Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tasya Anggrahita Rinintyaring P.
Abstrak :

Pananganan Fraktur Kraniomaksilofasial dengan metode Open Reduction Internal Fixation (ORIF) menggunakan miniplat titanium implant, adalah suatu modalitas yang paling superior. Namun demikian, Implant titanium yang beredar di Indonesia hingga saat ini adalah produk impor yang memiliki harga yang sangat tinggi. Maka dari itu, tim penelitian kami mengembangkan miniplat titanium implant buatan lokal yang lebih cost-efficient. Diharapkan miniplat yang kami kembangkan memiliki histokompatibilitas dan dapat memilliki penyembuhan tulang yang sama dengan produk impor. Penelitian ini adalah studi eksperimental menggunakan hewan coba berupa kelinci jenis New Zealand White Rabbit, yang dikelompokan menjadi 2 group. Setelah dilakukan osteotomi satu sisi pada arkus Zigoma, setiap grup akan dilakukan reduksi terbuka dan fiksasi garis fraktur menggunakan salah satu implant miniplat impor (Biomet®) ataupun implant lokal (UniFix®).  Setelah 5 hari, 4 minggu dan 8 mingu post operasi, 5 kelinci pada masing-masing grup akan di euthanasia dan dilakukan pengambilan sampel untuk pemeriksaan mikroskopik untuk mengevaluasi rasio penyembuhan tulang dan biokompatibilitas diantara masing-masing grup. Dari pengamatan, tidak ditemukan adanya komplikasi penyembuhan luka , seperti infeksi, seroma, maupun hematoma. Adapun tulang berhasil mengalami penyembuhan luka sesuai timeline, meskipun ditemukan kuantitas lamellar bone yang lebih besar pada treatment grup di minggu ke 8, dan signifikan secara statistik (Mean (%) treatment 65.3 (±3.7), and control 52.2 (±6.5) with p= 0.028). Adapun ditemukan pula pembentukan jaringan fibrokartilage pada hari ke 5, yang pada akhirnya berubah menjadi tulang matur pada periode selanjutknya. Jaringan fibrocartilage juga ditemui sedikit lebih besar pada minggu ke-8 pada grup komtrol (Mean (%) treatment 6.7(±6.4) and control 17(±3.3),p=0.038). Sel sel inflamatorik disekitar insersi screw dan jaringan granulasi pada lokasi garis fraktur tampak  mencapai puncaknya pada hari ke5, sebagai tanda proses natural dari fase inflamasi. Metal debris terdetaksi pada hampir semua sampel, dimana tidak ada perbedaan secara signifikan (n/total treatment 12(13), control 12(13), p=1.000). Namun demikian, adanya metal debris yang terdeteksi tidak memicu terbentuknya sel inflamatorik dan formasi dari sel giant. Studi ini menandakan fiksasi untuk fraktur midfacial dengan implant buatan lokal (UniFIX) menunjukkan histokompatibilitas yang baik, dan dapat mencapai penyembuhan tulang yang baik, serta tidak lebih inferior dibandingkan implant produk impor. Studi ini juga menunjukkan bahwa UniFIX adalah suatu modalitas fiksasi interna yang menjanjikan dan memerlukan support bersama untuk kemajuan dan pengembangannya di masa depan.


