test-retest repeatability.  Hasil: Total 64 mata dari 57 subjek terbagi dalam dua kelompok. Durasi pemeriksaan MRF lebih singkat dibanding HFA (265,7 ± 26,6 vs 384,4 ± 46,7, p < 0,001). Tidak terdapat perbadaan bermakna pada indeks reliabilitas kedua alat. MRF menunjukkan korelasi dan kesesuaian yang sangat kuat dan baik dengan HFA (R = 0,931, ICC = 0,957, p < 0,001 pada hasil mean deviation (MD) dan R = 0,941, ICC = 0,974, p < 0,001 pada hasil Visual Field Index (VFI)). Test-retest repeatability MRF menunjukkan korelasi dan kesesuaian yang sangat baik (R = 0,948, ICC = 0,989, p < 0,001 pada hasil MD dan R = 0,946, ICC = 0,989, p < 0,001 pada hasil Visual Capacity (VC)). Tidak didapatkan korelasi antara tajam penglihatan dengan Root Mean Squared Error (RMSE) hasil MRF, p > 0,05.  Kesimpulan: Hasil perimetri MRF memiliki korelasi yang sangat kuat dnegan HFA. MRF juga menunjukkan hasil test-retest repeatability yang sebanding dengan HFA.Keakuratan hasil MRF tidak berkorelasi dengan perbedaan tajam penglihatan. ......Background: Glaucoma is a group of progressive optic neuropathy characterized by structural and functional abnormalities of the optic nerve. The most impaired visual function in glaucoma sufferers is the visual field. Perimetric examination is useful for identifying and measuring visual field defects and predicting the progression of glaucoma. Tablet or website-based perimetry applications are very useful for monitoring patients during the Covid-19 pandemic and can be used in remote areas with limited Humphrey Field Analyzer (HFA) perimetry. Melbourne Rapid Fields (MRF) is a new perimetry technology that is affordable, portable and reliable, also can provide the same benefits as HFA perimetry. Objective: To assess the agreement of MRF perimetry results with HFA in moderate to severe glaucoma patients with impaired visual acuity. Methods: Observational study with a cross-sectional design to assess the relationship of visual acuity to the agreement of perimetry MRF 24-2 versus HFA 24-2 in patients with moderate-to-severe glaucoma. Subjects were grouped into two groups based on visual acuity. Each subject was examined with two kinds of perimetry, the order of examination was randomized using block randomization. Participants were tested once on HFA and twice on MRF. Examination results that meet the criteria are analyzed for comparative, correlation, agreement, and test-retest repeatability Results: A total of 64 eyes from 57 subjects were divided into two groups. MRF examination duration was shorter than HFA (265.7 ± 26.6 vs 384.4 ± 46.7, p < 0.001). There is no significant difference in the reliability index of the two perimetry. MRF showed a very strong and good correlation and agreement with the HFA (R = 0.931, ICC = 0.957, p < 0.001 in the mean deviation (MD) and R = 0.941, ICC = 0.974, p < 0.001 in the results of the Visual Field Index (VFI)). The MRF test-retest repeatability showed a very good correlation and agreement (R = 0.948, ICC = 0.989, p < 0.001 on the MD and R = 0.946, ICC = 0.989, p < 0.001 on the Visual Capacity (VC)). There was no correlation between visual acuity and Root Mean Squared Error (RMSE) MRF, p > 0.05.  Conclusion: The perimetry results from MRF have a very stong correlation to the HFA outcomes. MRF reveals test-retest repeatability comparable to HFA. The accuracy of MRF results did not correlate with differences in visual acuity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ridho Ranovian
Abstrak :
