Search Result  ::  Save as CSV :: Back

Search Result

Found 8 Document(s) match with the query
cover
Chita Yumina Karissima
"Dua tahun pertama kehidupan adalah adalah periode kritis yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak. Kekurangan gizi selama periode ini dapat menyebabkan perkembangan kognitif yang terhambat, pencapaian pendidikan yang rendah, dan menurunkan produktivitas ekonomi. WHO merekomendasikan bayi diberikan MPASI kaya zat besi untuk menutupi kesenjangan kenaikkan kebutuhan zat besi. Banyak faktor yang telah diyakini mempengaruhi pemberian MPASI, namun masih sangat sedikit penelitian yang mengeksploarasi faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian MPASI kaya zat besi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pemberian MPASI ASI kaya zat besi dan faktor determinannya yang berhubungan dengan pemberian MPASI kaya zat besi pada bayi usia 6-23 bulan di Indonesia tahun 2017. Desain penelitian yang digunakan ialah cross-sectional dengan besar sampel sebanyak 2400 ibu yang memiliki bayi berusia 6-23 bulan di Indonesia. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (random sampling) untuk memilih sampel yang diperlukan. Analisis data dilakukan menggunakan SPSS versi 25. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 73,7% bayi berusia 6–23 bulan menerima MPASI kaya zat besi. Tingkat pendidikan ibu [OR = 1,38; 95% CI: 1,035-1,831], akses media digital [OR = 1,44; 95% CI: 1,079-1,922], usia anak [OR = 1,76; 95% CI: 1,453-2,132], tingkat kesejahteraan keluarga [OR = 1,80; 95% CI: 1,409-2,310], dan postnatal care (PNC) [OR = 1,37; 95% CI: 1,117- 1,679] berpengaruh signifikan terhadap pemberian MPASI kaya zat besi. Tingkat kesejahteraan keluarga merupakan prediktor terkuat dalam memberikan MPASI kaya zat besi. Kementerian Kesehatan terus mengoptimalkan program intervensi gizi, khususnya pemberian MPASI kaya zat besi. Kementerian Pertanian disarankan menggalakkan program Rumah Pangan Lestari untuk menjamin ketersediaan makanan kaya zat besi. Fasilitas pelayanan kesehatan disarankan memberikan pelayanan edukasi gizi dan membuat media informasi digital terkait praktik pemberian makan bayi dan anak yang mudah diakses, dipahami, dan menarik untuk dibaca oleh ibu. Ibu sebagai pengasuh utama bayi disarankan untuk meningkatkan pemahaman tentang MPASI kaya zat besi melalui media digital ataupun berkonsultasi dengan tenaga kesehatan.

The first two years of life are critical periods that determine the growth and development of the child. Malnutrition during this period can lead to impairment of cognitive development, lower educational attainment, and decreased economic productivity. WHO recommends infants should be given iron-rich complementary foods to cover the gap in iron demand. Many factors have been believed to influence the practice of complementary feeding, but there are still very few studies that explore factors related to the practice of iron-rich complementary foods. The purpose of this study is to know the proportion of iron-rich complementary foods and its determinant factors related to the practice of iron-rich complementary foods in infants aged 6-23 months in Indonesia in 2017. The research design used is cross-sectional with a sample size of 2400 mothers who have infants aged 6-23 months in Indonesia. Sampling techniques are done with random sampling to select the necessary samples. Data analysis is performed using SPSS version 25. Based on the results of the study, as many as 73.7% of infants aged 6-23 months received iron-rich complementary foods. Maternal education [OR = 1,38;95% CI: 1,035-1,831], digital media access [OR = 1,44; 95% CI: 1,079-1,922] child age [OR = 1,76; 95% CI: 1,453-2,132], family welfare rate [OR = 1,80; 95% CI: 1,409-2,310], and postnatal care (PNC) [OR = 1,37; 95% CI: 1,117-1,679] significantly affect the administration of iron-rich complementary foods. The level of family welfare is the strongest predictor in providing iron-rich complementary foods. The Ministry of Health continues to optimize nutrition intervention programs, especially the provision of iron-rich complementary foods. The Ministry of Agriculture suggests promoting the Sustainable Food House program to ensure the availability of iron-rich foods. Health care facilities are recommended to provide nutrition education services and create digital information media related to infant and child feeding practices that are easily accessible, understood, and interesting to read by mothers. Mothers as the baby's primary caregivers are advised to improve their understanding of iron-rich complementary foods through digital media or consult with a health professional."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chita Yumina Karissima
