Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 9 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Victorius Manek
Abstrak :
Bagi sebagian masyarakat NTT khususnya Pulau Timor terjadi sistem ladang berpindah di masa lalu. Tatkala itu sistem perladangan berpindah merupakan suatu bagian budaya dalam kehidupan komunitas masyarakat di Desa Litamali, Sisi, dan Rainawe. Perladangan dapat diartikan sebagai cara bercocok tanam di atas suatu hamparan areal lahan tertentu terutama di daerah hutan rimba tropik, daerah-daerah sabana tropik dan subtropik. Sistem ladang berpindah adalah sistem perladangan dalam makna usaha yang dilakukan oleh manusia secara berpindah. Sistem perladangan berpindah merupakan akumulasi dari berbagai pengalaman melalui babak perjalanan waktu yang panjang, sebagai hasil penyaringan internal terhadap dinamika perubahan lingkungan. Semua jenis makhluk hidup, besar atau kecil, buas atau jinak, aktif atau tidak, menghadapi masalah pokok yang sama yakni masalah untuk bertahan hidup. Persoalan bertahan hidup menuntut suatu proses penyesuaian diri dari makhluk hidup terhadap lingkungan tempat hidupnya. Penyesuaian diri itu secara umum disebut adaptasi. Dalam konteks petani ladang, perubahan sistem perladangan berpindah membutuhkan adaptasi dari komunitas petani. Tuntutan adaptasi berkaitan dengan pertambahan jumlah penduduk, meningkatnya kebutuhan akan pangan serta peningkatan produktivitas lahan pada luas lahan yang sama. Oleh karena itu, dibutuhkan teknologi baru pertanian yang sekali lagi menuntut adaptasi petani juga. Contoh adaptasi masyarakat tradisional berburu dan meramu dapat dilihat dalam kehidupan suku Pygme, Bushmen, dan Negrito. Dalam kehidupan sehari-hari, suku Pygme, Bushmen, dan Negrito memperoleh pangan dengan meramu tanaman dan buah-buahan, madu dan hewan kecil. Konsekuensinya: a) gerak tinggal suku ini tidak pernah menetap, selalu mengikuti sumber-sumber persediaan pangan, b) pengetahuan dan teknologi yang dibuat lebih difokuskan pada upaya pemenuhan kebutuhan pangan dan c) perpindahan terjadi ketika persediaan pangan di suatu wilayah tidak mencukupi kebutuhan lagi, sehingga perlu berpindah ke lokasi baru. Perilaku ini juga dimaknai sebagai awal mula adanya upaya adaptasi suatu komunitas masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan pangannya mengikuti siklus alam sehingga perlu berpindah-pindah. Tuntutan adaptasi terhadap ladang menetap menyebabkan adaptasi dari berbagai komponen kebiasaan sosial, seperti perubahan sistem perladangan berpindah menjadi menetap, interaksi sosial, interaksi dengan alam, pola kegiatan ekonomi lokal dan teknologi tradisional. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh kepadatan penduduk dan potensi lahan serta pengaruh teknologi baru pertanian terhadap adaptasi petani di Desa Litamali, Sisi, dan Rainawe Kabupaten Belu. Penelitian ini diharapkan memberi manfaat bagi penduduk ketiga desa tersebut dengan memanfaatkan ilmu pengetahuan dari lima iingkungan untuk pengembangan pertanian bagi penduduk setempat. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan metode survai. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik kuesioner dan wawancara. Penelitian dilakukan sejak bulan Maret - Juni 2003 di tiga (3) desa yaitu Desa Litamali, Sisi, dan Rainawe. Alasan memilih ke-3 desa tersebut secara purposive adalah, a) sistem perladangan berpindah dan ladang menetap masih dilaksanakan secara bersamaan; b) adanya perbedaan topografi yang nyata antar ketiga desa; (1) Desa Litamali terletak di dataran rendah; (2) Desa Sisi terletak di pegunungan; (3) Desa Rainawe terletak di pesisir pantai; dan c) ketiga desa ini mengalami perbedaan tekanan pertambahan penduduk akibat pertumbuhan alamiah dan migrasi masuk penduduk asal Timor Leste. Populasi dalam penelitian ini yakni Kepala Keluarga atau Rumah Tangga (RT) dalam wilayah Desa Litamali, Desa Sisi dan Desa Rainawe. Pengambilan sampel sebesar 10% atau sebanyak 91 KK dengan teknik acak sederhana. Data hasil penelitian, ditabulasi dan dianalisis untuk mengetahui pengaruh kepadatan penduduk terhadap potensi lahan dan pengaruh teknologi pertanian baru terhadap kemampuan petani. Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa: a) Petani di Desa Litamali mulai melaksanakan sistem perladangan menetap (86%), diikuti petani di Desa Rainawe (64%) sedangkan petani di Desa Sisi (63%) masih menerapkan sistem perladangan berpindah. b) Pengaruh teknologi baru pertanian terhadap adaptasi petani sebesar, 58% di Desa Litamali, 44% di Desa Sisi dan 50% di Rainawe. Konsekuensinya, terjadi perubahan komponen perladangan seperti, interaksi sosial, hubungan dengan alam, pola ekonomi lokal dan teknologi tradisional pertanian. Kesimpulan penelitiannya adalah, (1) sistem perladangan berpindah di Desa Litamali dan Rainawe mulai berubah menuju ladang menetap sedangkan desa Sisi walaupun menunjukkan adanya perubahan, namun petani masih melakukan sistem perladangan berpindah; (2) teknologi baru pertanian mulai digunakan petani dalam kegiatan berladang. ...... The Subsistence Farmers Adaptation toward Change of Shifting Cultivation System. (A Case Study on the Effects of Modernization on Traditional Agricultural in the Villages of Litamali, Sisi, and Rainawe, in Belu Residence)For some NTT people especially the Timorese, shifting cultivation was past of the culture particularly at the Litamali, Sisi and Rainawe villages. This Cultivation as a fanning mode was practiced in particular areas e.g., in tropical areas, savanas and subtropical areas. The shifting cultivation system is an agricultural effort no a resuet of accumulated experiences through a long journey of time being a human decision after internal selection to the dynamics of environmental changes. All creatures living in large or small groups, wild or tame, active or non-active, face an the same problems, after for survival. This demands for the ability of adaptation process to each habitat. The adaptation is an in born and continuous process. In the uninigated agricultural farmers context, the change of shifting cultivation into system a caused an adaptation on the farmers side an of causes of change was the population growth, which increased demand an food needed and this demanding increased land productivity of the same land area. Therefore, the into an intervention agricultural of new technologies needed the farmers adaptation. The example of traditional community adaptation started at the hunting and collecting could system such as be seen in the Pygme, Bushmen, and Negrito tribes. Daily, the Pygme, Bushmen and Negrito tribes obtained their food by collecting plants and fruits, honey and tiny animals. Consequently, a) the dwelling-movement of these tribes continued, always following the food supply sources; b) the knowledge and technology was therefor more focused on fulfilling their food needs and; c) the movement occured when the food supply in a region was short which therefore caused them to move to the other area. This behavior was also explained as the initial presence of adaptation effort of a local community to meet their food demand, by following the cycle of nature which kept them moving. The uninigated agricultural adaptation cause a change to the shifting custom thus changing some social habit components to the related shifting cultivation technique; such as the change in social relations, interaction with nature, local economic activities and the change from traditional to modem technology. This study aims at to analyzing the effects of population growth to the potentialities of the land and the impact of new agricultural technology y intervention as adaptation to the shifting cultivation habits in the Litamali, Sisi, and Rainawe villages, Belu district. his study hopes to be access of benefit to the local population by using knowledge on Environmental Sciences for agricultural purposes. This is a descriptive study using survey methods and instruments. As technique of data collection was used questionnaires, interviews and the use of some related secondary data. The study was executed between July 2002 and June 2003 in the three (3) villages being Litamali, Sisi and Rainawe. The reason selecting there three villages in Belu were: a) both in the unirrigated agricultural land, two cultivation system the sedentary and shifting cultivation systems; b) each are still being used e.q. village have different in topographic characteristics - (1) Litamali is located on the low lands, (2) Sisi is located on the mountain slope, (3) Rainawe is on the shores - and c) each village has their different population density caused natural population growth, in migration from Timor Leste. In this study, population means households represented by family head of the villages Litamali, Sisi village, and Rainawe. The chosen sample 10% from population or 91 households, decided by using the simple random sampling method. Moreover, data of this study were tabulated and analyzed by cross tabulation population growth and their potential land and also correlation between the use of the new agricultural technology to the farmers ability as replected by the change process shifting to sedentary cultivation. The study result showed that:
a) 86% of the Litamali respondents and 64% of the Rainawe respondents, concluded that they starting to go for permanent cultivation, although, 63% the farmers of the Sisi village prefer to go on the shifting cultivation system.
