Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 14 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amirah Nisrina
"ABSTRAK
Malaria merupakan penyakit endemik yang disebabkan oleh Plasmodium sp melalui nyamuk Anopheles. Pemberian terapi klorokuin merupakan terapi lini pertama sebagai antimalaria, terutama pada Plasmodium falciparum. Penggunaan klorokuin menjadi tidak terkontrol dan resisten pada beberapa wilayah disebabkan penggunaan dosis obat yang tidak adekuat. Penelitian ini bertujuan dalam menemukan terapi herbal yang dapat bekerja sebagai efek antimalaria. Pemberian herbal yang digunakan pada penelitian ini adalah Spirulina crude yang dalam bentuk bubuk. Spirulina merupakan tanaman yang bekerja dengan menghambat pertumbuhan parasit dengan memodulasi sistem imun. Selain itu, Spirulina juga memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan antiinflamasi. Zat aktif yang terkandung dalam Spirulina adalah fikosianin. Pada penelitian ini dilakukan pengujian dari efek pemberian Spirulina baik secara tunggal maupun kombinasi dengan klorokuin secara oral kepada mencit Swiss yang terinfeksi Plasmodium berghei.  Dosis Spirulina yang diujikan adalah 250 mg/kgBB mencit dan 500 mg/kgBB mencit. Perbandingan densitas parasitemia dengan metode the 4 days suppression test pada semua kelompok perlakuan, mendapati nilai signifikan (p<0.01) dengan uji Kruskal-Wallis. Hasil penelitian membuktikan bahwa kombinasi Spirulina dengan klorokuin dapat menghambat pertumbuhan parasitemia lebih tinggi dibandingkan pemberian tunggal klorokuin maupun Spirulina. Hal ini dapat disimpulkan pemberian Spirulina menunjukkan sinergisme dengan klorokuin sebagai terapi antimalaria. 

ABSTRACT
Malaria is an endemic disease caused by Plasmodium sp. through Anopheles mosquitoes. Chloroquine therapy is the first line therapy as antimalarial, especially in Plasmodium falciparum. The use of chloroquine as antimalarial becomes uncontrolled and resistant in some areas due to inadequate use of drug doses. This study aims to find an herbal therapy that can act as an antimalarial agent. Herbal therapy that used in this study is crude spirulina powder. Spirulina is a plant that works by inhibiting the growth of the parasite by modulating the immune system. In addition, Spirulina also has the ability as an antioxidant and antiinflammatory. The active substances contained in Spirulina are flavonoids. This study examined the herbal therapy of Spirulina either single or in combination with chloroquine to Swiss mice infected with Plasmodium berghei orally.  The dose of Spirulina used was 250 mg / kgBW mice and 500 mg / kgBW. The ratio of parasite density to the 4 days suppression test method in all treatment groups found significant value (p <0.01) with Kruskal-Wallis test. The results prove that the combination of Spirulina with chloroquine has stronger the growth inhibitory activity of parasitemia than single-chloroquine and Spirulina therapy. It can be concluded that Spirulina therapy shows synergism with chloroquine as antimalaria therapy. "
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Hasanah
"Infeksi malaria merupakan masalah kesehatan yang masih menjadi perhatian dunia karena meningkatnya resistensi terhadap obat standar malaria, yaitu ACT. Pada penelitian ini, ekstrak tumbuhan yang digunakan adalah pasak bumi dan propolis sebagai antimalaria. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui efek antimalaria pada kelompok tunggal propolis dan kelompok kombinasi propolis dengan ekstrak akar pasak bumi. Mencit yang digunakan sejumlah 35 ekor dan terbagi atas 6 kelompok. Kelompok perlakuan terdiri atas dua kelompok kontrol, kelompok propolis tunggal dengan dosis 90 mg/kgBB dan 180 mg/kgBB dan kelompok kombinasi propolis dosis sama seperti tunggal dengan pasak bumi dosis 60 mg/kgBB dan 75 mg/kgBB. Plasmodium berghei 2 diinjeksikan pada setiap mencit dan dibuat apusan darahnya selama 8 hari untuk dilihat tingkat parasitemianya. Hasil dari penelitian menunjukan bahwa tidak ada perbedaan yang bermakna antara kontrol positif dengan kedua kelompok kombinasi p=0,136 dan 0,289 . Akan tetapi pemberian kedua dosis kombinasi propolis dengan pasak bumi GI: 97,97 dan 97,83 jauh lebih baik dibandingkan penggunaan tunggal propolis. Kontrol positif GI: 98,63 memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan dengan propolis tunggal GI: 23,88 dan 51,66 . Perlakuan kombinasi lebih baik dibandingkan dengan perlakuan tunggal dalam menghambat parasitemia.