"Dua tahun pertama kehidupan adalah adalah periode kritis yang menentukan pertumbuhan dan perkembangan anak. Kekurangan gizi selama periode ini dapat menyebabkan perkembangan kognitif yang terhambat, pencapaian pendidikan yang rendah, dan menurunkan produktivitas ekonomi. WHO merekomendasikan bayi diberikan MPASI kaya zat besi untuk menutupi kesenjangan kenaikkan kebutuhan zat besi. Banyak faktor yang telah diyakini mempengaruhi pemberian MPASI, namun masih sangat sedikit penelitian yang mengeksploarasi faktor-faktor yang berhubungan dengan pemberian MPASI kaya zat besi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran pemberian MPASI ASI kaya zat besi dan faktor determinannya yang berhubungan dengan pemberian MPASI kaya zat besi pada bayi usia 6-23 bulan di Indonesia tahun 2017. Desain penelitian yang digunakan ialah cross-sectional dengan besar sampel sebanyak 2400 ibu yang memiliki bayi berusia 6-23 bulan di Indonesia. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara acak sederhana (random sampling) untuk memilih sampel yang diperlukan. Analisis data dilakukan menggunakan SPSS versi 25. Berdasarkan hasil penelitian, sebanyak 73,7% bayi berusia 6–23 bulan menerima MPASI kaya zat besi. Tingkat pendidikan ibu [OR = 1,38; 95% CI: 1,035-1,831], akses media digital [OR = 1,44; 95% CI: 1,079-1,922], usia anak [OR = 1,76; 95% CI: 1,453-2,132], tingkat kesejahteraan keluarga [OR = 1,80; 95% CI: 1,409-2,310], dan postnatal care (PNC) [OR = 1,37; 95% CI: 1,117-1,679] berpengaruh signifikan terhadap pemberian MPASI kaya zat besi. Tingkat kesejahteraan keluarga merupakan prediktor terkuat dalam memberikan MPASI kaya zat besi. Kementerian Kesehatan terus mengoptimalkan program intervensi gizi, khususnya pemberian MPASI kaya zat besi. Kementerian Pertanian disarankan menggalakkan program Rumah Pangan Lestari untuk menjamin ketersediaan makanan kaya zat besi. Fasilitas pelayanan kesehatan disarankan memberikan pelayanan edukasi gizi dan membuat media informasi digital terkait praktik pemberian makan bayi dan anak yang mudah diakses, dipahami, dan menarik untuk dibaca oleh ibu. Ibu sebagai pengasuh utama bayi disarankan untuk meningkatkan pemahaman tentang MPASI kaya zat besi melalui media digital ataupun berkonsultasi dengan tenaga kesehatan

The first two years of life are critical periods that determine the growth and development of the child. Malnutrition during this period can lead to impairment of cognitive development, lower educational attainment, and decreased economic productivity. WHO recommends infants should be given iron-rich complementary foods to cover the gap in iron demand. Many factors have been believed to influence the practice of complementary feeding, but there are still very few studies that explore factors related to the practice of iron-rich complementary foods. The purpose of this study is to know the proportion of iron-rich complementary foods and its determinant factors related to the practice of iron-rich complementary foods in infants aged 6-23 months in Indonesia in 2017. The research design used is cross-sectional with a sample size of 2400 mothers who have infants aged 6-23 months in Indonesia. Sampling techniques are done with random sampling to select the necessary samples. Data analysis is performed using SPSS version 25. Based on the results of the study, as many as 73.7% of infants aged 6-23 months received iron-rich complementary foods. Maternal education [OR = 1,38;95% CI: 1,035-1,831], digital media access [OR = 1,44; 95% CI: 1,079-1,922] child age [OR = 1,76; 95% CI: 1,453-2,132], family welfare rate [OR = 1,80; 95% CI: 1,409-2,310], and postnatal care (PNC) [OR = 1,37; 95% CI: 1,117-1,679] significantly affect the administration of iron-rich complementary foods. The level of family welfare is the strongest predictor in providing iron-rich complementary foods. The Ministry of Health