b) The conclution between of new agricultural technology to the fanner adaptation change was 58% respondents an the Litamali village, 44% an the Sisi and 50% the Rainawe village. Consequently, the some changes in cultivation components have in fluence social interaction, correlated to local custom, the local economic pattern and the traditional agricultural technology. Conclusions of this study are (1) the shifting cultivation system in Litamali, and Rainawe at the moment is beginning to changed settled cultivation system; cartrang farmers the Sisi village are still using the shifting cultivation system (2) the new agricultural technology is used by farmers in cultivation activity.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11867
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ernany Dwi Astuty
Abstrak :
Masalah kemiskinan yang tetap muncul dipermukaan sesungguhnya merupakan refleksi dari keadaan faktual masyarakat pedesaan maupun di perkotaan. Kemiskinan tersebut tetap menarik dikaji sebab kondisi sosial ekonomi serta kondisi fisik lingkungan permukiman belum menunjukken perubahan kearah perbaikan, walaupun pemerintah telah berhasil mengurangi persentase penduduk Indonesia yang hidup di bawah garis kemiskinan. Untuk mengurangi jumlah penduduk miskin dan meningkatkan kualitas penduduk yang perlu dilakukan pemerintah adalah meningkatkan pendapatan penduduk melalui program Inpres Desa Tertinggal (IDT) yang dilaksanakan melalui Inpres RI No.5 Tahun 1993. Program IDT merupakan kebijaksanaan dan strategi untuk mengentaskan kemiskinan secara langsung di desa tertinggal yang penekanannya pada upaya terpadu untuk peningkatan dan dinamika ekonomi masyarakat lapisan bawah. Dana IDT merupakan modal usaha bagi masyarakat miskin di desa tertinggal untuk kegiatan ekonomi yang produktif. Setiap desa tertinggal memperoleh bantuan modal kerja sebesar Rp.20 juta yang diberikan selama 3 tahun berturut-turut, dan penerimanya adalah masyarakat yang tergolong miskin. Dengan terjadinya krisis moneter yang berkepanjangan saat ini (sejak pertengahan tahun 1997) mengakibatkan penduduk miskin meningkat jumlahnya. Hal Ini disebabkan karena banyaknya pemutusan hubungan kerja (PHK) terutama di perkotaan dan naiknya harga barang yang berdampak pada daya beli masyarakat menurun. Kondisi ini berdampak sampai ke pedesaan yang menyebabkan masyarakat miskin semakin banyak jumlahnya, karena banyak penduduk di kedua desa penelitian yang "nglaju" bekerja di daerah perkotaan. Tujuan dari studi ini untuk mengetahui dampak pemberian bantuan modal dana IDT terhadap perbaikan kualitas hidup dan segi sosial- ekonomi-fisik lingkungan dibandingkan dengan masyarakat yang tidak menerima bantuan modal desa IDT. Hipotesis yang diajukan adalah: pemberian dana IDT berpengaruh dan berdampak positif terhadap kualitas hidup masyarakat penerima dana IDT. Kualitas hidup dalam penelitian ini mengacu pada variabel kualitas hidup dari Bianpoen dan Gondokusumo (1986) seperti kemiskinan yang dikonversikan dari besar pendapatan, penyediaan ruang dalam rumah setiap orang, pemakaian air bersih, kesehatan balita, dan tingkat pendidikan. Metode penelitian yang digunakan dengan pendekatan: (1) studi kasus yang ditujukan untuk memberikan gambaran secara rinci latar belakang, dan sifat yang khas dari kasus pemberian dana IDT di desa tertinggal; (2) studi melalui obsevasi dengan cara mengamati langsung kondisi fisik lapangan serta wawancara langsung dengan para responden; (3) studi melalui data sekunder yang terkait dengan mesalah ini diantaranya data statistik, peta dan laporanlaporan dari Instansi pemerintah. Penelitian dilaksanakan di desa Mekarjaya yang mewakili desa penerima bantuan dana IDT dan letaknya sangat dekat dengan pusat kegiatan ekonomi tetapi justru termasuk desa tertinggal: dan desa Lebakwangi yang dipilih sebagai desa pembanding yang tidak mendapat dana IDT. Sebagai responden ditentukan sebanyak 70 KK dari desa penerima dana IDT dan 50 KK dari penduduk desa yang tidak menerima dana IDT. Pengambilan sample dilakukan dengan metode roporsional stratified random sampling. Data yang diperoleh diedit kemudian dimasukkan ke tabel dan dilakukan analisis tabel secara tunggal maupun silang. Analisis kuantitatif dengan menggunakan program SPSS for Windows Release 6.0) yang terdiri dari : (a) dlstribusi frekuensi dan (b) tabulasi silang. Analisls kuantitatif juga dilakukan untuk menganalisis kemiskinan yang menggunakan kriteria Sajogyo dan BPS, sedangkan untuk melihat distribusi pendapatan dengan menggunakan formula Gini Ratio dari Soejono (1978 : 8). Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan kriteria BPS, pemberian bantuan IDT pada masyarakat di desa IDT dalam Jangka pendek depat mengurangi jumlah penduduk miskin sebesar 9,28%, yaitu dari 43,56% menjadi 34,28%. Angka tersebut tidak berarti karena kenaikan pendapatan rata-rata perkapita dari Rp34.253,37 menjadi Rp46.743,93, ternyata secara riel setelah dikurangi inflasi maka kenaikan pendapatan yang diperoleh hanya relatif kecil. Namun bila tingkat kemiskinan di desa IDT diukur dengan kriteria Sajogyo, pemberian dana IDT tidak mengurangi jumlah penduduk miskin sebaliknya jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan meningkat jumlahnya dari 28,5% menjadi 37,14%, Sementara itu jumlah penduduk miskin di desa bukan IDT bila menggunakan kriteria BPS pada waktu yang sama meningkat sebesar 2,0%, dari 32,0% menjadi 34,0%. Demikian juga bila kriteria Sajogyo dipakai untuk mengukur kemiskinan maka jumlah penduduk miskin meningkat sebesar 30%, dari 14,0% menjadi 44,0%. Ukuran Sajogyo teenyata lebih relevan digunakan karena mencerminkan tingkat kemampuan daya beli masyarakat khususnya terhadap beras. Adapun variabel kualitas hidup yang diteliti adalah (1) tingkat kemiskinan, (2) pemilikan luas rumah perkapita (orang), (3) anak balita sehat, (4) pemakaian air bersih dan (5) pendidikan kepala rumah tangga (KK). Hasil penelitian menunjukkan adanya dana IDT yang telah dlmanfaatkan responden di desa IDT mempengaruhi beberapa variabel kualitas hidup. Variabel kualitas hidup yang mengalami perubahan positif adalah variabel anak balita sehat sebesar 6,4% dan variabel penggunaan air bersih sebesar 2,8%. Variabel yang tidak mengalami perubahan adalah variabel pendidikan KK dan variabel luas rumah per orang. Variabel yang mengalami perubahan negatif adalah variabel responden tidak miskin (ukuran sajogyo) Sementara Itu, di desa bukan IDT pada saat yang sama (1997) variabel kualitas hidup yang mengalami perubahan positif adalah variabel anak balita sehat dan variabel luas rumah per orang, masing-masing besarnya 2% dan 8%. Sedangkan variabel kualitas hidup yang perubahannya negatif adalah variable kemiskinan ukuran sajogyo sebesar 30%. Adanya krisis ekonomi pada pertengahan tahun 1997 di kedua desa penelitian telah berdampak pada menurunnya pendapatan masyarakat yang cukup drastis yaitu sebesar 40%. Demikian juga ditinjau dari kesehatan balita yang mengalami kekurangan gizi meningkat menjadi sebanyak 75%. Kondisi fisik perumahan setelah adanya pemberian dana IDT, jumlah rumah yang berdinding tembok meningkat sebesar 11,4% yaitu dari 40,0% menjadi 51,4%. Demikian juga di desa bukan IDT jumlah rumah yang berdinding tembok pada waktu yang sama meningkat sebanyak 10%, yaitu dari 84,0% menjadi 94,0%. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa dampak bantuan dana IDT tidak meningkatkan pendapatan rumah tangga miskin dan tidak meningkatkan kualitas hidup rumah tangga karena tidak semua variabel kualitas hidup meningkat. Hal ini diperparah dengan terjadinya krisis ekonomi menyebabkan pendapatan masyarakat di kedua desa penelitian mengalami penurunan yang cukup drastis yaitu sebesar 40% dan balila yang kekurangan gizi meningkat mencapai 75%. ...... Poverty problems remain attractive to be investigated because our social economic and physical settlement conditions do not show changes towards betterment. Even though, our government policy succeeded in reducing the percentage of Indonesian people living under the poverty line. In order to raise human quality, endeavors need to be done by way of reducing poverty through increasing the people's income. Therefore, the government felt the need to launch a special program for the poor known as : Program Inpres Desa Tertinggal (IDT). This program was implemented by Government based on the Instruction of the President of the Republic of Indonesia No.5 Year 1993. Each lagged village would receive Rp.20.000.000.- as working capital for consecutive 3 years. Unfortunately the monetary crisis that occurred since media 1997 and extended to become a lengthened economic crisis has resulted In an Increase In the number of poor people. Recipients of IDT FUND from the government are lagged villages society, and would be selected among those having a score in social economic variables of 48 maximum. The main objective of this research Is to know the Impact of IDT on households' income towards the quality of life improvement of households' income in the IDT fund recipient compared the other households' who doesn't receive it. The hypothesis : The IDT fund has Impact and had some positive effect on the households' income of the households who received IDT fund. The quality of life in this research is based on the quality of life variables of Bianpoen and Gondokusumo (1986) such as : Poverty converted that is from total income and expense, available rooms in the house for each person, the use of clean water, the health of baby under 5, and education level. This research was conducted on several approaches and steps : First : case study approach was directed presented toward providing a detailed background/description and special characteristics of receiving cases IDT fund in lagged fund villages. Second : study via observation by direct physical investigation in the field and direct interview to respondents. Third : study via Inter related secondary data related to this problem such as : statistical data, map, and reports from the government bureau. We selected Mekarjaya village as the locality of research to represent villages which received IDT Fund, its location Is close to economic activity center but categorized as lagged villages; and Lebakwangl village was chosen as a control village receiving no I DT Fund, but both villages had some similarities. The total selected samples were 70 families (21%) from IDT FUND recipients and 50 families (13 %) from villagers who did not receive the IDT fund. In selecting the sample, a proportional stratified random method was carried out because In each strata, the total selected sample was based on equilibrium or proportion. The data obtained henceforth was edited and tabulated, and table analysis was conducted in single and cross table analysis. Quantitative analysis will be undertaken by using statistical technique with the help of a computer (SPSS program for Window Release 6.0) consisting of : (a) Frequency Distribution, and (b) Cross Tabulations. Quantitative analysis as undertaken to analyze poverty a : using In Sajogyo and BPS criteria, while in examining income distribution we used Gini Ratio Formula of Soejono (1978: 8). The research showed that - based on BPS criteria - provision of IDT reduce fund to in IDT village society for a short term period, could reduce the number of poor people by 9.28%, viz from 43.56% to 34.28%. Thus, can be said that in the short term IDT fund has been functioned to increase households' Income, but in the long term there will not functioned on the households' Income in laggerd village. a society. But if poverty level In IDT village is measured using the Sajogyo criteria, then, IDT fund do not reduce the number of poor people. On the contrary, the population below the poverty line Increased from 28,5 96 to 37,14 %. The reason was respondent's purchasing power to buy rice In IDT village inclined to decline. The average income in 1993 could buy 57.09 kg/month, while In 1997, they could only buy 46.74 kg/month. Meanwhile, the number of poor people in non IDT village - if we apply BPS criteria, at the same period, the number would increase from 32.0 % to 34.0 %. Likewise If Sajogyo criteria were applied, then the total poor people Increased from 14.0 % to 44.0 %. The reason was respondent's purchasing power to buy rice declined, the average Income per capita per month In 1993 would buy 60.59 kg but in 1997 the average income per capita, per month could only buy 47.42 kg. The quality of life variable component we surveyed were: (a) poverty level, (b) housing area ownership per capita, (c) the health of under 5 years old, (d) the use of clean water, and (e) education level of the head of family. The research showed that the availability of IDT fund used by the respondents of IDT, village influenced the quality of life variable. The positive changes the quality of life variable were poverty based on BPS criteria, as big as 9.3% , health of those under 5 years variable 6.4%, and the use of clean water 2.8%. But the poverty variable suffered negative change, based on the criteria of Sajogyo It was -8.5%, and head of family education variable did not change at all. While in non IDT village during the same period (1997) the positive change In the quality of life variable were health of those under 5 years old, housing area per capita variables as big as 2% and 6% respectively. The negative change in the quality of life was poverty based on the criteria of BPS and Sajogyo were -2% and -3% respectively. But the use of clean water and education for in normal conditions. The quality of life variable of IDT village showed some positive change compared with non IDT village. This fact showed the benefit of IDT program although it was conducted only in a short