Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 26 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Amelia Safitri
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara setiap gaya resolusi konflik dengan penyesuaian pernikahan pada dewasa muda. Gaya resolusi konflik adalah sekelompok perilaku yang digunakan seseorang dalam menghadapi konflik. Menurut Kurdek (1994) terdapat empat gaya resolusi konflik, yaitu pemecahan masalah secara positif, keterlibatan dalam konflik, menghindar, dan mengalah. Spanier (1976) mendefinisikan penyesuaian pernikahan sebagai suatu proses yang berlangsung terus menerus, dengan suatu dimensi yang bersifat kualitatif, yang berkisar dari penyesuaian yang baik hingga penyesuaian yang buruk, dan dapat dievaluasi pada suatu waktu tertentu.
Dalam penelitian ini, gaya resolusi konflik diukur menggunakan adaptasi dari Conflict Resolution Style Inventory (CRSI) yang disusun oleh Kurdek, sedangkan penyesuaian pernikahan diukur menggunakan adaptasi dari Dyadic Adjustment Scale (DAS) yang disusun oleh Spanier. Kedua alat ukur ini diadministrasikan kepada 76 orang dewasa muda yang berstatus menikah, dengan usia pernikahan maksimal 10 tahun. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari 28 pria dan 48 wanita.
Dari penelitian ini, ditemukan bahwa gaya resolusi konflik pemecahan masalah secara positif memiliki hubungan positif yang signifikan dengan penyesuaian pernikahan. Gaya resolusi konflik keterlibatan dalam konflik dan menghindar memiliki hubungan negatif yang signifikan. Kemudian tidak terlihat adanya hubungan yang signifikan antara gaya resolusi konflik mengalah dengan penyesuaian pernikahan.

The objective of this research is to find the correlation between each conflict resolution style with marital adjustment in young adult. Conflict resolution style refers to clusters of behaviour that people use in managing conflicts. According to Kurdek (1994) there are four conflict resolution styles; positive problem solving, conflict engagement, withdrawal, and compliance. Spanier (1976) defined marital adjustment as an ever-changing process with a qualitative dimension which can be evaluated at any point in time on a dimension from well adjusted to maladjusted.
In this research, conflict resolution style was measured by adaptation of Conflict Resolution Style Inventory (CRSI) created by Kurdek, and marital adjustment was measured by adaptation of Dyadic Adjustment Scale (DAS) created by Spanier. These two inventories was administered to 76 young adult that were married, and their maximum marriages age were 10 years. The participants consisted of 28 men and 48 women.
This research found that there was a positive correlation between positive problem solving and marital adjustment. Conflict engagement and withdrawal were negatively correlate to marital adjustment. Then, there was not any significant correlation between compliance and marital adjustment."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2008
306.81 SAF h
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nurcahyo Budi Waskito
"ABSTRAK
Pelecehan seksual sebenarnya bukanlah fenomena sosial yang baru muncul
dalam masyarakat. Karena sejak jaman prasejarah hingga jaman Majapahit hal
tersebut sudah menjadi bagian dari kehidupan. Pada masa modem ini tepatnya sejak
dekade 70-an mulai muncul kesadaran mengenai pentingnya fenomena pelecehan
seksual untuk diperhatikan. Banyak penelitian yang meraaparkan fakta mengenai
peristiwa pelecehan ini menunjukkan bahwa pelecehan seksual lebih banyak menimpa
kaum wanita dan interaksinya bersifet heteroseksual. Namun hanya sedikit peneliti
yang tertarik untuk menelaah sisi pelakunya. Ketika teijadi suatu pelecehan maka
terdapat dua pihak yang terlibat secara langsung yaitu si korban dan sang pelaku.
Penelitian yang ada selama ini jarang sekali meneliti fenomena pelecehan seksual
melalui sudut pandang pelakunya.
