Ditemukan 78 dokumen yang sesuai dengan query
Utari Kusumawardhani
"Peningkatan popularitas dan penggunaan Artificial Intelligence (AI) dalam penciptaan karya kian ramai diperbincangkan. Mulai dari gambar, suara hingga tulisan, program AI dapat menghasilkan karya sebagaimana buatan manusia. AI bahkan mulai dicantumkan sebagai author atau co-author dalam buku dan jurnal ilmiah, yang menuai pertanyaan mengenai perlindungan hukum, pencipta dan kepemilikan hak cipta atas karya tulis yang dihasilkan AI tersebut. Setelah melakukan penelitian, ditemukan kesimpulan bahwa karya tulis yang dihasilkan AI dapat dilindungi dalam hukum hak cipta beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Inggris dengan syarat tertentu, namun belum dilindungi di Indonesia. Aspek originality untuk perlindungan karya tulis yang dihasilkan AI terletak pada prompt dari pengguna dan/atau perubahan-perubahan yang dilakukan pengguna terhadap output dari program AI. Kemudian, pengguna yang memasukkan prompt menjadi pencipta dan pemegang hak cipta atas karya tulis yang dihasilkan AI, yang ditegaskan melalui syarat dan ketentuan program AI. Apabila karya tulis yang dihasilkan AI tidak dapat dilindungi hak cipta, maka substansinya akan sulit dilindungi dan dibuktikan kepemilikan hak ciptanya. Namun, wujud karya tulis dapat menjadi benda bergerak berwujud berupa informasi elektronik yang dilindungi dengan hak kebendaan seperti hak milik.
The increase in popularity and usage of Artificial Intelligence (AI) in creation of works are being widely discussed. From visual, musical, to written works, AI programs are capable of generating works that resemble human creations. AI is even being credited as an author or co-author in books and scientific journals, which raises questions about legal protection, authorship, and copyright ownership of the works generated by AI. After conducting research, it has been concluded that the written works generated by AI can be protected under copyright laws in certain countries, such as the United States and the United Kingdom as long as it fulfils certain conditions, but these works are not yet protected by Indonesia’s copyright law. The originality aspect for the protection of written works generated by AI lies in the prompts that the user entered and/or the changes made by the user to the output from the AI. Subsequently, the copyright of the written works produced by AI belongs to the user as an author, which is regulated by the terms and conditions of the AI program. If the written works generated by AI cannot be protected by copyright law, it will be difficult to protect its substance and to prove its copyright ownership. However, the tangible or physical form of the written works can be considered as tangible movable in form of electronic information and can be protected with property rights, such as ownership rights."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Clara Annisa Pratiwi
"Web defacement merupakan bentuk serangan oleh defacer (pelaku serangan web defacement) terhadap sebuah situs web yang mengakibatkan perubahan pada tampilan asli atau konten situs tersebut. Web defacement menjadi salah satu bentuk cyber crime atau kejahatan siber yang banyak terjadi di Indonesia maupun dunia. Fokus dari penelitian ini adalah membahas kegiatan web defacement yang terjadi pada situs web milik lembaga pemerintah di Indonesia. Penelitian ini akan menganalisis kegiatan web defacement berdasarkan norma hukum Indonesia dan bagaimana implementasi hukumnya dengan menggunakan Putusan Nomor 16/Pid.Sus/2020/PN Bil, Nomor 527/Pid.Sus/2020/PN Smn, dan Nomor 17/Pid.Sus/2021/PN Jmr. Melalui penelitian dengan metode penelitian doktrinal ini, dapat disimpulkan bahwa dalam kegiatan web defacement, terdapat 2 (dua) tindakan yang dilakukan, yaitu penerobosan terhadap keamanan sistem elektronik dan/atau komputer serta pengubahan yang dilakukan terhadap tampilan situs web. Kegiatan web defacement telah diatur dan diakomodir secara implisit dalam norma hukum Indonesia tepatnya pada UU ITE, PP PSTE, Perpres SPBE, Perpres IIV, dan UU Hak Cipta. Namun, pada praktiknya pengimplementasian norma hukum tersebut masih inkonsisten apabila melihat dari contoh kasus Putusan Nomor 16/Pid.Sus/2020/PN Bil, Nomor 527/Pid.Sus/2020/PN Smn, dan Nomor 17/Pid.Sus/2021/PN Jmr.