Open reduction and internal fixation by rigid titanium miniplate fixation had become the superior modalities for managing the craniomaxillofacial fractures. However, the titanium miniplate and screw available in Indonesia to-date is all high cost imported product. Therefore, our team is developing a locally made titanium miniplate and screw fixation with more cost-efficiently. It is hoped this locally-made titanium miniplate and screw (UniFix®) could provide the same histocompatibility and could provide adequate bone healing as the imported one. This study is an experimental study using 30 New Zealand white rabbits that divided into 2 groups. After performing one-sided zygomatic arch osteotomy, each group will be performed open reduction and applied whether a standardized imported mini-plate and screw (Biomet®) as group 1 or a locally made mini-plate and screw (UniFix®) as group 2. After 5 days, 4 week, and 8 weeks postoperatively, 5 rabbits on each group is euthanized and microscopic evaluation is conducted to evaluate the rate of bone healing and biocompatibility between each group. We have not seen any wound complication with respect of infection, seroma, and hematoma during observation of 5 days, 28 days, and 56 days. The bone is healed according to the timeline on both groups, although we found the treatment group had greater quantity of lamellar bone on day 56, and its statistically significance (Mean (%) treatment 65.3 (±3.7), and control 52.2 (±6.5) with p= 0.028). Though we also found fibrocartilage callus present around the fracture site especially the 5th day, but the fibrocartilage callus succeeded to turn over into mature bone in later period. We still found slightly bigger amount of fibrocartilage tissue on the 56th day on control group (Mean (%) treatment 6.7(±6.4) and control 17(±3.3),p=0.038). The inflammatory cells around the screw insertion and the granulation tissue of the fracture site had the highest peak on the 5th day observation marking the nature of inflammatory phase of bone healing. Metal debris found on both of the samples with no significance difference (n/total treatment 12(13), control 12(13), p=1.000). But the presence of metal debris hardly provokes any inflammatory cells and giant body formation around the screw site.This study shows the fixation of midfacial fracture using UniFIX presents good histocompatibility and adequate fracture healing and it is not inferior compared to the imported brand. This study also shows that UniFIX is a promising internal fixation modality and it needs further encouragement for future improvement and development

 

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55576
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathania Pudya Hapsari
Abstrak :
Background : In the long-term observation of autologous grafted cartilage grafts, it is hoped that the grafts will not experience atrophy and cell viability can be maintained, thereby preventing the possibility of irregular contours being formed. Based on the potential factors that determine the viability of the shredded cartilage grafts such as preservation of the perichondrium and the substance used to close the cartilage graft, this study aims to investigate the relationship between cartilage cell regeneration and degeneration in cartilage with intact perichondrium, perichondrium as covering substance. cartilage, and shredded cartilage without perichondrium Methods: 18 chopped cartilage grafts were taken from the side of the auricular concha of the hycole rabbit and implanted into the subcutaneous sac in the posterior trunk region of the rabbit. Chopped cartilage grafts are divided into 3 groups, namely cartilage with an intact perichondrium on one side, perichondrium as a bone covering substance. cartilage, and chopped cartilage without perichondrium. After 12 weeks of the implantation period, an analysis of the shredded cartilage graft was performed macroscopically and microscopically through Hematoxylin and Eosin staining, as well as Mason Trichrome. The results of the examination were compared in the three groups. Results: There was no significant difference in the macroscopic examination of the shape, color, and contour in the three groups compared to post-implantation, it was found that the capsules that covered the chopped cartilage grafts were found. Viability in groups 1 and 2 was found to be higher than in group 3. Cell proliferation under the perichondrium was found evenly in groups 1 and 3, while in group 2 there was a spike in proliferation of young cells at the incision site. The perichondrium is the substance that surrounds the bone graft Chopped cartilage showed moderate cartilage cell resorption and proliferation of young cells slightly below the perichondrium (11.5%) Conclusion: The intervention of the perichondrium, both as a wrapping substance and as an adhesive on the chopped cartilage grafts, did not differ macroscopically. However, there was a significant difference in cell viability microscopically, which was characterized by with differences in cell regeneration and degeneration.