Latar Belakang: Saat ini, injeksi intravitreal anti-VEGF merupakan tatalaksana medikamentosa lini pertama pada DME. Namun monoterapi bevacizumab dinilai kurang efektif dalam mengobati DME derajat sedang-berat, sehingga meningkatkan jumlah re-injeksi. Selain VEGF, mediator inflamasi juga berperan penting dalam pathogenesis DME. Sehingga diperlukan terapi adjuvant pada kasus dengan respon suboptimal. Tujuan: Mengetahui perbedaan perubahan sensitivitas retina, ketebalan makula sentral (CMT) dan BCVA sesudah dilakukan injeksi intravitreal Bevacizumab dengan kombinasi Triamsinolon Asetonid (TA)  dibandingkan dengan monoterapi Bevacizumab pada pasien dengan edema makula diabetik derajat sedang-berat. Metodologi: Pada studi eksperimental lengan ganda dengan randomisasi blok ini didapatkan sejumlah 28 subjek dengan CMT > 400 mm dibagi menjadi dua kelompok. Subjek pada kelompok intervensi diberikan injeksi kombinasi Bevacizumab 1,25 mg dan TA 2 mg intravitreal, sedangkan subjek kelompok kontrol hanya diberikan injeksi Bevacizumab 1,25 mg. Evaluasi BCVA dan CMT dilakukan pada 1 minggu dan 1 bulan pasca injeksi, evaluasi sensitivitas retina pada 1 bulan pasca injeks, serta peningkatan TIO dan efek samping. Hasil: Pasca 1 bulan injeksi didapatkan penurunan CMT yang lebih besar yang bermakna pada kelompok intervensi (-269,1 (170-413) mm vs -133,6 (50-218) mm, p< 0,001), begitu juga dengan peningkatan sensitivitas retina yang lebih baik pada kelompok intervensi (2,4 (0,02-7,1) dB vs 1,3 (0,16-3,5) dB, p = 0,035). Tidak didapatkan perbedaan bermakna pada luaran BCVA logMAR antar kedua kelompok (0.2 (0-0.5) vs 0.15 (0-0.5)). Kesimpulan: Terapi kombinasi bevacizumab dan TA ini terbukti efektif dan cost-effective sebagai dalam menurunkan edema makula segera dan memperbaiki sensitivitas retina pada pasien DME derajat sedang-berat dan DME persisten. ......Backgrounds: Intravitreal bevacizumab (IVB) monotherapy is less effective in treating moderate-to-severe diabetic macular edema (DME), potentially increasing the number of injections and the risk of permanent vision loss. In addition to VEGF, inflammatory mediators also play an important role in the pathogenesis of DME. Therefore, there is a need for additional treatment options for DME cases with suboptimal response to anti-VEGF therapy. Objectives: To compare the efficacy and safety of the combination of IVB and triamcinolone acetonide (TA) with IVB monotherapy in treating moderate to severe DME. Methods: In this double-arm randomized controlled trial study, a total of 28 DME patients with central macular thickness (CMT) >400 mm were assigned into two groups according to the therapeutic method: 1,25 mg of  bevacizumab combined with 2 mg of  TA as the intervention group and 1,25 mg of IVB as the control group. BCVA and CMT were observed at 1 week and 1 month follow-up, retinal sensitivity was observed at 1 month follow-up, as well as increased IOP and other side effects. Results: CMT reduction after 1 month were higher in the intervention group with statistically significant different (-269,1 mm vs -133,6 mm, p< 0,001) as well as retinal sensitivity improvement also better in the intervention group (2,4 dB vs 1,3 dB, p = 0,035). But there was no statistically different in BCVA changes after 1 month follow-up (0,2 vs 0,15, p= 0,874) between the groups, even though 35,7% of the intervention group has gained more than 10 BCVA letters. No significant increase in IOP were observed at the end of the follow-up. Conclusions: It is effective and cost-effective to treat moderate-to-severe or persistent DME by utilizing TA as an adjunct to anti-VEGF.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ikhwanuliman Putera
Abstrak :
Latar Belakang: Fibrosis dalam bentuk adhesi jaringan maupun jaringan parut teregang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi luaran hasil operasi strabismus. Obat golongan anti-inflamasi non-steroid, salah satunya natrium diklofenak, merupakan obat yang mampu menekan proses inflamasi sehingga dipikirkan dapat memodulasi penyembuhan luka, termasuk fibrosis pada otot ekstraokular pasca operasi strabismus. Tujuan: Membandingkan efek pemberian diklofenak sediaan oral atau tetes mata 0,1% terhadap pembentukan fibrosis pasca operasi strabismus pada hewan coba kelinci model. Metodologi: Penelitian eksperimental ini