continues to optimize nutrition intervention programs, especially the provision of iron-rich complementary foods. The Ministry of Agriculture suggests promoting the Sustainable Food House program to ensure the availability of iron-rich foods. Health care facilities are recommended to provide nutrition education services and create digital information media related to infant and child feeding practices that are easily accessible, understood, and interesting to read by mothers. Mothers as the baby's primary caregivers are advised to improve their understanding of iron-rich complementary foods through digital media or consult with a health professional."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Erwin
"Studi cross sectional ini bertujuan untuk melakukan evaluasi kjnerja program komunikasi tabur gizi di Praya Tengah, Kabupaten Lombok Tengah. Hasil studi menunjukkan bahwa program komunikasi tabur gizi sebagai suatu sistem tidak berjalan dengan baik. Hal ini berdampak pada rendahnya tingkat kepatuhan sasaran, yaitu ibu/pengasuh dan anaknya, terhadap penggunaan tabur gizi. Selain itu, kepatuhan ibu untuk menggunakan tabur gizi lebih dipengaruhi oleh kesukaan anak terhadap produk tersebut, daripada program komunikasi itu sendiri. Manajer kesehatan di level kabupaten, dan Puskesmas, Serta kder Posyandu beranggapan bahwa masalah ketidakpatuhan sasaran disebabkan oleh anak balita tidak menyukai makanan yang telah diberi tabur gizi, dan para ibu/pengasuh tidak mau memaksa anaknya untuk mengkonsumsi rnakanan tersebut, serta anggapan ibu bahwa produk tersebut menyebabkan diare dan demam. Alasan lainnya adalah lemahnya aspek manajemen.

This cross sectional study aimed to conduct a performance evaluation on the micronutrients powder (MNP) communication program in Praya Tengah, Lombok Tengah District. The study found that as a system MNP communication program did not well function and it might not reach its potential benefit yet, As a result it leads to low compliance of the beneficiaries on the MNP. Also, the caregiver?s compliance was influence by their children?s compliance, instead of comMunication program. The health managers and Posyandu cadres have perceived several reasons as problem on that program, i.e. most of the under five children did not like MNP, and the caregivers refuse to force feed their child to eat the food when it mix with MNP and also they perceive it might cause of diarrhea and fever. Other reasons that might hamper the program were lack of resources and poor management."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2010
T31616
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Evania Astella Setiawan
"Latar Belakang: Beberapa probiotik menunjukkan manfaat dalam mempersingkat durasi dan mengurangi kejadian diare dan dapat meningkatkan status gizi. Namun, informasi mengenai efek jangka panjang pada integritas usus dan pertumbuhan masih terbatas.
Metode: Studi tindak lanjut tahun ke-10 ini dilakukan pada 155 remaja usia 11-18 tahun yang pernah mengikuti studi intervensi pemberian susu rendah laktosa yang mengandung kalsium dosis regular (440 mg/hari) sebagai kelompok kontrol, kalsium dosis regular + probiotik Lactobacillus reuteri DSM 17938 (Kelompok Reuteri), dan kalslium dosis regular + probiotik Lactobacillus casei CRL 431 (Kelompok Casei). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi integritas usus, pertumbuhan, dan morbiditas setelah jangka waktu 10 tahun dari subjek penelitian sebelumnya. Integritas usus dinilai dengan memeriksa rasio laktulosa/manitol, dengan nilai cut off untuk integritas usus yang baik adalah ≤ 0,1. Sedangkan status pertumbuhan dinilai menggunakan nilai Z-score TB/U dan IMT/U.
Hasil: Rerata usia subjek penelitian adalah 15.3 tahun, dengan nilai median rasio laktulosa manitol adalah 0,23, dengan proporsi untuk status integritas usus buruk sebesar 87,1 %. Rerata nilai Z-score TB/U adalah -1,11, dan rerata nilai Z-score IMT/U adalah -0,15. Terdapat perbedaan yang signifikan nilai Z-score TB/U antara kelompok Casei dibandingkan dengan kontrol (p = 0,045) dan juga antara kelompok Reuterii dibandingkan dengan kontrol (p = 0,034). Tidak terdapat perbedaan yang signifikan dalam status integritas usus, BMIZ, dan morbiditas antara 3 kelompok perlakuan (p = 0,454; p = 0,565; p = 0,086 masing-masing).