Latar Belakang : Dalam pengamatan jangka panjang tandur tulang rawan cacah autolog, diharapkan tandur tidak mengalami atrophia dan viabilitas sel dapat dipertahankan, sehingga mencegah kemungkinan terbentuknya kontur irregular. Berdasarkan faktor-faktor potensial yang menentukan viabilitas tandur tulang rawan cacah seperti preservasi perikondrium dan substansi yang dipakai untuk menutup tandur kartilago, studi ini bertujuan untuk menginvestigasi hubungan antara regenerasi dan degenerasi sel kartilago pada tulang rawan dengan perikondrium yang intak satu sisi, perikondrium sebagai substansi penyelimut tulang rawan, dan tulang rawan cacah tanpa perikondrium Metode: 18 tandur tulang rawan cacah diambil dari sisi concha auricular kelinci hycole dan dimplantasikan kedalam kantung subkutan pada regio trunkus posterior kelinci. Tandur tulang rawan cacah dibagi menjadi 3 group yaitu tulang rawan dengan perikondrium yang intak satu sisi, perikondrium sebagai substansi penyelimut tulang rawan, dan tulang rawan cacah tanpa perikondrium. Setelah 12 minggu masa implentasi, dilakukan analisa tandur tulang rawan cacah secara makroskopis dan mikroskopis melalui pewarnaan Hematoxylin dan Eosin, serta Mason Trichrome. Hasil pemeriksaan dibandingkan pada ketiga grup. Hasil: Tidak ada perbedaan bermakna pada pemeriksaan makroskopis bentuk, warna, dan kontur pada ketiga grup dibandingkan pasca implantasi, didapatkan kapsul yang menyelimuti tandur tulang rawan cacah. Viabilitas pada grup 1 dan 2 didapatkan lebih tinggi dibandingkan dengan grup 3. Proliferasi sel dibawah perikondrium didapatkan merata pada grup 1 dan 3, sedangkan pada grup 2 didapatkan lonjakan proliferasi sel muda pada sisi sayatan. Perikondrium sebagai substansi yang menyelimuti tandur tulang rawan cacah didapatkan resorpsi sel tulang rawan sedang dan proliferasi sel muda yang sedikit dibawah perikondrium (11.5%) Kesimpulan: Intervensi perikondrium baik sebagai substansi pembungkus maupun melekan pada tandur tulang rawan cacah tidak berbeda secara makroskopis. Namun terdapat perbedaan signifikan pada viabilitas sel secara mikroskopis, yang ditandai dengan perbedaaan regenerasi dan degenerasi sel.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohammad Triadi Wijaya
Abstrak :
Pendahuluan: Osteoartritis adalah penyakit sendi yang utamanya ditandai defek rawan sendi dan merupakan penyebab utama disabilitas muskuloskeletal. Modalitas terapi injeksi intraartikular dengan hormon pertumbuhan terus dikembangkan guna mengurangi morbiditas. Ditemukan adanya pengaruh injeksi hormon pertumbuhan intraartikular terhadap regenerasi tulang rawan sendi, namun belum ada standar dosis dalam pemberian injeksi. Penelitian ini memfokuskan pada efek pengulangan dosis mingguan terhadap perbaikan rawan sendi model hewan coba. Bahan dan Metode: Penelitian eksperimental ini menggunakan desain post test only control group. Kelinci Selandia Baru jantan sebanyak 24 ekor dibagi secara acak menjadi grup kontrol dan 3 grup perlakuan. Semua subjek diinduksi OA dengan menyuntikkan kolagenase intraartikular. Subjek pada grup kontrol diinjeksi dengan cairan fisiologis, grup GH1 diinjeksi dengan hormon pertumbuhan sebanyak 1 kali, grup GH3 sebanyak 3 kali/3 minggu, dan grup GH5 5 kali/5 minggu. Kelinci diobservasi dan dipantau berat badannya, lalu dilakukan evaluasi histopatologi makroskopik dan mikroskopik. Hasil: Analisis skor makroskopik Yoshimi pada grup GH5 dibandingkan dengan grup GH1 dan kontrol menunjukkan perbedaan yang bermakna secara statistik p=0,002 . Analisis skor mikroskopik Mankin didapatkan tulang rawan pada grup GH1, GH3, dan GH5 dibandingkan kontrol mengalami perbaikan pasca perlakuan yang bermakna secara statistik dan kerusakan yang terjadi minimal p < 0,001. Kesimpulan: Injeksi intraartikular hormon pertumbuhan dosis mingguan selama lima minggu memberikan hasil yang lebih baik secara makroskopis dan mikroskopis terhadap degenerasi tulang rawan pada hewan coba model osteoartritis yang diinduksi dengan injeksi intraartikular kolagenase tipe 2 dibandingkan dengan dosis mingguan selama tiga minggu, dosis tunggal, maupun plasebo.
