Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Iqbal Mustafa, supervisor
"Tujuan: Menilai pengaruh pernn khusus pintas jantung pore (PR) pada metabolisme laktat pasta bedah pintas koroner (BPK)
Tempat: Unit Tempi Inlensif Rumah Sakit Jantung Harapan Kita, Jakarta, Indonesia.
Subyek Penelitian: 40 pasien BPK dengun PJP (BPK-PJP), 20 pasien off pump coronary artery bypass (OPCAB) (n=20), dan 20 pasien yang akan menjalani BPK.
Intervensi dan pengukuran: telaah metabolisme laktat dilakukan dengan uji infus natrium laktat (2,5 mmol Natrium laktat 11.2 %/kg BB dalam waktu 15 menit) pada kelompok BPK-PJP(n=20), OPCAB, dan kelompok Pra bedah. Sebagai kontrol pada BPK-PJP(n=20) di-infus natrium klorida 6%(Ionisitns sama dengan natrium laktat 11,2%, 2,5 mmol Natrium klorida dalam waktu 15 menit). Laktat darah arteri diperiksa pada semua kelompok; pada waktu (t) -15, 0, 5, 10, 20, 30, 60, 90, dan 120 menit sesudah infus berakhir. Pada kelompok BPK-PJP laktat darah juga diperiksa pada saat yang bersamaan dari 2 tempat lain yaitu a. pulmonalis dan v. femoralis sehingga dapat dihitung gradien luktat dari otot skelet dan paru-paru. Analisis gas darah ateri dan a. pulmonulis diperiksa sebelum dan sesudah akhir infus pada kelompok BPK-PJP dan OPCAB,dan kemudian dengan termodilusi diukur curah jantung sehingga dapat dihitung indeks kardiak, hantaran oksigen, konsumsi oksigen, rasio ekstraksi oksigen sebelum dan sesudah akhir infus Natrium laktat dan Natrium klorida. Natrium dan glukosa diperiksa pada t-15, t0, dan t120 menit sesudah akhir infus. Bersihan laktat dun produksi laklat endogen tubuh dihitung dari area di buwah kurva (area under the curve) dengan piranti lunak khusus (Kaleidagrrph ®).
Kesesuaian bieksponensial memungkinkan untuk membuat model penurunan kurva laktat dalam dua kompartemen (oksidasi laklat di luar hati dan daur ulang laktat),sehingga dengan piranti lunak yang lama dihitung dua waktu paruh (WP1 dan WP1) yang masing-masing merepresentasikan kedua jalur metabolisme laklat tersebut.
Hasil: sesudah uji infus natrium laklat tidak terdapat perbedaan yang bermakna dari parameter metabolisme laktat (laktat basal, bersihan laktat. produksi laktat endogen, WP1 dan WP2) antara OPCAB dan pra-bedah. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada laktat basal dan produksi laklat endogen antara BPK-PJP dengan Prabedah, tetapi pada BM-HP bersihan laktat menurun, WP1 memendek bermakna (p<0,05) dan WP2 (p<0,05) memanjang bermakna. Natrium laklat dan natrium klorida meningkatkan indeks kardiak dan hantaran oksigcn. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada kenaikan indeks kardiak antara kedua kelompok tersebut, tetapi kenaikan hantaran oksigen akibat natrium laktat (29 ,6%) lebih tinggi bermakna (p<0,001) dibandingkan kenaikan hantaran oksigen akibat natrium klorida (15,13%). Tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara pengaruh natrium laktat dan natrium klorida pada konsumsi oksigen dan ekstraksi oksigcn.
Infus natrium laktat menyebabkan peningkatan pH yang bermakna (p<0,0001) dan infus natrium klorida menyebabkan penurunan pH yang bermakna (p<0,0005). Bikarbonat meningkat bermakna (p<0,05) pada kelompok pasien yang diinfus natrium laktat dan menurun bermakna pada kelompok pasien yang dinfus natrium klorida. Tidak ditemukan korelasi yang bermakna antara gradien luktat di paru-paru dan a. pulmonalis dan antara gradien otot skelet dan laktat arteri pada BPK-PJP.
Kesimpulan: Bersihan laktat pada kelompok BPK-PJP yang mengalami perlakuan uji infus natrium laktat menurun bermakna. Di lain pihak tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada parameter metabolisme laktat antara kelompok OPCAB dan Prabedah yang diteliti.
Waktu paruh 2 memanjang bermakna, sehingga dengan memperhatikan penelitian terdahulu dapat disimpulkan bahwa: pintas jantung paru dapat mcnyebabkan disfungsi hati (gangguan metabolisme laktat di hati) meskipun dilakukan pada bedah jantung berisiko rendah dan tidak mengalami komplikasi.
Natrium laktat meningkatkan hantaran oksigen lebih baik daripada natrium klorida dan berlawanan dengan natrium klorida. pH darah akibat infus nalrium laktat meningkat bermakna.

Objective: To evaluate the effects of the specific rule of cardiopulmonary bypass (CPH) on lactate metabolism after coronary artery bypass grilling (CABG).
Setting: Intensive Care Unit. National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta, Indonesia.
Subjects: Coronary artery bypass grating patients with CPB (n=40) off pump coronary artery bypass (OPCAB) (n=20) and patients who would undergo CABG (n-2020).
Interventions and Measurements: lactate metabolism was investigated by an exogenous lactate challenge lest (ELCT. 2.5 mmol Na-lactate 11,2% /kg body weight in 15 minutes) in the groups of CABG-CPB, OPCAB and Pre surgery. The control group of CABG-CPB (n 20) was investigable with Na-chloride (2,5 mmol Na-chloride 6 % with identical tonicity in 15 minutes). Arterial blood lactate was determined in all groups: T (time)-15. 0.5, 10, 20, 30,60, 90, and 1211 minutes after completion of infusion.
In the group of CABG-CPB blood lactate was examined simultaneously at two other sites. i.e. pulmonary artery and femoral vein such 1l1:11 the gradient of Wide from skeletal muscles and the lungs could be calculated. Blood gas analysis of artery end pulmonary artery was examined before and after infusion in the groups of CABG-CPB. and OPCAB and cardiac output was measured using thermodilution method such that cardiac index, oxygen delivery oxygen consumption, oxygen extraction ratio before and alter infusion of Na-lactate and Na-chloride could be determined. Sodium and glucose were examined at T-I5, 0, and 120 minutes alter completion of infusion. The area under the curve was determined from blood lactate allowing the calculation of lactate clearence and endogenous production. Moreover a hi-exponential titling permitted the modeling of the lactate decay into two compartments (lactate oxidation outside the liver and lactate recycling). Thus, two half-lives (HL1 and HL2) could be calculated using the same software well of which represents both pathways of lactate metabolism.
Results: There was no significant difference after ELCT from the parameters of lactate metabolism (basal tactile, lactate clearance, endogenous production, HL1, and HL2,) between OPCAB and Pre-surgery. No significant difference was found in basal Instate and endogenous production between CABG-CPB and Pre-surgery. However, Instate clearance and HL1 significantly decreased (p< 0.05), while HL2, increased (p<0.05).
Infusion of sodium lactate and sodium chloride increased cardiac index and oxygen delivery. No significant difference was found in the increase of cardiac index between the two groups: however, the increase of oxygen delivery due to sodium lactate (29±2.6%) was significantly higher (p<0.001) than the increase of oxygen delivery due to sodium chloride (15±3.5%). There was no significant difference between the effect of sodium lactate and sodium chloride on oxygen consumption and oxygen extraction ratio.
Infusion of sodium lactate resulted in the significant increase of pH (p< 0,0001) and infusion of sodium chloride resulted in the significant decrease of pH (p<0,0005). Bicarbonate increased significantly (p
There were no significant correlations between lactate gradient of the lung with mixed venous lactate and lactate gradient of the skeletal muscle and arterial lactate.
Conclusions: Lactate clearance in the group of CABG-CPB decreased significantly. On the other hand, parameters of lactate metabolism in the groups of OPCAI3 and Pre-surgery studied did not show ally significant differences. 1-Ialf-life 2 were found to increase significantly. Thus, in view of the previous studies, it can be concluded that cardiopulmonary bypass is responsible for liver dysfunction (disturbance of lactate metabolism) even in uncomplicated elective surgery.