Kesimpulan: Probiotik pada anak dapat ditoleransi dengan baik dan mendukung pertumbuhan normal hingga remaja. Efek signifikan dari suplementasi probiotik masa kanak-kanak terlihat pada nilai Z-score TB/U, sementara tidak ada efek signifikan pada integritas usus, nilai Z-score IMT/U, dan morbiditas pada remaja.

Background: Some probiotics showed benefits in shortening the duration and reducing the incidence of diarrhea and may improve nutritional status. However, information on its long-term effects on intestinal integrity and growth is still limited.
Method: This 10th year follow-up study was conducted in 155 adolescents aged 11-18 years who had participated in an intervention study given low-lactose milk containing regular-dose calcium (440 mg/day) as a control group, regular calcium dose + probiotic Lactobacillus reuteri DSM 17938 (Reuteri group), and regular doses of calcium + probiotics Lactobacillus casei CRL 431 (Casei group). The objective of the current study was to evaluate gut integrity, growth, and morbidity through 10 years of age in participants from the previous trial study. Gut integrity was assessed by examining the ratio of lactulose/mannitol, with the cut off value for good intestinal integrity is ≤ 0.1. While growth status was assessed using the value of height-for-age Z-score (HAZ) and BMI-for-age Z-score (BMIZ).
Results: The average age of the study subjects was 15.3 years, with the median lactulose mannitol ratio was 0.23. Of the 155 adolescents who participated the study, 135 (87.1 %) had poor intestinal integrity. Mean value for HAZ was -1.11, and the mean value for BMIZ was -0.15. There was significant difference in HAZ between Casei group compared to control (p = 0.045) and also between Reuterii group compared to control (p = 0.034). There was no significant difference in intestinal integrity status, BMIZ, and morbidity among 3 treatment groups (p = 0.454; p = 0.565; p = 0,086 respectively).
Conclusion: Childhood probiotics are well tolerated and support normal growth until adolescence. Significant effect of childhood probiotic supplementation was seen on HAZ, while no significant effect on intestinal integrity, BMIZ, and morbidity in adolescence.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prihatini Dini Novitasari
"Salah satu prioritas Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024 yakni menurunkan prevalensi stunting pada baduta menjadi 14% di tahun 2024. Namun, hingga kini prevalensi stunting di Indonesia masih jauh dari target dan upaya yang dilakukan khususnya skrining stunting belum melibatkan deteksi faktor risiko stunting. Di sisi lain, fase seribu hari pertama kehidupan sangat esensial bagi kehidupan anak kedepannya, termasuk status kesehatan dan gizinya. Untuk itu, penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi hubungan antara status kesehatan dan gizi selama seribu hari pertama kehidupan dan stunting pada anak usia 0-23 bulan. Penelitian ini menggunakan desain cross-sectional untuk menganalisis data sekunder Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 pada 6554 anak usia 0-23 bulan dan ibunya yang terbagi menjadi 3 kelompok, yakni usia 0-5 bulan, 6-11 bulan, dan 12-23 bulan dan dianalisis menggunakan analisis regresi logistik ganda. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa BBLR dan riwayat IMD berhubungan signifikan dengan stunting pada anak usia 0-5 bulan, sedangkan usia gestasi dan waktu pertama MP-ASI berhubungan signifikan stunting pada anak usia 6-11 bulan (p-value <0,05). Di sisi lain, faktor yang berhubungan signifikan dengan stunting pada anak usia 12-23 bulan yakni BBLR dan panjang lahir (p-value <0,05). Selanjutnya, faktor yang paling dominan mempengaruhi stunting pada anak usia 0-5 bulan, 6-11 bulan, dan 12-23 bulan secara berturut-turut yakni BBLR (OR 2,557; 95%CI: 1,126 – 5,806), usia gestasi ketika lahir (OR 1,485; 95%CI: 1,048 – 2,104), dan panjang lahir (OR 1,692; 95%CI: 1,323 – 2,165). Jadi, BBLR, prematur, dan lahir pendek menjadi faktor yang paling berpengaruh terhadap kejadian stunting pada anak usia 0-23 bulan dan sebaiknya skrining/deteksi stunting dilakukan secara berkala dengan melibatkan berbagai faktor risiko tersebut.

