Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Engels Halim
"Pada pelayanan kesehatan di Puskesmas banyak ditemukan gangguan muskuloskeletal pada pekerja sektor informal, temyata ketidakserasian alat dan ukuran tubuh pekerja Indonesia.
Ergonomi adalah suatu ilmu dan prakteknya ditujukan kepada penyerasian kerja antara peralatan dan lingkungan kerja serta pekerja itu sendiri.
Pada penelitian ini dilakukan studi intervensi. Di wilayah Jakarta Barat. Jumlah 12 orang, 2 laki-laki dan 10 perempuan.
Hasil menunjukkan bahwa prevalensi gangguan muskuloskeletal (menurut penerapan ergonomi yang disepakati, Cibogo, 1978) pada bagian punggung dan pinggang ada 10 orang (83,33%) serta ekstremitas sebelah kanan 9 orang (75%). Kemudian dilakukan pengukuran tempat duduk pekerja per individu (Anthropametry of US Military Personnel, 5`r' percentile), ternyata kekurangan selisih tinggi antara 4.80 sampai 9 cm. Dilakukan intervensi berupa penyesuaian tinggi tempat duduk dengan Cara ditumpuk dan diberi bantal, keluhan-keluhan menghilang. Lama kerja lebih atau sama dengan 5 tahun didapatkan 8 orang yang mengeluh gangguan muskuloskeletal dari 9 orang dan 2 orang yang mengeluh dari 3 orang pekerja, telah bekerja kurang dari 5 tahun. Ada 9 orang dengan tinggi badan < 155 cm mengeluh gangguan muskuloskeletal dan 1 orang > 155 cm ( 161 cm ) yang mengeluh gangguan. Sebelum penyuluhan didapatkan 9 orang (75%) dengan pengetahuan yang kurang dan 3 orang (25%) dengan pengetahuan cukup. Setelah penyuluhan didapatkan 10 orang (83,33%) dengan pengetahuan baik dan 2 orang (16,67%) dengan pengetahuan cukup.
Sebagai rekomendasi untuk pemerintah dalam hal ini Dinas Kesehatan atau Dinas Tenaga Kerja baik sektor formal maupun sektor informal, agar dapat mengaktifkan Tim K3 sehingga kesehatan pekerja meningkat.

In the Primary Health Care services, some problem come out with back pain, and works employed in the informal sectors.
Ergonomics is a science and its application mainly to fit the workers and their equipment in work environment which will finally results in increased their health and productivity. Man - machine - design is conducted as one of the aspects in the ergonomics.
In the study intervention method was conducted in the informal sector in west Jakarta. Total population of 12 workers which consists of 2 men and 10 women and the main complaint of those worker was musculoskeletal pain especially in the lumbal area.
The prevalence of musculoskeletal disorder was ( using Cibogo standards of ergonomics, 1978 ) 10 workers or 83,33% complaint of musculoskeletal and lumbal disorders, 9 workers or 75% for the right extrernitas. The measuremant of Anthropometry using US Military Personnel standard, 5th percentile per individual, therefore the difference was 4,8 - 9 cm. After intervention of table height, chair have given a good results. The tenue of 5 years long, 8 workers or 88,89% complain from 9 worker and under 5 year or same, 2 worker or 66,67% complain from 3 worker. Height under or same 155 cm, 9 worker or 90%, and upper 155 cm, 1 or 10 % worker complain of musculoskeletaI.9 or 75% workers less knowledge regarding work environment and only 3 workers or 25% safisfactory knowledge. After training has given a good results such as 10 workers, improving of there knowledge and 16,67% or 2 workers showed increased awareness.
Recommendation will be given to the government as specially Departement of health and Man Power to improved the occupational health and safety team work to the formal sector or informal sector.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
T2774
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rully Budi Christina
"Latar belakang. Bising merupakan salah satu stresor individu di tempat kerja. Untuk lingkungan kerja KEPMENAKER RI no 51 tahun 1999 telah menetapkan nilai ambang batas (NAB) bising yaitu sebesar 85 dBA. Penetapan NAB tersebut perlu dievaluasi, karena baru memperhitungkan efek terhadap terjadinya ketulian, sedangkan efek lain berupa stres akut belum di pertimbangkan.