period. When economic crisis hit both IDT and non IDT villages, their income declined by 40%. This fall also showed in the health of those under 5 years old, who suffered lack of nutrient as big as 75%. We noted that physical house conditions in IDT villages after IDT fund was released, the number of concrete brick wall houses increased by 11.4% viz from 40.0% to 51.4%. The same phenomenon happened In non IDT village; where the total concrete brick wall house during the same period, increased by 10% viz. from 84.0% to 94.0%. Sanitary facility as indicated by owning a toilet of their own in IDT fund village was less than 15%. There is a tendency that respondents defecated freely such as In gardens, ponds or rivers. But on the contrary, respondent's awareness to have their own toilets in non IDT village were bigger, namely 54.0%. The result of the research can be summarized that Impact ofIDT aid had not been Increased of the poor households' income and the quality of life, because all of the of life had not been increased. It is supported by the economic crisis that causing income society in both villages as samples have decreased drastically to 40%, and balita's (less than five years child) deficiency leave increased to 75%.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Toni Soetopo
Abstrak :
Fenomena perpindahan penduduk desa-kota di kota-kota di negara berkembang telah mengakibatkan pertambahan penduduk, khususnya di kota-kota besar. Hal ini karena adanya pengaruh daya dorong dan daya tarik kota, seperti berkembangnya industrialisasi dan terbukanya kesempatan kerja diberbagai sektor lapangan ketja. Perkembangan kota yang pesat dalam dasawarsa terakhir dapat menimbulkan dampak negatif maupun positif seperti kerusakan lingkungan, kelangkaan tanah, kelangkaan sumber air dan penyediaan perumahan dan permukiman serta kesempatan kerja. Sebagai antisipasi dampak di atas, khususnya permukiman dan perumahan telah berkembang kota baru atau perrnukiman skala besar di sekitar kota induk (Jakarta), diantaranya kota baru Bumi Serpong Damai. Sementara itu, studi mengenai masalah pembangunan kota terhadap kualitas hidup masyarakat lokal yang tergusur akibat pembangunan kota relatif masih sedikit. Tujuan penelitian adalah sebagai berikut : (1) Bagaimana dampak proses pembangunan kota baru BSD terhadap pendapatan, kesempatan kerja penduduk asli terkena gusur (2) Apakah penyediaan air bersih dan pengelolaan limbah (sampah), sudah memadai dan tidak merusak Iingkungan (3) Bagaimana dampak interaksi social antara penduduk lokal dengan penduduk kota baru BSD. Untuk mencapai tujuan penelitian di atas, diajukan hipotesis sebagai berikut : ?Pernbangunan kota baru mandiri Bumi Serpong Damai berhubungan dan berdampak terhadap kualitas hidup masyarakat tergusur (asli)" Hasil analisis penelitian pada atas di tiga desa yaitu Rawabuntu, Rawamekar Jaya dan Desa Jelupang, ditemukan kesimpulan bahwa proses pembangunan kota mandiri Bumi Serpong Damai memberi nilai positif dan negatif kepada masyarakat sekitar kota baru tersebut. Dampak positif dan negatif ini ditunjukkan, antara lain: 1. Meningkatnya pendapatan masyarakat di desa sekitar Bumi Serpong Damai 1997 dibandingkan 1987 menimbulkan dampak positif. Namun dalam penelitian ini dicatat bahwa masih kurang memberi kesempatan kerja bagi penduduk loka1?
The impact of Urbanization phenomenon in Development Country is population growth in a big city. The push and pull factors are the issues for a big city as industrial development and job opportunity in any sector of occupation. The rapid growth in the last decade can damage the environment : less land, less water, less housing and less job opportunity. To anticipate the rapid growth of Jakarta, especially for the housing problem there are some satellite towns development around out side Jakarta, Bumi Serpong Damai satellite town for example. Regardless, there are only a few studies of town development problem to local people who have to move because of that satellite town development. The aim of this research are : 1. How is the impact of Bumi Serpong Damai process to local people in income and job opportunity. 2. Is there any dean water and good performer rubbish controller available. 3. Is there any social interaction between local people and the Bumi Serpong Damai new city corner. To achieve the goal, there is a hypothesis for this research : " There is a relation between the development of Bumi Serpong Damai Satellite Town by the quality of live of the people who moved because of the Bumi Serpong Damai development ". The researches in Rawabuntu, Rawamekar Jaya and Jelupang Villages found that the process in Bumi Serpong Damai satellite town development has positives and negatives value to the people who lived around the Bumi Serpong Damai town.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ary Wahyono
Abstrak :
ABSTRAK Kegiatan perladangan Kulit Manis di TNKS merupakan kegiatan bercocok tanam yang dikategorikan sebagai kegiatan yang mengubah ekosistem alami. Dampak perladangan terhadap erosi tanah akan semakin meningkat apabila terjadi perluasan areal tanaman kulit manic. Kegiatan perladangan tanaman kulit manis di TNKS tidak lepas dari permintaan lahan yang subur yang meningkat untuk kepentingan kelangsungan hidup penduduk sekitar. Peranan tanaman kulit manis memberikan sumbangan yang besar bagi rumahtangga petani. Di satu sisi, kegiatan bercocok tanaman di TNKS merupakan mata pencaharian hidup penduduk sekitar, tetapi di sisi lain merupakan pembatasan atau pelarangan pemanfaatan sumberdaya. Oleh sebab itu, masalah perladangan tanaman kulit manis di TNKS merupakan masalah ekologi dan sosial-ekonomi penduduk yang perlu dicari pemecahannya tanpa harus menimbulkan masalah baru terhadap penduduk yang menggantungkan hidupnya dari hasil kulit manis. Studi ini diharapkan memberikan pemahaman tentang perilaku perambahan hutan kasus tanaman perdagangan di kawasan TNKS sehingga dapat digunakan sebegai referensi di dalam pengelolaan lingkungan kawasan konservasi yang memperhatikan masyarakat sekitar. Tujuan studi adalah mengetahui motivasi dan latar belakang petani mengembangkan tanaman kulit manis dan melihat faktor-faktor yang berhubungan dengan kegiatan perladangan kulit manis di kawasan konservasi. Unit analisis dari penelitian ini adalah rumahtangga petani yang mengusahakan perladangan tanaman kulit manis. Sifat penelitian ini adalah kualititatif. Sungguhpun demikian dalam berbagai kasus uraian, data dianalisis dengan teknik statistik sederhana (chi-kuadrat) dan teknik korelasi. Jumlah sampel yang diambil adalah 100 orang responden. Lokasi penelitian adalah Desa Siulak Kecil, Gunung Kerinci, Jambi. Ringkasan hasil penelitian dapat dikemukakan sebagai berikut : Pala ladang campuran tanaman kulit manis dan tanaman sayuran merupakan bentuk adaptasi pertanian yang dikembangkan sebagian besar responden petani