One of the priorities of the 2020-2024 National Medium-Term Development Plan (RPJMN) is to reduce the prevalence of stunting in under-fives to 14% in 2024. However, until now the prevalence of stunting in Indonesia is still far from the target and the efforts being made specifically for stunting screening have not involved risk factor of stunting. On the other hand, the phase of the first thousand days of life is essential for children's future life, including their health and nutritional status. For this reason, this study aims to identify the relationship between health and nutritional status during the first thousand days of life and stunting in children aged 0-23 months. This study used a cross-sectional design to analyze secondary data from the Basic Health Research (Riskesdas) 2018 on 6554 children aged 0-23 months and their mothers divided into 3 groups of age, such as 0-5 months, 6-11 months, and 12-23 months and analyzed using multiple logistic regression analysis. The results of this study indicate that LBW and history of early initiation of breastfeeding are significantly related to stunting in children aged 0-5 months, while gestational age and the time of first complementary breastfeeding are significantly related to stunting in children aged 6-11 months (p-value <0.05). On the other hand, factors that are significantly related to stunting in children aged 12-23 months are LBW and birth length (p-value <0.05). Furthermore, the most dominant factors influencing stunting in children aged 0-5 months, 6-11 months, and 12-23 months respectively are LBW (OR 2,557; 95% CI: 1,126 – 5,806), gestational age at birth (OR 1,485; 95% CI: 1,048 – 2,104), and birth length (OR 1,692; 95% CI: 1,323 – 2,165). So, LBW, premature and short birth length are the factors that most influence the incidence of stunting in children aged 0-23 months and the screening of stunting should be carried out regularly by involving these various risk factors."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Terry Yuliana R.P.
"Komplikasi persalinan merupakan penyebab langsung kematian ibu. Berat badan lahir rendah (BBLR) terus menjadi masalah kesehatan masyarakat global. Kunjungan antenatal menjadi faktor penting terjadinya komplikasi persalinan dan BBLR. Penelitian kunjungan antenatal, komplikasi persalinan, dan BBLR banyak dilakukan dengan beragam metode statistik. Tujuan penelitian menghasilkan evidence based recommendation kepada pemegang program berdasarkan perbandingan hasil analisis tiga alternatif pilihan metode statistik tentang pengaruh kunjungan antenatal terhadap komplikasi persalinan dan BBLR. Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif dengan desain studi cross-sectional. Sumber data berasal dari Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2017. Sampel penelitian sebagian wanita usia subur berusia 15-49 tahun yang melahirkan anak terakhir dalam 5 tahun terakhir sebanyak 12.035 responden. Variabel dependen: komplikasi persalinan dan BBLR, variabel independen: kunjungan antenatal. Analisis data menggunakan regresi logistik, cox, dan poisson dengan varians robust. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi komplikasi persalinan (47,40%) dan BBLR (6,56%). Kunjungan antenatal terbukti secara statistik berpengaruh terhadap komplikasi persalinan dan BBLR di Indonesia. Wanita yang melakukan kunjungan antenatal <8 kali berisiko 1,2 kali lebih besar untuk mengalami komplikasi persalinan dan berisiko 5,48 kali lebih besar untuk melahirkan bayi BBLR dibandingkan dengan wanita yang melakukan kunjungan ≥8 kali, persebaran dan kualitas sesuai. Berdasarkan perbandingan dari ketiga metode statistik, pada komplikasi persalinan sebagai contoh kasus dengan prevalensi tinggi, regresi cox maupun poisson dengan varians robust merupakan alternatif pilihan metode statistik yang lebih baik dibanding regresi logistik. Ukuran asosiasi PR lebih tepat digunakan daripada OR karena tidak overestimate. Sementara pada BBLR sebagai kasus dengan prevalensi rendah, ukuran asosiasi PR maupun OR dapat digunakan keduanya karena menghasilkan nilai yang hampir sama.