Terdapat beberapa pendekatan yang dipergunakan untuk menjelaskan
teijadinya peristiwa pelecehan seksual, dan salah satu yang dapat dipergunakan
adalah pendekatan psikologi sosial melalui proses atribusi. Atribusi merupakan proses
penyimpulan yang dilakukan seseorang untuk mengetahui penyebab yang berperan
bagi kemunculan suatu tingkah laku. Salah satu teori atribusi yang dapat menjelaskan
perilaku pelecehan secara komprehensif adalah teori Atribusi Kelley (1973). Dalam
teori ini dijelaskan mengenai skema dan model yang dapat dipergunakan individu
untuk menyimpulkan suatu peristiwa yang tergantung pada kepemilikan 3 informasi
yang lengkap yaitu informasi Distinksi, Konsistensi dan Konsensus.
Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan proses atribusi pelaku terhadap
perilaku pelecehan seksual yang dilakukannya. Selain itu dapat diketahui faktor apa
yang menjadi penyebab teijadinya pelecehan seksual berdasarkan sudut pandang
pelakunya. Melalui penelitian ini diharapkan penelitian dapat memberikan
Pemahaman yang berarti pada masyarakat mengenai pelecehan seksual terhadap
wanita sebagai suatu fenomena penlaku seksual antara pria dan wanita Tujuan utama
penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan penelitian "Bagaimana proses atribusi pelaku tindakan pelecehan seksual terhadap tingkah laku pelecehan seksual
yang dilakukannya ?"
Penelitian dilakukan dengan menggunakan pendekatan kualitatif dan
kuantitatif melalui desain penelitian survey dan studi kasus. Dengan pendekatan dan
desain penelitian yang ada ditentukan 2 metode pengumpulan data, yaitu metode
survey kuesioner dan wawancara mendalam. Instrumen yang dipergunakan adalah
kuesioner pelecehan seksual, pedoman wawancara dan catatan lapangan. Karakteristik
sampel dari penelitian ini adalah pelaku pelecehan seksual yang begenis kelamin pria,
memenuhi kriteria pelaku yang ditetapkan dan menjadi ma^iswa di perguruan tinggi
di Jakarta dan sekitamya.
Pengambilan sampel dilakukan secara aksidental {accidental sampling karena
tema yang diteliti cukup sensitif bagi sebagian orang, metode ini lebih mudah, cepat
dan ekonomis digunakan dengan keterbatasan yang dimiliki. Jumlah sampel
penelitian kuantitatif sebanyak 298 pelaku mahasiswa dengan jumlah minimal N=30
sedangkan jumlah sampel pada penelitian kualitatif sebanyak 4 orang responden
dengan minimal N=l. Data yang berasal dari hasil kuesioner diolah dengan
menggunakan metode statistik deskriptif dalam bentuk persentase dan kemudian
dianalisis untuk didapatkan gambaran mengenai proses atribusi yang dilakukan
pelaku terhadap tingkah laku pelecehan yang dilakukannya. Sedangkan hasil kualitatif
diolah dan dianalisa dengan menggunakan metode perbandingan antar kasus {analytic
comparison), dan penggambaran intra kasus {illustrative method).
Hasil penelitian ini menunjukkan sebagian besar responden melakukan bentuk
pelecehan "mengomentari wanita dengan panggilan, julukan atau siulan tertentu" dan
"Memandangi bagian tubuh wanita dari atas hingga bawah". Hanya sebagian kecil
responden yang melakukan pelecehan dalam bentuk menjanjikan kesenangan atau
memberikan ancaman yang dikaitkan dengan keinginan melakukan aktifitas seksual.
Perilaku pelecehan tersebut seringkali dilakukan oleh mahasiswa terhadap teman
wanitanya..
