Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sekar Dewi Dinawati
Abstrak :
Cedera Kranioserebral merupakan penyebab kematian paling sering pada orang dewasa. Perkembangan teknologi yang pesat, terutama di bidang industri dan transportasi mengakibatkan meningkatnya kasus-kasus Cedera Kranioserebral yang menyebabkan meningkatnya angka kematian dan kecacatan menetap. Dampaknya adalah timbulnya berbagai masalah sosial dan ekonomi di dalam masyarakat. Di negara industri seperti misalnya Inggris, temyata ada sebanyak 1800 pasien per 100.000 penduduk yang masuk ke ruang gawat darurat dengan Cedera Kranioserebral I. Angka rerata Cedera Kranioserebral pads semua kelompok umur mencapai 200 per 100.000 penduduk1-3 dengan puncaknya terjadi pada umur dekade ke-2 dan ke-3. Cedera Kranioserebral pads pria terjadi dua kali Iebih banyak dari wanita. Pada orang dewasa penyebab Cedera Kranioserebral adalah kecelakaan lalu lintas. Di Indonesia, data epidemiologis secara nasional sampai saat ini belum ada angka rerata Cedera Kranioserebral. Di ruang rawat inap Bagian Neurologi Kelas III ( IRNA B) RSCM Jakarta, pads 2004 terdapat Cedera Kranioserebral Ringan (CKR) sebanyak 473 orang, Cedera Kranioserebral Sedang (CKS) sebanyak 147 orang dan Cedera Kranioserebral Berat (CKB) sebanyak 54 orang. Pada 2005, tercatat sebanyak 738 orang dengan Cedera Kranioserebral, terdiri dari Cedera Kranioserebral Ringan (CKR) sebanyak 313 orang, Cedera Kranioserebral Sedang (CKS) sebanyak 130 orang dan Cedera Kranioserebral Berat (CKB) sebanyak 20 orang. Pada 2006 sampai dengan bulan April didapat 201 orang terdiri dari Cedera Kranioserebral Ringan (CKR) sebanyak 100 orang. Cedera Kranioserebral Sedang (CKS) sebanyak 83 orang dan Cedera Kranioserebral Berat (CKB) sebanyak 8 orang. Kasus Cedera Kranioserebral ini terbanyak pads usia 15 -45 tahun dan pria pads usia produktif lebih banyak dari wanita. Sudah disepakati bahwa pembagian Cedera Kranioserebral berdasarkan beratnya kerusakan otak terdiri dari 3 kategori, yaitu Cedera Kranioserebral Ringan (CKR), Cedera Kranioserebral Sedang (CKS), Cedera Kranioserebral Berat (CKB). Kategorisasi tersebut dibuat berdasarkan Skala Koma Glasgow (SKG) yang pemeriksaan dan penilaiannya dilakukan oleh tenaga medis sewaktu pertama kali mengobservasi penderita. Patofisiologi Cedera Kranioserebral, khususnya yang berat, adalah terjadinya kerusakan otak primer dan sekunder. Pada Cedera Kranioserebral ini dapat terjadi kerusakan atau pun gangguan fungsi dari susunan saraf. Pada penelitian ini dibahas tentang kerusakan atau pun gangguan susunan saraf, yang mengganggu kualitas suara. Cedera Kranioserebral dengan perdarahan substansi otak yang disertai terputusnya kontinuitas otak disebut kontusio serebris. Defisit neurologis yang terjadi pada kontusio serebri di antaranya dapat berupa kerusakan atau gangguan saraf kranial IX, X, XII dan serebelum yang mengakibatkan perubahan kualitas suara. Berbagai cara pemeriksaan dapat dilakukan untuk menilai disfonia, yaitu pemeriksaan laringoskopi, stroboskopi, elektromiografi, pemeriksaan parameter aerodinamik dan pemeriksaan analisis suara, baik secara perseptual (subyektif) maupun secara obyektif, Salah satu cara pemeriksaan ialah dengan mempergunakan Multi-Dimensional Voice Program (MDVP).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18165
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Masrin
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuniar
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T58978
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Imelda Masrin
Abstrak :