Web defacement is a form of attack by a defacer (web defacement attacker) against a website that results in changes to the original appearance or content of the site. Web defacement has become one of the most common forms of cyber crime in Indonesia and the world. The focus of this research is to discuss web defacement activities that occur on websites belonging to government agencies in Indonesia. This research will analyze web defacement activities based on Indonesian legal norms and how they are implemented using Decision Number 16/Pid.Sus/2020/PN Bil, Number 527/Pid.Sus/2020/PN Smn, and Number 17/Pid.Sus/2021/PN Jmr. Through this doctrinal research method, it can be concluded that in web defacement activities, there are 2 (two) actions taken, namely breaching the security of electronic and/or computer systems and modifying the appearance of websites. Web defacement activities have been regulated and accommodated implicitly in Indonesian legal norms, precisely in the ITE Law, PSTE Government Regulation, SPBE Presidential Regulation, IIV Presidential Regulation, and Copyright Law. However, in practice, the implementation of these legal norms is still inconsistent looking at the case examples of Decisions Number 16/Pid.Sus/2020/PN Bil, Number 527/Pid.Sus/2020/PN Smn, and Number 17/Pid.Sus/2021/PN Jmr."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Safira Nadya Oktaviana
"Di tengah tingginya jumlah angka perokok di Indonesia, muncul tren baru penggunaan rokok elektrik. Berbeda dengan rokok konvensional, rokok elektrik diklaim lebih aman terhadap kesehatan karena tidak mengandung tar ataupun daun tembakau didalamnya. Pada kenyataannya, rokok elektrik mengandung nikotin yang merupakan zat adiktif serta bahan kimia lainnya. Saat ini rokok elektrik telah memiliki payung hukum dalam Undang-Undang Kesehatan. Namun, pengaturan terhadap rokok elektrik dalam Undang-Undang Kesehatan hanya mengatur sebatas pencantuman peringatan kesehatan. Maka dari itu, pengaturan mengenai rokok elektrik di Indonesia masih belum dapat melindungi hak-hak konsumen, terutama hak konsumen untuk mendapatkan kenyamanan, keamanan, dan informasi atas barang yang digunakan. Hal tersebut perlu untuk dipenuhi karena rokok elektrik mengandung zat adiktif serta zat kimia lainnya yang berisiko terhadap kesehatan sehingga konsumen harus memiliki informasi serta kesadaran terhadap rokok elektrik yang dikonsumsinya. Inggris merupakan salah satu negara yang memiliki pengaturan khusus terhadap rokok elektrik dalam TRPR. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pelindungan hukum terhadap konsumen rokok elektrik diatur di Indonesia dan Inggris, bagaimana pengawasan terhadap peredaran rokok elektrik di Inggris dilaksanakan, serta pembelajaran yang dapat diambil untuk nantinya diterapkan di Indonesia. Hasil penelitian ini menemukan bahwa pengaturan terhadap rokok elektrik di Indonesia belum dapat melindungi hak konsumen dalam memperoleh informasi produk rokok elektrik yang digunakan. Maka dari itu, pengaturan terhadap rokok elektrik nantinya harus dapat melindungi hak-hak konsumen. Mulai dari adanya pengawasan rokok elektrik sebelum beredar (pre-market) dan post-market yang dapat memastikan bahwa rokok elektrik sudah memenuhi standar yang nantinya ditetapkan, mulai dari kandungan, label, peringatan kesehatan, hingga iklan rokok elektrik.