Berdasarkan teori Atribusi Kelley para pelaku cenderung mempergunakan
Skema Kausal dalam melakukan penyimpulan penyebab. Hal ini dikarenakan
sebagian besar dari mereka tidak memiliki informasi Distinksi, Konsistensi dan
Konsensus yang lengkap. Ketiga informasi tersebut sangat diperlukan untuk
melakukan proses atribusi jika menggunakan model Kovarian. Dengan menggunakan
skema tersebut para pelaku tidak mempergunakan informasi yang berkenaan dengan
dirinya, korban dan lingkungan tempat kejadian karena skema ini lebih memanfaatkan
konsep hubungan sebab-akibat yang sudah dimiliki sebelumnya dalam repertoar
ingatan pelaku. Berdasarkan proses atribusi yang dilakukannya sebagian besar pelaku
memberikan atribusi pada faldor korban sebagai penyebab tindakan pelecehan seksual
tersebut
Hasil studi kasus yang dilakukan p^ empat responden menunjukkan bahwa
para pelaku mengidentikkan cara berpakaian, daya tarik fisik dan bahasa tubuh dari
wanitalah yang berperan besar bagi teijadinya peristiwa tersebut. Pelaku pelecehan
seksual cenderung memandang wanita seba^ makhluk yang lemah. Mei^ka juga
cenderung memiliki memiliki pandangan tradisional mengenai peran gender wanita
Hasil yang diperoleh tersebut perlu ditelaah lebih lanjut lagi. Untuk itu perlu
dilakukan beberapa penelitian mengenai batasan dan bentuk tingkah laku pelecehan
seksual. Selain itu penelitian yang sama dengan menggunakan pendekatan atribusi
perlu juga dilakukan terhadap sampel pelaku yang lain seperti pelaku pelecehan di
lingkungan keija, di tempat umum dan sebagainya."
2002
S2904
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ratu Fitri Zainab
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3091
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Nur Aini
"Manusia, seiring dengan perkembangan usianya,' menjalani berbagai peranan dan fungsi dalam hidup. Di dalamnya tercakup pelaksanaan tugas-tugas perkembangan. Secara lebih khusus, dalam tahapan usia dewasa muda seseorang dihadapkan pada adanya fenomena seputar karir dan pernikahan. Dua hal tersebut merupakan tahap yang harus dilalui dan hasilnya akan menentukan kehidupan seseorang pada tahap perkembangan hidup selanjutnya.
Kehidupan masyarakat kota identik dengan adanya modernisasi dalam segala bidang. Dalam pelaksanaannya saat ini, tidak hanya pria yang terlibat aktif, melainkan wanita pun turut mempunyai andil yang besar dalam menjalani arus perkembangan modernisasi yang ada. Pekerjaan yang dulunya selalu diidentikkan dengan pria sekarang menjadi bergeser dengan adanya pengakuan terhadap fungsi dan peranan wanita.
Dengan adanya tuntutan yang lebih besar bagi para wanita saat ini di bidang pengembangan karir, sedikit banyaknya berpengaruh pada gaya hidup yang dijalani. Salah satunya adalah gaya hidup melajang yang saat ini sudah banyak ditemukan di hampir semua kota-kota besar. Pilihan untuk tidak menikah atau yang lazimnya disebut hidup melajang rupanya menjadi suatu fenomena yang terjadi dan menarik untuk disimak. Hal ini mengingat kodrat dan pandangan umum yang mengemukakan bahwa selayaknya wanita melakukan pernikahan dan membangun rumah tangga. Tentu saja hal ini menimbulkan pandangan-pandangan yang pro dan kontra dari masyarakat, yang pada akhirnya menimbulkan stereotip bagi yang para wanita yang mengalaminya.