Karsinoma nasofaring (KNF) di Indonesia merupakan tumor ganas kepala dan leher terbanyak dan berada di peringkat ke empat dari seluruh keganasan pada tubuh manusia setelah tumor ganas serviks, tumor payudara dan tumor kulit. Kemajuan ilnmu pengetahuan dan teknologi dalam menegakkan diagnosis keganasan pada umumnya dan karsinoma nasofaring khususnya adalah dengan pemeriksaan histopatologik atau sitologik. Pemeriksaan penunjang lainnya, antara lain pemeriksaan radio diagnostik seperti Tomografi komputer (CT Scan), Pencitraan Resonansi Magnetik (MRI), pemeriksaan serologi, imunohistokimia dan patologi molekuler. Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor yang berasal dari sel-sel epitel yang melapisi daerah nasofaring. Karsinoma nasofaring pertama-tama diperkenalkan oleh Regaud dan Schmineke pada tahun 1921. Karsinoma nasofaring adalah suatu tumor ganas yang relatif jarang ditemukan pada beberapa tempat seperti Amerika Utara dan Eropa dengan insidens penyakit 1 per 100.000 penduduk. Penyakit ini lebih sating terdapat di Asia Tenggara termasuk Cina, Hong Kong, Singapura, Malaysia dan Taiwan dengan insidens antara 10 - 53 kasus per 100.000 penduduk. Di daerah India Timur Laut, insidens pada daerah endemis antara 25 sampai 50 kasus per 100.000 penduduk. Penelitian terhadap penyakit karsinoma nasofaring ini mendapat banyak perhatian. Hal ini disebabkan oleh adanya interaksi yang cukup kompleks dari etiologi penyakit seperti faktor genetika, virus (Epstein-Barr) dan faktor lingkungan (nitrosamin di dalam ikan asin). Pada tahun 1985 Ho menyatakan sebuah hipotesis bahwa sebagai etiologi dari karsinoma nasofaring adalah infeksi dari virus Epstein-Barr. Virus Epstein-Barr (EBV) adalah virus yang dapat menginfeksi lebih dari 90% populasi manusia di seluruh dunia. Virus Epstein-Barr merupakan salah satu penyebab dari infeksi mononukieosis. Karsinoma nasofaring adalah neoplasma epitel nasofaring yang sangat konsisten dengan infeksi EBV. Infeksi primer pada umumnya terjadi pada anak-anak dan bersifat asimptomatik. Infeksi primer dapat menyebabkan virus persisten dimana virus memasuki periode laten di dalam Iimfosit B. Periode laten dapat mengalami reaktivasi spontan ke periode litik, yaitu terjadi replikasi DNA EBV, dilanjutkan dengan pembentukan virion baru dalam jumlah besar, sehingga sel pejamu menjadi lisis dan virion dilepaskan ke sirkulasi. Sel yang terinfeksi EBV mengekspresikan antigen virus yang spesifik . EBV mempunyai potensi onkogenik untuk mengubah sel yang terinfeksi menjadi sel gangs seperti KNF, retikulosis polimorfik dan limfoma Burkitt. Virus Epstein-Barr memegang peranan penting dalam terjadinya keganasan, tetapi virus ini bukan satu-satunya penyebab dari timbulnya karsinoma nasofaring. Transmisi dari virus Epstein-Barr membutuhkan kontak yang erat dengan saliva sesenrang yang terinfeksi dengan virus ini. Banyak orang sehat dapat membawa dan menyebarkan virus secara intermiten di dalam kehidupannya, sehingga transmisi virus ini pada sebagian manusia tidak mungkin untuk dicegah.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T58780
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Anggiaty Idris Gassing
Abstrak :