Infusion of sodium lactate increased oxygen delivery better than sodium chloride and in contrast to sodium chloride, blood pH due to sodium lactate infusion increased significantly.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
D485
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andrijono
"Pendahuluan
Molahidatidosa merupakan kehamilan abnormal yang secara histologi ditandai dengan proliferasi sel trofoblas, degenerasi hidrofik vili korialis dan degenerasi avaskular vili korialis. Sejumlah 15-28% penderita molahidatidosa menderita degenerasi keganasan pascamolahidatidosa. Vitamin A atau retinol dimetabolisme menjadi asam retinoat di dalam sel. Asam retinoat mempunyai aktivitas mengontrol proliferasi sel dan merangsang apoptosis. Aktivitas proliferasi dan apoptosis merupakan aktivitas yang dimiliki oleh sel trofoblas molahidatidosa dan juga vitamin A. Mungkin terdapat hubungan antara molahidatidosa dengan vitamin A. Penelitian epidemiologi mendapatkan kadar vitamin A penderita molahidatidosa lebih rendah jika dibandingkan dengan wanita hamil normal.
Risiko menderita molahidatidosa pada wanita yang berusia kurang dari 24 tahun dan menderita defisiensi vitamin A sebesar 6,29-7 kali. Kadar vitamin A yang rendah mungkin merupakan salah satu bagian dari patofisiologi terjadinya molahidatidosa dan atau bagian dari patofisiologi terjadinya degenerasi keganasan pascamolahidatidosa. Bila vitamin A merupakan bagian dari patofisiologi terjadinya degenerasi keganasan pascamolahidatidosa, maka vitamin A dapat digunakan sebagai salah satu terapi pencegahan keganasan pascamolahidatidosa. Penelitian ini bertujuan membuktikan penggunaan vitamin A sebagai kemoprevensi keganasan pascamolahidatidosa. Penelitian ini memberi manfaat menurunkan kej adian, morbiditas dan mortalitas Penyakit Trofoblas Ganas (PTG).
Bahan dan cara kerja
Rangkaian penelitian
Penelitian ini merupakan bagian dari rangkaian penelitian. Dua penelitian penunjang yaitu penelitian ekspresi reseptor RBP (retinal binding protein), dan penelitian aktivitas apoptosis sel trofoblas yang diberi asam retinoat. Penelitian utama adalah penelitian uji klinik pencegahan keganasan pascamolahidatidosa dengan vitamin A.
Penelitian ekfpresi reseptor RBP pada sel trofobias.
Penelitian ini bertujuan membuktikan bahwa sel trofoblas mempunyai reseptor RBP. Sampel penelitian ekspresi reseptor RBP adalah blok paratin molahidatidosa. Ekspresi reseptor retinol diperiksa dengan imunohistokimia tidak langsung menggunakan antibodi RBP. Sementara itu ada atau tidaknya ekspresi dan letak ekspresi reseptor RBP pada sei trofoblas dinilai bersama dokter spesialis Patologi Anatomi.
Penelitian aktivitas apoprosis sel trofoblas yang diberi asam retinoat. Penelitian aktivitas apoptosis sel trofoblas molahidatidosa pada pemberian asam retinoat bertujuan untuk membuktikan adanya induksi apoptosis pada sel trofoblas yang diberi retinoat. (ATRAI all trans retinoic acid). Sampel penelitian aktivitas apoptosis sel trofoblas yang diberi asam retinoat adalah sel trofoblas yang dilakukan kultur. Kultur sel trofoblas diberi ATRA dengan dosis 50 pg/mL, 100 pg/mL, 150 pg/mL, dan 200 pg/mL. Penilaian dilakukan 24 jam pascaperlakuan dengan pemeriksaan flow cytometry. Hasil sitogram jlow cytometry pada kultur sel trofoblas yang mendapat ATRA dibandingkan dengan kultur sel trofoblas tanpa perlakuan (DMSOl dimethyl sulfoxide) sebagai kontrol.
Penelitian pencegahan keganasan pascamolahidatidasa dengan vitamin A.
Penelitian menggunakan uji klinik tersamar ganda (randomized clinical trial, double blind study). Sampel adalah penderita molahidatidosa komplet, tidak mendapat terapi sitostatika. Perlakuan adalah pmberian plasebo atau vitamin A 200.000 IU per hari (dosis tinggi) yang dibuat dalam bentuk kemasan yang sama, perlakuan diberikan sampai dinyatzikan sembuh atau PTG. Variabel keluaran adalah kejadian regresi dan PTG yang ditetapkan berdasarkan kriteria WHO. Variabel pengganggu antara lain umur, pendidikan, usia kehamilan, besar uterus, deposit retinol di hati.
Hasil
Penelitian ekspresi resepror RBP pada sel trofoblas. Didapatkan ekspresi reseptor RBP pada sel irofoblas. Reseptor RBP dijumpai pada membran sel bagian luar, rnembran sei bagian dalam dan sitoplasma.
Penelitian aktivitas apoptosis sel trofabias yang diberi asam retinoat. Jumlah sel yang mengalami apoptosis pada kontrol 6O,64%, pada ATRA 50 pg/mL sebesar 89,54%, 100 pg/mL sebesar 87,23%, 150 pg/mL sebesar 94,63% dan pada 200 pg/mL sebesar 94,83%. Jumlah sel yang hidup pada kontrol 7,09%, pada ATRA 50 pg/mL sebesar 5,04%, 100 pg/mL sebesar 5,71%, 150 pg/mL sebesar 3,l4% dan pada 200 pg/mL sebesar 2,66%.
Penelitian pencegahan keganasan pascamolahidatidosa dengan vitamin A.
Pada uji klinik, didapatkan sejumlah 67 kasus yang masuk penelitian. Sejumlah 2 kasus hilang pada pengamatan dan 3 kasus mengalami kehamilan saat pengamatan. Kejadian PTG (Penyakit Trofoblas Ganas) pada kelompok kontrol 28,57%, dan pada kelompok terapi 6,25%. Tidak dijumpai perbedaan perubahan kadar SGOT dan SGPT kelompok terapi jika dibandingkan dengan kelompok terapi.
Kesimpulan
Sel trofoblas molahidatidosa mempunyai reseptor RBP di mernbran sel dan sitoplasma. Pemberian asam retinoat pada sel trofoblas menginduksi aktivitas apoptosis. Kejadian Penyakit Trofoblas Ganas (PTG) pada kelompok kontrol 28,57% dan pada kelompok terapi vitamin A 6,25%. Tidak dijumpai efek samping berupa perubahan kadar SGOT dan SGPT.

Introduction
Histologically, hydatidiform mole is an abnormal pregnancy characterized by the proliferation of trophoblastic cells, hydropic degeneration of chorionic villi and degeneration of avasculdar chorionic villi. Around 15-28% of hydatidiform mole patients suffered from malignant degeneration following hydatidiform mole. Vitamin A or retinol is metabolized into retinoic acid in the cell. Retinoic acid has the activity of controlling cell proliferation and stimulating apoptosis. The activity of proliferation and apoptosis constitutes the main activity exercised by hydatidiform mole trophoblastic cells and vitamin A. There might be a relationship between hydatidiform mole and vitamin A.
Epidemiological studies showed that vitamin A level in patients with hydatidiforrn mole was lower than that in normal pregnant women. The risk for developing hydatidifoml mole in women less than 24 years and suffering from vitamin A deficiency was 6.29-7 times higher as compared to older age without vitamin A deficiency. The low level of vitamin A might be a part of pathophysiology for the occurence of malignant degeneration following hydatidiform mole. If vitamin A is a part of pathophysiology for the occurence of hydatidiform mole, then vitamin A could be used as one of the therapies for preventing malignancy following hydatidiform mole. The objective of this study was to demonstrate the use of vita.rr|in A as a chemoprevention for malignancy following hydatidiform mole. This study would be beneficial in terms of reducing the incidence, morbidity and mortality rates of malignant trophoblastic disease (MTD).
Material and methods
Series of studies
This study constituted part of a series of studies. The supporting studies, comprise the study of the expression of RBP (retinol binding protein) receptor, the study on the apoptosis activity of trophoblastic cells receiving retinoic acid. The main study was a clinical trial on tl1e prevention of malignancy following hydatidiform mole with vitamin A.
Study on Ike expression of RHP receptor in trophoblastic cells.