dilakukan pada kelinci model yang dilakukan operasi reses otot rekrus superior. Dilakukan randomisasi acak terkontrol tiga kelompok dengan membagi kelinci menjadi: kelompok dengan terapi diklofenak oral 2 x 5 mg/kg selama 3 hari (kelompok A), tetes mata natrium diklofenak 0,1% 3x sehari selama 3 hari (kelompok B), dan kontrol (kelompok C). Setelah hari ke-14 pasca operasi, dilakukan enukleasi lalu dinilai skor adhesi makroskopik, histopatologi inflamasi (haematoxylin & eosin), skor adhesi mikroskopik dan persentase area fibrosis (Masson’s trichrome), serta ekspresi α-smooth muscle actin (α-SMA, imunohistokimia) oleh ahli patologi anatomik menggunakan penilaian semi-kuantitatif dan kuantitatif (ImageJ) dengan nilai reciprocal staining intensity (RSI). Hasil: Enam kelinci (12 mata) terbagi dalam tiga kelompok perlakuan. Tidak terdapat perbedaan skor adhesi makroskopik (p=0,13), adhesi mikroskopik (p=0,28), dan histopatologi inflamasi (p=0,26). Persentase area fibrosis kelompok diklofenak tetes mata (12,44 % (8,63 – 18,29)) lebih sedikit dibandingkan kelompok diklofenak oral (26,76 % (21,38-37,56)) maupun kontrol (27,80 % (16,42 – 36,28); uji Kruskal-Wallis p = 0,04, post-hoc kelompok oral vs tetes mata p = 0,03 dan kelompok tetes mata vs kontrol p=0,04). Penilaian ekspresi α-SMA semi-kuantitatif tidak dijumpai perbedaan antar ketiga kelompok. Analisis RSI mendapatkan bahwa kelompok diklofenak tetes mata memiliki ekspresi α-SMA yang lebih rendah (diklofenak tetes mata = 174,08 ± 21,78 vs diklofenak oral = 206,50 ± 18,93 vs kontrol = 212,58 ± 12,06; one-way ANOVA p = 0.03; post-hoc bonferroni diklofenak tetes mata vs kontrol p= 0,04). Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan skor adhesi makroskopik, mikroskopik, serta histopatologi inflamasi antara kelompok perlakuan diklofenak oral, diklofenak tetes mata, maupun kontrol. Pemberian diklofenak tetes mata 0,1% menunjukkan penurunan area fibrosis dibandingkan kelompok diklofenak oral maupun kontrol. Melalui penilaian RSI, terdapat penurunan ekspresi α-SMA dengan pemberian diklofenak tetes mata 0,1%.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Denisa Anggi Kurnia
Abstrak :
Latar Belakang: Sindroma Stevens-Johnson (SSJ) merupakan penyakit autoimun yang menyerang mukosa tubuh penderita dengan angka mortalitas mencapai 35%. Manifestasi okular pada SSJ dilaporkan antara 60-90% kasus. Manifestasi mata kering merupakan keluhan yang dapat ditemui pada fase akut maupun pada fase kronik serta ditemukan pada 46%-59% kasus. Masalah mata kering pada pasien SSJ okular menimbulkan gangguan subjektif seperti sensasi benda asing, nyeri, fotofobia, gangguan penglihatan, dan kesulitan dalam membuka mata. Tatalaksana mata kering pada SSJ okular bervariasi, namun belum didapatkan adanya baku emas terapi untuk pasien SSJ okular dengan mata kering. Tetes mata serum tali pusat saat ini mulai dikembangkan dan dipilih sebagai tatalaksana pada kelainan permukaan okular. Penelitian terdahulu melaporkan efektivitas yang baik dan keamanan dari pemberian tetes mata serum tali pusat pada kasus mata kering. Penelitian-penelitian ini melaporkan perbaikan baik secara subjektif maupum objektif pada kasus mata kering. Meskipun memberikan hasil yang memuaskan, belum terdapat penelitian yang menunjukkan efek pemberiannya pada kasus mata kering terkait SSJ. Tujuan: Menilai efek pemberian tetes mata serum tali pusat pada pasien SSJ okular dengan mata kering dibandingkan dengan penggunaan sodium hialuronat 0,1%. Metode: Uji eksperimental tersamar ganda pada dua kelompok. Kelompok pertama mendapat tetes mata serum tali pusat dan kelompok lain mendapat tetes mata sodium hialuronat 0,1% Hasil: Penelitian berlangsung pada bulan April 2020-Desember 2020 dengan jumlah sampel sebanyak 10 pasien. Rerata usia yaitu 41,8 ± 15,7 dengan jumlah subyek perempuan lebih banyak dari laki-laki (7 vs 3). Sebanyak 6 pasien sudah menjalani operasi mata. Perubahan