Tujuan. Diperolehnya data mengenai tingkat bising dibawah nilai ambang yang dapat meningkatkan kadar adrenalin sebagai tanda akut stres.
Metode. Desain studi adalah analitik eksperimental yang membandingkan 6 kelompok, (pajanan 85 dBA, 80 dBA, 75 dBA, 70 dBA, 0 dBA dan kontrol). Pemilihan sampel dilakukan dengan blok randomisasi yang dilakukan secara single blind. Subjek adalah laki laki usia kerja di lingkungan Universitas Indonesia. Pengumpulan dan pengolahan data dilakukan mulai 23 Mei 2011 sampai 28 September 2011.
Hasil penelitian. Jumlah data yang dianalisis adalah 89. Dengan uji repeated anova didapatkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara kadar adrenaline pre dan pasca di semua kelompok yang diperbandingkan (p>0,05). Didapatkan terjadi penurunan kadar adrenalin pasca pajanan. Perubahan sistol, diastol, frekuensi nadi dan frekuensi nafas juga tidak memberikan perbedaan bermakna secara statistic terhadap pajanan masing masing kelompok dibandingkan kelompok kontrol. Penurunan kadar adrenalin dapat disebabkan karena subjek penelitian telah mengetahui bahwa pajanan bising akan berakhir (15 menit) serta kadar adrenalin yang mungkin meningkat pada awal intervensi sudah menurun pada akhir intervensi. Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Hans Selye, dimana seseorang cenderung untuk mengalami kegelisahan untuk suatu hal yang tidak pasti (uncertainty). Hal ini sejalan dengan teori yang diungkapkan oleh Ursin dan Eriksen bahwa ketidakpastian dapat memberikan ketakutan dan kegelisahan.
Simpulan. Terjadi penurunan kadar adrenalin pada kelompok 0 dBA, kontrol, 75 dBA, 80 dan 85 dBA. Singkatnya pajanan bising yang diberikan menyebabkan tidak terdapat perbedaan bermakna sebelum dan sesudah pajanan pada tiap kelompok pajanan dibandingkan dengan kontrol.

Background. Noise can be stressors for individual. Indonesian regulation for the workplace No. 51 in 1999, has defined the threshold value for noise is at 85 dBA. This value should be evaluated, since it was determined for hearing protection, while other effect (acute stress) was not taken into consideration.
Objective to obtain data on noise level that increases adrenaline level as a sign of acute stress. This data will be used to recommend efforts to improve the quality of health and the prevention of occupational diseases through occupational health and safety programs.
Method. An analytical study design was used comparing 6 experimental groups, (85 dBA, 80 dBA, 75 dBA, 70 dBA, 0 dBA and control). Samples were selected by block randomization and single blind allocation. All subjects were men working in the University of Indonesia.. Data collection and processing was conducted from 23 May 2011 until 28 September 2011.
Results. Data from 89 subjects were analyzed. Repeated ANOVA test was used to analyzed the results of this. The results showed that there was no significant difference between pre and post adrenaline levels in all groups (p > 0.05). As a result, there is decresing level of adrenaline in post exposure. There are no significantly differences between systolic pressure, diastolic blood pressure, heart rate, breathing rate in every exposure groups compared with control. The decreased levels of adrenaline can be explained because the subjects were informed about the length of the exposure (15 minutes), the adrenaline level might has already increased before exposure and getting lower at the end of intervention. This is consistent with the theory proposed by Hans Selye, which a person tends to experience anxiety for a matter that is uncertain (uncertainty), this is also consistent with the theory expressed by Ursin and Eriksen that uncertainty can give fear and anxiety.
Conclusion. There are a decreasing level of adrenaline at 0 dBA, the control, 75 dBA, 80 and 85 dBA groups. The short period of exposures given can cause no significant difference before and after exposure in each exposure group compared with the control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59125
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Albert Juniawan
"Latar belakang: Toluena banyak digunakan secara luas di bidang industri. Pajanan toluena perinhalasi dapat menyebabkan peningkatan lipid peroksidase melalui mekanisme stress oksidatif , dengan petanda biologis malondialdehid (MDA) dan perubahan jumlah sel clara dan sel pneumosit tipe II.