Latar Belakang: Kanker kepala dan leher terdapat 10 dari keseluruhan kasus kanker di seluruh tubuh. Efek samping akibat terapi kanker berdampak signifikan pada kualitas hidup pasien. Instrumen yang sering digunakan untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kepala dan leher salah satunya adalah University of Washington Quality of Life UW-QOL. Hingga saat ini belum pernah dilakukan adaptasi kuesioner UW-QOL ke bahasa Indonesia. Tujuan: Penelitian ini bertujuan mendapatkan instrumen UW-QOL adaptasi bahasa Indonesia yang valid dan reliabel untuk menilai kualitas hidup pasien kanker kepala dan leher. Metodologi: Penelitian ini berdesain potong lintang, dilakukan di poliklinik THT FKUI/RSCM dr. Cipto Mangunkusumo terhadap pasien kanker kepala dan leher usia dewasa. Hasil: Uji validitas menggunakan uji korelasi Spearman dengan korelasi bermakna pada seluruh butir pertanyaan di tingkat signifikansi p ......Background: Head and neck cancer accounts for 10 of all cancer cases throughout the body.. Side effects due to cancer therapy have a significant impact on patient quality of life. The University of Washington Quality of Life UW QOL is the most frequent intruments used to assess the quality of life of head and neck cancer patients. At present, the Indonesian version of UW QOL questionnaire is not available. Objective: This study aims to obtain a valid and reliable Indonesian adaptation of UW QOL to assess the quality of life of head and neck cancer patients. Method: Cross sectional study was conducted in ORL HNS Department outpatient clinic dr. Cipto Mangunkusumo hospital towards 41 adult patients with head and neck cancer. Result: The validity test using Spearman correlation test with significant correlation in all questions items at the level of significance p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Meristiana Christiane
Abstrak :
ABSTRAK Latar Belakang: Obstructive Sleep Apnea (OSA) merupakan kelainan tidur yang terjadi secara periodik dan disertai henti napas. OSA pada anak dapat menyebabkan gangguan perilaku, prestasi sekolah yang buruk, komplikasi kardiovaskular atau disfungsi metabolik endokrin. Tatalaksana kasus OSA anak dapat berupa pembedahan ataupun medikamentosa. Perbaikan kualitas hidup OSA pada anak secara subjektif dapat diukur dengan kuesioner OSA 18 dan secara objektif dengan pemeriksaan polisomnografi. Tujuan: Mengetahui efektivitas terapi tonsiloadenoidektomi pada OSA anak dibandingkan dengan terapi Mometasone Furoate. Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis dengan alokasi acak dua kelompok melibatkan 20 subjek, dengan 10 subjek terapi tonsiloadenoidektomi dan 10 subjek menggunakan Mometasone furoate. Analisis dilakukan berdasarkan perubahan skor OSA 18 dan polisomnografi sebelum dan sesudah terapi 6 minggu. Hasil: karateristik jenis kelamin lebih banyak perempuan, dengan rentang usia terbanyak pada kelompok usia 5 hingga 7 tahun, mayoritas tingkat pendidikan sekolah dasar, dengan status gizi subjek berat badan normal (P5%-P85%), rerata lingkar leher adalah 25,28 cm (SB 2,28). Karakteristik pemeriksaan fisik terbanyak adalah hipertrofi tonsil (T3), posisi palatum derajat 2 dan hipertrofi adenoid derajat III berdasarkan pemeriksaan nasoendoskopi serat lentur. Faktor predisposisi alergi pada subjek penelitian didapatkan hasil uji tusuk kulit positif. Pada penelitian ini didapatkan perbedaan perubahan skor OSA 18, Skala Analog Visual (SAV) dan Apnea Hypopnea Index (AHI) sebelum terapi dan 6 minggu setelah terapi, baik pada kelompok intervensi bedah maupun kelompok Mometasone furoate. Tidak ditemukan perbedaan bermakna nilai saturasi oksigen terendah (Sat O2) sebelum terapi dan 6 minggu setelah terapi pada kedua kelompok. Kesimpulan: Pada OSA anak, kuesioner OSA 18, SAV dan parameter AHI dari polisomnografi dapat digunakan sebagai penilaian efektifitas terapi OSA. Tonsiloadenodektomi dapat menjadi pilihan tatalaksana pembedahan, disamping pemberian Mometasone furoate pada pasien OSA anak yang disertai alergi.