This study was aimed to demonstrate that trophoblastic cells had RBP receptor. Samples of the study on the expression of RBP receptor were paraffin blocks of hydatidiform mole. The expression of retinol receptor was examined with indirect immunohistochemistry using RBP antibody. The presence or absence of the expression and location of RBP receptor expression in trophoblastic cells was evaluated together with the specialist of anatomy pathology.
Study on the apoptosis activity of trophoblastic cells receiving retinoic acid
The study on the apoptosis activity of hydatidifom mole trophoblastic cells receiving retinoic acid was aimed to demonstrate the presence of apoptosis induction in trophoblastic cells receiving retinoic (ATRA/ all trans retinoic acid). Samples of the study on the apoptosis activity of trophoblastic cells receiving retinoic acid were the trophoblastic cells undergoing culture. The culture of trophoblastic cells received ATRA at doses of 50 pg/mL, 100 pg/mL, l50 pg/mL, and 200 pg/mL. The evaluation was made in 24 hours after the intervention with flow cytometry examination . The results of flow cytometry cytogram in the culture of trophoblastic cells receiving ATRA were compared with the culture of trophoblastic cells without intervention (DMSO/ dimethyl sulfoxide) as control.
Study of the prevention of malignancy jhllowing hydatidiform mole with vitamin A.
This study made use of randomized clinical trial, double blind study. Samples of the study were the patients with complete hydatidifomt mole, not receiving cytostatics. The intervention was the administration of placebo and vitamin A 200,000 IU per day (high dose), both of which were made in the similar packages. The intervention was performed until the patients were declared as having recovered or having malignant trophoblastic disease (MTD). The outcome variables were the incidence of regression and MTD which were established based on WHO criteria. The intervening variables were, among others, age, education, gestational age, uterus size, retinol deposit in the liver.
Results
Study on the expression of RBP receptor in trophoblastic cells. e found the presence of RBP receptor expression in trophoblastic cells. RBP receptors were found in the outer cell membrane, inner cell membrane, and cytoplasm.
Study on the apoptosis activity oftrophoblatic cells receiving retinoic acid.
The activities of apoptosis in the control group was 60,64%, in ATRA of 50 pg/ml was 39.54%, in 100 ug/ml was 8'7.23%, in 150 ug/ml was 94.63%, and in 200 ug/ml was 94.83%. The alive cells in t.he control group was 7.09%, in ATRA of 50 pg/ml was 5.04%, in 100 pg/ml was 5.71%, in 150 pg/ml was 3.14%, and in 200 pg/ml was 2.66%.
Study on the prevention of malignancy following hydatidpform mole with vitamin A.
At clinical trial as many as 67 cases met the requirements for the study. Two cases were lost from observation and three cases experienced pregnancy during observation. The incidence rate of malignant trophoblastic disease in the control group was 28.57%, and in the therapy group was 6.25%. No difference was found in the changes of SGOT and SGPT levels of the therapy group compared with the control group.
Conclusion
Trophoblastic cells of hydatidiform mole had RBP receptor in the cell membranes and cytoplasm. The administration of retinoic acid in the trophoblastic cells induced the activity of apoptosis. The rate of malignant trophoblastic disease (MTD) in the control group was 28.57% and in the group receiving vitamin A therapy was 6.25%. No side effects were found in the form of changed SGOT and SGPT levels.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2007
D848
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dede Kusmana
"Objektif : Penyakit Kardiovaskular berawal dari fungsi endotel pembuluh darah yang terganggu, berlanjut menjadi proses aterosklerosis. Mencegah proses aterosklerosis dengan membiasakan tidak merokok/stop merokok disertai olahraga teratur dan/atau pengaruh kerja fisik (trias SOK) adalah upaya preventif pada tingkat endotel. Untuk mengetahui pengaruh trias SOK terhadap daya survival,dilakukan penelitian kohort.
Metode: Pada tanggal I Juli 200 dilakukan penelitian kohort historis terhadap sampel MONICA 1988 di tiga kecamatan Jakarta Selatan, serta diikuti sampai 31 Agustus 2001. Sampel dibagi menjadi kelompok trias SOK dan tanpa trias SOK. Dilakukan wawancara, pemeriksaan fisik, gula darah dan kolesterol total serta perekaman EKG pada sampel yang hidup, otopsi verbal pada yang menyaksikan untuk mencari sebab kematian. Aktivitas fisik (kerja fisik dan olahraga perminggu) dikelompokan pada: tidak ada, ringan hampir setiap hari, sedang dan berat minimal 20 menit dua kali atau lebih. Merokok bila tetap merokok, mantan perokok bila telah berhenti 2 tahun atau lebih, tidak merokok bila tetap tidak merokok atau telah berhenti 10 tahun atau lebih. Kriteria hipertensi (JNC-VI), diabetes (gula darah puasa 140 mg/di atau sewaktu 200 mg/di), obesitas (IMT z 29,99 kglm2), EKG memakai kode Minnesota. Analisis statistik memakai suain (adjusted) regesi Cox, 95% interval kepercayaan, Kaplan Meier (daya survival), Log rank (rasio hazard/HR), uji kappa (degree of aggreement), Batas kemaknaan p
Hasil: Terdapat 479 (23,4%) sampel dari 2073 orang, umur 25-64 tahun (1988), terdiri dari 209 (43,6%) lelaki, 270 (56.4%) perempuan. Insiden kardiovaskular 1,2% pertahun, dengan proporsi kematian tertinggi penyakit jantung 42,9%. Sampel yang mengikuti this SOK mempunyai daya survival lebih baik (95,7%) dibanding tanpa trias SOK (81,1%), dan rasio kematian seperlima kali [rasio hazard (HR.) suaian = 0,20, 95% interval kepercayaan (III) = 0,08-0,57, p=0,002]. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan rasio kematian tinggi adalah: merokok (HR=4,99, IK 2,56-9,73, p=0,000) dibanding tidak merokok; hipertensi tingkat-3 (HR 5,96, 1K 2,69-13,21, p=0,000) dibanding tensi normal; diabetes (HR 2,74, 1K 1,37-5,47, p=0,004) dibanding normal. Sedangkan yang tidak dapat dimodifikasi: umur 60 tahun (HR 10,13, 1K 4,79-21,43, p=0,000) dibanding umur 25-49 tahun. Sedangkan aktivitas fisik mingguan mempunyai rasio kematian rendah/ringan HR=0,45, (1K 0,27-0,76, p=0,003), sedang HR--0,32, (1K 0,15-0,70, p=0,004) dan berat nol dibanding yang tidak ada aktivitas. Dihasilkan Skor Kardiovaskular Jakarta, Skor -7 sampai 1 risiko rendah (<10%), skor 2 sampai 4 sedang (10-20%), skor z 5 risiko tinggi (>20%), sensitivitas 77,9%, spesifitas 90,0%, kappa 0,652, DOA 82,67%, p=0,000.
Kesimpulan: Salah satu upaya pencegahan penyakit kardiovaskular melalui upaya tidak/stop merokok, dikombinasikan dengan olahraga teratur dan/atau kerja fisik merupakan cara tepat untuk meningkatkan daya survival. Dihasilkan Skor Kardiovaskular Jakarta untuk memperkirakan kematian kardiovaskular di masyarakat.
The Influence of Stop/Quit Smoking, Combine with Sport and or Physical Activity on Survival of the Population at Jakarta: a Cohort Study in 13 YearsObjective: Endothelial dysfunction as the beginning of atherosclerotic process in arterial vessel due to various risk factors. Prevention of atherosclerotic process in the endothelial level through quit or stop smoking, combine with regular physical activity and or sport (Trias SOK-Stop/no Smoking, Olahraga teratur/sport or Kerja fisik/physical activity) as a simple method in the community. To know the influence of trias SOK on survival of the population, a community survey was done in three districts of Jakarta.