In the midst of the high number of smokers in Indonesia, a new trend has emerged in the use of electronic cigarettes (e-cigarettes). In contrast to conventional cigarettes, e-cigarettes are claimed to be safer for health because they do not contain tar or tobacco leaves in them. In reality, e-cigarettes contain nicotine which is an addictive substance and other chemicals. Currently, electronic cigarettes have a legal framework in the Health Law. However, the regulation of e-cigarettes in the Health Law only regulates the inclusion of health warnings. Therefore, regulations regarding electronic cigarettes in Indonesia are still unable to protect consumer rights, mainly consumers right to obtain comfort, security and information about the goods they use. This needs to be fulfilled because e-cigarettes contain addictive substances and other chemicals that pose a risk to health, so consumers must have adequate information to be aware of the e-cigarettes they consume. United Kingdom (UK) is one of the countries that has regulations on e-cigarettes in the TRPR. By using doctrinal research methods, this research aims to find out how legal protection for e-cigarette consumers is regulated in Indonesia and the UK, how supervision of the distribution of e-cigarettes in the UK is carried out, as well as lessons that can be learned to later be applied in Indonesia. The results of this research found that regulations on e-cigarettes in Indonesia have not been able to protect consumers' rights to obtain information on the e-cigarette products they use. Therefore, regulations on e-cigarettes must be able to protect consumer rights. Starting from monitoring e-cigarettes starting before e-cigarettes are released (pre-market) and post-market, which can ensure that e-cigarettes meet the standards that will be set, starting from content, labels, health warnings, to e-cigarette advertising."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Vidya Auranti Ghinartieka
"Tulisan ini menganalisis apakah tindakan Kompas dalam kasus Kompas dengan Content Creator binaan PT KCIC dapat dilindungi dengan Pasal 43 dan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UU Hak Cipta). Sebagian besar Perusahaan Pers di Indonesia telah memanfaatkan YouTube sebagai media untuk menyajikan informasi. Kasus menarik terjadi antara salah satu Perusahaan Pers yang cukup diketahui oleh masyarakat di Indonesia, Kompas dan seorang Youtuber mitra Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) dimana Kompas TV dan Kompas.com (selanjutnya akan disebut Kompas) menerima dua tuntutan klaim Hak Cipta video YouTube atau YouTube copyright strike yang dilayangkan oleh Content Creator binaan Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). Dapat dikenakannya copyright strike terhadap konten berita dari Kompas tersebut mengindikasikan bahwa sebuah kegiatan Jurnalistik yang disampaikan dalam bentuk konten melalui media channel YouTube dapat dianggap oleh YouTube sebagai pelanggaran Hak Cipta apabila dalam konten tersebut terdapat footage milik Pencipta asli, dan Pencipta tersebut menyatakan keberatan atas penyebarluasan konten miliknya. Pembatasan Hak Cipta dapat diberlakukan bagi tindakan Kompas apabila Kompas tidak memonetisasi kontennya sehingga tindakan Kompas tidak dapat dilindungi dengan Pasal 43 UU Hak Cipta, namun ketika konten tersebut dibuat untuk tujuan pendidikan maka tindakan Kompas dapat dilindungi dengan Pasal 44 UU Hak Cipta.
This paper analyzes whether Kompas's actions in the Kompas case with Content Creators fostered by PT KCIC can be protected by Article 43 and Article 44 of Law Number 28 of 2014 concerning Copyright (Copyright Law). Most Press Companies in Indonesia have used YouTube as a medium to present information. An interesting case occurred between one of the Press Companies that is well known to the public in Indonesia, Kompas and a Youtuber partner of Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) where Kompas TV and Kompas.com (hereinafter referred to as Kompas) received two claims for YouTube video copyright or YouTube copyright strike filed by Content Creators fostered by Kereta Cepat Indonesia China (KCIC). The imposition of copyright strikes on news content from Kompas indicates that a journalistic activity delivered in the form of content through the YouTube channel media can be considered by YouTube as copyright infringement if the content contains footage belongs to the original Creator, and that Creator expresses objection to the dissemination of his content. Copyright restrictions can be applied to Kompas's actions if Kompas does not monetize its content so that Kompas's actions cannot be protected by Article 43 of the Copyright Law, but when the content is made for educational purposes, Kompas's actions can be protected by Article 44 of the Copyright Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership Universitas Indonesia Library