sebagai strategi untuk mengatasi kebutuhan hidup. Ada sekitar 63% responden yang mengembangkan ladang tumpangsari di lakasi penelitian, sedangkan sisanya 27% terdiri dari responden yang tidak memiliki ladang sayuran, dan sebagian kecil responden (10%) yang mengembangkan ladang sayuran menetap. Sifat fleksibelitas tanaman kulit manis mendorong petani untuk mengembangkan tanaman kulil manis. Tanaman kulit manis dapat dipanen setiap saat sesuai dengan kebutuhan dan keperluan petani. Tanaman kulit manis dapat berfungsi sebagai tabungan, tetapi juga dapat dipetik hasilnya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ladang kulit manis yang masih muda (di bawah empat tahun) dapat ditumpangsarikan dengan tanaman berumur pendek yang menguntungkan. Tanaman sayuran merupakan penghasilan harian bagi rumahtangga petani di Kerinci. Pengembangan ladang campuran menyebabkan petani harus mengatasi kesuburan ladang, yaitu membuka ladang sayuran di lokasi lain. Ada dua strategi petani untuk mengatasi kesuburan ladang, yaitu membuka ladang di kawasan hutan dan di kawasan perladangan kulit manis. Akan tetapi, dilihat dari aspek penguasaan ladang dan keragaman komposisi umur tanaman kulit manis mencerminkan bahwa petani Kerinci di Desa Siulak tidak memiliki pola perladangan berpindah yang tetap. Oleh sebab itu, dapat dimengerti jika perkembangan areal perladangan kulit manis cenderung ekspansif. Pala penguasaan ladang tanaman kulit manis tidak identik dengan pola penguasaan sawah yang masih diatur secara adat (gilir ganti melalui jalur matrilineal), tetapi dimiliki secara individual. Ladang kulit manis bukan lagi lahan pertanian yang dikuasai secara adat, melainkan kekayaan yang diperoleh dari pencaharian (tembilang emas). Oleh sebab itu dalam pewarisannya tidak diatur secara adat tetapi disesuaikan dengan kepentingan petani. Akibatnya fungsi ekonomi ladang kulit manis lebih menanjol dibandingkan dengan sawah. Kalau hak pakai pada sawah yang cenderung terbatas (gilir ganti), maka pola penguasaan ladang kulit manis dipandang sebagni hak pakai tak terbatas dan tidak ada kelembagaan yang mengontrol sebagaimana terdapat pada sawah. Sebagian besar (80%) penguasaan ladang kulit manis adalah pemilikan ladang, lebih dari separuhnya (60,8%) diperoleh melalui jual-beli. Jual beli ladang merupakan transaksi antar penduduk yang biasa terjadi di Desa Siulak Kecil. Adat dan desa tampaknya tidak mengatur secara jelas masalah jual-beli ladang tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa luas kulit manis yang dikuasai mencerminkan jumlah petak ladang yang dimiliki. Semakin luas ladang kulit manis yang dikuasai semakin banyak jumlah petak yang dikuasai. Luas sawah yang digarap rumahtangga berkorelasi langsung terhadap luas penguasaan ladang kulit manis. Semakin besar luas sawah yang dikuasai semakin banyak jumlah petak ladang kulit manis yang dikuasai. Sawah masih merupakan kebutuhan subsistensi rumahtangga petani yang dilindungi secara adat. Jumlah anggota keluarga dalam rumahtangga petani tidak berkorelasi dengan penguasaan ladang kulit manis. Ekstensifikasi ladang kulit manis tidak ada hubungannya dengan jumlah jiwa dalam rumah tangga petani. Namun demikian, jumlah jiwa dalam dalam rumah tangga petani berkorelasi secara negatip dengan luas sawah yang digarap petani. Jadi, semakin banyak anggota keluarga dalam rumah tangga petani semakin sempit luas sawah yang digarap rumah tangga petani. Pekerjaan sampingan petani berkorelasi dengan penguasaan ladang kulit manis, sebaliknya, pekerjaan sampingan petani tidak berkorelasi dengan luas sawah yang digarap petani. Hal ini berarti bahwa luas-sempitnya sawah yang digarap petani tidak berkaitan dengan pekerjaan sampingan yang dimiliki petani. Sawah merupakan hak kaum perempuan yang sudah menikah, yang lebih ditekan pada fungsi sosial. Sawah merupakan penopang solidaritas sosial masyarakat Kerinci. Di lain pihak, pekerjaan sampingan bukan alternatif mengatasi kesulitan keterbatasan lahan sawah. Pekerjaan sampingan merupakan modal bagi petani untuk mengembangkan ladang kulit manis. Jadi dengan demikian pengembangan ladang kulit manis merupakan alternatif yang dianggap dapat mengatasi kebutuhan hidup masyarakat.
ABSTRACT
Expansion of cinnamon crop cultivation in Kerinci Seblat National Park (KSNP) area is categorized as activities which can change the natural ecosystem. Impact of swidden agricultural system on land erosion would increase when they expanded. The development of swidden agricultural system activities gives rise to the increasing demand of fertile area, which is very important for the livelihood of local people. The cinnamon bark plant contributed deal towards the father?s household. Cinnamon cultivation activities in KSNP is a source of livelihood to the local people. However, it can result in the destructive use of forest resources. The problem of establishing cinnamon tree cultivation in KSNP are ecological and socio-economic in character. This need proper solution which do not incur new problems for local people whose livelihood depends on cinnamon garden yield. This study is expected to give an understanding on the behavior of forest intruders cultivating commercial plants in KSNP, and function as reference for environmental management of forest conservation area without neglecting the local people. The objective this study is to find out the motivation and background of farmers in developing cinnamon tree crops and to find out factors which relate to the expansion of cinnamon planting activities in a conservation area. The unit of analysis of this study is the farmer's household ultimating cinnamon tree. This study is qualitative in character, although some of its data were analyzed by simple statistical technique (chi square) and correlation technique. The number of respondents (sample) interviewed was 100 people. The study location was in Siulak Kecil, Gunung Kerinci, Jambi Province. The research results can be summarized as follows: 1. The cinnamon mixed garden (ladang tumpangsari system) is a form of agricultural adaptation developed by most (farmer) respondents to meet life necessities. About 63% of respondents developed intercropping, 27% of them did not cultivate vegetables cultivation, and a few of them (10%) developed cinnamon monoculture plantation. 2. The flexibility of harvesting system enable the farmers to develop cinnamon mixed garden. These plants can be harvested any time that is suitable to the farmer's needs and wants. Cinnamon tree can function as savings. It can also be harvested to meet special needs (travel, marriage, university fee, buying modem commodities, pilgrimage). The Annual crop arc harvested throughout the year and sold. Vegetables with a peak production (annually) constitute a good revenue which fulfill the farmer's basic needs. 