Methods: A historical cohort study was done on the subpopulation of MONICA Jakarta 1988 using population survey since July 1, 2000 in three districts of South Jakarta until 31 of August 2001. Multistage stratified cluster sampling was done on 523.000 people, and 2073 total samples were included in 1988 study and 479 samples perform second survey. Sample was divided into exposed group (without trims SOK) and non-exposed (trios SOK). A complete history on daily habit, cardiovascular risk factors, laboratory examination and 12 leads ECG was carried. Physical activity as well as sport in one week also divided into: no physical activity, light physical activity almost every day, moderate physical activity and heavy physical activity at least 20 minutes or more. ECG criteria using Minnesota code, hypertension (INC-VI), diabetic (fasting blood sugar 140 mg/di or occasional > 200 mg/dl), obesity (BMI > 29,99 kglm2). Verbal autopsy was carried out to diagnose the cause of mortality. Statistical analysis using SPSS for Window 10 and Stata 6. Kaplan Meier to compare survival rate between trias SOK and non-trios SOK, log rank to measure hazard ratio, kappa test for degree of agreement and p<0,05 as statistical significance.
Results: They were 479 (23.4%) samples out of 2073, 209 (43.6%) males and 270 (56.4%) females, aged 25-64 years in 1988 and 37-77 years in 2000. Cardiovascular incidence 1.2% per year, and case fatality rate of 42.9% due to heart disease. Trios SOK survival rate was higher (95.7%) compared with non-trias SOK (81.1%), and hazard ratio 1/5 [HR= 0.20, 95% CI 0.008-0.57, p-0.002]. Multivariate analysis using Cox regression revealed the significant modifiable risk factors were: smoking HR 4.99 (CI 2.56-9.73, p=0,000) compare with non-smoking, grade 3 hypertension HR 5,96 (CI 2.69-13.21, p=0,000) compare with normal blood pressure, diabetic HR 2.74 (CI 1.37-5.47, p=0.004) compare with non-diabetic, obesity BMI 30 kg/m2 HR 2.18 (CI 0.94-5.10, p=0.071) compare with normal weight. Unmodifiable risk factor were: age ? 60 years HR 10.13 (CI 4.79-21.43) compare with 25-49 years. Physical activity as well as sport in one week has low risk for cardiovascular death, either: light physical activity HR 0.4 (CI 027-0.76, p=0.003), moderate HR 0.32 (CI 0.15-0.70, p-'0.004) or heavy almost zero compare with no physical activity. Jakarta Cardiovascular Score was found. Low risk (score -7 to 1) <10%, average (score 2 to 4) 10 to 20%, high (score ? 5) >20% for cardiovascular event in 10 years (sensitivity 77.9%, specificity 90.0%, kappa 0,652, degree of agreement 82.67% and p=0,000).
Conclusions: Cardiovascular prevention through quit or stops smoking combine with regular sports and or physical activities enhances a better survival. Jakarta Cardiovascular Score was found as a simple method to estimate the cardiovascular event in the community.
"
2002
D183
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jenny Bashiruddin
"ABSTRACT
INTRODUCTION : Based on Indonesian Constitution, article 2712 mention that every Indonesian citizen has the right of having a job and wages in accordance to humanity. Bajaj as an model in this study is public transportation vehicle which is noisy and vibrating and potential to induce hearing and balance disturbances which could be dangerous to himself or to others. General Objectives of this study : To investigate the risks of noise and vibration in bajaj's drivers and to find the solutions to prevent them from hearing loss and balance disturbances.
Specific objectives : To determine : 1, hearing and balance functions induced by noise and vibration by audiometric and posturography tests 2. To find other physiologic factors such as age, blood pressure, blood glucose level, smoking habit and body mass index which could influence those functions ; 3, To determine the threshold of noise frequencies, intensity and also acceleration of vibration which contributed to noise.
Setting : Subdivision of Neurotology of ENT Department of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Study subjects : Bajaj drivers.
METHODS: The study was carried out from March 2000 until October 2001.Noise and vibration were measured using octave band analyzer and vibration meter. Clinical ENT examination, height and body weight for body mass index, blood pressure and blood glucose level tests were performed. The subjects were divided into four groups : the normal one, only hearing or balance problem group, group of both disturbances. The risk factors were calculated by bivariate and multivariate or logistic regression analyses.
RESULTS : Mean of bajaj's intensity level was 91 dBA, with minimum intensity 64 dBA, maximum intensity 96 dBA, mean acceleration of vibration was 4,2 misec2. Those results showed that noise and vibration of bajajs were over safety threshold, which has been established by OSHA. The rate of normal subjects was 27.72 %, whereas that of those who suffered from hearing and balance problems was 27,43%, and only 17.14% had hearing problems and 27,71 % had balance problems. The total was 72,28 % of disturbance. From the multivariate analysis, hearing and balance problems were influenced by age more than 40 years old, working periods more than 9 years, daily working hours more than 8 hours, history of heavy smoking habit and obesity. Balance problems were influenced by the same factors. But the working period was 5.9 years and hearing problems were only influenced by age more than 40 years old. It was concluded that balance function was more sensitive than hearing one. For prevention, this study also introduced risk scores for hearing and balance functions based on those physiological factors for workers who worked in noisy and vibrating areas, low risk for scores 0-5, moderate risk for scares 6-10 and high risk for scores more than 11. The sensitivity level was 70,83% and specificity was 73,20 %.
CONCLUSIONS : Mean of bajaj's intensity level was 91 dBA, with minimum intensity 64 dBA, maximum intensity 96 dBA. mean acceleration of vibration was 4,2 misec2, which are over the safety threshold. Noise and vibration could induce hearing and balance problems in 72,28% of drivers. Those problems are influenced by several factors such as age, working periods, daily working hours, smoking habit and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
D486
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rossalyn Sandra Andrisa
"Latar Belakang. Meningioma orbita merupakan tumor jinak saraf optik tersering setelah glioma. Walaupun termasuk dalam kelompok tumor jinak, meningioma memiliki perilaku progresif. Sebagian besar pasien datang dalam keadaan lanjut sehingga harus ditangani dengan operasi radikal. Oleh karena tanda dan gejala klinis yang tidak khas serta variabel penilaian histopatologis masih bersifat kualitatif sehingga tidak objektif, maka untuk memprediksi progresivitas, diperlukan faktor prediktor lain di tingkat molekular.
Tujuan. Menilai ekspresi Ki-67, Bcl-2, MDM-2, RP, E-kaderin, MMP-2, TIMP-2, dan polimorfisme gen mdm-2 SNP-309 sebagai prediktor progresivitas meningioma orbita.
Metode. Sebanyak 27 kasus meningioma orbita di Departemen Ilmu Kesehatan Mata, FKUI-RSCM mulai Juni 2010 sampai dengan Desember 2011, yang blok parafinnya tersedia dan telah dikonfirmasi diagnosisnya secara histopatologis, dikumpulkan data medisnya. Kemudian dilakukan pemeriksaan IHK Ki-67, Bcl-2, MDM-2, RP, E-kaderin, MMP-2, TIMP-2. Pemeriksaan gen mdm-2 SNP-309 dilakukan dengan teknik sekuensing DNA. Data yang terkumpul diolah secara statistik.
Hasil. Ekspresi MDM-2 sejalan dengan progresivitas meningioma orbita (p < 0,05) IK95 % (1,31;125,71). Ekspresi TIMP-2 memiliki efek protektif terhadap meningioma orbita (p < 0,10) IK95 % (0,01;1,26). Pemeriksaan polimorfisme gen mdm-2 SNP-309 dengan sampel terbatas menunjukkan 9 heterozigot (t/g) dan 2 homozigot (t/t), tetapi tidak bermakna secara statistik. Peningkatan ekspresi biomarker Ki-67, Bcl-2, MMP-2, tidak berhubungan dengan progresivitas meningioma orbita dan penurunan ekspresi E-kaderin dan RP tidak berhubungan dengan progresivitas meningioma orbita.
Simpulan. Dari semua faktor prediktor yang telah diperiksa pada penelitian ini, MDM-2 dan TIMP-2 lebih berperan memprediksi progresivitas meningioma orbita dibandingkan dengan pemeriksaan IHK lain dan pemeriksaan polimorfisme gen mdm-2 SNP-309. Pemeriksaan IHK lain dan polimorfisme SNP-309 tidak dapat digunakan sebagai prediktor progresivitas meningioma orbita. Penelitian ini menemukan satu model skoring probabilitas progresivitas meningioma orbita yang dapat digunakan dalam manajemen pasien pascaoperasi meningioma orbita.

Background. Orbital meningioma is the second most common benign optical nerve tumor. Even though it is considered to be benign, it has progressive characteristics. Most patients were admitted at advance stage so they must be treated with radical surgery. Because clinical signs and symptoms are not specific, and histopathological variables are not objective to determine progressivity, another predicting factors at molecular level are needed.