Metode penelitian : Desain yang dipilih adalah true eksperimental. Sebanyak 30 ekor tikus Wistar jantan usia 3 bulan dengan berat badan 200 – 250 gram, dibagi menjadi lima kelompok pajanan secara alokasi random, yaitu kelompok kontrol; 1,6 ml; 3,2 ml; 6,4 ml; 12,8 ml; dan yang masing-masing terdiri dari 6 ekor tikus. Pajanan melalui inhalasi dengan cara menyemprotkan toluena cair ke dalam akuarium, disertai penambahan dosis tiap jam sesuai dengan perhitungan aliran udara dan volume akuarium. Pajanan dilakukan selama 4 jam per hari selama 2 minggu.
Hasil : Dosis pajanan memiliki pengaruh terhadap dengan kadar MDA paru (p=0,004). Dosis pajanan memiliki pengaruh bermakna terhadap jumlah sel pneumosit tipe II (p=0,002) dan tidak berpengaruh bermakna terhadap jumlah sel clara (p=0,077).
Kesimpulan : Dosis pajanan toluena di bawah NAB menyebabkan peningkatan kadar MDA jaringan paru dan peningkatan sel pneumosit tipe II tetapi menyebabkan penurunan jumlah sel clara.

Background: Toluene has been widely used in many industries. Inhalation toluene can cause increasing of lipid peroxidase through oksidatif stress mechanism, with MDA as biology biomarker, and the changing of clara cell also type II pneumocyt cell count.
Method : The design is true eksperimental. Thirty adult male Wistar rats, three months old, 200-250 gram, are divided into five groups by allocation random : control; 1,6 cc; 3,2 cc; 6,4 cc; 12,8 cc, and each group consists of six rats. Exposure is given by injecting liquid toluene into chamber with the addition of dose per hour related to calculation of air flow and chamber volume for four hours per day, in two weeks.
Results : Toluene doses exposure is statistically significant to lung MDA level (p=0,004) and type II pneumocyt cell count (p=0,002) and statistically not significant to clara cell count(p=0,077).
Conclusion: Toluene doses exposure below TLV can cause increasing of lung MDA level and type II pneumocyt cell count, in otherwise, decreasing of cell clara count.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maryko Awang Herdian
"Pendahuluan : Pemeriksaan high resolution computer tomography (HRCT) menjadi pilihan metode pemeriksaan penunjang untuk penegakan diagnosis hipersensitif pneumonitis. Dengan belum adanya pemeriksaan baku emas penegakan diagnosis maka perlu ditelaah mengenai keakuratan penggunaan metode penunjang penegakan diagnosis tersebut.
Metode : metode pencarian artikel menggunakan pubmed dan scopus serta melakukan skrining artikel berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan sebelumnya. Hasil pencarian artikel tersebut kemudian dilakukan telaah dengan menggunakan kriteria penilaian validitas, tingkat pentingnya hasil yang didapat pada penelitian tersebut, dan kemampu-terapan.
Hasil : Hasil pencarian didapatkan sebanyak 415 artikel dari Pubmed dan 343 artikel dari Scopus. Ditemukan hanya 2 (dua) artikel uji diagnosis yang memenuhi kriteria inklusi, eksklusi dan metode PICO yang ditetapkan sebelumnya. Artikel pertama oleh Lynch dkk (1992) ditemukan sensitivitas 45 %, spesifisitas 90 % dan akurasi diagnosis sebesar 74 %. Artikel kedua oleh Rival G (2016) dkk menemukan nilai sensitivitas 66 %, spesifisitas 96 % dan akurasi diagnostik sebesar 86 %. Sehingga terbukti bahwa pemeriksaan high resolution computer tomography (HRCT) sebagai metode / alat penegakan diagnosis hipersensitif pneumonitis memiliki tingkat akurasi yang baik namun tidak cukup akurat sebagai alat skrining diagnosis hipersensitif pneumonitis.

Introduction : High resolution computer tomography (HRCT) examination becomes the preferred method of investigation for the diagnosis of hypersensitivity pneumonitis. In the absence of a gold standard of diagnosis, it is important to examine the sensitivity and specificity of this method.
Method : The articles searching methods by using Pubmed and Scopus and screening the articles with inclution and exclution criteria which were predetermined, articles were than performed using the assesment criteria of validity, importance, and ability applied.