3. The development of cinnamon mixed gardens has caused the farmer to take into account the fertility of the land. Therefore, they cleared away another location to cultivate vegetable anew. The farmer had two strategies in order to contend wither land fertility; the first strategy is that they c)cared away the forest area and the second is to cleared away the cinnamon bark plant cultivation area. However, viewed from the ownership aspect and the age variations of cinnamon bark plant, it can be said that farmers in Siulak Kerinci do not posses permanent shifting cultivation pattern. It is understandable therefore if the development of unirrigated cultivation area tended to became expansive. 4. The ownership pattern of swidden cultivation is not identical with the ownership of wet paddy field that is still controlled by customary laws (by turns through matrilineal channels). Hence, the swidden agricultural system is no longer controlled by customer laws but became private property. Therefore, cinnamon bark plant area is not considered as inherited wealth, but adaptable according to the farmer's interest. As a result the economic function of cinnamon bark area is more prominent compared to wet paddy field. Compared to wet paddy field the ownership pattern of cinnamon tree utilization rights is unlimited and no institution is in control as in case of wet paddy field. 5. Most of swidden cultivation area ownership (80%) is private property. More than half of it (60.8%) obtained the ownership by people's interaction. Swidden cultivation trading is a common transaction among inhabitants in Siulak Kecil. Research showed that the higher number of cinnamon tree reflected more extensive land controlled by the farmer. Wet paddy field is still a subsistence need the for farmer's household and it is protected by traditional custom laws. 6. The numbers of family members in a farmer's household do not correlate with the ownership of cinnamon gardens. The greater the cinnamon trees do not correlate with the number of the household's family members. Nevertheless, the numbers of household's family members negatively correlate with wet paddy field the farmer tilled. The higher number of members the narrower the wet paddy field a farmer tilled. 7. The additional job a farmer possess correlate with cinnamon tree possessions. On the other hand, additional jobs do not correlate with the extend of wet paddy field tilled by the farmer. This means that the size of wet paddy field do not correlate with additional job a farmer has. Wet paddy field constitutes social solidarity support of the community in Kerinci. 8. The additional job farmer correlated with claims on unirrigated cultivation area. The additional job farmer do not correlate with the size of wet paddy filed cultivated by the farmer. This means that the size of wet paddy filed cultivated by the farmer do not correlate with the additional job farmer. Wet paddy field is the right of married woman due is social function. Indeed, wet paddy field is the social solidarity support of the Kerinci community. 9. The additional job is no an alternative to overcome the limited land for wet paddy field. The additional job formers constitute a capital of the farmer to develop the cinnamon plantation. Therefore, the expansion of cinnamon commercial tree is an alternative that can be considered of being capable of overcoming the needs of community livelihood. E. Reference : 54 [1926-1995]
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M. Natsir Abbas
Abstrak :
ABSTRAK Tesis ini merupakan hasil penelitian tentang peranserta masyarakat dalam penanggulangan penyakit schistosomiasis dan faktor-faktor yang mempengaruhinya. Dalam penelitian ini digunakan dua pendekatan yaitu analisis sosial dan analisis pertanian. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah . Peranserta masyarakat dalam penanggulangan penyakit schistosomiasis dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan faktor sosial ekonomi masyarakat, tetapi faktor pengetahuan masyarakat tentang penyakit schistosomiasis merupakan faktor yang paling dominan sehingga formulasi hipotesisnya adalah : Ho : Tingginya tingkat peranserta masyarakat dalam penanggulangan penyakit schistosomiasis tidak dipengaruhi o1eh tingginya tingkat pengetahuan masyarakat mengenai penyakit schistosomiasis. Ha : Tingginya tingkat peranserta masyarakat dalam penanggulangan penyakit schistomiasis sangat dipengaruhi oleh tingginya tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit schistosomiasis, sehingga makin tinggi tingkat pengetahuan masyarakat tentang penyakit schistosomiasis makin tinggi pula tingkat peransertamasyarakat dalam penanggulangan penyakit tersebut. Populasi yang diamati dalam penelitian ini adalah daerah endemik penyakit schistosomiasis di Sulawesi Tengah yaitu penduduk Desa Watumaeta dan Desa Arica, setiap desa diambil sampel sebanyak 30 % dari jumlah Kepala Keluarga yang ada di tiap desa. Sehingga jumlah sampel yang digunakan adalah 55 Kepala Keluarga. Faktor yang mempengaruhi peranserta masyarakat yang diamati adalah faktor pendidikan formal, faktor pengetahuan mengenai penyakit schistosmiasis dan faktor sosial ekonomi masyarakat. Peranserta masyarakat diukur dengan melihat perilaku responden yang menunjang penanggulangan penyakit schistosomiasis sedang faktor sosial diukur dengan melihat tingkat pendidikan dan tingkat pengetahuan responden,dan tingkat sosial ekonomi masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penyakit schistosomiasis yang ditularkan melalui keong Oncomelania hupensis lindoensis masih tetap merupakan masalah lingkungan yang mengancam lebih dari 10.0100 penduduk di pedesaan Sulawesi Tengah, karena adanya habitat alamiah keong tersebut yang sangat sulit diberantas dan jika karena masih kurangnya pengetahuan tentang keterkaitan antara habitat keong dengan makhluk hidup lainnya. Namun demikian dalam mengatasi masalah tersebut telah tampak usaha dan peranserta aktif masyarakat dalam penanggulangan penyakit. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa peranserta masyarakat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan dan tingkat sosial ekonomi masyarakat. Di antara ke tiga faktor tersebut maka faktor pengetahuan merupakan faktor yang paling kuat pengaruhnya terhadap peranserta masyarakat. Hasil penelitian dengan pendekatan aspek pertanian (atas bantuan Puslitbang Biologi LIPI) menunjukkan bahwa dengan merubah pola usahatani masyarakat yang terbiasa dengan tanaman sawah (tanaman padi basah) menjadi tanaman hortikultura atau perkebunan akan mengurangi habitat penyebaran keong perantara. Dalam penelitian ini terlihat pula bahwa upaya pembangunan dan peningkatan kesehatan, bukan hanya suatu masalah biomedikal saja tetapi juga mengandung masalah sosial budaya dalam lingkungan alam dan aspek pertanian sebagai sumber nafkah. Oleh karena itu perlu upaya untuk mengintegrasikan berbagai disiplin ilmu dalam mengatasi masalah ini.