Sondakh, Stephanie Ruriko
"Penggunaan kendaraan bermotor listrik (electric vehicle) sebagai suatu teknologi terbarukan semakin meningkat demi mengurangi polusi udara dan mencapai target net zero emission pada tahun 2060 sehingga kehadiran perlindungan hukum terhadap hak eksklusif inventor kendaraan bermotor listrik menjadi urgensi untuk diterapkannya program percepatan pendaftaran paten melalui kebijakan green patent incentive. Green patent incentive merupakan kebijakan untuk memberikan insentif kepada pendaftar paten teknologi hijau berupa percepatan proses pendaftaran paten. Kebijakan green patent incentive dapat mempercepat proses pendaftaran paten sehingga pemberian paten atas teknologi ramah lingkungan juga akan semakin meningkat. Hal ini sebagaimana terbukti pada negara-negara lain yang telah menerapkan kebijakan green patent incentive, seperti Canada dan Republik Rakyat China (RRC). Namun demikian, Indonesia belum memiliki kebijakan yang serupa dengan kebijakan green patent incentive yang berlaku di Canada dan RRC. Masih belum ada insentif yang diberikan terhadap pendaftaran paten teknologi yang ramah lingkungan, khususnya teknologi kendaraan bermotor listrik di Indonesia. Oleh karena itu, penelitian ini akan membahas terkait penerapan kebijakan green patent incentive sebagai solusi untuk mempercepat proses pendaftaran paten agar dapat meningkatkan perlindungan hukum terhadap inventor teknologi ramah lingkungan, khususnya teknologi kendaraan bermotor listrik. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan menganalisis penerapan hukum dan peraturan perundang-undangan, serta dengan membandingkan antara kebijakan yang berlaku di Indonesia dengan kebijakan yang berlaku di Canada dan RRC. Hasil analisis yang didapatkan adalah green patent incentive dapat mempercepat pendaftaran paten dan apabila hendak diterapkan di Indonesia, maka harus ditentukan kriteria-kriteria teknologi hijau dan tahapan yang dapat diberikan green patent incentive. Kriteria teknologi hijau dapat merujuk pada peraturan perundang-undangan di bidang lingkungan hidup dan konservasi energi, sedangkan tahapan pendaftaran paten yang dapat diberikan green patent incentive adalah tahap penelitian substantif paten
The use of electric vehicles as a renewable technology is increasing in order to reduce air pollution and achieve the target of net zero emission in 2060. Therefore, the existence of legal protection for the exclusive rights the electric vehicles’ investors has became an urgency to implement. Indonesia needs a program to accelerate patent registration through the green patent incentives policy. Green patent incentive is a policy to provide incentives for green technology patent applicants in the form of accelerating the patent registration process. The green patent incentive policy can give a fast-track to the patent registration process so that the granting of patents for environmentally friendly technologies will also increase. The effect on implementing the green patent incentive policy may be seen in other countries that have implemented policy, such as Canada and the People's Republic of China (PRC). However, Indonesia does not yet have a policy similar to the green patent incentive policy like there is in Canada and The PRC. There are still no incentives given to the registration of environmentally friendly technology patents, especially electric vehicle technology in Indonesia. Therefore, this research will discuss the implementation of the green patent incentive policy as a solution to accelerate the patent registration process in order to increase legal protection for environmentally friendly technology inventors, especially the electric vehicle technologies. The research method used is juridical-normative by analyzing the applicable laws and regulations, as well as by comparing the policies in force in Indonesia with those in force in Canada and The PRC. The results of the analysis obtained are that green patent incentives can accelerate patent registration and if they are to be implemented in Indonesia, then Indonesia must first determined the criteria for green technology and must determined the patent registration stages that can be granted the green patent incentives. Green technology criteria can refer to laws and regulations in the field of environment and energy conservation, while the stages of patent registration that can be granted green patent incentives are the patent substantive research stage."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Siregar, Zahwa Namora