Result : The results were 415 articles from Pubmed and 343 articles from Scopus. 2 (two) articles diagnostic test were found in accordance with the inclution, exclution criteria and PICO methods which were predetermined. These articles were than performed a systematic review of articles and the result was valid. The first Article by Lynch et all (1992) found 45 % sensitivity, 90 % specificity and the accuration of diagnose was 74 % and the second article by Rival G et all (2016) found 66 % sensitivity, 96 % specificity and the accuration of diagnose was 86 %. There were found an evidence about using the accuration of high resolution computer tomography (HRCT) as a tool for diagnosis hypersensitivity pneumonitis was good. But the accuracy was not accurate enough as a screening tool for hypersensitivity pneumonitis.
Conclusion : using high resolution computer tomography (HRCT) is more acurate as a diagnostic examination than a screening method.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58633
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ma`rifatul Mubin
"Sindrom Kelelahan Kronik adalah kumpulan gejala dari penurunan substansial kemampuan dalam aktivitas pekerjaan, pendidikan, sosial, atau pribadi selama lebih dari 6 bulan dan disertai kelelahan, malaise pasca-kerja, dan tidur yang tidak menyegarkan ditambah setidaknya satu dari dua manifestasi gangguan kognitif dan intoleransi ortostatik. Salah satu dampak pajanan logam berat adalah terjadinya sindrom kelelahan kronik pada pekerja. Ada banyak bukti bahwa beberapa bentuk kelelahan dapat disebabkan atau diperburuk oleh kerja. Hubungan kerja dan sindrom kelelahan kronis dapat dipertanyakan, tetapi unsur-unsur di tempat kerja dapat memperburuk gejala sindrom kelelahan kronis. Pekerja tambang emas skala kecil menggunakan merkuri dalam pekerjaannya, sehingga berisiko tinggi mengalami keracunan kronik merkuri, apalagi Pekerja Emas Skala Kecil termasuk populasi pekerja yang tidak dilindungi. Pekerja jarang menggunakan alat pelindung diri dalam melakukan pekerjaannya. Salah satu masalah kesehatan akibat pajanan merkuri adalah terjadinya sindrom kelelahan kronik yang belum pernah diteliti pada PESK.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk mencari hubungan antara variabel bebas seperti usia, jenis kelamin, masa kerja sebagai penambang, jenis aktivitas bekerja, kadar merkuri urin dan kadar merkuri urin kumulatif dengan variabel terikat adalah sindrom kelelahan kronik pada pekerja PESK di provinsi Nusa Tenggara Barat dan Banten. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner asesmen kesehatan populasi terpajan merkuri dari WHO UNEP, pemeriksaan match box test, dan kadar merkuri urin terkoreksi kreatinin.
Hasil: Prevalensi sindrom kelelahan kronik pada pekerja PESK di provinsi Nusa Tenggara Barat dan Banten didapatkan sebesar 17,9%. Berdasarkan hasil, faktor usia, jenis kelamin, masa kerja, jenis pekerjaan, dan kadar merkuri urin kumulatif tidak memiliki hubungan yang bermakna secara statistik dengan sindrom kelelahan kronik (p > 0,05).
Kesimpulan: Tidak didapatkan hubungan yang bermakna antara usia, jenis kelamin, masa kerja, jenis pekerjaan, dan kadar merkuri urin kumulatif dengan sindrom kelelahan kronik pada pekerja PESK.

Introduction: Chronic fatigue syndrome is a collection of symptoms from a substantial reduction in the ability to engage in preillness levels of occupational, educational, social, or personal activities that persists for more than 6 months and is accompanied by fatigue, post-exertional malaise, unrefreshing sleep. One of the effects of heavy metal exposure is the occurrence of chronic fatigue syndrome in workers. There is plenty of evidence that some form of fatigue can be caused or exacerbated by work. The working relationship and chronic fatigue syndrome can be questioned, but the elements in the workplace can worsen the symptoms of chronic fatigue syndrome. Small-scale gold miners use mercury in their work, so there is a high risk of chronic mercury poisoning. Workers rarely use personal protective equipment in doing their jobs. One of the health problems due to exposure to mercury is the occurrence of chronic fatigue syndrome that has not been studied at Artisanal and Small scale Gold Mining (ASGM).