Malaria infection is still being a global concern because of the increasing resistance to standard drug malaria, Artemisinin Combination Therapy. In this research, plant extract, pasak bumi and propolis, was using as antimalarial. This study was conducted to find out antimalarial effect of single propolis and combination of propolis with pasak bumi root extract. Using 30 mice, the treatment group divided to 6 groups, consisted of two control groups, two groups of Single propolis with doses of 90 mg kgBW and 180 mg kgBW and two Combination groups of propolis doses same as Single propolis group with pasak bumi dose 60 mg kgBW and 75 mg kgBW. Plasmodium berghei 2 was injected in each mouse and made blood smear for 8 days to be seen parasitemia level. The results of the study showed that there was no significant difference between positive control with the two Combination groups p 0.136 and 0.289 . However, the Combination group of propolis and pasak bumi GI 97.97 and 97.83 is much better than Single propolis group. Positive control GI 98.63 had a better outcomes than Single propolis group GI 23.88 and 51.66 . Combination group is better than Single propolis group in inhibiting parasitemia.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Farhan
"ABSTRAK
Malaria merupakan masalah kesehatan di dunia. Tantangan yang muncul dalam mengatasi malaria adalah munculnya resistensi pada klorokuin, salah satu obat antimalaria. Resistensi mendorong dilakukannya berbagai penelitian untuk menemukan senyawa antimalaria yang baru. Salah satu yang berpotensi adalah propolis, produk lebah madu, yang mengandung luteolin 7-O glucoside danchalcone. Luteolin 7-O glucoside menginhibisi biosintesis asam lemak tipe 2 parasit dan chalcone menghambat proses hemolisis. Penelitian ini bertujuan mempelajari efektifitas kombinasi propolis dan klorokuin dibandingkan tingkat yang diberi terapi klorokuin, terapi tunggal propolis, dan terapi kombinasi pada parasitemia mencit Mus musculus terinfeksi Plasmodium berghei. Dosis propolis yang diuji adalah 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB. Selisih tingkat parasitemia dari yang terkecil dan terbesar berturut-turut adalah pada kelompok perlakuan terapi tunggal klorokuin, terapi kombinasi dosis 60 mg/kgBB, terapi kombinasi dosis 60 mg/kgBB, terapi tunggal propolis dosis 30 mg/kgBB, dan terapi tunggal propolis dosis 60 mg/kgBB. Terapi tunggal 30 mg/kgBB propolis berhasil menginhibisi pertumbuhan parasit secara signifikan Namun terapi tunggal 60 mg/kgBB propolis memiliki efek tidak signifikan mempercepat pertumbuhan parasit. Walaupun demikian, terapi tunggal propolis masih belum sebanding dengan terapi tunggal klorokuin. Terapi kombinasi propolis tidak memberi perubahan yang signifikan pada efek antimalaria klorokuin. Oleh karena itu, dapat disimpulkan propolis dengan dosis 30 mg/kgBB dan 60 mg/kgBB tidak cocok untuk digunakan pada terapi kombinasi dengan klorokuin.