ABSTRACT Background: Obstructive Sleep Apnea is a sleep disorder that occurs periodically and accompanied by respiratory rest. OSA in children can cause behavioral disorders, poor academic perfomance, cardiovascullar, endocrine metabolic complications. Management of OSA in children were operatif and non operatif. Subjectively improvement quality of life can be measured with a questionnaire OSA 18 and objectively by polysomnography examination. Objectives: To determine the effectiveness of the adenotonsilectomy in children with OSA compared with Mometasone furoate therapy. Methods: This study was a clinical trial with random allocation involves two groups of 20 subjects, i.e. 10 subject in adenotonsilectomy group and 10 subjects with Mometasone furoate. The analysis was perfomed based on the changes of OSA 18 scoring and polysomnography before and after 6 weeks therapy. Result: The subject characteristic in this research was more girls, with average age of 5 to 7 years old, education level at primary school, normal body weight, mean neck circumference was 25.28 (2.28). Physical examination characteristic were tonsilar hypertrophy (T3), 2nd stage palatum position, 3rd stage adenoid hypertrophy based on the flexible nasoendoscopy. Allergy predisposing factor in this research showed positive result from skin prick test. There was statistical significant in OSA 18, Visual Analog Scale (VAS), and AHI at before and 6 weeks after treatment, either in surgical group or intranasal corticosteroid group. But there was no significant difference of the lowest oxygen saturation at before treatment and 6 week after treatment in both groups. Conclusions: In children, OSA 18 Questionare, VAS, and AHI from polysomnography parameters can be used as evaluation effectiveness of treatment of OSA. Adenotonsilectomy can be treatment of choice as a surgical option along with intranasal corticosteroid as a treatment consideration for patient OSA with allergic. Keywords: Children OSA, OSA 18 Questionare, AHI, adenotonsilectomy, intranasal corticosteroid.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Natasha Supartono
Abstrak :
ABSTRAK Laringektomi total merupakan prosedur yang umum dilakukan pada karsinoma sel skuamosa laring. Infeksi luka operasi merupakan salah satu komplikasi yang sering dan dapat memberikan dampak yang besar terhadap kualitas hidup pasien. Penggunaan antibiotika profilaksis merupakan salah satu cara pencegahan ILO namun belum ada literatur pasti yang menyebutkan penggunaan antibiotika profilaksis pada laringektomi total sebaiknya digunakan selama berapa lama. Penelitian ini merupakan suatu studi eksperimental kuasi dengan kontrol yang diambil secara retrospektif untuk melihat kejadian infeksi pasca operatif pada penggunaan Sefazolin sebagai antibiotika profilaksis perioperatif selama 5 hari pada kelompok eksperimen dibandingkan dengan kelompok kontrol statik dari data retrospektif yang menggunakan Sefazolin 30 menit sebelum insisi dan diteruskan dengan antibiotika yang berbeda selama lebih dari 12 hari di Divisi Laring Faring Departemen THT-KL FKUI-RSCM. Tiga dari 12 subyek mengalami infeksi pada kelompok eksperimen dan 2 dari 24 subyek mengalami infeksi pada kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna proporsi angka kejadian ILO pada kedua kelompok. Analisis univariat dan bivariat dilakukan untuk menilai beberapa faktor risiko dan studi ini menunjukkan adanya hubungan yang bermakna antara penyakit ginjal dan penyakit komorbid >1 dengan angka kejadian ILO.
ABSTRACT Total laryngectomy is a common procedure in laryngeal squamous cell carcinoma. Surgical site infection is one frequent complication and it can have a major impact on patient rsquo s quality of life. The use of prophylactic antibiotics is one of the prevention of surgical site infections but there is no definite literature mentioning the use and how long should the prophylactic antibiotics be used in total laryngectomy. This study was a quasi experimental study with retrospective controls to look at the incidence of postoperative infection on the use of Cefazolin as the perioperative prophylactic antibiotics for 5 days on the experimental group compared to the static control group from retrospective data using Cefazolin 30 minutes before incisions and continued with different antibiotics for more than 12 days in Larynx Pharynx Division of ORL HNS Department of Medical Faculty of Universitas Indonesia. Three of 12 subjects had an infection in the experimental group and 2 of 24 subjects had an infection in the control group. There was no significant difference in the proportion of incidence of surgical site infections in both groups. Univariate and bivariate analyzes were performed to assess several risk factors and this study showed a significant association between renal disease and comorbid disease 1 with the incidence rate of surgical site infections.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58971
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library