Introduction Osteoarthritis, a disease of the joint mainly characterized by a defect on the cartilage and subchondral bone, is one of the main musculoskeletal cause for disability. Intraarticular injection of growth hormone are known as the latest choice in therapy modality. There is some unclear evidence regarding effect of growth hormone injection on cartilage regeneration in osteoarthritis, yet further research is needed. This study focused on cartilage regeneration effect on different weekly dose of intraarticular growth hormone injection. Method This experimental study used a randomized post test only control group design. Twenty four male white New Zealand rabbit were randomly divided into 4 groups control, GH1, GH3, and GH5 . All subjects were injected with intraarticular collagenase. Post induction, control group were injected with normal saline. Intervention groups were all injected with human growth hormone in different cycle, one dose in GH1, 3 times 3 weeks in GH3, and 5 times 5 weeks in GH5. All animal were observed, weight checked regularly, and evaluated for histopathological examination. Result Yoshimi score in GH5 group was significantly lower than control and GH1 group p 0,002 . Those results were confirmed with Mankin score showing statistically significant less damaged and more repaired cartilage tissue on GH1, GH3, and GH5 group compared to control p
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Prasetyanugraheni Kreshanti
Abstrak :
Fraktur mandibula merupakan fraktur kraniomaksilofasial yang paling umum dan seringkali menyebabkan gangguan mengunyah. Tata laksana definitif fraktur mandibula adalah reduksi terbuka dan fiksasi interna menggunakan plat dan sekrup sistem 2.0, seperti plat tiga dimensi (3D). Namun, desain plat 3D konvensional memiliki keterbatasan karena bentuknya yang tidak dapat diubah, sehingga sulit menghindari garis fraktur atau struktur anatomi penting seperti akar gigi dan saraf saat melakukan pemasangan sekrup. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan desain plat 3D yang dapat diubah konfigurasinya. Oleh karena itu, dikembangkanlah desain plat 3D interlocking. Berbeda dengan plat 3D yang sudah ada selama ini, plat 3D interlocking memiliki kebaruan yaitu plat ini dapat dirangkai dari beberapa jenis plat dengan menumpuk 2 buah plat menjadi 1 kesatuan plat. Sambungan kedua buah plat ini tidak menambah ketebalan plat dan dapat diubah konfigurasinya dengan menyesuaikan sudut antara plat horizontal dan plat vertikal. Finite Element Analysis (FEA) dilakukan untuk menentukan kelayakan desain plat 3D interlocking. Setelah FEA memastikan kelayakan desain, purwarupa yang diproduksi dilakukan pengujian biomekanik menggunakan sepuluh mandibula kambing untuk menilai kekuatan mekanik dan stabilitas plat 3D interlocking. Biokompatibilitas dan penyembuhan tulang dievaluasi dalam uji hewan coba yang melibatkan 28 kambing. Biokompatibilitas dinilai dengan mengevaluasi respons inflamasi dari uji radiologik dan histopatologik (pewarnaan Hematoxylin-Eosin). Penyembuhan tulang dinilai melalui berbagai metode, termasuk uji radiologik yang mengukur kepadatan tulang, uji histopatologik menggunakan pewarnaan Mason Trichome, dan analisis penanda tulang melalui imunohistokimia dan ELISA. Selain itu, uji kemudahan penggunaan dilakukan dengan sembilan Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik untuk menilai tingkat kenyamanan dan durasi yang diperlukan untuk mengaplikasikan plat pada model mandibula sintetik. Uji biomekanik juga dilakukan pada uji kemudahan penggunaan sebagai komponen evaluasi objektif. Dalam uji biomekanik, plat 3D interlocking menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam mempertahankan stabilitas fraktur yang memungkinkan gerakan mikro yang terkendali. Selanjutnya, uji biokompatibilitas menunjukkan bahwa kelompok plat 3D interlocking menghasilkan reaksi jaringan dan respons inflamasi yang lebih rendah dibandingkan plat tolok ukur pada uji hewan coba. Selain itu, plat 3D interlocking juga mempercepat proses penyembuhan tulang, terbukti dari peningkatan bermakna dalam pembentukan dan kepadatan tulang pada uji hewan coba. Hasil uji kemudahan penggunaan menunjukkan bahwa plat 3D interlocking dapat digunakan dengan mudah seperti halnya plat tolok ukur. Secara keseluruhan, plat 3D interlocking menunjukkan potensi sebagai alternatif yang layak untuk tata laksana fraktur mandibula. ......Mandibular fractures are the most common craniomaxillofacial fractures, often resulting in mastication disturbances. Mandibular fracture management typically involves the use of 2.0 system plates and screws, such as three-dimensional (3D) plates. However, the conventional 3D plate designs for mandibular fracture management have limitations. Their fixed shape makes it challenging to avoid fracture lines or vital anatomical structures, such as dental roots and nerves when placing screws. A 3D plate design that allows for configuration changes is needed to address this issue. Therefore the interlocking 3D plate was developed. This novel design features components that can be adjusted to