ABSTRACT
Malaria is a health problem in the world. The resistance encourages the of various studies to discover new antimalarial compounds. Propolis contained luteolin 7 O glucoside and chalcone which inhibits biosynthensis of parasite rsquo s type 2 fatty acids and hemolysis process. The research aimed to study efficacy of propolis and chroquine combination therapy against different therapy groups choroquine therapy, propolis single therapy, and combination therapy by parasitemia level of mice Mus musculus infected by Plasmodium berghei. The dose of propolis was 30 mg kgBW and 60 mg kgBW. The smallest to largest difference of parasitemia in order is chloroquine single therapy, propolis 60 mg kgBW combination theraphy, propolis 30 mg kgBW combination theraphy, propolis 60 mg kgBW single therapy, and propolis 30 mg kgBW single therapy. Propolis 30 mg kgBW single therapy significantly inhibit parasite growth. Meanwhile, propolis 60 mg kgBW single therapy insignificantly accelerating the growth of parasite. Nevertheless, combination of different dose propolis and chloroquine showed worse growth inhibition compared to chloroquine therapy insignificantly. Supplementary of propolis did not provide a significant change in the antimalarial effects of chloroquine. Propolis 30 mg kgBW and 60 mg kgBW is unsuitable for use in combination therapy with chloroquine."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arfan Awaloeddin
"Rurnah sakit sebagai mata rantai sistern kesehatan diharapkan dapat mencapai pelayanan yang bermutu, berdaya guna, serta didirikan dan dijalankan dengan tujuan untuk memberikan pelayanan kesehatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif yang diperlukan oleh masing-masing penderita dalam batas kemampuan teknologi dan sarana yang tersedia di rumah sakit. Salah satunya adalah instalasi farmasi yang merupakan sarana penting dalam proses penyembuhan dan merupakan salah satu komponen biaya operasional yang besar dari seluruh biaya operasional rumah sakit.
Anggaran yang dibelanjakan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Awal Bros untuk obat dan alkes sebanyak 46.65 % (Rp 5.155.680.986) dari total pengeluaran rumah sakit, dari jumlah tersebut 37.88% (1.952.881.880) adalah investasi untuk obat antibiotika.
Penelitian dilakukan di Instalasi Farmasi Rumah Sakit Awal Bros pada pemakaian obat-obatan antibiotika periode Januari hingga Juni tahun 2001, dengan tujuan mengidentifikasi tingkat persediaan obat antibiotika di instalasi farmasi, merencanakan dan mengendalikan jumlah pemesanan obat yang efisien dan efektif.
Perencanaan yang tepat diharapkan dapat menghasilkan suatu jumlah dan jenis persediaan perbekalan di instalasi farmasi, dalam hal ini khusus obat antibiotika. Persediaan obat-obatan antibiotika dikelompokkan menjadi 3 (tiga) kelompok berdasarkan nilai pemakaian, nilai investasi dan nilai indeks kritis dengan memakai analisis ABC. Pengelompokkan ini merupakan salah satu cara untuk mengendalikan persediaan, dengan demikian dapat diketahui jenis obat mana yang perlu diperhatikan karena mempunyai investasi yang tinggi dengan nilai kritis yang tinggi pula. Indeks kritis dapat diketahui melalui pendapat dari para dokter full timer yang berada di Rumah Sakit Awal Bros yang memakai obat tersebut.
Hasil analisis indeks kritis ABC didapatkan basil bahwa kelompok A untuk 75-20-5 yang memerlukan investasi paling tinggi (66.51 % dari seluruh biaya) terdiri dari 32 item obat (9.33 %), kelompok B menelan biaya 28.99% terdiri dari 126 item obat dan kelompok C menelan biaya 4.50% dari seluruh biaya. Jenis obat antibiotika kelompok A 75-20-5 berdasarkan pemakaian, investasi dan indeks kritis berjumlah 74 item, jika dikelompokkan dengan kelompok nama generik akan dapat berkurang menjadi 60 item. Hal ini setidaknya rumah sakit Awal Bros dapat melakukan efisiensi sehingga biaya yang hares diinvestasikan akan berkurang.