Method: This study uses a cross-sectional design to find the relationship between independent variables such as age, sex, working period as a miner, type of work activities in ASGM, and cumulative urinary mercury levels with chronic fatigue syndrome in ASGM workers in West Nusa Tenggara and Banten province. The instrument used is a health assessment questionnaire of mercury-exposed population established by WHO UNEP, match box test, and creatinine-corrected urinary mercury levels.
Results: The prevalence of chronic fatigue syndrome in ASGM workers in West Nusa Tenggara and Banten provinces was 17,9%. Based on the results, the factors of age, sex, work period, type of work, and cumulative urinary mercury levels did not have a statistically significant relationship with chronic fatigue syndrome (p> 0.05).
Conclusion: There was no significant relationship between age, sex, work period, type of work, urinary mercury level and cumulative urinary mercury levels with chronic fatigue syndrome in ASGM workers.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Titil Sry Kurniawati
"Latar Belakang: Tim Surveilans COVID 19 sebagai garda terdepan dalam pengendalian kasus di wilayah administrasi terendah yaitu di Pusat Kesehatan Masyarakat, rentan mengalami mengalami peningkatan stress. Peningkatan  stress bisa disebabkan oleh beban kerja dan faktor lainnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran dan hubungan beban kerja dan faktor risiko lainnya terhadap tingkat stress Tim Surveilans.
Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang dengan pengambilan sampel total sampling sebanyak 115 anggota dalam Tim Surveilans yang terdiri dari surveillant (ASN) dan tracer (relawan) Puskesmas seKota Bogor. Kuesioner yang digunakan untuk mengukur beban kerja adalah kuesioner NASA TLX dan kuesioner Perceived Stress Scale untuk mengukur tingkat stress. Faktor risiko individu pada penelitian ini, usia, jenis kelamin dan latar belakang pendidikan, sedangkan faktor pekerjaan yaitu masa kerja dan jabatan dalam tim. Pengambilan data  secara daring menggunakan Goggle Form.
Hasil: Prevalensi stress 1.7 % stress ringan, stress sedang 49.6% dan stress berat 48.7%. Pada level stress ringan sampai berat didapatkan beban kerja pada Tim Surveilans pada kategori tinggi. Usia ≥25 tahun dan tim Surveilans berlatar belakang pendidikan non kesehatan memiliki kemungkinan stress lebih rendah (OR= 0.41 CI95%= 0.19-0.88 p= 0,02 dan 0R=0.18 CI 95% 0.04-0.77 p=0.016). 
Kesimpulan: Tim surveilans COVID 19 memiliki beban kerja tinggi pada semua kategori tingkat stress. Terdapat  hubungan yang signifikan antara usia dan latar belakang pendidikan dengan tingkat stress.

Background: As front liners in controlling COVID 19 cases in the lowest administrative areas, notably in the Community Health Centers, the COVID 19 Surveillance Team is at high risk to experience stress. Workload and other factors can contribute to stress enhancement levels. This study aims to determine between workload and other factors to the stress level of the Surveillance Team.
Methods: This study applied a cross-sectional research design with a total sampling of 115 respondents from the surveillance team, consisting of surveillants (State Civil Apparatus) and tracers (volunteers) from Public Health Centers throughout Bogor City. This study employed the NASA TLX questionnaire to measure the workload and the Perceived Stress Scale questionnaire to assess stress levels. In addition, individual risk factors in this study covered age, gender, and educational background. Meanwhile, work factors involved years of service and position in the team. The data collection was performed online utilizing Google Form.
Results: Only 1.7% of the Surveillance Team experienced mild stress, while 49.6% experienced moderate stress, and 48.7% experienced severe stress. Across all the levels of stress, the workload of the team surveillance was found to be high. Age 25 years and above as well as non-health educational background were less likely to have stress (OR= 0.41 CI95%= 0.19-0.88 p= 0,02 and 0R=0.18 CI95% 0.04-0.77 p=0.016).
Conclusion: The COVID 19 Surveillance Team had a high workload in all categories of stress level. There was a significant correlation of age and educational background with stress levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferdianto
"Toluena adalah bahan kimia yang banyak digunakan sebagai bahan dasar dan pelarut di bidang industri. Toluena bersifat neurotoksik, dapat menembus sawar darah-akson sehingga dapat menyebabkan gangguan di sistim saraf pusat serta saraf tepi termasuk di saraf optik. Pada penelitian sebelumnya pajanan inhalasi kronis toluena dosis tinggi pada tikus dapat meningkatan kadar malondialdehyde (MDA).