ABSTRACT This thesis is the result of research pertaining community participation to abate schistosomiasis disease and most of its influencing factors. The two approaches applied are the social andagricultural analysis. Proposed hypotheses in this research are as follows: How far is community participation in abating schistosomiasis disease influenced by factors, such as education, knowledge, and socio-economic ones? Which factor is the dominant factor with the strongest influence on the abatement of the disease? Is it the knowledge on schistosomiasis itself? These questions lead to the formulation of the hypotheses follows: Ho: The high level of community participation to abate schistosomiasis disease is not influenced by the level of community knowledge about the schistosomiasis disease. Ha: The high level of community participation, to abate schistosomiasis disease is most influenced by the level of community knowledge about the schistosomiasis disease. The higher the community knowledge about the disease, the higher also will be result of community participation to abate the disease. The population observed in this research is the population of the endemic area of the schistosomiasis disease in Central Sulawesi, namely the village of Watumaeta and of Anca. A 30 percentage of the number of families or 55 family heads from each village has been approached in the survey. The most influencing factor of the community participation was observed in relation to their formal education, knowledge of the schistosomiasis disease and the socio-economic factors of the community. Community participation was measured by observing the respondent's behavior, which support the abatement of the schistosomiasis disease, whereas social factors were measured by observing the levels of respondent's education and knowledge as well as of the socioeconomic level of the community. The research indicated that the schistosomiasis disease, which is spread by Oncomelania hupensis lindoensis, is still an important environment problem, which is a threat for more than 10.000 of villagers, in, Central Sulawesi. The ecology of the snails and the lack of the population knowledge about the disease make its control difficult. In solving the problems, efforts were made to activate community participation to abate the disease. It was also observed that several factors influencing community participation are education, knowledge and the socio-economic level of the community. The level of knowledge, however, is the most influential factor among the three factors to raise community participation. The results indicated the need to shift the community cultivation pattern from wet-paddy-planting, to horticulture or plantation, thus indirectly decreasing the distribution of the host snails. This research also indicated that the development and increasing health efforts by the government should not merely be-biomedical but should also involve a sociocultural approach, stressing the role of Interdisciplinary integrated approach in problem solving.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salindeho, Rosalind Robertina
Abstrak :
Upaya pengembangan kelistrikan desa di Indonesia, pada dasarnya mempunyai dua tujuan utama, yaitu meningkatkan segi material dan segi spiritual dari masyarakat desa itu sendiri. Seperti dimungkinkannya peningkatan produktivitas, dimana akan dapat menambah pendapatan masyarakat desa, serta bimbingan--bimbingan, kursus-kursus dan penyuluhan-penyuluhan yang sebelumnya hanya diselenggarakan pada waktu siang hari, akan dapat dilakukan pada waktu malam hari. Segi keagamaan, kegiatan-kegiatan sosial pun dapat lebih ditingkatkan. Listrik mempunyai peranan penting untuk pengembangan pedesaan. Program listrik masuk desa dapat berpengaruh jauh di dalam perkembangan teknologi dan informasi (Soemardian 1990:10). Sejauh ini pengembangan listrik pedesaan di Indonesia diterapkan dengan berbagai pendekatan seperti unit percontohan dari teknologi energi terbaharui. Terutama bagi desa-desa yang terpencil dan tidak terjangkau oleh jaringan distribusi listrik dari PLN. Listrik untuk pedesaan ini diutamakan dengan memanfaatkan sumber daya energi setempat, diantaranya energi matahari dan air. Serta bisa dikelola koperasi, swasta, atau masyarakat desa itu sendiri. Salah satu unit percontohan ialah listrik mikro-hidro yang terdapat di desa Winong, yang telah menggunakannya selama kurang lebih 5 tahun, dengan memiliki konsumen sebanyak 141 Kepala Keluarga. Penerapan listrik mikro-hidro ini memerlukan dukungan sikap penduduk desa itu sendiri. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimanakah sikap penduduk terhadap listrik mikro-hidro. Selain itu apakah sikap tersebut ada hubungannya dengan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan. Kegunaan penelitian ini ialah:
1. Untuk mendapatkan data/bukti-bukti empiris tentang sikap penduduk terhadap adanya listrik PLTM.
2. Untuk mendapatkan kejelasan lebih rinci tentang manfaat adanya listrik PLTM di pedesaan.
3. Memperkaya bahan pertimbangan pengambil keputusan dalam upaya meningkatkan kualitas hidup penduduk pedesaan, terutama yang menggunakan listrik mikro-hidro.
4. Memberikan dasar bagi penelitian selanjutnya. Pengumpulan data melalui kuesioner dan wawancara mendalam pada responden tertentu untuk menunjang hasil penelitian. Sedangkan analisis statistik dilakukan dengan menggunakan skor T untuk mengubah skor mentah dari kuesioner sikap yang menggunakan skala Likert. Berdasarkan skor T tersebut dilakukan penggolongan-penggolongan setuju, tidak setuju, netral. Untuk melihat hubungan antara sikap dengan tingkat pendidikan dan tingkat pendapatan, dan jenis pekerjaan digunakan metode Chi-square (X2) dan Koefisien Kontingensi (C). Penelitian ini mengambil sampel secara random sebanyak 40 orang Kepala Keluarga, karena populasi sampel cukup homogen. Hasil analisis data menunjukkan bahwa penduduk yang menggunakan listrik PLTM pada dasarnya memiliki sikap setuju atau mendukung terhadap adanya listrik PLTM di desanya yaitu sebanyak 72,5% dan yang bersikap tidak setuju atau tidak mendukung sebanyak 27,5%. Sedangkan berdasarkan uji statistik ada hubungan antara sikap setuju terhadap adanya listrik PLTM dengan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan. Tidak ada hubungan antara sikap setuju dengan tingkat pendapatan. Tidak ada hubungan antara sikap tidak setuju terhadap adanya listrik PLTM dengan tingkat pendidikan, tingkat pendapatan dan jenis pekerjaan. Penduduk masih banyak yang memiliki persepsi bahwa listrik PLTM adalah lama dengan listrik PLN sehingga timbul ketidak-puasan karena tidak sesuainya harapan dan kenyataan. Hal ini bisa dikatakan kurang berhasilnya program listrik PLTM di desa Winong. Selain itu terbatasnya pengadaan suku cadang mesin-mesin hidro mengganggu penggunaan listrik PLTM. Selain itu walaupun sikap penduduk yang setuju akan adanya listrik PLTM sebesar 72,5%, yang menyatakan tidak memenuhi kebutuhan sebesar 65%. ...... The effort of developing village?s electricity mainly has two goals: to improve their material needs as well as spiritual life. Such as the possibility to increase people productivity, on one hand, and can improve and increase their income, on the other hand. Besides the other night and day activities can be carried out continually such as courses, counseling. Electricity has contributed some evening creative activities to improve their social needs. It has played a very important role in developing rural life. Electricity for the Rural Program has affected deeply for rural technology and information (Soemardjan 1990:10), The Development of Rural Electricity in Indonesia has been applied in various approaches such as by sampling-units, of Renewed-Energy Technology. As for remote rural areas in particular where the PLN (State Electricity Central Unit) is unoperationable, power can be gained and supplied by local possible power such as Solar Power and Hydro Power. This can be carried out and operated by social cooperative, private bodies, or by the people themselves. One of the Sampling-Unit is the Micro-Hydro Power (MHP) located in Winong Village which has been operated and used for about five years, supplying 141 families (houses). The operation of such unit acquires and needs a full support of the villages. This research has taken place to study the attitude towards Micro-Hydro Power itself. Besides, it is also to find out whether such attitude has any relationship with their education, income rate and kind of job. The purpose of this Research is:
1. To obtain the data and empirical proof on villager?s attitude towards the Micro-Hydro Power.
2. To obtain more detailed information on the need of Micro-Hydro Power in villages.
3. To enriched those who might concern to improve rural people quality of life, especially people who are using micro-hydro electricity.