Hospital is the part of health system chain which might be expected to provides quality services, efficient, and was established, operated to achieve various level of health services including promotion, prevention, curative and rehabilitation to meet patient needs in accordance to both technologies and facilities availabilities in the respective hospital.
In particularly, pharmaceutical department is one of the important facilities in patient care that consume the biggest part of operational cost. In Awal Bros hospital, drugs and consumable goods spent 46.65% of total hospital expenditure. (Rp 5.155.680.986.-). In addition the hospital spent 37.88% of their total drugs expenditure for antibiotic (1.952.881.880 rupiahs).
This study took place in Pharmaceutical Department of Awal Bros hospital during January 2001 thorough June 2001 period that aimed to identify the availability of antibiotic, and to develop the most economical procurement plan as well as to manage the availability.
By doing so it was expected the hospital could manage the availability of antibiotic in terms of amount and type. The availability of antibiotic was grouped into different categories according to level of utilization, investment as well as critical index by using ABC analysis. This approach aimed to control level of antibiotic availability, an effort to identify priority in next procurement by considering its investment level and critical index. Information on critical index was gathered from selected residence physicians that had been known as frequent users.
The ABC critical index analysis revealed that group A (75- 20-5) represented the highest investment totaling 66.51% of total expenditure, consisted of 32 item of antibiotic (9.33%); group B represent 28.99% of total expenditure (126 items) and group C represent 4.50% of total expenses. The total group A 75-20-5 with categories according to level of utilization, investment as well as critical index consisted 74 items, if grouped to generic drugs the least would decrease to 60 items. This approach which aimed to control level of antibiotic availability, can be utilized to identify priority in next procurement by considering its investment level.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T596
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Triastuti
"Saat ini kondisi Laboratorium RSJP Bogor masih merupakan unit yang bersifat cost center. Seiring dengan perubahan status RSJP Bogor menjadi RS Perjan diharapkan Laboratorium bisa menjadi unit yang profit center. Sehingga dalam operasional pelayanannya diperlukan suatu perencanaan strategik.
Dalam penyusunan perencanaan strategik Laboratorium RS Jiwa Pusat Bogor dilakukan penelitian operasional dengan analisis data kualitatif dan kuantitatif. Penyusunan strategi dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu Tahap I Input Stage yang merupakan analisa lingkungan Internal dan External, Identifikasi faktor kekuatan, kelemahan dan faktor peluang serta ancaman yang dilakukan oleh Consensus Decision Making Group (CDMG) yang terdiri dari direksi, para kepala bidang dan para kepala Instansi.
Tahap II dilakukan Matching Stage, CDMG melakukan analisa dengan IE matrix dan BCG Matrix, yang menghasilkan beberapa alternatif strategi. Selanjutnya Tahap III adalah Decision Stage dengan menggunakan matrix QSPM untuk menentukan prioritas strategi.
Dari hasil penelitian pada Matrix IE, posisi Laboratorium RSJP Bogor berada pada posisi kuadran III yaitu Hold and Maintain dengan alternatif strategi yaitu Market Penetration dan Product Development. Sedangkan dengan BCG Matrix berada pada posisi kuadran II yaitu Question Mark dengan alternatif strategi market penetration dan product development.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa Laboratorium RSJP Bogor masih memiliki peluang pasar yang besar dan dengan memaksimalkan kekuatan yang dimiliki serta meminimalkan kelemahannya diharapkan dapat meraih peluang yang ada. Sebagai saran, maka strategi yang terpilih perlu dijabarkan dalam bentuk kegiatan sehingga lebih mudah dioperasionalkan dan dipantau.