"Desain grafis merupakan suatu ciptaan yang dilindungi oleh Undang-Undang Hak Cipta dalam kategori gambar. Teknologi memberikan akses terhadap pencipta untuk melakukan pengumuman atau publikasi terhadap desain grafis di media internet. Namun, hal tersebut menjadi pisau bermata dua karena ditemukan banyak pelanggaran hak cipta terhadap desain grafis, terutama yang diperjualbelikan di marketplace sehingga merugikan hak eksklusif pencipta. Peneliti mencoba untuk menjelaskan bagaimana implementasi peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang marketplace selaras dengan perlindungan hak cipta terhadap desain grafis. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian ini menyebutkan bahwa kebijakan dari marketplace Indonesia seperti Shopee dan Tokopedia belum cukup komprehensif dalam menentukan batasan-batasan pelanggaran hak cipta sehingga masih terjadi banyak pelanggaran, sedangkan marketplace yang beroperasi di Amerika Serikat seperti Amazon dan eBay memiliki kebijakan mengenai batasan yang tegas tentang apa saja yang dikategorikan sebagai pelanggaran hak cipta desain grafis. Hal ini dapat disebabkan karena kebijakan marketplace merupakan implementasi dari undang-undang yang berlaku dimana Amerika Serikat telah mengatur secara spesifik, sedangkan Indonesia masih secara umum. Selain itu, terhadap pelanggaran hak cipta terhadap desain grafis yang terjadi, baik marketplace di Indonesia dan Amerika Serikat keduanya tidak bisa dimintakan pertanggungjawaban secara hukum selama sudah menyediakan klausul tegas, sarana pelaporan, dan pemutusan akses atau take down.
Graphic design is a creation that is protected by the Copyright Act in the image category. Technology provides access for creators to make announcements or publications of graphic designs on internet media. However, this has become a double-edged knife because there are many copyright infringement against graphic designs, especially those that are traded on the marketplace, thus harming the exclusive rights of creators. Researcher try to explain how the implementation of laws and regulations governing marketplaces is in line with copyright protection for graphic designs. This study uses a normative juridical research method with a qualitative approach. The results of this study state that the policies of Indonesian marketplaces such as Shopee and Tokopedia are not comprehensive enough in determining the limits of copyright infringement so that there are still many violations, while marketplaces operating in the United States such as Amazon and eBay have policies regarding strict limits on what which is categorized as a graphic design copyright infringement. This could be due to the fact that the marketplace policy is an implementation of applicable laws where the United States has specifically regulated it, while Indonesia is still general. In addition, for copyright infringements on graphic designs that occur, both marketplaces in Indonesia and the United States cannot be held legally responsible as long as they have provided strict clauses, reporting facilities, and termination of access or take down."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Feliza
"Dewasa ini Hak Kekayaan Intelektual (HKI) memiliki peran penting dalam aspek kehidupan masyarakat. Hal ini dikarenakan HKI berkaitan erat dengan teknologi, ekonomi, maupun seni budaya. Begitu pentingnya HKI dalam kehidupan, selayaknyalah HKI tersebut dilindungi. Salah satu bentuk HKI yang harus dilindungi adalah hak cipta, khususnya lembaga penyiaran dari tindakan pembajakan melalui internet. Hal ini menjadi penting, karena izin siaran pertandingan sepak bola ini baru akan dianggap sah apabila telah mendapatkan izin dari pemegang hak terakait atas hak siar tersebut. Hak lisensi ini diperoleh melalui perjanjian lisensi, kemudian dengan membayar sejumlah royalti kepada pemegang hak terkait. Maka lembaga penyiaran ini akan dianggap sah sebagai pemegang lisensi atas hak siar setelah perjanjian lisensi disetujui oleh pemegang hak terkait dan pihak lembaga penyiaran yang ingin memiliki lisensi atas siaran tersebut. Di Indonesia memang sudah diatur terkait undang-undang untuk melindungi hak cipta. Namun undang-undang tersebut belum mampu membuat para pelaku pembajakan jera atas perbuatannya. Hal ini dikarenakan sanksi yang diterapkan masih kurang efektif dan dalam penjatuhan sanksi pidana terhadap pelanggar hukum hak cipta , diperlukan adanya sistem pedoman pemidanaan yang bisa dijadikan acuan bagi penghitungan sanksi denda. Sehingga sistem pedoman pemidanaan ini sangat diperlukan penerapannya dalam hal memberikan sanksi pidana yang tepat bagi para pelanggar hak cipta, khususnya dibidang pembajakan hak siar. Karena kebanyakan dalam berbagai putusan hakim dalam menjatuhkan sanksi denda kurang seimbang dengan kerugian yang dialami pemilik hak cipta maupun pemegang hak cipta. Sehingga diperlukan bagi perkembangan hukum hak cipta di indonesia yaitu perlu adanya pedoman pemidanaan dalam penjatuhan sanksi denda kepada pelaku palanggar hak cipta atau hak terkait.