avoid critical anatomical structures and fracture lines while still offering the stability of a 3D plate, enhancing its utility in mandibular fracture management. Finite element analysis was performed to establish the feasibility of the interlocking 3D plate design. Once that was established, biomechanical evaluation was conducted using ten goat mandibles to assess the mechanical strength and stability of the interlocking 3D plate. Biocompatibility and bone healing properties were evaluated in an animal study involving 28 goats. Biocompatibility was assessed by evaluating inflammatory responses from radiological and histopathological (Hematoxylin-Eosin staining) study. Bone healing properties were assessed through various methods, including radiological study measuring bone density, histopathological study using Mason Trichome staining, and analyzing bone markers through immunohistochemistry and ELISA. Additionally, usability study were conducted with nine plastic surgeons to assess the level of comfort and the duration required to apply the plate on a synthetic mandibular model. These findings were correlated with biomechanical test results. The biomechanical evaluation revealed that the interlocking 3D plate design better-maintained fracture stability while allowing controlled micro-movement. Regarding biocompatibility, the interlocking 3D plate exhibited better results than the standard plate, as indicated by lower tissue reaction and inflammatory response in animal study. The interlocking 3D plate also facilitated faster bone healing, with significant bone formation and bone density improvements in animal study. Usability study demonstrated that the interlocking 3D plate was as easy to use as the standard plate, with no significant differences in application time. Overall, the interlocking 3D plate demonstrates significant potential as a viable alternative for managing mandibular fractures.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitriana
Abstrak :
Latar Belakang : Penggunaan biomaterial graft mulai banyak dikembangkan. Namun autogenus bone graft masih merupakan pilihan utama dalam hal rekonstruksi hal ini terjadi karena pada autogenus graft tidak ada resiko terjadinya rejection atau ketidakcocokan donor dengan recipient . Pada defek mandibula, rekonstruksi autogenus yang digunakan terdapat 2 pilihan yaitu vascularized graft dan non vascularized graft. Di negara berkembang, khususnya di Indonesia, penggunaan vascularized bone graft sebagai penutupan defek belum banyak dilakukan akibat dari kurangnya alat dan keterbatasan operator. Selain itu prosedur vascularized bone graft merupakan prosedur yang rumit dan harus melibatkan tim. Pemilihan rekonstruksi defek yang lebih reliable yaitu dengan non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft ini memiliki beberapa keunggulan yaitu morbiditas donor site lebih kecil, tidak membutuhkan alat yang lebih kompleks dan tidak membutuhkan skill operator yang lebih besar, walaupun tingkat keberhasilannya kurang. Resiko resorpsi dan infeksi pada non vascularized graft lebih besar daripada vascularized graft. Semakin panjang non vascularized bone graft yang digunakan maka semakin kecil pula tingkat kesuksesan graft tersebut Tujuan : Mengetahui pengaruh Platelet Rich Plasma (PRP) yang dicampur dengan autogenous bone graft terhadap jumlah kolagen pada hewan model domba (Ovis aries). Material dan Metode : Penelitian metode eksperimental analitik ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh Platelet Rich Plasma (PRP) yang dicampur dengan autogenous bone graft terhadap jumlah kolagen pada hewan model domba (Ovis aries) Kesimpulan : area kolagen pada PRP 3 minggu dengan Non PRP 3 minggu, dari hasil rata rata terdapat perbedaan yang bermakna. Luas area kolagen pada PRP 6 minggu dengan Non PRP 6 minggu juga didapatkan hasil statistik yang berbeda bermakna secara signifikan. Begitu pula dengan perbandingan hasil data area kolagen PRP 3 minggu dengan PRP 6 minggu. Pada analisis sampel Non PRP 3 minggu dengan Non PRP 6 minggu terdapat perbedaan walaupun secara statistik memiliki ρ value yang tidak bermakna ρ = 0.051. ......Background : The use of biomaterial graft began to be widely developed. However, autogenus bone graft is still the main choice in terms of reconstruction because in autogenus graft there is no risk of rejection or donor mismatch with recipient. In mandible defects, autogenus reconstruction is used there are 2 options namely vascularized graft and non vascularized graft. In developing countries, especially in Indonesia, the use of vascularized bone graft as a closure defect has not been done much due to lack of tools and operator limitations. In addition, the vascularized bone graft procedure is a complicated procedure and should involve the team. the selection of reconstruction of more reliable defects i.e. with non vascularized bone graft. Non vascularized bone graft has several advantages namely smaller donor site morbidity, does not require more complex tools and does not require greater operator skills, although the success rate is less. The risk of resorption