Now a days, the condition of RSJP Laboratory still a cost center unit. According to the changing of RSJP Bogor become RS Perjan we hope that the Laboratory will be the profit center unit. Within the operational services will need a strategic planning.
In heaps of strategic planning of Laboratory RSJP Bogor held the operational research of analysis from qualitative and quantitative data. The strategic heaps was done by ranking or step such as step 1 is Input Stage means Internal and External Environment analysis, identification of strengthen, weakness, opportunities and threatened factor done by Consensus Decision Making Group (CDMG) consist of Board of Director, and other staffs. Step II is Matching Stage, CDMG has analyzed with IE matrix and BCG matrix, has produced a few strategy alternative. Next step, step III is Decision Stage using QSPM matrix to set up the strategy priority.
From the result of IE matrix research, the position of RSJP Bogor Laboratory exists on position Quadrant III which Hold and Maintain with strategy alternative which is Market Penetration and Product Development. According to BCG matrix the position was Quadrant II is Question Mark with strategy alternative Market Penetration and Product Development.
The research has conclude that RSJP Bogor Laboratory still have a big market chance with maximizing the strengthen and minimizing the weakness, and hope to get the chance. As an advising, the strategy still need to apply on good activity means easy to operate and evaluate."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T9432
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliana
"Salah satu strategi eliminasi infeksi Soil transmitted Helminth (STH) adalah pemberian antelmintik seperti albendazol secara massal. Tetapi penggunaan antelmintik secara luas dalam jangka waktu lama dikhawatirkan dapat menyebabkan terjadinya terjadi penurunan efikasi obat. Salah satu faktor yang bisa menyebabkan penurunan efikasinya adalah single nucleotide polymorphism (SNP) kodon 200 gen beta tubulin cacing.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui susunan basa kodon 200 pada A. lumbricoides dan T. trichiura yang bisa menyebabkan adanya perbedaan efikasi albendazol. DNA dari telur dan jaringan cacing diisolasi, diamplifikasi dengan PCR kemudian dilakukan proses sekuensing. Setelah itu pada hasil sekuensing dilakukan alignment dengan sekuens referensi untuk mengetahui susunan basa pada kodon 200 gen beta tubulin. Hasilnya pada dua cacing A. lumbricoides dan satu cacing T. trichiura didapatkan susunan basa TTC pada kodon 200.

One of the Soil transmitted Helminth (STH) infection elimination strategy is mass administration of anthelmintic such as albendazol. But the anthelmintic widespread use in a long term can cause decrease in efficacy. One of the factor that can cause decrease in efficacy is single nucleotide polymorphism (SNP) codon 200 beta tubulin gene of the worm.
This study aimed to determine codon 200 in A. lumbricoides and T. trichiura that can cause a difference in albendazol efficacy. DNA from worm eggs and tissue were isolated, amplificated by PCR and sequenced. Sequencing result were also aligned with the reference sequence to get the bases in codon 200 beta tubulin gene. The bases on codon 200 beta tubulin gene from two A. lumbricoides and one T. trichiura is TTC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Efo Prapiatna
"ABSTRAK
Rumah sakit sebagai bagian dari jasa pelayanan kesehatan masyarakat
dituntut mempunyai manajemen pengelolaan yang baik untuk mengantisipasj
tuntutan lingkungannya melalui perencanaan strategis dengan memformulasi,
implementasi, evaluasi keputusan fungsional untuk mencapai tujuan.
RSU Restu Ibu sebagai rumah sakir swata di Kodya Padang menempati
lahan 2.500 M2 dengan fasilitas 3 buah gedung seluas 5.000 M2, mempunyaì 52
tempat tidur digerakkan oleh 140 rang SDM, dirintis 34 tahun yang lalu oleh Bidan
Hj.Nurhima D.Muzbar berbentuk rumah bersalin.