Beberapa tokoh mengemukakan bahwa wanita yang tidak menikah cenderung memiliki well-being yang tinggi, yang ditandai oleh terpenuhinya kebutuhan akan keahlian (yang berasal dari pekerjaan) dan kesenangan (kualitas dari pekerjaan yang diperoleh). Selain itu juga wanita yang tidak menikah dapat lebih memiliki kesempatan yang besar untuk melakukan pengembangan dan perubahan diri, serta lebih memiliki kebebasan dalam hidup. Di sisi lain ada pula tokoh yang mengemukakan bahwa pada wanita yang tid^k menikah, well-being yang dimiliki cenderung rendah terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan akan kesenangan karena tidak terciptanya hubungan yang akrab dengan seseorang. Selain itu mereka juga kadang diidentikkan dengan ketidakbahagiaan dan kecenderungan depresi.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui lebih lanjut tentang gambaran konsep diri yang dimiliki oleh para wanita yang memutuskan untuk tidak menikah, mengetahui alasan-alasan yang menyebabkan mereka mengambil tindakan tersebut, dan seberapa besar pengaruh lingkungan terhadap diri mereka sehubungan dengan adanya keputusan untuk tidak menikah.
Untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini, digunakan pendekatan kualitatif dengan tipe penelitian studi kasus, di mana dengan pendekatan ini akan memungkinkan penulis untuk mempelajari isu-isu secara mendalam dan mendetil yang dirasakan individu mengenai topik yang akan dibahas.
Hasil yang didapat dari penelitian ini adalah bahwa gambaran konsep diri pada mereka adalah cenderung positif. Mereka menganggap bahwa dengan tidak menikah mereka menjadi mandiri dan memiliki well- being yang tinggi. Dalam hal ini well-being lebih dikaitkan dengan dimilikinya keahlian tertentu yang diperoleh melalui pekerjaan dan kualitas pekerjaan tersebut. Kebutuhan untuk mendapatkan penilaian positif dari orang lain juga terpenuhi meskipun ada beberapa pihak yang tetap menentang keputusan mereka. Mereka juga memiliki kepuasan diri yang tinggi, setidaknya mereka telah cukup puas menjalani hidupnya hingga saat ini.
Alasan utama yang menyebabkan mereka memutuskan untuk tidak menikah adalah alasan yang lebih bersifat internal, meliputi adanya pengalaman-pengalaman pribadi yang menunjukkan bahwa pernikahan acapkali menampilkan ketidakbahagiaan, dan adanya faktor sifat diri atau kepribadian. Selain itu adanya keinginan untuk merasakan kebebasan hidup tanpa campur tangan dari orang lain dan adanya keinginan untuk membuktikan ketidakbenaran persepsi yang negatif mengenai stereotip wanita yang tidak menikah.
Alasan eksternal yang juga mempengaruhi mereka adalah adanya persepsi mereka terhadap pengalaman-pengalaman orang lain dalam dunia pernikahan yang juga acapkali menampilkan ketidakbahagiaan. Meskipun demikian ada seorang subyek yang hingga saat ini mengalami keraguan akan kondisi dirinya. Sebenarnya ia tidak secara langsung membuat keputusan untuk tidak menikah, namun ia lebih menyerahkan kehidupannya pada Tuhan sehingga pada akhirnya ia menerima kondisinya yang harus hidup melajang dengan pemikiran yang positif bahwa kehendak Tuhan pastilah yang terbaik untuknya.
Secara umum, keputusan mereka untuk tidak menikah berasal dari pengaruh internal. Artinya keputusan mereka benar-benar merupakan keputusan yang diperoleh dari diri sendiri tanpa adanya pengaruh dari orang lain. Dengan demikian faktor ektemal tidak secara signifikan berpengaruh pada kondisi mereka sehubungan dengan keputusan yang mereka pilih.