Nowadays, Intellectual Property Rights (IPR) have an important role in aspects of people's lives. This is because IPR is closely related to technology, economy, and cultural arts. So important is IPR in life, it should be protected. One form of IPR that must be protected is copyright, especially broadcasters from acts of piracy over the internet. This is important, because the permission to broadcast a football match will only be considered valid if it has obtained permission from the holder of the broadcasting rights. This license right is obtained through a license agreement, then by paying a certain amount of royalties to the relevant rights holder. Then this broadcaster will be considered valid as the licensee of the broadcasting rights after the license agreement is approved by the relevant rights holder and the broadcaster who wants to have a license for the broadcast. In Indonesia, it has been regulated regarding laws to protect copyright. However, the law has not been able to deter the perpetrators of piracy for their actions. This is because the sanctions applied are still ineffective and in imposing criminal sanctions on violators of copyright law, it is necessary to have a system of sentencing guidelines that can be used as a reference for calculating fines. So that this criminal code system is very necessary to apply it in terms of providing appropriate criminal sanctions for copyright violators, especially in the field of piracy of broadcasting rights. Because most of the various judges' decisions in imposing fines are not balanced with the losses suffered by copyright owners and copyright holders. So it is necessary for the development of copyright law in Indonesia, namely the need for criminal guidelines in imposing fines on perpetrators of copyright or related rights violations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Alif Farhan Dipolaksono
"Seiring dengan berkembangnya teknologi, pemrosesan terhadap data pribadi menjadi semakin diperlukan, termasuk terhadap data pribadi tentang anak. Meningkatnya penggunaan teknologi informasi oleh anak-anak menyebabkan anak-anak kerap kali menjadi subjek data dari kegiatan pemrosesan data pribadi. Namun, tidak seperti orang dewasa, anak masih memiliki keterbatasan untuk memahami implikasi kegiatan pemrosesan terhadap data pribadi tentang mereka. Anak-anak juga memiliki keterbatasan untuk mengendalikan peredaran data pribadi tentang mereka. Dalam menyikapi hal ini, perlu penerapan pelindungan data pribadi anak. Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi telah mengatur bahwa pemrosesan data pribadi anak diselenggarakan secara khusus. Namun, tidak ada pengaturan atau penjelasan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan secara khusus itu selain dari perlunya persetujuan orang tua. Hal ini menyebabkan adanya keperluan untuk pengaturan pelindungan data pribadi anak secara lebih lanjut. Dari sejumlah negara, hukum pelindungan data pribadi anak di Amerika Serikat dan Inggris cukup menarik untuk diperhatikan karena keduanya telah memiliki aturan terkait dan pengalaman dalam penegakan hukumnya. Selain itu, pendekatan yang diterapkan di antara kedua negara itu cukup berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah anak-anak memerlukan pelindungan data pribadi yang lebih khusus dibanding orang dewasa, bagaimana hukum pelindungan data pribadi anak diterapkan di Indonesia, dan hal-hal apa saja yang dapat diterapkan Indonesia dalam pelindungan data pribadi anak dari perbandingan pengaturan pelindungan data pribadi anak di Amerika Serikat dan Inggris. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang menitikberatkan pada penelitan terhadap perbandingan hukum, yakni dengan membandingkan struktur atau kerangka hukum, substansi hukum, dan budaya hukum terkait pelindungan data pribadi anak di Indonesia, Amerika Serikat, dan Inggris tersebut.