Tahun 1990 RSU Restu ibuu, diresmikan menjadi rumah sakit swasta
dibawah pengelolaan Yayasan Restu Ibu, tumbuh dengan manajemen kekeluargaan,
dan kemudian clilebur tahun 1995 menjadi PT Restu Ibu Citra Husada dibawah
afiliasi manajemen Bunda Indonesia.
Berjalan 5 tahun, kinerja RSU Restu Ibu makin membaik, tetapi disisi
keuangan tidak sesuai, turn over perawat cukup tinggi, perencanaan investasi dan
pengelolaan sumber daya tidak terencana, berakibat terjadinya inefisiensi dan
misinfestasi. Untuk mengantisipasi masalah tersebut diperlukan perencanaan strategi
RSU Restu Ibu tahun 2001-2006, rnelalui analisa Iingkungan ekstemal dan internal.
Hash analisa lingkuugan melalui data primer dengan mewawancarai direksi
dan data sekunder dari BPS, data Keuangan dan RM RSU Restu Ibu untuk
menentukan peluang (jusnlah penduduk,angkatan kerja SUMBAR dan Kodya
Padang, Pasien berdasarkan urnur, pendidikari, dan cara pembayaran, kinerja pesaing,
dan dukungan pemasok), ancanian (RKU, pendapatan perkap ita, biaya RT dan
Kesehatan, serta kebijakan pemerintah), kekuatan (Visi dan misi, citra dart flama baik,
fasilitas fisik, produk pelayanan, serta sistem informasi), dan kelemahan (SDM,
keuangan, organisasi, Litbang, dan pemasaran) sebagai bahan tahap diaghnosis dan
diolah dengan analisa SWOT, External dan internal Factor Evaluation (EFE dan
IFE). Kemudian dilakukari tahap penggabungari dengan menggumaRan matriks
TOWS dan TE, dimana menghasillcan strategi Product Devalopment, yang
selanjutnya dilakukan tahap penetapan rencana strategis dengan Qantitatìve
StrategicPlanning Matrix (QSPM) yang menghasilkan strategi prioritas One Day
Surgery (ODS).
Kebijakan diambil tidak melakukan intervensi melalui investasi baru kecuali
inendukung program ODS, yang secara tekimis menentukan jenis pelayanan, struktur
organisasi, penggung jawab, penetapan tarif, dan pemasarnya."
2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismalia Husna
"Aedes aegypti merupakan vektor utama penyakit demam berdarah dengue DBD . Sampai saat ini belum ada obat maupun vaksinnya, sehingga pengendalian vektor merupakan kunci utama dalam menurunkan transmisi penyakit DBD. Pengendalian vektor yang sering digunakan adalah dengan insektisida kimia, namun penggunaannya yang terus-menerus dapat mengakibatkan resistensi dan pencemaran lingkungan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah penggunaan insektisida hayati yang berasal dari ekstrak tanaman, salah satu tanaman yang berpotensi sebagai insektisida hayati adalah duku Lansium domesticum . Tujuan penelitian ini adalah menetapkan konsentrasi efektif dari ekstrak metanol daun duku dan mekanismenya dalam menimbulkan kematian larva Aedes aegypti. Penelitian ini menggunakan ekstrak daun duku dengan 7 konsentrasi yaitu 0,1 , 0,2 , 0,4 , 0,6 , 0,8 , 1 , 1,2 dan 0 sebagai kontrol untuk mendapatkan nilai LC50 dari ekstrak. Nilai LC50 dipakai untuk ekstrak metanol dan fraksi daun duku dalam pemeriksaan morfologi, histologi, aktivitas enzim, dan kadar zat anorganik larva. Hasil penelitian menunjukkan bahwa selama 24 jam pemaparan ekstrak didapatkan LC50 dan LC90 adalah 0,22 dan 0,32 . Perubahan morfologi pada larva Ae. aegypti yang terjadi adalah ukuran larva mengecil, warna pucat, papil anal rusak, dan sifon menghitam. Histopatologi pada larva menunjukkan perubahan midgut seperti penonjolan sel ke arah apikal, sel epitel lepas kedalam lumen, dan susunan sel tidak teratur. Ekstrak dan fraksi menurunkan aktivitas enzim esterase dan menaikkan aktivitas enzim GST larva, serta mempengaruhi kadar zat anorganik larva. Kesimpulan penelitian ini adalah ekstrak metanol dan fraksi daun duku memiliki aktivitas larvasida dengan mengubah morfologi dan histologi, mempengaruhi aktivitas enzim esterase, GST, dan kadar zat anorganik pada larva.