Dari hasil penelitian ini, diperoleh informasi baru bahwa ternyata semua subyek memiliki konflik dengan ayah. Hal ini menarik untuk diteliti lebih lanjut untuk memperkaya hasil penelitian sehubungan dengan adanya pengaruh kedekatan dengan ayah terhadap keputusan subyek untuk tidak menikah."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2002
S3114
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sali Susiana
"Penelitian ini mengkaji tentang peran jilbab sebagai identitas kelompok dalam proses pemakaian jilbab pada mahasiswa perempuan muslim Angkatan Tahun 2000 di Fakultas X Universitas Y di Jakarta. Kajian ini panting karena motivasi pemakaian jilbab seorang perempuan muslim ternyata tidak hanya disebabkan oleh kewajiban agama, melainkan oleh banyak hal. Dengan rnenggunakan perspektif Psikologi sebagai pendekatan, penelitian ini berusaha melihat motivasi berjilbab subjek melalui konsepkonsep seperti sikap, pengaruh kelompok dan significant others pada perilaku individu, serta pembentukan identitas diri pada subjek yang termasuk dalam kategori dewasa muda atau young adulthood.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ajaran agama bukan merupakan faktor utama yang memotivasi mayoritas subjek untuk memulai berjilbab. Kebutuhan untuk berafiliasi dengan kelompok yang sebagian besar anggotanya berjilbab dan identifikasi dengan sesama teman lebih berperan dalam proses pemakaian jilbab yang dialami oleh subjek. Selain itu, ditemukan adanya kecenderungan untuk menjadikan Jilbab sebagai identitas kelompok di Fakultas X. Kecenderungan tersebut dapat dilihat dari tiga aktivitas keagamaan yang selalu berkaitan dengan masalah jilbab, balk secara langsung melalui jilbab Day maupun secara tidak langsung melalui SIDNI dan men taring.
Kecenderungan untuk menjadikan jilbab sebagai identitas kelompok yang terdapat di Fakultas X dalam perspektif Feminisme Radikal merupakan sebuah penindasan terhadap perempuan. Jilbab digunakan sebagai alat untuk rnengontrol seksualitas perempuan. Kontrol alas tubuh dan seksualitas perempuan ini didukung oleh konsep seksualitas dalam masyarakat muslim yang menganggap perempuan adalah film sehingga tubuhnya harus ditutup sedemikian rupa agar seksualitas mereka tidak terlihat.

This research is concerning the role of jilbab (veil) as a group identity within the process of wearing jilbab on female moslem students of year 2000's in the X Faculty of the Y University in Jakarta. This research is important because the motivation to start wearing jilbab for the majority of female moslem students is not only caused by religious obbligation, but also by other reasons. Using Psychologycal Perspective as an approach, this research tries to determine the wearing jilbab motivation through the concepts such as attitude, group and significant others that influences toward individual behaviour, as well as forming self-identity on subjects that categorized as young adulthood.
The research shows that religious doctrins is not the main factor motivating the subjects to start wearing jilbab The need to affiliate with a group with most of its members are wearing jilbab and identification among friends also contribute to the process of wearing jilbab experienced by the subjects. Besides, there is also a tendancy to make jilbab as group identity in the X Faculty.
The tendancy can be seen from 3 religious activities that always related to finial) issue, both directly through Jilbab Day and indirectly through SIDNI and mentoring. The tendancy to make jilbab as a group identity in Radical Feminism Perspective is an oppression toward women. Jilbab-is used as a tool to control women sexuality. This control over women's body and sexuality is supported by the concept of sexuality in moslem society that considering women as fitno, therefore their body must be covered so that their sexuality is concealed.
"
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2005
T15040
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siska Esthi Andarini
"ABSTRAK
Istri sebagai penyedia perawatan bagi suaminya yang terkena stroke bertanggung jawab atas tugas perawatan yang kompleks dan tuntutan lain yang terkait, seperti pengaturan keuangan dan rumah. Tuntutan akan tugas tersebut dapat berpengaruh terhadap kesehatan mereka, baik fisik maupun mental. Sejalan dengan peningkatan akan tugas dan tuntutan, mereka merasa kewalahan, dan pada akhirnya mereka mungkin mengalami caregiver strain. Caregiver yang dapat bertahan dalam situasi buruk tersebut, bangkit kembali, dan melanjutkan hidup tanpa gangguan yang berarti mengindikasikan adanya resiliensi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara caregiver strain dan resiliensi pada istri penderita stroke. Partisipan penelitian ini merupakan 30 istri dari penderita stroke yang telah berperan sebagai spouse caregiver selama minimal 3 bulan. Strain diukur dengan menggunakan The Modified Caregiver Index (Robinson, 1983; Thornton & Travis, 2003) dan resiliensi diukur dengan menggunakan The Resilience Scale (Wagnild & Young, 1993). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa korelasi antara caregiver strain dan resiliensi tidak signifikan.