Childbirth complications are a direct cause of maternal death. Low birth weight (LBW) continues to be a global public health problem. The antenatal care visits is an important factor in occurrence of birth complications and LBW. Research on the frequency of antenatal visits, birth complications, and LBW has been carried out using various statistical methods. The purpose of the study is to produce evidence-based recommendations for the program based on a comparison of the results of the analysis of three alternative statistical methods for Indonesia regarding the influence of the of antenatal visits on birth complications and LBW. This study is a quantitative study with a cross-sectional study design. The data comes from the 2017 Indonesian Demographic Health Survey (IDHS). The sample of this study included 12,035 respondents of women of childbearing aged 15-49 years who gave birth to their last child in the last 5 years. Dependent variables: birth complications and LBW, independent variables: frequency of antenatal care. Data analysis uses logistic regression, Cox, and Poisson regression with robust variance. The results showed that the prevalence of birth complications (47.40%) and LBW (6.56%). The antenatal care visits had been statistically proven to influence childbirth complications and LBW in Indonesia. Women who had <8 antenatal visits had a 1.2 times greater risk of experiencing birth complications and a 5.48 times greater risk of giving birth to an LBW baby compared to women who had ≥8 visits, appropriate of distribution and quality of antenatal care. Based on a comparison of the three statistical methods, for childbirth complications as an example of cases with high prevalence, Cox or Poisson regression with robust variance is a better alternative choice of statistical method than logistic regression. The PR measure of association is more appropriate to use than OR because it does not overestimate. Meanwhile, for LBW as a case with low prevalence, both PR and OR association measures can be used because they produce almost the same values."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Joko Irianto
"ABSTRAK
Program pembangunan kesehatan ibu di desa merupakan upaya untuk mendekatkan akses ibu pada pelayanan kesehatan sehingga diharapkan memperkecil terjadinya kematian ibu. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peranan keberadaan bidan berdomisili di desa dalam melakukan rujukan komplikasi maternal melalui tempat kematian ibu sebagai ukuran kinerja rujukan. Sampel sebanyak 3493 kematian ibu yang merupakan separuh dari populasi dalam Sensus Penduduk Tahun 2010 tersebar di seluruh Indonesia, selanjutnya dianalisis regresi logistik multivariat untuk mengetahui peranan masing-masing faktor terhadap tempat kematian ibu. Hasil analisis menemukan bahwa setelah dikontrol faktor lain keberadaan bidan berdomisili di desa meningkatkan kemungkinan ibu meninggal di rumah sakit atau dapat mencegah kematian terjadi di rumah. Sedangkan faktor lain yang berperan yaitu anjuran merujuk dan akses. Untuk itu disarankan agar kebijakan penempatan bidan berdomisili di desa perlu didukung oleh semua pihak.

ABSTRACT
Maternal health programs in rural development is an attempt to get closer access to maternal health services that are expected to reduce the occurrence of maternal deaths. This study aims to determine the contributions of midwives who the same place villages the mother stay in refferal maternal complication by place of death as measure of refferal performance. Sampels are 3493 of maternal deaths, it?s a half of populations SP-2010. Analisys by multivariate logistic regression to determine of role each factors to maternal mortality place. The results, where midwives stay in the village increases the likelihood mother died in the hospital or prevent deaths occurred at home. Another factors to contributions to maternal mortality place are access (place, distance, regional). It is recommended to suport the placement midwives to stay at village policy.