Penelitian eksperimental ini bertujuan untuk mengetahui efek pajanan toluena terhadap saraf optik, dengan pemeriksaan kadar MDA plasma, MDA saraf optik dan histopatologi saraf optik. Tiga puluh tikus wistar jantan dibagi menjadi lima kelompok, yaitu kelompok kontrol, kelompok pajanan toluena 12.5 ppm, 25 ppm, 50 ppm, dan 100 ppm selama 4 jam/hari dalam waktu 2 minggu. Kondisi lingkungan dipertahankan pada suhu berkisar 25oC-32oC dengan kelembaban relatif 30%-70 % Pemeriksaan kadar MDA plasma dan MDA saraf optik dilakukan dengan metode Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS). Penilaian histopatologis saraf optik dengan pewarnaan biru toluidin dan mikroskop cahaya.
Dari hasil penelitian ditemukan perbedaan median nilai histopatologi saraf optik (p<0.001) yang bermakna antar kelompok. Nilai histopatologi saraf optik mulai menunjukan perbedaan bermakna pada kelompok dengan pajanan toluena 50 ppm. Tidak terdapat perbedaan rerata kadar MDA saraf optik yang bermakna antar kelompok pajanan toluena (p=0.056). Pajanan toluena menyebabkan degenerasi akson dan fibrosis pada saraf optik tikus.

Toluene is a widely used chemical, mostly as basic material and as a solvent in industry. Toluene is neurotoxic, can penetrate the blood-axons barrier that can cause disturbances in the central nervous system and peripheral nerves including the optic nerve. In previous study, chronic inhalation exposure of rats to toluene in high doses can cause elevated levels of malondialdehyde (MDA).
The objective of this experimental study is to determine the effects of toluene exposure in the optic nerve, by examining the levels of plasma MDA, optic nerve MDA and optic nerve histopathology. Thirty male wistar rats were divided into five groups: control group, 12.5 ppm, 25 ppm, 50 ppm, and 100 ppm toluene exposure groups, exposure was 4 hours/day for a period of 2 weeks. The environment (temperature and humidity) was kept in 25oC-32oC and 30%-70%. Measurement of plasma MDA and optic nerve MDA level was conducted by using Thiobarbituric Acid Reactive Substances (TBARS). The optic nerve histopathologic was assessed by using toluidine blue staining and light microscopy.
The result showed there were significant differences in the optic nerve histopathology score (p<0.001) between groups. Optic nerve histopathology score began to show significant differences in the group with 50 ppm toluene exposure. No significant differences were found in the mean levels of optic nerve MDA between groups (p=0.056). Toluene exposure causes degeneration of axons and fibrosis in the rat optic nerve.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Agung Handriawan
"Latar Belakang: Bekerja di lingkungan offshore berpotensi menimbulkan stres kerja. Menurut penelitian sebelumnya stres kerja dapat meningkatkan kadar glukosa darah, Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi adanya hubungan antara kadar glukosa darah puasa tinggi dan DM dengan stres kerja serta faktor risiko lainnya pada pekerja offshore.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain cross sectional dengan 156 orang responden. Variabel yang diteliti adalah usia, indeks massa tubuh, lingkar perut, dislipidemia,tekanan darah, jabatan pekerjaan, masa kerja, dan stres kerja. Data diperoleh dari penilaian tingkat stress melalui Survei Diagnostik stres dan hasil medical check up tahun 2017. Analisis data menggunakan univariat, bivariat, dan multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Prevalensi glukosa darah puasa tinggi dan diabetes mellitus sebesar 12.2 . Berdasarkan uji Fisher terdapat hubungan yang bermakna antara usia, dislipidemia, jabatan pekerjaan dan masa kerja dengan kadar glukosa darah puasa tinggi dan Diabetes Mellitus , namun pada analisis multivariat hanya faktor jabatan pekerjaaan supervisor merupakan yang paling dominan mempengaruhi dgn OR=7,051 95 CI 1,963-25,325. Tidak ditemukan adanya hubungan antara hasil SDS dengan kadar glukosa darah tinggi dan DM.