ABSTRACT
Wives providing care for their husband who suffered from stroke are responsible for complex caregiving task and other demands such as financial and housing management. The demand of these tasks may affect their own health, both physically and mentally as well. As the tasks and demands increase, they feel overwhelmed, and in the end they may suffers caregiver strain. In this condition, caregiver surviving in the adversity, bounce back, and continue life without experiencing any disruption from this event indicate the presence of resilience. The purpose of the research is to identify the correlation between caregiver strain and resilience in the context of caregiving of the stroke patients. The participants are 30 wives of the stroke patients who have taken role as spouse caregivers for at least 3 months. Level of strain is identified by The Modified Caregiver Strain Index (Robinson, 1983; Thornton & Travis, 2003) and The Resilience Scale (Wagnild & Young, 1993) is used to identify the level of resilience. The result indicates that the correlation of caregiver strain and resilience is not significant."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bramesada Prasastyoga
"Kanker merupakan penyakit kronis yang dapat mengganggu fungsi hidup individu sehari-hari. Oleh karena itu, dibutuhkan caregiver untuk membantu penderita kanker dalam menjalani kehidupannya. Banyak anak dewasa yang memutuskan untuk menjadi caregiver orang tua penderita kanker karena adanya rasa tanggung jawab untuk membalas budi jasa kedua orang tua. Di dalam perawatan yang mereka lakukan, mereka dapat mengalami caregiver strain, yaitu tekanan dan konsekuensi negatif dari perawatan yang dipersepsi dan dirasakan oleh caregiver. Untuk bisa mengatasi hal tersebut, caregiver diduga perlu untuk mempersepsikan adanya keseimbangan dalam hubungan timbal balik antara ia dengan pasien dan anggota keluarga lain agar dapat melihat perannya secara lebih positif. Hal tersebut yang dimaksud dengan caregiver reciprocity.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara caregiver strain dan caregiver reciprocity pada anak dewasa yang menjadi caregiver orang tua penderita kanker. Partisipan merupakan anak dewasa dari penderita kanker yang telah menyediakan perawatan selama minimal 3 bulan. Caregiver Strain diukur dengan menggunakan The Modified Caregiver Index (Robinson, 1983; Thornton & Travis, 2003) dan caregiver reciprocity diukur dengan menggunakan Caregiver Reciprocity Scale (Carruth, 1994). Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa korelasi antara caregiver strain dan caregiver reciprocity bersifat negatif dan signifikan. Dengan demikian, terdapat hubungan negatif yang signifikan antara caregiver strain dan caregiver reciprocity pada anak dewasa yang merawat orang tua penderita kanker.

Cancer is a chronic disease which can deteriorate the daily function of an individual. Hence, caregivers are needed to help patiens with cancer in their daily lives. Many adult children become caregivers for their parents with cancer because they feel that they have responsibility to give back to their parents. In their care activities, they can experience caregiver strain which is defined as pressures and negative consequences of the care perceived by caregivers. In order to overcome caregiver strain, it is assumed that they need to have high level of caregiver reciprocity which is defined as perception about balance in their reciprocal relationship with patient and other family members. It is assumed that caregiver reciprocity will enable them to see their role in a positive manner.