4. To supply basic data for further research. The data have been collected by questionnaire and interview to certain people to support the research results. Statistical analysis is used with T score to change raw data from attitude questionnaire which using Likert scales. Based on T score it is done to classify approve, disapprove, and neutral attitude. To know the relations among attitude with educations income rate, and kind of job, chi-square (X2) method is used and contingency coefficient (C). The sampling technique is random sampling, with 40 family heads because of the homogenous of sample population. The data analysis has pointed out that villagers, who have been using MHP, basically have had an approval and supporting attitude toward the existence of MHP they are 72,5%, and 27,5% villagers with disapproval attitude. From the statistical test, it is found that there is a relation among people's approval attitude with educational level, and kind of job. There is no relation between people's approval attitude with income level. There is no relation among people's disapproval attitude toward HHP with educational level, income level and kind of job. There are a lot of villagers perception that MHP is the same with Government Electricity (PLN) so that dissatisfied happened because of the reality is against the expectation. This is because of the unsuccessful MHP in Winong village, and the limitation of MHP spare-parts. Besides even though there is 72,5% people's approval of MHP but there is 85% said that unsatisfied using.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1992
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Sartopo
Abstrak :
ABSTRAK
Di dalam upaya menjaga kesinambungan kegiatan industri perkayuan yang berwawasan lingkungan di Kalimantan Selatan, dirasa perlu untuk mendaurulangkan limbah industri. khususnya industri perkayuan. Ternyata saat ini masih perlu ditingkatkan pengelolaan sumber daya alam hutan dilaksanakan berdasarkan penglihatan lingkungan.

Oleh karena itu dalam rangka pengembangan industri perkayuan dan dalam upaya menyediakan energi nonkonvensional perlu dipilih suatu teknologi yang tepat, agar dapat membantu mengurangi pencemaran dan kerusakan lingkungan. Salah satu teknologi pemanfaatan limbah sebagai energi alternatif adalah teknologi gasifikasi.

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat minat dan faktor-faktor apa yang mempengaruhi minat Para pengusaha industri kayu untuk memanfaatkan limbah kayu sebagai energi melalui gasifikasi. Berkaitan dengan tujuan tersebut di atas dilakukan penelitian terhadap 20 perusahaan kayu di Kalimantan Selatan yang terdiri dari 12 perusahaan HPH dan 8 perusahaan non HPH.

Untuk mendapatkan data primer dan sekunder, dalam penelitian ini digunakan cara-cara : observasi terbatas di perusahaan-perusahaan kayu, mengadakan wawancara kepada para pengusaha dan mengisi kuesioner. Pengambilan sampel dilakukan secara cak dan sederhana.

Pengukuran minat dilakukan dengan dua model, model pertama diukur dengan lima kriteria persepsi yaitu harga energi yang digunakan, harga energi alternatif (gasifikasi), besarnya investasi untuk energi alternatif (gasifikasi), informasi teknologi gasifikasi, dan kemudahan investasi bagi para pengusaha. Sedangkan model kedua minat diukur dengan tujuh kriteria persepsi yaitu kriteria yang disebut di atas ditambah dengan kesadaran lingkungan para pengusaha, dan kesetiakawanan sosial para pengusaha.

Hasil pengolahan dari kedua model tersebut di atas menunjukkan bahwa tingkat minat para pengusaha termasuk kategori sedang.

Data dianalisis dengan menggunakan model regresi linier di mana sebagai variabel tak bebas adalah minat sedangkan variabel bebasnya menggambarkan status perusahaan, sumber modal perusahaan, lama pengoperasian, sumber energi yang digunakan dalam proses produksi, volume produksi, dan jenis produksi.

Hasil analisis regresi menunjukkan bahwa :

1. Status perusahaan tidak menunjukkan hubungan pengaruh terhadap minat;

2. Sumber modal perusahaan menunjukkan hubungan pengaruh terhadap minat;

3. Lama pengoperasian perusahaan tidak menunjukkan hubungan pengaruh terhadap minat;

4. Sumber energi yang dipergunakan tidak menunjukkan hubungan pengaruh terhadap minat;

5. Volume produksi, bila minat diukur dengan lima kriteria maka yang menunjukkan hubungan pengaruh terhadap minat adalah hanya perusahaan dengan volume produksi antara 6000 - 12.000 m3 per tahun. Sedang bila minat diukur dengan tujuh kriteria maka yang menunjukkan hubungan pengaruh terhadap minat adalah perusahaan dengan volume produksi antara 6000 - 12.000 m3 dan di atas 120.000 m3 per tahun.

6. Jenis produksi yang dihasilkan, bila minat diukur dengan lima kriteria maka jenis produksi tidak menunjukkan hubungan pengaruh terhadap minat, sedangkan bila minta diukur dengan tujuh kriteria maka produksi kayu gergajian dan kayu lapis menunjukkan hubungan pengaruh terhadap minat.

Dari studi ini juga menunjukkan bahwa minat para pengusaha yang hanya dilihat dari pandangan teknis ekonomis menghasilkan faktor-faktor yang berpengaruh jauh lebih kecil dari pada jika minat menyertakan juga kesadaran lingkungan dan kesetiakawanan sosial para pengusaha. Oleh karena dalam pengambilan keputusan investasi untuk teknologi gasifikasi ini perlu menyertakan pertimbangan-pertimbangan kesadaran lingkungan dan kesetiakawanan sosial.
1988
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayu Humaerah Batarai Firman
Abstrak :
Pemanfaatan sumberdaya alam (SDA) secara optimal dengan tetap mempertahankan kelestarian SDA adalah salah satu landasan pemikiran ilmiah bagi perbaikan nasib ekonomi bangsa. SDA laut adalah salah satu SDA yang samapai saat ini masih kurang dimanfaatkan, juga secara kebijaksanaan- apabila dimanfaatkan masih kurang memperhatikan kelestarian SDA di wilayah lautan. Wilayah lautan Indonesia dengan luas +/- 3,166.163 km2 ditambah dengan luas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) +/- 2,7 km2 beserta sumberdaya alam yang terkandung di dalamnya seharusnya merupakan salah satu tumpuan penting bangsa Indonesia. Hal ini disebabkan karena wilayah kelautan terdiri dari sekitat 63% dari wilayah territorial Indonesia. Di dalamnya terkandung sumber kekayaaan alam dan potensi unsur-unsur laut yang berperan sebagai unsur lingkungan yang sangat kaya dan beragam seperti perikanan, terumbu karang, hutan bakau, minyak dan gas, bahan tambang dan mineral serta kawasan pariwisata (dahuri et al., 1996: xiii) Sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang masih kurang dimanfaatkan di Indonesia, padahal diketahui bahwa salah satu SDA yaitu perikanan memiliki prospek ekonomi yang baik dan mampu memenuhi kebutuhan pangan rakyat selain devisa. Perikanan juga merupakan subsektor yang penting sebagai sumber pendapatan dan pemberi kesempatan kerja bagi masayarakat belayan. Namun pemanfaatan sumber daya perikanan yang tidak berkelestarian telah mengakibatkan jumlah persediaan ikan yang terus terancam punah baik oleh pengambilan yang berlebihan dengan tidak memperhatikan siklus pembiakan ikan maupun oleh perusakan habitat ikan tersebut. Terbatasnya teknologi (cara/pola) penangkapan yang dimiliki oleh nelayan tradisional, mengakibatkan nelayan tradisional cenderung menggunakan pola penangkapan yang tidak memperhatikan kelestarian sumberdaya ikan misalnya dengan menggunakan bahan peledak atau beracun untuk menangkap ikan.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2001
T1861
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sasa Djuarsa Sendjaja
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 1978
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library