Aim. To determine expression of Ki-67, Bcl-2, MDM-2, PR, E-cadherin, MMP- 2, TIMP-2, and to identify mdm-2 gene SNP-309 polymorphism, as factors to predict progressivity of orbital meningioma.
Methods.Twenty seven orbital meningioma cases with available paraffine blocks were collected between June 2010 and December 2011. Afterwards, Immuno- histochemistry (IHC) examinations of Ki-67, Bcl-2, MDM-2, PR, E-cadherin, MMP-2, TIMP-2 were performed. The outcome was subsequently processed with statistical program to determine a scoring model. DNA sequencing technique was used to identify polymorphism of mdm-2 gene SNP-309. Data were analyzed using univariate, bivariate, and multivariate statistical analysis.
Result. MDM-2 expression is associated with orbital meningioma progressivity ( p < 0.05) CI95 % (1.31;125.71). TIMP-2 expression has a protective effect against orbital meningioma (p < 0.10) CI 95 % (0.01;1.26). Nine out of eleven cases of orbital meningioma are positive for mdm-2 gene SNP-309 polymorphism with 9 heterozygote (t/g) and 2 homozygote (t/t), the difference, however is not statistically significant. Increase on Ki-67, Bcl-2, MMP-2, expressions and decrease on E-cadherin and RP are not correlated with orbital meningioma progressivity (p < 0.05).
Conclusion. Compared with other prediciting factors that have been investigated in this research, MDM-2 and TIMP-2 have larger role in predicting orbital meningioma progressivity. With limited number of samples, we found no association between polymorphism of mdm-2 gene SNP-309 and progressivity of orbital meningioma. One scoring model to predict orbital meningioma?s progressivity is proposed, this model is recommended in the management of orbital meningioma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumbun, Nicolaski
"Latar Belakang: Gaya hidup ala barat seperti kerap dan banyak mengkonsumsi soft drinks/beverages secara kasat mata terlihat meningkat di masyarakat Indonesia, terutama di kalangan usia muda. Di Amerika Serikat (AS), negara yang mengawali produksi minuman tersebut tercatat peningkatan konsumsi 135% dalam 30 tahun terakhir. Soft drinks/beverages, umumnya menggunakan pemanis tinggi fruktosa (high fructose corn syrup, HFCS). Kekerapan konsumsi tinggi fruktosa menyebabkan peningkatan kejadian toleransi glukosa terganggu (TGT), di sisi lain kekerapan konsumsi dapat diukur dengan indeks fruktosa, yaitu suatu nilai yang diperoleh dari peningkatan kadar asam urat, trigliserid, LDL serta penurunan kadar HDL serum.
Metodologi penelitian: Desain penelitian adalah prevalens longitudinal. Penelitian pendahuluan dilakukan untuk melihat validitas indeks fruktosa sebagai estimasi kekerapan konsumsi tinggi fruktosa serta kadar fruktosa serum, dengan besar sampel 40 subjek yang diseleksi secara random sederhana. Setelah mendapat hasil tersebut, dengan menggunakan data Riskesdas 2007, dilakukan analisis statistik regresi logistik untuk mengetahui hubungan serta kontribusi konsumsi tinggi fruktosa dengan kejadian TGT pada usia muda.
Tujuan: Mengetahui hubungan konsumsi tinggi fruktosa terfokus pada minuman kemasan berpemanis dengan kejadian TGT pada usia muda setelah mengendalikan faktor-faktor perancu serta mengetahui besar kontribusi konsumsi tersebut terhadap kejadian TGT usia muda. Juga untuk mengetahui prevalens TGT dan konsumsi tinggi fruktosa pada kelompok usia muda di daerah perkotaan Indonesia.
Hasil Penelitian: Penelitian pendahuluan mendapatkan bahwa indeks fruktosa dalam mengestimasi kekerapan konsumsi tinggi fruktosa terfokus pada minuman kemasan berpemanis memiliki sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 90%, dengan akurasi test 90%. Prevalens TGT usia muda di Indonesia tahun 2007 adalah 5,7% dan prevalens usia muda yang banyak dan kerap mengkonsumsi tinggi fruktosa sebanyak 20,5%. Setelah mengendalikan faktor-faktor perancu, usia muda yang kerap mengkonsumsi tinggi fruktosa berisiko 1,24 (p=0,000) menderita TGT. Jika konsumsi tinggi fruktosa dalam minuman kemasan berpemanis dapat dikendalikan, maka risiko TGT pada usia muda akan berkurang sebesar 24,3%.

Background: Western lifestyle often consumes a lot of sugar sweetened soft drinks/beverages, which at a glimpse seems to be increasing in Indonesian society too, especially among the youngsters. In the US, the pioneer country of soft drink/beverage the increase of consumption by 135% within the last 30 years has been recorded. This has an impact on the increase and higher prevalence of impaired glucose tolerance (IGT) in that country. According to many references and literatures, sugar sweetened soft drinks/beverages use a high amount of fructose (high fructose corn syrup, HFCS). The frequency of high fructose consumption can be measured with index fructose that is the index which is taken from the increasing level of serum uric acid, serum triglycerides, LDL and the decreasing level of HDL cholesterol serum.
Method: The study design is prevalence longitudinal. A preliminary study was conducted to see the validity of the index fructose as an estimation of high fructose consumption frequency and fructose serum levels. Sample size of 40 subjects was selected randomly for the preliminary study. After that a statistical analysis logistic regression was used to determine the influence of high fructose consumption towards the prevalence of IGT at young age in the national community, using national health research (Riskesdas 2007) data.
Aim: To determine the influence of high fructose consumption focused on sugar sweetened soft drinks/beverages towards the prevalence of IGT in young age after controlling confounding factors and to determine the magnitude of contribution that consumption has on the IGT in young age. Also to know the prevalence of IGT and the prevalence of high fructose consumption in young age group in Indonesian urban areas.
Result: The preliminary study shows that fructose index in estimating the frequency of high fructose consumption focused on sugar sweetened soft drinks/beverages has sensitivity and specificity of 90% and 90% respectively, with 90% accuracy test. Year 2007, prevalence IGT in young age group in Indonesia was 5.7% and the prevalence of high fructose consumption was 20.5%. After controlling for confounding factors, young age group which consumes high fructose have a risk of 1.24 (p = 0.000) higher to suffer from IGT. If the consumption of high fructose is controlled, then the risk of IGT at young age groups will be reduced by 24.5%.
"
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2013
D1400
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aru Wisaksono Sudoyo
"Kanker usus besar atau kolorektal (KKR) termasuk dalam penyakit keganasan urutan 10 tersering di dunia, termasuk di Indonesia. Dihubungkan dengan lingkungan dan gaya hidup (lifestyle), KKR lebih banyak didapatkan di negara-negara maju. Di negara-negara tersebut, KKR mempunyai angka kejadian yang meningkat tajam setelah usia 50 tahun - untuk usia muda di bawah 40 tahun hanya sebesar 3%, dan sebagian besar memenuhi kriteria Amsterdam/modifikasi Bethesda untuk HNPCC atau hereditary nonpolyposis colon cancer dengan karakteristik khas yaitu 1) lokasi di sebelah kanan;2) stadium patologik Iebih rendah; 3) tidak cenderung bermetastasis; dan 4) mempunyai prognosis yang Iebih baik. Selain itu, menurut jalur kejadian terjadinya kanker (karsinogenesis) - kanker kolorektal adalah jenis kanker yang paling banyak dipelajari dan digunakan sebagai model karsinogenesis dengan sekuens adenoma-karsinomanya - KKR usia muda mengikuti jalur instabilitas miktrosateiit, dan KKR sporadik terutama mengikuti jalur instabilitas kromosom.
Di Indonesia didapatkan angka yang berbeda. Untuk usia di bawah 40 tahun di Bagian Patologi Anatomik FKUI dari tahun 1996 hingga 1999 didapatkan angka 35.265% dan laporan Departemen Kesehatan dari empat kota Jakarta, Bandung, Makassar dan Padang mendapatkan angka untuk usia di bawah 45 tahun sebagai berikut: Jakarta 47,85% (1494i3122), Makassar 54,5% (390/715), Padang 44,3% (375l846), dan Bandung 48,2% (706/1464).