"
2014
D1944
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Idral Purnakarya
"Diet dapat menentukan status seng selama kehamilan. Namun, beberapa penelitian mengenai hubungan antara asupan, pola makan dan kualitas makanan berbasis lokal dengan status seng masih terbatas. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah asupan seng, pola makan berbasis lokal PMBL dan kualitas diet berhubungan dengan kadar serum seng pada ibu hamil Minangkabau. Penelitian cross-sectional ini dilakukan dengan melibatkan 360 ibu hamil dengan usia kehamilan antara 16 dan 32 minggu. Semi-quantitative Food Frequency Questionnaire SFFQ digunakan untuk memperolah data asupan makanan, dan PMBL ditentukan berdasarkan hasil principal component analysis PCA . Penelitian ini mengolah 21 kelompok makanan dengan menggunakan PCA menjadi pola makanan bersumber nabati, pola makanan bersumber ikan, ayam dan jeroan, pola makanan bersumber tepung dan pemanis, pola makanan bersumber daging, pola makanan bersumber ikan masak santan, telur dan kacang-kacangan, pola makanan bersumber seafood/hasil laut dan pola makanan bersumber susu. Kualitas diet dianalisis dengan menggunakan Healthy Eating Index HEI 2010. Kadar serum seng diukur dengan menggunakan metode atomic absorption spectrophotometric. Analisis regresi linier multivariat dilakukan untuk menilai asupan seng, PMBL dan kualitas diet dengan kadar serum seng setelah dikontrol oleh faktor perancu. Rerata kadar serum seng adalah 10.1 2.1 mol/L. Asupan seng secara signifikan berhubungan dengan konsentrasi serum seng setelah dikontrol oleh umur, usia kehamilan, asupan energi, asupan serat, lokasi geografis dan pengeluaran rumah tangga adjusted ? = 0,083, 95 CI: 0,003, 0.163, p < 0.05 . Pola makanan bersumber tepung dan pemanis berbanding terbalik dengan kadar serum seng setelah dikontrol oleh umur, usia kehamilan dan pengeluaran rumah tangga adjusted ? = -0.179, 95 CI: -0,335, -0,023, p < 0.05 ; sedangkan PMBL lainnya tidak berhubungan secara signifikan dengan kadar serum seng. Skor total HEI 2010 tidak berhubungan dengan kadar serum seng pada semua responden, tetapi skor HEI 2010 menunjukkan hasil yang berhubungan di daerah pantai setelah dikontrol oleh umur, usia kehamilan, asupan serat dan asupan fitat adjusted ? = 0.186, 95 CI: 0.066, 0.306, p < 0.05 . Secara keseluruhan, antara asupan seng, pola makanan lokal Minangkabau dengan rendah tepung dan pemanis secara positif mempengaruhi kadar serum seng selama masa kehamilan. Meskipun kualitas diet yang dinilai menggunakan HEI 2010 tidak berhubungan dengan kadar serum seng, tetapi kualitas diet menunjukkan hubungan dengan serum seng pada ibu hamil yang tinggal di daerah pantai.Kata Kunci : pola makan; kehamilan; kadar serum seng; Minangkabau; Indonesia

Diet has consequences on zinc status during pregnancy. However, studies focusing on association of dietary intake, pattern and quality in locally produced foods with zinc status are limited. Therefore, this study aimed to investigate whether zinc intake, local based dietary patterns LBDPs and diet quality are associated with serum zinc concentration among Minangkabau pregnant women. A cross sectional study was conducted involving 360 pregnant women between the 16th and 32nd weeks of gestation. Using dietary data from semi quantitative Food Frequency Questionnaire, LBDPs were identified by principal component analysis PCA . This study extracted 21 food groups into plant sources, fish, chicken and meat organ sources, flour and sweetness source, meats sources, fish with coconut milk, eggs and nuts sources, seafood sources and milk sources patterns by PCA. Dietary quality was analyzed by using the Healthy Eating Index HEI 2010. Serum zinc concentration was measured by using atomic absorption spectrophotometric methods. Multivariate linear regression analysis was performed to assess zinc intake, the LBDPs, and diet quality with serum zinc concentration after adjusted for potential confounders. The mean serum zinc concentration of pregnant women was 10.1 2.1 mol L. Zinc intake significant associated with serum zinc concentration after adjusted for age, gestational age, energy intake, fiber intake, geographic location and household rsquo s expenditure adjusted 0.083 95 CI 0.003, 0.163 p 0.05 . The flour and sweetness sources pattern was inversely associated with serum zinc concentration after adjusted for age, gestational age and household rsquo s expenditure adjusted 0.179 95 CI 0.335, 0.023 p 0.05 while the other LBDPs were not significantly associated with serum zinc concentration. The overall HEI 2010 score was not significantly associated with serum zinc concentration in the total subjects, but it was associated in coastal area after adjusted for age, gestational age, fiber and phytate intakes adjusted 0.186, 95 CI 0.066, 0.306, p 0.05 . In conclusion, zinc intake and local based Minangkabau foods with less in flour and sweetness positively influence serum zinc concentration during pregnancy. Although, the dietary quality assessed by the HEI 2010 did not associate with serum zinc concentration, it clearly associated with zinc serum of pregnant women in coastal area.Keywords dietary patterns pregnancy serum zinc Minangkabau Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library