nilai NIBUT, Schirmer I, dan skor keratoepiteliopati lebih besar bermakna pada kelompok serum tali pusat (1,3 vs 0,15; 2 vs 0,5; 6 vs 0). Perubahan skor OSDI kelompok serum tali pusat lebih tinggi pada kelompok serum namun tidak bermakna secara statistik. Kesimpulan: Secara klinis pemberian tetes mata serum tali pusat menunjukkan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan tetes mata sodium hialuronat 0,1%. ......Background: Stevens-Johnson syndrome (SJS) is an autoimmune disease that attacks the mucosa of the patient with a mortality rate of up to 35%. Ocular manifestations in SJS are reported in 60-90% of cases. Dry eye manifestation is found in the acute phase as well as in the chronic phase and counted in 46%-59% cases. Dry eye problems in ocular SJS patients cause subjective complaints such as foreign body sensation, pain, photophobia, visual disturbances, and difficulty in opening the eyes. The management of dry eye in ocular SJS varies, but there is no gold standard therapy for with dry eye in ocular SJS patients. Umbilical cord serum eyedrops are currently being developed and used as the treatment for ocular surface disorders. Previous studies have reported good efficacy and safety in dry eye patients receiving umbilical cord serum eyedrops. These studies reported both subjective and objective improvements in dry eye cases. Although it gives satisfactory results, there are no studies that show the efficacy in of dry eye patients associated with SJS. Objective: to evaluate the efficacy of umbilical cord serum eyedrops for severe dry eye in ocular SJS, compared with sodium hyaluronate 0,1% eyedrops. Method: a double-blind randomized control trial comparing two groups. Result: From April 2020 – December 2020 there were 10 eyes from 10 patients included in this study. Mean age of our study is 41,8 ± 15,7 and women is more frequent than men (7 vs 3). Six patients had underwent ocular surgeries prior the study. Changes in NIBUT, Schirmer I, and keratoepitheliopathy scores were significantly greater in the cord serum group (1.3 vs 0.15; 2 vs 0.5; 6 vs 0). Changes in the umbilical cord serum OSDI score were higher in the serum group but not statistically significant. Conclusion: Administration of umbilical cord serum eyedrops showed better clinical outcome compared to sodium hyaluronate 0,1% eyedrops.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arcci Pradessatama
Abstrak :
Latar Belakang: Meningkatnya resistensi bakteri okular terhadap levofloxacin mendorong perlunya disiapkan agen alternatif untuk antibiotik intrakamera. Moxifloxacin, golongan florokuinolon generasi baru, memiliki potensi. Metode: Desain penelitian berupa randomized controlled trial (RCT) dengan lengan perlakuan: 0.1 cc moxifloxacin 0.5% dan 0.1 cc levofloxacin 0.5% intrakamera tanpa dilusi pada akhir operasi katarak. Luaran utama penelitian: endothelial cell density (ECD), central corneal thickness (CCT), central macular thickness (CMT), tekanan intraokular (TIO), tingkat peradangan segmen anterior, serta kejadian tidak diinginkan. Hasil: Dari 68 subjek penelitian, tidak didapatkan perbedaan signifikan pada parameter dasar. Pada pengukuran satu hari pascaoperasi, didapatkan TIO yang signifikan lebih tinggi pada lengan moxifloxacin (p=0.004; mean diff=4.9; IK95%=1.7 – 8.2). Tidak didapatkan perbedaan yang signifikan pada luaran utama lain pada hari pertama pascaoperasi. Hasil pengukuran satu minggu dan satu bulan tidak didapatkan perbedaan parameter yang signifikan antara kedua kelompok perlakuan. Kesimpulan: Pada penelitian ini, didapatkan penggunaan 0.1 cc moxifloxacin intrakamera 0.5% menunjukkan profil keamanan yang mayoritas sebanding dengan levofloxacin. Namun, didapatkan parameter tekanan intraokular hari pertama pascaoperasi yang lebih tinggi secara signifikan pada kelompok yang menerima moxifloxacin.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library