Pembedahan merupakan modalitas pengobatan utama pada KKR, namun banyak pasien-pasien sudah datang dalam tahapan penyakit yang memerlukan kemoterapi dan radioterapi (untuk kanker rektum). Selain angka mudausia yang lebih tinggi dari laporan di negara maju, pasien-pasien KKR usia muda di Indonesia juga datang dengan penyakit yang lebih cepat berkembang dan seringkali tidak responsif terhadap kemoterapi. Hai ini akan berdampak besar terhadap produktivitas dan keuangan keluarga, mengingat usia mereka yang masih muda. Karena itu dianggap perlu untuk meneliti lebih jauh perangai dari KKR usia muda ini.
Kanker kolorektal merupakan model karsinogenesis yang paling Iengkap, dengan pengetahuan yang sudah dicapai mengenai akumulasi berbagai kelainan genetik sehingga terjadi kanker dan dikenal dua jalur utama pembentukan KKR. Pentama, jalur instabilitas kromosom (CIN - chromosome! instability) dengan kelainan-kelainan berupa aneuploidi dan mencakup mutasi pada antara gen-gen APC, Ki-ras, DCC, Smad dan p53 jalur ini ditemukan pada 90% KKR sporadik (laporan negara maju). Jalur kedua adalah jalur instabilitas mikrosatelit (MIN - microsatellite instability) dengan komponen utamanya mutasi pada gen perbaikan ketidakcocokan atau mismatch repair genes yang diwakili oleh MSH2, MLH1, MSH3, MSH3, PMS1 dan PMS2. Di negara maju, jalur ini ditemukan pada sebagian besar KKR berusia muda, dan biasanya mempunyai prognosis baik.
Pertanyaan-pertanyaan yang timbul adalah : Pertama, apakah pasien-pasien KKR Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun mempunyai karakteristik molekuler yang berbeda dengan pasien-pasien di negara-negara maju pada kelompok usia yang sama?. Kedua, apakah instabilitas mikrosatelit pada pasien-pasien KKR di Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun lebih sedikit dibandingkan angka yang dilaporkan di negara-negara maju? Dan ketiga, Apakah instabilitas mikrosatelit pada pasien-pasien KKR di Indonesia yang berusia kurang dari 40 tahun lebih sedikit dibandingkan pasien-pasien yang berusia 60 tahun atau Iebih?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut dilakukan penelitian eksploratif dan analitik terhadap pasien-pasien bangsa Indonesia - dalam hal ini peneliti memilih kelompok etnik Jawa, Sunda, Makassar dan Minang atas dasar penelusuran studi-studi antropologik mengenai pola migrasi manusia modern ke kawasan kepulauan Indonesia serta data genetik dari penelitian mengenai Thalassemia di Indonesia. Peneliti menganggap penetapan kelompok penelitian ini penting untuk di masa depan, di mana pendekatan kanker tidak hanya pada opulasi melainkan akan berpindah pada profil genetik individual sebagai dasar penentuan strategi pencegahan, deteksi dini dan terapi kanker kolorektal.
Penelitian dimulai dengan penelusuran data rekam medik pasien-pasien KKR berusia 40 tahun dan kurang serta mereka yang berumur 60 tahun atau Iebih termasuk alamat rumah mereka. Data dengan menelusuri arsip spesimen KKR di Bagian-bagian Patologi Anatomik fakultas-fakultas kedokteran Universitas Indonesia, Universitas Padjadjaran dan Universitas Hasanuddin. Setelah itu pasien-pasien atau keluarganya (bila pasien sudah meninggai) diwawancara mengenai kelompok etniknya dan apakah mereka termasuk KKR herediter yang memenuhi kriteria Amsterdam/Bethesda.
Spesimen tumor pasien-pasien tersebut menjalani pemeriksaan histopatologik ulang dengan menetapkan jenis histopatologi dan grade tumornya. Kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia terhadap ekspresi protein MLH1 dan MSH2 sebagai gen mismatch repair yang paling dominan, serta terhadap ekspresi protein SMAD4 untuk rekonfirmasi membedakan antara jalur MIN dan CIN. MSH2 positif; jika ditemukan ekspresi protein MSH2 Iebih dari 20%. NILH1 positif: jika ditemukan ekspresi protein MLH1 Iebih dari 20%. Kriteria interpretasi di atas juga berlaku untuk interpretasi hasit puiasan Smad4. Tujuannya terutama adalah untuk membuktikan apakah jaringan tumor dari KKR usia muda mengikuti jalur MIN seperti pada KKR usia muda di kepustakaan negara maju.
Telah berhasil berhasil dikumpulkan 121 kasus secara konsekutif dari lima rumah sakit (RS) di Indonesia, yaitu 20 kasus dari RSUPN Cipto Mangunkusumo (Jakarta), 18 kasus dari RS Kanker Dharmais (Jakarta), 3 kasus dari RSPAD Gatot Subroto (Jakarta), 56 kasus dari RSUD Hasan Sadikin (Bandung), dan 24 kasus dari RSUD Dr. Wahidin (Makassar). Kelompok etnik penderita terdiri dari 64 (52,9%) orang suku Sunda, 28 (23,1%) orang suku Jawa, 25 (20,7%) orang suku Bugis/ Makassar, serta 4 (3,3%) orang suku Minang.
Dari 118 data histopatologi yang tersedia, adenokarsinoma merupakan tipe histopatologi terbanyak dan sebagian besar memiliki grade 1 Selanjutnya jika penderita dikelompokkan menurut usia, tampak bahwa karsinoma sel cincin dan adenokarsinoma musinosum secara bermakna (p=0,000) lebih banyak pada kelompok penderita usia muda dibandingkan usia tua. Terdapat perbedaan grade yang bermakna (p=0,001) di antara penderita usia muda dan usia tua; kanker Grade 3 Iebih banyak ditemui pada penderita usia muda dibandingkan dengan usia tua.
Dari 121 data penderita yang berhasil dikumpulkan, pulasan imunohistokimia untuk protein MSH2 berhasil dilakukan pada 92 spesimen, sedangkan untuk protein MLH1 berhasil dilakukan pada 97 spesimen. Lebih dari 50% kasus memperlihatkan ekspresi protein MSH2 (positif), namun ekspresi MLH negatif pada 83,5% spesimen_ Terdapat 88 spesimen yang berhasil dilakukan pulasan anti-MSH2 dan anti-MLH1 secara serempak. Pola ekspresi MLH1 tampak tidak paralel dengan pola ekspresi MSH2. Sebanyak 55% (41 dari 74) kasus dengan ekspresi MLH1 negatif memiiiki ekspresi MSH2 yang normal. Ekspresi MSH2 dan MLH1 tidak menunjukkan perbedaan bermakna antara Iokasi tumor di kolon kanan dan kolon kiri. Namun ada kecenderungan bahwa proporsi spesimen yang menghasilkan ekspresi MSH2 negatif lebih banyak pada kolon kanan. Ekspresi MLH1 di kolon kanan bahkan tidak muncul sama sekali. Tidak adanya perbedaan ekspresi MSH2 dan MLH1 pada lokasi kolon juga tidak tampak bila penderita dikelompokkan berdasarkan usia, walaupun ada kecenderungan Iebih banyak penderita usia muda yang tidak mengekspresikan MSH2 dan MLH1. Tidak terdapat perbedaan bermakna antara ekspresi MSH2 dan MLH1 dengan pentahapan (grading) tumor. Ini berarti pada penderita yang diteliti tidak terdapat hubungan antara instabilitas mikrosatelit dengan grade tumor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Penderita kanker kolorektal usia muda pada orang Indonesia suku Jawa, Sunda, Minang dan Makassar tidak memperlihatkan perbedaan pola ekspresi protein MSH2 dan MLH1 dibandingkan dengan penderita kanker kolorektal usia tua. 2) Kanker kolorektal usia muda pada orang Indonesia suku Jawa, Sunda, Minang dan Makassar tidak ada yang dapat dikelompokkan dalam kanker kolorektal herediter berdasarkan hasil wawancara yang menggunakan perangkat kriteria Amsterdam sehingga dapat dimasukkan dalam kategori kanker kolorektal sporadik. 3) Ekspresi MLH1 dan MSH2 secara imunohislokimia saja tidak bisa digunakan untuk mendeteksi instabilitas mikrosatelit pada KKR usia muda pada etnik Jawa, Sunda, Makassar, Minang; dan 4) Kriteria Amsterdam dan modifikasi Bethesda masih merupakan Cara paling efektif untuk menentukan sporadisitas KKR. Pola hasil yang didapat menunjukkan bahwa amat mungkin KKR usia muda pada populasi ini merupakan jenis yang lain dari KKR di negara maju bahkan diluar jalur MIN dan CIN.