Kesimpulan dan saran: Faktor risiko paling dominan terhadap glukosa darah puasa tinggi dan diabetes mellitus adalah faktor jabatan pekerjaan oleh karena itu perlu dilakukan hal-hal sebagai berikut, yaitu skrining hasil MCU untuk pekerja khususnya jabatan supervisor, melakukan pemeriksaan berkala kadar glukosa darah, memperbanyak aktivitas fisik ketika bekerja dilapangan serta program peningkatan kesadaran kesehatan, terutama mengenai pencegahan penyakit Diabetes Mellitus.

Background: Working in offshore environments where workers are placed in remote locations will potentially cause work stress. According to previous researches, work stress can increase blood glucose levels. This study aims to prove Relation of High Fasting Blood Glucose level and DM with Job Stress and Other Risk Factors In Offshore Workers.
Method: This study used cross sectional design with total 156 respondents. The studied variables were age, body mass index, abdominal circumference, dyslipidemia, and blood pressure as well as job risk, job position, working period, and work stress. The tools used to evaluate the stress level were Stress Diagnostic Survey and results of periodic Medical Check up in 2017. The analysis of research data used univariate, bivariate and multivariate analysis with logistic regression.
Study Results: The prevalence of high fasting blood glucose anad Diabetes Meliitus is 12,2 . Using Fisher statistic test, an association was found between age, dyslipidemia, job position,woking period and high fasting blood glucose or diabetes mellitus. But multivariate analyses showed that only job title supervisor is the most dominant influential factor Oradj 7,051 95 CI 1,963 25,325. There was no correlation between SDS results with high fasting blood glucose level and DM.
Conclusion and Suggestion: The employee's job function is the most dominant factor in high fasting blood glucose Diabetes Mellitus, therefore it is important to conduct several activities such as screening on MCU record, particularly on Supervisors conducting routing blood glucose check increasing physical activities at work and carrying out the health awareness program, especially awareness on DM prevention.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Annisa Abdullah
"Latar belakang :Pekerja sektor informal pinggir jalan adalah salah satu golongan pekerja yang kurang mendapatkan perhatian. Perkembangannya di Jakarta semakin pesat seiring berjalannya waktu. Hasil studi sebelumnya menunjukkan terdapat 46,7 pekerja sektor informal tepi jalan pengecat mobil mengalami gangguan fungsi paru, namun hingga saat ini belum ada penelitian mengenai penyakit infeksi pada pekerja informal pinggir jalan. Prevalensi TB pada masyarakat dewasa di DKI Jakarta adalah 0,6 , lebih tinggi dari prevalensi TB pada masyarakat Indonesia pada umumnya dan tertinggi kedua setelah Provinsi Jawa Barat. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi penyakit tuberkulosis paru pada pekerja informal pinggir jalan dan hubungannya dengan pajanan logam berat di wilayah DKI Jakarta. Metode :Desain yang digunakan adalah cross sectional, dengan jumlah sampel sebanyak 96 responden. Digunakan data sekunder dari penelitian lain, berupa hasil pengukuran logam Cd, Cr dan Pb dalam darah. Variabel bebas lainnya adalah karakteristik pekerja dan karakteristik pekerjaan. TB ditentukan dengan data hasil pemeriksaan Rontgen Thoraks dan atau Pemeriksaan BTA serta riwayat penyakit Tuberkulosis dalam masa kerja. Analisis data menggunakan SPSS versi 20. Hasil : Prevalensi TB paru pada pekerja informal pinggir jalan adalah 18,75 . Ditemukan satu variabel yang berhubungan secara signifikan dengan TB paru, yaitu status gizi kurang OR = 73,00; 95 CI = 15,72-338,96 . Kesimpulan dan saran : Dengan demikian, maka disarankan kepada pihak terkait diantaranya Dinas Kesehatan dan Dinas Tenaga Kerja untuk melakukan upaya promotif dan preventif agar kesehatan dan keselamatan kerja para pekerja sektor informal terutama pinggir jalan dapat lebih baik. Serta pemantauan pengoabatan TB terutama pada pekerja agar dapat dilaksanakan dengan tuntas.