As technology develops, processing of personal data becomes increasingly necessary, including personal data about children. The increasing use of information technology by children means that children often become data subjects from personal data processing activities. However, unlike adults, children still have limitations in understanding the implications of processing activities for personal data about them. Children also have limited control over the circulation of personal data about them. In responding to this, it is necessary to implement the protection of children's personal data. The Personal Data Protection Act has regulated that the processing of children's personal data shall be conducted in a special arrangement. However, there are no further provisions or explanations regarding this special arrangement apart from the need for parental approval. This causes the need for further regulation of the protection of children's personal data. From a number of countries, the law on the protection of children's personal data in the United States and the United Kingdom is quite interesting to note because both of them already have relevant regulations and experience in enforcing the law. In addition, the approaches used between the two countries are quite different. This study aims to find out whether children should receive more special personal data protection measures compared to adults, how the law on the protection of children's personal data is implemented in Indonesia, and what can Indonesia implement in protecting children's personal data from a comparison of child personal data protection regulations in the United States and the United Kingdom. This research is a normative juridical research that focuses on comparative legal research, namely by comparing the structure or legal framework, legal substance, and legal culture related to the protection of children's personal data in Indonesia, the United States and the United Kingdom"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Hardiana Clarisa
"Data pribadi telah diakui sebagai salah satu hak asasi manusia yang dijunjung tinggi pelindungannya. Sebagai salah satu upaya pelindungannya, pemilik data pribadi harus memberikan persetujuan eksplisit sebagai dasar untuk diprosesnya data pribadi. Namun, Undang-Undang No. 27 Tahun 2022 Tentang Pelindungan Data Pribadi menyebutkan beberapa alasan sebagai dasar pengecualian pemrosesan data pribadi. Salah satunya adalah alasan kedaruratan demi keberlangsungan hidup seseorang yang juga merupakan hak asasi manusia, yakni hak untuk hidup. Sebagai bentuk pelayanannya, Indonesia menciptakan panggilan darurat 112 untuk melayani warga yang berada dalam keadaan darurat. Pada praktiknya, terdapat beberapa orang sedang berada dalam keadaan tidak memiliki kapabilitas untuk berbicara sehingga bentuk persetujuan eksplisit menjadi tidak relevan. Dalam keadaan ini diperlukan bentuk persetujuan lain yang diterapkan dalam panggilan darurat, salah satunya dengan bentuk
implied consent. Dalam keadaan ini, prinsip siracusa sebagai dokumen hukum internasional dapat dijadikan acuan pada kewenangan pengendali data pribadi dalam memproses data pribadi yang dilakukan tanpa persetujuan. Pengendali data pribadi hanya dapat memproses data pribadi dengan konteks dan pihak yang terkait dengan bantuan kedaruratan dan dilakukan dengan memenuhi standar legalitas, kebutuhan berbasis bukti, proporsionalitas, non-diskriminasi serta dilakukan secara bertahap. Selain itu, pemilik data pribadi memiliki hak untuk mengetahui, menghapus dan mengganti data pribadi yang sudah diproses tersebut. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang dikembangkan dengan membandingkan dengan negara lain, tulisan ini akan menganalisis mengenai bagaimana bentuk persetujuan yang tepat untuk diterapkan pada pemrosesan data pribadi dalam keadaan darurat khususnya di panggilan darurat 112 yang dimiliki Indonesia dan sejauh mana pengendali data pribadi dapat memproses data yang diterima pada saat keadaan darurat.