Apakah ?manusia Indonesia" menua lebih cepat sehingga ditemukan KKR pada usia yang lebih muda? Penelusuran kepustakaan terhadap terjadinya penuaan biologik menunjukkan bahwa pada proses penuaan (aging) secara almiah tidak terdapat perbedaan - namun didapat beberapa pengaruh Iinternal dan eksternal dalam lingkungan yang berpengaruh terhadap karsinogenesis KKR.
Secara internal pada karsinogenesis KKR berperan interaksi antara stres oksidatif, yang mempengaruhi mitokondria. Pada proses menua terjadi disfungsi mitokondria yang menghasilkan stres oksidatif dan mempengaruhi berbagai penentu karsinogenesis seperti penghambatan apoptosis, aktivasi onkogen, peningkatan fenotip mutator dan inaktivasi gen supresor tumor. Kejadian tersebut dipercepat oleh faktor eksternal yang penting - yaitu status sosioekonomi - yang dapat menyebabkan terjadinya instabilitas genetik, antara lain 1) infeksi dan infiamasi ; dan 2) diet serta nutrisi.
Saran yang muncul dari penelitian ini adalah, dalam paradigma pendekatan terhadap kanker yang saat ini sudah muiai bergeser ke motekuler/individu dan bukan umum / empirik lagi, diterapkan penelitian-penelitian epidemiologi molekuler terhadap populasi pasien kanker di Indonesia. Pengobatan kanker di masa yang akan datang akan mengacu pada profil genetik seseorang atau sekelompok populasi - dan pengetahuan yang didapat pada penelitian ini diharapkan menjadi landasan berpijak.

Colorectal cancer (CRC) ranks among the 10 omost common cancers in the world, including indonesia. Related to environment and lifestyle, CRC has been to more common the developed countries.
In developed countries, the incidence of CRC increases sharply after the age of 50 years - whereas only 3% are found among those below 40 years, most complying with the Amsterdam / Bethesda modification criteria for HNPCC (hereditary nonpolyposis colon cancer) characterized by : 1) right-sided location; 2) a lower pathologic stage; 3) less tendency to metastasis; and 4) a good prognosos. Colorectal cancer is the most studied of cancers, and the adenome- carcinoma sequence of its carcinogenesis is used as a model for othercancers. There are two main pathways of carcinogenesis in CRC, i,e., the chromosomal instability (CIN) pathway - mainly found in sporadic CRC, and the microsatellite instability (MIN) -found in the majority of hereditary CRC.
In Indonesia a different pattern emerged from hospitals. Data at the Department of Anatomic Pahtology from 1996 to 1999 revealed that there were 35.2% CRC cases under 40 years old. From the Ministry of Health it was found that, in 4 major cities of Indonesia, i.e., Jakarta, Bandung, makassar and Padang, CRC cases under 45 years old were, 47.85%, 54.5%, 44.3 and 48.2%, respectively.
Surgery is the main treatment modality for CRC, but many patients present themselves in an advanced state such that chemotherapy and radiotherapy (for rectal cancer) have to be used. Aside form the higher incidence compared to developed countries, the tumors of young CRC patients in Indonesia are more progressive and do not repond well to cancer anticytostatics, impacting on health facilities and economics as they are in a productive age. lt is thus deemed necessary to investigate further the charactelstics of the tumors.
Previously, colorectal cancer is regarded as the model for carcinogenesis. The cancer is known to be the result of an accumulation of gene mutations and it is now known to follw 2 main pathways. The first, the chromosomal instability (CIN) pathway, is based on aneuploidy and consists of mutations of severla genes, among others SAPC, Ki-ras, DCC, Smad and p53 - it is found in more than 90% of sporadic CRC. The second pathay involves microsatellite instability (MIN) and involves mutations of the mismatch repair genes, i.e., MLH1, MLH2, MSH2, MSH3, MSH6, PM1 and PMS2. In devolped countries, MIN is found in the majority of young CRC patients, usually having a better prognosis.
The question is thus, Firstly, whether young (40 years and younger) Indonesian CRC patients have a different molecular patter than their counterparts in developed countries? Secondly, is MIN in young Indonesian CRC patients less in incidence than in developed countries. Thirdly, is MIN among young Inodnesian CRC paitents found less than among the elderly (60 years and older)?
In order to be able to answer the abovementioned questions, we conducted an explorative and analytic study on native lndonesians - represented by the four ethnic groups i.e., Javanese, Sundanese, Makarasses and Minang. The choice of the ethnic groups was based on anthropological (the pattern of migration of modern humans into Southeast Asia) and genetic (based on studies on Thalassemia in Indonesia). We regard the initial categorization of ethnic choice to be important, as in the future the approach to cancer will be based on the shifting paradigm in which the individual genetic profile is the base for strategy planning in cancer prevention, early detection, and treatment.
The study was started with the perusal of medical records form designated hospitals for data of young (40 years and younger) and old (60 years and older) CRC patients including their home addresses. Data was obtained from the archives of the Anatomic Pathology departments of the University of Indonesia, Padjadjaran University, and Hasanuddin University. The patients or their relatives were subsquently interviewed for ethnicity and compliance with the Amsterdam / Bethesda criteria for hereditary CRC.
Tumor specimens underwent evaluation for histopathology and grading. immunohistochemistry (IHC) was done for expression of MLH1 and MSH2 proteins to detect MIN and for the SMAD4 protein to reconfirrn that the specimens were not of MIN origin. The IHC test was regarded as positive if expression was found to be 20% or more - aforementioned criteria to be used for all IHC tests. The aim was mainly to prove whether the tumor specimens of young CRC patients foiled the MIN pathway as reported for cases in devolped countries.
One hundred and twenty cases were consecutively compiled from 5 hospitals in Indonesia, i.e., the Cipto mangnkusumo hospital (20 cases), Dharmais Cancer Hospital (18 cases), Gatot Subroto Army Hospital (3 cases), all in Jakarta, the Hasan Sadikin Hospital in Bandung (56 cases) and Dr Wahidin hospital in Makassar (24 cases)- They comprise the ethnic groups : 64 Sundanese (52.9%), 28 Javanese (23.1%), 25 Buginese / Makassarese (20.7%) and 4 Minang (3.3%).
From 118 available specimens, adenocarcinoma was the most dominant histopathology, and most were grade 1. categorized based on age, signet tring cell and mucinous adenocarcinoma were statistically significant (p=0.000) found more among the young CRC group. There was a statistically significantly difference in grade between the young and old patients, in which grade 3 is found more among the young patients.
From 121 specimens, IHC for the MSH2 protein was done on 92 specimens, whereas MHL1 in 97. more than 50% of cases showed expressions for MSH2, but MLH1 was negative in 83-5 specimens. Done simultaneously in 88 specimens, it was shown that there was no parallel between MLH1 and MSH2. Efty tive percent (41 out of 74) with negative MLH1 expression were positive for MSH2. there was no statistically significant difference in expressions between the right and left colon.
There was, however, a tendency for the proportions of specimens which had negative MSH2 expression to be located in the right colon. The MLH1 was negative for all right-sided specimens. There lack of difference in expressions of MLH1 and MSH2 was also found when the specimens were compared based on patient age, althoughthere were more of the young patients whi had negative expressions for both MLH1 and MSH2. there was no significant difference between the expressions of MLH1 and NMSH2 regarding tumor grading -this is interpreted as no correlation between MLH1 expression and tumor grade.
The results of the study revealed that 1 1) CRC in young patients of Javanese, Sundanese, Makassarese and lvlinang ethnic groups did not show any difference with regard to expressions of MLH1 and MSH2 compred to old patients; 2) young CRC patients of Javanese, Sundanese, Nlakassarese and Minang ethnic groups cannot be categorized as hereditary CRC based on interviews using the Amsterdam fBethesda criteria and are henceforth regarded as sporadic. 3) the expression of MLH1 and MSH2 by IHC cannot be used to detect microsatellite instability among patients of Javanese, Sundanese, Nlakassarese and Minang ethnic groups; and 4) use of the Amsterdam I Bethesda criteria for HNPCC is still the most reliable method to determine sporadicity of CRC patients among patients of Javanese, Sundanese, Malcassarese and Minang ethnic groups. The pattern of results also brings to light the possibilty that CRC among young patiens do not follow either MIN nor CIN pathways.