Aedes aegypti is the main vector of Dengue Hemorrhagic Fever DHF . Until now there is no drug or vaccine, so vector control is the key in reducing the transmission of dengue. Chemical insecticide has caused some conserns on the resistance, safety, and toxicology impact. Therefore, using insecticide derived from plant extracts is an alternative. One of potential plant that can be used is Duku Lansium domesticum . The objective of this study was to determine the effective concentration of methanol extract of L. domesticum leaves and its mechanism that causing the death of Aedes aegypti larvae. This study use 7 concentration that was 0,1 , 0,2 , 0,4 , 0,6 , 0,8 , 1 , 1,2 and 0 as control to got LC50 value. The LC50 value of extract was used for methanol extract and fractionation on examination of morphology, histology, enzyme activity, and inorganic degree from larvae. The result was shown that LC50 and LC90 after 24 hours exposure of bioassay were 0.22 and 0.32 . LC50 and LC90 after 48 hours exposure of bioassay were 0.07 and 0.12 . The exposure of L. domesticum leaves methanol extract caused morphological changes in larvae such as the size becomes smaller, pale, anal papillae damage, and darken of siphon. Histopathology of midgut larvae showed that cell protrusion to apical, detached of cells into the lumen, and irregular cell structure. Extract and fraction were influence for esterase and GST enzyme activity in larvae and its inorganic substance level. The conclusion was methanol extract and fraction of L. domesticum leaves has larvacide activity by changed morphology and histology, influence enzyme activity of esterase, GST, and inorganic degree of larvae."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadlia Fardhana
"Clinical pathway merupakan sebuah alat untuk menjaga kualitas pelayanan dan efisiensi biaya dengan cara menstandarkan pelayanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak dari implementasi clinical pathway terhadap peningkatan kualitas pelayanan dan pengeluaran biaya yang lebih efisien. Analisis dampak dari implementasi clinical pathway dilakukan dengan cara membandingkan lama hari rawat, pelayanan, dan tagihan antara kelompok sebelum dan setelah implementasi clinical pathway dengan standar pelayanan. Tidak ada perbedaan rata-rata yang signifikan antara sebelum dan setelah clinical pathway pada lama hari rawat yaitu sebesar 5,9 hari, namun pada setelah clinical pathway terjadi penurunan variasi dan lebih mengikuti standar dalam clinical pathway. Variasi laboratorium dan radiologi mengalami penurunan pada kelompok setelah clinical pathway namun pada obat terjadi peningkatan jumlah variasi. Tagihan pasien mengalami kenaikan yang signifikan yaitu sebesar 19,66%. Peningkatan tagihan disebabkan oleh lama hari rawat yang cenderung lebih panjang pada kelompok setelah clinical pathway sehingga meningkatkan biaya akomodasi dan tindakan. Rumah sakit perlu melibatkan seluruh tenaga kesehatan terkait mulai dari proses pembuatan clinical pathway hingga implementasinya agar proses implementasi menjadi lebih maksimal. Selain itu, diperlukan peninjauan dan sosialisasi perihal peraturan terkait Pedoman Nasional Pelayanan Kesehatan, Panduan Praktik Klinis, dan clinical pathway oleh Kementerian Kesehatan, serta diperlukan kerja sama antara rumah sakit, Kementerian Kesehatan, dan BPJS dalam penyusunan hospital base rate untuk perbaikan tarif INACBG.