The objective of this research is to identify the correlation between caregiver strain and caregiver reciprocity among adult children who become caregivers for their parents with cancer. Participants are adult children of cancer patients who have provided care for at least 3 months. Strain is measured using The Modified Caregiver Index ( Robinson, 1983; Thornton & Travis, 2003) and caregiver reciprocity is measured using Caregiver Reciprocity Scale (Carruth, 1994). The result shows that correlation between caregiver strain and caregiver reciprocity is negative and significant. Therefore it is concluded that there is a significant negative correlation between caregiver strain and caregiver reciprocity of adult children who become caregivers for their parents with cancer.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S44928
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurulhuda Annisa
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara dimensi trait kepribadian dan state of anxiety pada wanita dengan endometriosis. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan kuantitatif. Partisipan dalam penelitian ini terdiri dari 26 orang wanita yang sudah diberikan diagnosis oleh dokter ahli kebidanan dan ginekologi terkena endometriosis dengan rentang usia 20-45 tahun. Penelitian menggunakan alat ukur NEO-PI yang dikembangkan oleh McCrae dan Costa dan telah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia oleh Sholiha (2010) untuk mengukur trait kepribadian. Lalu, penelitian ini juga menggunakan STAI form Y-1 untuk mengukur state of anxiety dengan melakukan adaptasi terlebih dahulu kepada penderita penyakit kronis di Indonesia oleh peneliti. Hasil penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara trait kepribadian dan state of anxiety pada wanita penderita endometriosis. Meskipun demikian, penelitian ini menunjukkan arah hubungan yang positif antara neuroticism dan state of anxiety sedangkan extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness menunjukkan arah hubungan yang negatif dengan state of anxiety. Selain itu, hasil penelitian menunjukkan bahwa wanita dengan endometriosis memiliki state of anxiety yang tinggi.

The research was conducted to see the relationship between dimension of personality trait and state of anxiety among women with endometriosis. This research is using quantitave approach. The participants in this research were 26 women who had been diagnosed with endometriosis by a doctor of obstetric and gynecology, aged 20-45 years old. The NEO-PI instrument that has been adapted by Sholiha (2010) was used to measure the personality trait. Also, the STAI form Y-1 was used to measure the state anxiety that has been adapted first by the researcher on patient with chronic illnesses. The result showed that there are no significant correlation between personality trait and state of anxiety among women with endometriosis. Another result showed that there is a positive relationship between neuroticism and state of anxiety. Meanwhile, extraversion, openness to experience, agreeableness, dan conscientiousness showed a negative relationship with state of anxiety. The result also showed that women with endometriosis have a high state of anxiety."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S44509
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Ginayarahmah
"Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran caregiver strain pada caregiver informal yang merawat pengidap penyakit kronis dan membandingkannya dengan caregiver formal. Pengidap penyakit kronis seringkali kesulitan dalam melakukan kegiatan sehari-hari sehingga membutuhkan caregiver untuk membantunya. Ketika melakukan proses perawatan inilah seringkali caregiver mengalami konsekuensi negatif yang disebut caregiver strain. Partisipan pada penelitian berjumlah 106 individu yang terbagi menjadi 52 individu caregiver informal dan 54 individu caregiver formal dengan teknik pengambilan sample berupa accidental sampling. Hasil penelitian mendukung penelitian sebelumnya dimana terdapat perbedaan caregiver strain yang signifikan antara caregiver informal dan caregiver formal. Caregiver informal memiliki skor caregiver strain yang lebih tinggi dibandingkan dengan caregiver formal.

The purpose of this study is to understand caregiver strain of informal caregiversof chronical ill patients and compares it with formal caregivers. Chronical ill patients itself find it is dificult to carry out daily routines activities, therefore they require caregiving to assist them. During their assistance, caregivers often receive negative consequences which is called caregiver strain. Participants in this study were 106 individuals which consist of 52 informal caregivers and 54 formal caregivers have been sampling during this research using accidental sampling technique. This research showed that informal caregiver has higher score compared to the formal one and supported previous study that there is a significant difference between the two types of caregiver."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45486
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mira Ariyani
"Penelitian ini adalah penelitian mengenai faktor yang berperan dan proses yang terjadi dalam keputusan perempuan dewasa untuk menjadi isteri kedua pada perkawinan poligami.