Personal data has been recognized as one of the human rights whose protection is upheld. As one of the protection efforts, the owner of personal data must provide explicit consent as a basis for the processing of personal data. However, Law No. 27 of 2022 concerning Protection of Personal Data states several reasons as the basis for exceptions to the processing of personal data. One of them is the reason for an emergency for the survival of a person which is also a human right, namely the right to live. As a form of service, Indonesia created an emergency call 112 to serve citizens who are in an emergency. In practice, there are some people who are in a state of not having the capability to speak so that the form of explicit consent becomes irrelevant. In this situation another form of consent is required which is applied in an emergency summons, one of which is the implied consent form. In this situation, the Siracusa Principle as an international legal document can be used as a reference for the authority of a personal data controller to process personal data without consent. The controller of personal data can only process personal data with the context and parties related to emergency assistance and it is carried out in compliance with legality standards, evidence-based needs, proportionality, non-discrimination and is carried out in stages. In addition, the owner of the personal data has the right to know, delete and replace the personal data that has been processed. By using normative juridical research methods developed by comparison with other countries, this paper will analyze how the right form of consent is applied to the processing of personal data in an emergency, especially in Indonesia's emergency call 112 and the extent to which personal data controllers can process data. received in an emergency.Â
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Febri Indriani
"Penyelesaian sengketa secara konvensional yang dilakukan melalui aktivitas tatap muka dinilai menyulitkan konsumen untuk menuntut kerugian yang dialami setelah menggunakan barang atau jasa. Posisi konsumen dan pelaku usaha yang berjauhan menyulitkan kedua belah pihak karena harus menempuh jarak ke lokasi penyelesaian sengketa. Online Dispute Resolution menjadi solusi yang memungkinkan para pihak untuk menyelesaikan sengketa meskipun berada di lokasi yang berbeda. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perkembangan Online Dispute Resolution di Indonesia dan menganalisis penerapannya di LAPS SJK. Indonesia belum memiliki peraturan perundang-undangan yang secara khusus mengatur Online Dispute Resolution, namun keberadaan Online Dispute Resolution telah tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan. Online Dispute Resolution juga telah diterapkan dalam proses penyelesaian sengketa, antara lain dalam mediasi di Pengadilan, melalui layanan pengaduan konsumen di Kementerian Perdagangan, serta dalam penyelesaian sengketa yang diselenggarakan LAPS SJK. Sebagai perbandingan penerapan Online Dispute Resolution, Belanda memiliki platform terintegrasi yang memungkinkan pihak untuk melakukan pengaduan dari berbagai sektor sengketa. Selain itu, Belanda juga memiliki platform di beberapa sektor yang terintegrasi dengan platform Online Dispute Resolution milik Uni Eropa. Adapun China menjadi negara pertama yang menerapkan Online Dispute Resolution di Asia melalui CIETAC. Khusus berkaitan dengan sengketa konsumen, Brasil juga telah memiliki platform Online Dispute Resolution yang membantu konsumen dalam melakukan pengaduan dan menyelesaikan sengketa. Dalam penerapannya di LAPS SJK, Online Dispute Resolution terdapat dalam proses penyelesaian sengketa melalui arbitrase, mediasi, dan pendapat mengikat. Secara teknis, proses penyelesaian sengketa di LAPS SJK dilaksanakan secara elektronik, namun masih dimungkinkan untuk menyelenggarakan penyelesaian sengketa secara konvensional atau secara hybrid sesuai persetujuan para pihak.
Conventional dispute resolution, which is carried out through face-to-face activities, is considered difficult for consumers to claim their loss after using goods or services. The position of consumers and businesses far apart makes it difficult for both parties because they have to travel the distance to the location of the dispute settlement. Online Dispute Resolution is a solution that enables parties to resolve disputes even though they are in different locations. This research aims to understand the development of Online Dispute Resolution in Indonesia and its implementation in the LAPS SJK. Indonesia does not yet have laws and regulations that specifically regulate Online Dispute Resolution, but the existence of Online Dispute Resolution has been mentioned across various laws and regulations. Online Dispute Resolution has also been implemented in the dispute resolution process, including mediation in courts, through the consumer complaint service at the Ministry of Trade, as well as in dispute resolution organized by LAPS SJK. Compared to the implementation of Online Dispute Resolution, the Netherlands has an integrated platform that allows parties to submit complaints from various dispute sectors. In addition, it also has several sectors whose platforms are integrated with the European Union's Online Dispute Resolution platform. Meanwhile, China became the first country to implement Online Dispute Resolution in Asia through CIETAC. Regarding consumer dispute settlement, Brazil has an Online Dispute Resolution platform that helps consumers to complain and resolve disputes. In the LAPS SJK, Online Dispute Resolution is contained in the process of resolving disputes through arbitration, mediation, and binding advice. Technically, the dispute settlement process at the SJK LAPS is carried out electronically. However, it is still possible to carry out conventional or hybrid dispute resolution according to the parties' agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library