and infection in non vascularized graft is greater than vascularized graft The longer non vascularized bone graft is used the smaller the success rate of the graft Purpose: Knowing the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with autogenous bone graft on the amount of collagen in sheep (Ovis aries) as animal model. Materials and Methods: Research on this experimental analytical method was conducted to determine the influence of Platelet Rich Plasma (PRP) mixed with autogenous bone graft on the amount of collagen in sheep (Ovis aries) as animal model Conclusion: collagen area in PRP 3 weeks with Non PRP 3 weeks, from the average result there is a meaningful difference. The area of collagen in PRP 6 weeks with Non PRP 6 weeks also obtained significantly different statistical results. Similarly, the results of the 3-week PRP collagen area data were compared to 6 weeks of PRP. In the analysis of non-PRP samples 3 weeks with Non PRP 6 weeks there was a difference although statistically no significant ρ value of ρ = 0.051.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jessica Fiolin
Abstrak :
Perkapuran lutut (Osteoartritis Lutut / OA Lutut) merupakan penyakit peradangan pada sendi lutut progresif yang paling sering ditemui. Hingga saat ini, terapi OA lutut yang ada bersifat simtomatik dan belum ada terapi yang terbukti dapat meningkatkan regenerasi tulang rawan. Injeksi intra-artikular (IA) sel punca mesenkimal (SPM) disinyalir dapat meningkatkan regenerasi tulang rawan melalui efek parakrin dengan perantara mikro RNA (miRNA). Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek terapi eksosom SPM adiposa pada OA serta peran miRNA. Penelitian ini merupakan studi in-vitro dan in-vivo yang pertama bertujuan untuk mengisolasi, karakterisasi serta evaluasi kandungan miRNA kondrogenesis pada eksosom SPM adiposa, sedangkan yang kedua bertujuan untuk mengevaluasi efek injeksi eksosom serta kombinasi asam hyaluronat (HA) pada model domba OA. Pada tahap in-vitro, studi ini telah berhasil mengisolasi eksosom SPM adiposa dengan karakter yang sesuai dengan ketentuan Minimal Information for Studies of Extra-Cellular Vesicles (MISEV) 2018, serta menemukan 3 miRNA (miR-140-3p, miR-27b-3p, miR-23a-3p) yang mengalami peningkatan ekspresi, serta 3 miRNA (miR485-5p, miR-218-5p, miR-31-5p) yang mengalami penurunan ekspresi pada injeksi eksosom SPM adiposa di jaringan. Secara in-vivo, ditemukan perbaikan klinis dengan penurunan skor Clinical Lameness Score (CLS), makroskopis dan mikroskopis dengan skor OARSI yang bermakna pada model domba OA setelah 3x pemberian eksosom SPM. Pada evaluasi lebih lanjut, ditemukan pemberian kombinasi eksosom dan HA memberikan efek regenerasi tulang rawan paling optimal, terlihat dari perbaikan skor klinis pada bulan kedua, mikroskopis dan makroskopis pada sisi tibia dibandingkan kelompok injeksi HA. Peningkatan regenerasi tulang rawan ini diperantarai oleh peningkatan ekspresi miR-140-3p, miR-27b-3p, miR-23a-3p dan penurunan ekspresi miR-485-5p, miR-218-5p, miR-31-5p melalui jalur proliferasi sel dan anti-apoptosis. ......Knee osteoarthritis (Knee OA) is the most common inflammatory disease of the knee joint and is progressive in nature. Currently, existing knee OA therapies are symptomatic, and there is no proven therapy that can enhance cartilage regeneration. Mesenchymal stem cell (MSC) exosome injections are believed to enhance cartilage regeneration through paracrine effects mediated by microRNAs (miRNAs). This study aims to evaluate the effects of adipose mesenchymal stem cell (MSC) exosome therapy on OA and the role of miRNAs. This research consists of two parts: an in vitro and in vivo study. The first part aims to isolate, characterize, and evaluate the chondrogenic miRNA content of adipose MSC exosomes, while the second part aims to evaluate the effects of exosome injections and hyaluronic acid (HA) combination therapy in an OA sheep model. In the in vitro phase, adipose MSC exosomes were successfully isolated with characteristics conforming to the MISEV 2018 guidelines. Three miRNAs (miR 140-3p, 27b-3p, 23a3p) showed increased expression, while three miRNAs (miR 485-5p, 218-5p, 31-5p) showed decreased expression after adipose MSC exosome injections into the tissue. In the second phase, clinical improvement was observed with a decrease in Clinical Lameness Score (CLS) and significant macroscopic and microscopic improvements with OARSI scores in the OA sheep model after three administrations of adipose MSC exosomes. In the third phase, the combination of exosomes and HA therapy provided the most optimal cartilage regeneration effect, as evidenced by clinical, microscopic, and macroscopic improvements compared to the HA injection group. The combination of adipose MSC exosome injections 3 times and HA injections 2 times intra-articularly in the OA sheep model significantly demonstrated the best clinical, macroscopic, and microscopic outcomes within 6 weeks, mediated by chondrogenic miRNAs through cell proliferation and anti-apoptosis pathways.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library