Daya tarik akan kebahagiaan dalam perkawinan, perasaan cinta, dan keinginan untuk selalu bersama serta berada dekat dengan orang yang dicintai, merupakan salah satu faktor
yang memperkuat keinginan seseorang untuk menikah, khususnya bagi individu di tahap perkembangan dewasa, baik awal maupun madya.
Perkawinan itu sendiri terdiri dari bercam-macam tipe, Salah satunya adalah poligami. Menurut pcengamatan penulis, praktik perkawinan poligami terlihat marak akhir-akhir ini. Fenomena ini beserta dinamikanya dapat disaksikan dalam berbagai media, baik
eleklronik maupun cetak.
Berdasarkan undang-undang di Indonesia, poligami diperbolehkan. Adapun pendapat agama mengenai poligami, berbeda-beda. Di dalam masyarakat, pro dan kontra tentang poligami pun tidak berhenti hingga saat ini.
Walau hagaimanapun pro dan kontra yang ada, keputusan perempuan untuk menjadi isteri kedua tetap menimbulkan bermacam pertanyaan dan dugaan. Di satu pihak,
ketidakkonsistenan peraturan pemerintah dan perbedaan pendapat tentang praktik poligarni
di Indonesia belum berakhir, sedang di pihak lain, masih banyak pihak perempuan yang bersedia menjadi isteri kedua dengan berbagai alasannya.
Hal ini menimbulkan masalah penelitian yakni tentang faktor-faktor apa saja yang berperan dalam keputusan perempuan untuk menjadi istcri kedua, bagaimana proses
terjadinya keputusan tersebut, dan apakah pcrbedaan dan persamaan Paktor-faktor tersebut jika perempuan dewasa yang memutuskan menjadi isteri kedua berada dalam tahap
perkembangan yang berbeda, yakni pada masa dewasa awal dan dewasa madya.
Penelitian yang hendak dilakukan adalah penelitian kualitatif. Adapun landasan teori yang digunakan adalah mengenai perkawinan, pemilihan pasangan, pengambilan keputusan, dan teori perkcmbangan usia dewasa.
Hasil anaiisis mcnyebuLkan bahwa faktor yang mempengaruhi proses pengambilan keputusan, seperti faktor lingkungan, kepribadian, nilai, tendensi alami terhadap resiko, dan
potensi disoenansi; memang turut benpcran bagi subjek.
Hampir seluruh subjek penelitian menyertakan faktor ekonomi dan emosional dalam
keputusannya tersebut. Adapun dalam hal kepribadian yang dinyatakan oleh subjek sendiri,
terdapat beberapa kesamaan, yaitu seluruh subjek penelitian adalah pribadi-pribadi yang selalu menemukan sendiri pilihannya, berani, dan keras.
Dalam hal proses pengamnbilan keputusan, tidak seluruh tahap proses pengambilan keputusan dilakukan oleh subjek, terutama tahap evaluasi sebelum memilih altematif.
Seluruh subjek penelitian tidak melakukan kompromi atau meminta pendapat orang tua dan
keluarga sebelum mengambil keputusan. Selain itu, kebanyakan subjek tidak memiliki pengembangan alternatif lain selain hanya pilihan menikah atau tidak menikah.
Perbedaan antar subjek penelitian ini bukan terletak pada tahap perkembangan usia dewasa, akan tetapi, perbedaan yang cukup menonjol terletak pada faktor gadis (belum
pernah menikah) dan janda. Mereka yang menikah dalam kondisi masih gadis, memang cenderung disebabkan oleh keinginannya atau kesejahteraannya sendiri. Tujuan yang bersifat
emosional lebih berpengaruh di sini. Adapun mereka yang menikah dalam kondisi janda,lebih memikirkan kesejahteraan anak-anak sebelum mengambil keputusan. Namun, hal ini
hanya berlaku bagi mereka yang memiliki hak asuh anak
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>