Background We see that informal workers is one of group worker that has lack of concern by government of example, whereas the amount of them grow so fast by time. A study at different place showed that 46,7 of roadside car painting workers experienced lungfunction disorder. But there is no study that analyze disease caused by infection among the roadside informal workers, for example tuberkulosis. Prevalence of TB among adult in DKI Jakarta province is 0,6 , higher than TB prevalence in Indonesia, and Jakarta has the second highest prevalence after West Java Province. The aim of the study is to know the prevalence of TB among the roadside informal workers, anad the association between heavy metal exposure with the incidence of tuberkulosis on roadside informal workers in Jakarta. Method The design of this study is cross sectional design. There were 96 of respondens were studied. This study was use secondary data from other study, that is heavy metals Pb, Cd, and Cr levels in their blood. The independent variables in this research are job and worker characteristics. And this study analysis use SPSS 20 version. Result Prevalence that have tuberkulosis of the roadside informal workers is 18,75 . One variable had significant association with tuberkulosis, it is nutritional status of the roadside informal workers OR 72,000 95 CI 15,722 338,957. Summary Therefore suggested to District Health Office and to increase the promotif and preventive effort for better health and safety status of roadside informal workers. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poudra Agusta Raindra Wardana
"Latar Belakang: Penyakit jantung dan pembuluh darah merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia yang insidennya terus meningkat. Pajanan logam berat diketahui mempunyai efek gangguan kesehatan apabila terpajan dalam konsentrasi yang cukup, termasuk gangguan sistem kardiovaskular. Pajanan logam berat merupakan risiko yang harus dihadapi banyak pekerja. Pekerja sektor informal merupakan kelompok pekerja yang kurang mendapat perlindungan, sehingga lebih berisiko untuk mengalami gangguan kesehatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya hubungan antara pajanan logam berat terhadap peningkatan skor Framingham pada pekerja sektor informal.Metode: Desain penelitian adalah cross sectional, dengan jumlah sampel 96 pekerja informal laki laki yang dipilih secara konsekutif, di area pinggir jalan raya. Pada seluruh sampel dilakukan pemeriksaan kadar logam kadmium, kromium dan timbal dalam darah serta pemeriksaan laboratorium lainnya yang diperlukan untuk menghitung skor Framingham.Hasil : Kadar logam kromium dan timbal dalam darah pada semua menunjukkan nilai di bawah Indeks Pajanan Biologis IPB , sedangkan kadar Kadmium pada 5 pekerja menunjukkan nilai di atas IPB. Ada 13 pekerja 13,5 yang Skor Framingham termasuk golongan risiko tinggi. Ditemukan hubungan bermakna antara pajanan kadmium dengan skor Framingham OR 12,15, 95 CI 1,80-81,72 , serta adanya korelasi lemah yang signifikan dengan nilai r pearson sebesar 0,23. Tidak ditemukan adanya hubungan kadar logam lainnya, faktor individu dan faktor pekerjaan lain dengan skor Framingham.Kesimpulan: Pajanan logam Kadmium di atas IPB meningkatkan risiko skor Framingham tinggi sebesar 12 kali, meskipun korelasi lemah 23,5 . Pajanan logam berat kromium dan timbal tidak ditemukan hubungan dengan peningkatan skor Framingham.

Background Coronary Artery Disease is the number one cause of death globally more people die annually from Coronary Artery Disease. Heavy metal exposure has proven to be a major threat to health risk, including cardiovascular disorders at sufficient concentration. Many workers are exposed to heavy metals and informal workers belong to the unprotected population, therefore are at higher risk to have health problems. The aim of this study is to know the relationship between heavy metal cadmium, chromium, lead exposure and risk of coronary heart disesase using Framingham score among informal workers.Method The design of this study was cross sectional with 96 informal workers as sample. Cadmium, Chromium and Lead blood levels were measured and other laboratorium examination was conducted that are needed to calculate the Framingham Score.Results Chromium and Lead blood levels, were all below their Biologic Exposure Index BEI , 5 workers had Cadmium blood above the BEI , 13 workers had a high risk Framingham score 13,5 . Framingham risk score was significantly associated with Cadmium exposure with OR 12,15 , 95 CI 1,80 81,72. Pearson correlation between blood cadmium and Framingham score was significant with r 23,5 weak correlation .Conclusion A positive correlation was found between blood cadmium with Framingham score 23,5 . Chromium ad Lead blood levels had no association with Framingham score."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58623
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>