Clinical pathway is a tool to maintain service quality and cost efficiency by standardizing services. This study aims to determine the variations of medical services and costs by comparing before and after clinical pathway implementation. Medical services that were compared with service standard were length of stay and medical services including laboratory, radiology, and drugs. In this study, costs were the calculation of patients bills. There was no significant difference between the average length of stay before and after the clinical pathway, which was 5.9 days, but after clinical pathway group followed standard more precise with a decrease in variation. Laboratory and radiological variations decreased in the group after clinical pathway but for the drugs, there was an increase in the number of variations. Patient bills experienced a significant increase of 19.66%. The increase of patient bills was caused by length of stay which tend to be longer in groups after clinical pathway, thereby increasing accommodation and medical service costs. Hospitals need to involve all related medical practitioner starting from clinical pathway planning process to the implementation, so then the implementation become better. In addition, it is necessary to review and socialize regulation regarding National Health Service Guidelines, Clinical Practice Guidelines, and clinical pathway by the Ministry of Health, and cooperation between hospitals, Ministry of Health, and Social Insurance Administration Organization is required in preparation of base rate hospitals to improve INA-CBG tariffs."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2019
T52743
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Inneke Kusumawati Susanto
"ABSTRAK
Acanthamoeba keratitis (AK) merupakan salah satu penyakit yang menyebabkan infeksi kornea dikarenakan terkontaminasinya lensa kontak dan air oleh organisme yang disebut Acanthamoeba. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi transmisi Acanthamoeba sp dari larutan perawatan lensa kontak dan sumber air rumah tangga pengguna lensa kontak. Penelitian dilakukan pada bulan Januari-Mei 2019. Pemeriksaan Acanthamoeba dilakukan terhadap 53 mahasiswa kedokteran di salah satu FK di Jakarta yang menggunakan lensa kontak dan air bekas rendamannya serta air yang digunakan di rumah. Pemeriksaan Acanthamoeba dilakukan di Laboratorium Parasitologi FK Universitas Indonesia menggunakan media kultur page-salt agar. Dari 53 sampel lensa kontak dan larutan perawatan lensa kontak didapatkan dua sampel kultur positif Acanthamoeba sp dan tiga sampel, positif free living amoeba (5.6%). Dari hasil kultur 53 sampel air kran rumah tangga didapatkan hasil 5 kultur positif Acanthamoeba sp (9.4%) dan 34 kultur positif free living amoeba (64.1%). Hanya satu sampel yang menunjukkan hasil positif dari lensa kontak dan larutan perawatan lensa kontak dan air kran rumah tangga dengan hasil subtipe yang sama yaitu T4. Adanya potensi transmisi Acanthamoeba sp yang diisolasi dari sumber air kran pengguna lensa kontak ke lensa kontak yang digunakan.

ABSTRACT
Acanthamoeba keratitis (AK) is one of the diseases that cause corneal infections due to contamination of contact lenses and water by an organism called Acanthamoeba. This study aims to determine the transmission potential of Acanthamoeba sp from contact lens treatment solutions and household water sources of contact lens users. The study was conducted in January-May 2019. An examination of Acanthamoeba was carried out on 53 medical students in one of the FK in Jakarta who used contact lenses and their used water and water used at home. Acanthamoeba examination was carried out in the Parasitology Laboratory of the University of Indonesia FK using page-salt agar culture media. From 53 contact lens samples and treatment solution of contact lens samples, there were two positive samples of Acanthamoeba sp and three samples positive free living ameba (5.6%). From the culture results of 53 household tap water samples, 5 positive cultures of Acanthamoeba sp (9.4%) and 34 positive cultures free living ameba (64.1%) were obtained. There is only one sample showed positif of from contact lenses and household tap water with the same subtype result T4. The presence of potential transmission of Acanthamoeba isolated from household tap water users to contact lens that has been use."
2019
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>