Does an Indonesian age faster, therefore CRC found at a younger age? Study of the literature on the aging process revealed that natural aging per se is no different from other populations - but other factors from the environment is thought to enter and influence the biological aging of cells and speed up carcinogenesis.
Internally, carcinogenesis of CRC is influenced by the interaction between oxidative stress involving the mitochondria, in which mitochondrial dysfunction resulted in the production of oxidative stress affecxting various components of carcinogenesis i.e., inhibition of apoptosis, activation of oncogenes, increase in mutator phenotype and inactivation of tumor suppression genes. The events are accelerated by important external factors - namely soscioeconomic status - causing the cell to be genetically unstable, a prerequisite for cancer formation, among these involving 1) infection and inflammation; and 2) diet and nutrition.
It is recommended that from this study that, in the shifting paradigm of cancer, moving from empirical tpo molecular oncology - further research be implemented with molecular epidemiology techiques on cancer populations in Indonesia. The approach of cancer in Indonesia in the future will also have to be based on the genetic profile of the individual or specific population group - and the knowledge obtained thus utilized.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D708
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Sundaru
"Asma bagi sebagian besar negara di dunia sudah menjadi masalah. Peningkatan prevalensi, morbiditas, mortalitas, menurunnya kualitas hidup merupakan contoh yang perlu mendapat perhatian. Upaya penanggulangan penyakit tersebut, terbentur kepada belum diketahuinya penyebab asma, sehingga penelitian umumnya ditujukan kepada faktor risiko asma dengan harapan suatu hari diketemukan penyebab yang pasti. Dua faktor utama yang mempengaruhi asma yaitu faktor genetik dan faktor lingkungan. Faktor genetik tidak dapat menerangkan terjadinya peningkatan prevalensi asma. Hal ini terbukti dari penelitian-penelitian pada ras yang sama, tetapi tinggal di berbagai negara atau wilayah mempunyai prevalensi asma yang berbeda- beda. Oleh karena itu penelitian terutama ditujukan kepada faktor lingkungan. Faktor genetik seperti terwakili dalam riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang khususnya rinitis alergik yang menyertai asma punya peranan dalam terjadinya serta prevalnsi asma. Dari faktor lingkungan, kadar alergen tungau debu rumah (TDR), sensitisasi alergen, urutan kelahiran anak serta polusi udara dilaporkan berkaitan dengan prevalensi dan berat asma.
Daerah urban sering dilaporkan mempunyai prevalensi asma yang Iebih tinggi dibandingkan daerah rural. Jakarta yang dapat dikatakan mewakili daerah urban dilaporkan mempunyai polusi udara dan frekuensi sensitisasi alergen yang tinggi dibanding dengan Subang suatu wilayah perkebunan dan pertanian dianggap sebagai daerah rural mempunyai udara yang relatif bersih. Sampai sejauh ini belum ada penelitian asma yang mencari faktor risiko terjadinya asma yang membandingkan daerah urban dan rural di Indonesia. Data ini penting untuk upaya pencegahan baik terjadinya asma maupun serangan asma.
PENETAPAN MASALAH
Dari latar belakang di atas timbul pertanyaan apakah ada perbedaan prevalensi dan berat asma antara urban dan rural, jika ada apakah disebabkan oleh riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen, urutan kelahiran, dan polusi udara.
METODOLOGI PENELITIAN
Disain dan analisis penelitian
Potong Iintang, sedangkan analisis yang menyangkut prevalensi menggunakan analisis univariat, untuk membandingkan faktor risiko digunakan analisis bivariat atau analisis kasus kontrol. Analisis multivariat digunakan untuk menghilangkan faktor-faktor pengganggu. Diharapkan penelitian ini menghasilkan model prediksi terjadinya penyakit asma.
Populasi dan sampel penelitian
Siswa Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) berusia 13-14 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan.
Tempat dan waktu penelitian
SLTP terpilih di wilayah Jakarta Pusat dan Kabupaten Subang, dari Maret 2003 sampai Oktober 2004.
Cara kerja
Semua siswa dari SLTP terpilih, mengisi kuesioner ISAAC (lnternational Study of Asthma and Allergy in Chifdren) yang berisi gejala asma, riwayat asma dalam keluarga, penyakit atopi yang menyertai. Sebagian siswa yang terpilih secara random dan kontrol dilakukan uji kulit terhadap 6 macam alergen dan kontrol positif serta negatif. Sampel debu dari atas kasur diambil untuk pengukuran kadar alergen TDR. Polusi udara diukur di Jakarta Pusat dan di Kalijati serta Lapangan Bintang Subang.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik kasus
Dari 131 SLTP di Jakarta Pusat, terpilih secara random 19 SLTP yang diikutkan dalam penelitian ini, sedangkan di Subang 12 SLTP dari 72 SLTP. Di Jakarta didapatkan 3840 responden dengan response rate 97,5% dan 3019 responden di Kabupaten Subang dengan response rate 98%. Dari seluruh responden di Jakarta 1751 (45,6%) berjenis kelamin Iaki-laki dan 2089 (54,4%) perempuan, sedangkan di Subang dari total responden 1476 (48,9%) berjenis kelamin laki-Iaki dan 1543 (51,1%) perempuan.
Di Jakarta didapatkan 2601 responden masuk kriteria kontrol dan 480 masuk kriteria asma (mengi 12 bulan terakhir, mengi, olah raga dan batuk malam). Di Subang didapatkan 1094 responden masuk kriteria kontrol dan 737 kriteria asma.
Pada pengukuran kadar alergen TDR di Jakarta terpilih secara random untuk kontrol 164 responden dan kasus 165 responden, di Subang kontrol terpilih secara random 138 dan kasus 168 responden. Uji tusuk kulit pada responden secara random di Jakarta pada 274 kontrol dan 253 kasus dan di Subang 247 kontrol dan kasus 269 orang.
Prevalensi asma
Prevalensi asma 12 bulan terakhir yang merupakan kombinasi gejala mengi, mengi setelah olah raga dan batuk malam 12 bulan terakhir didapatkan 12,5% (480 kasus) di Jakarta dan 24,4% (737 kasus) di Subang, terdapat perbedaan yang bermakna p 0,000 OR 2,26 (IK 95%, 1,49-2,57). Dengan demikian pada penelitian ini prevalensi asma di daerah rural lebih tinggi dari daerah urban.
Prevalensi mengi 12 bulan di Jakarta 7,5% (288 kasus) dan di Subang 9,6% (290 kasus), berbeda bem1akna p 0,001 OR (odds rasio) 1,10 (IK 95% 1,10;1,50). Didapatkan prevalensi batuk malam yang tinggi di Subang, Pada analisis batuk malam menggunakan diagram Venn diperoleh kasus batuk malam saja tanpa disertai mengi sebanyak 190 kasus (4.95%) di Jakarta dan 442 kasus (14,6%) di Subang. Karakteristik batuk malam di Jakarta lebih atopi ( p 0,000 OR 8,81 IK 95% 4,12;19,7) dibanding Subang (p 0,043 OR 1,53 IK 95% 0,99;2,31). Data ini menunjukkan bahwa batuk malam di Jakarta lebih mungkin berkembang menjadi asma, sedangkan di Subang batuk malam Iebih mungkin karena iritasi.
Pengukuran kadar polusi udara di Subang ternyata mempunyai kadar SO; (111,76-114,08 pg/ma) dibanding Jakarta 30,75 pglm3. Dilaporkan kadar S02 yang tinggi menyebabkan mengi dan batuk. Beberapa Iaporan menunjukkan intervensi terhadap tingginya kadar SO2 sampai mendekati normal menyebabkan prevalensi mengi dan batuk menurun secara bermakna. Tingginya prevalensi mengi di Subang berasal dari S02 yang dihasilkan gunung berapi yang masih aktif (Gunung Tangkuban Perahu).
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir
Prevalensi mengi 12 bulan terakhir di Subang 9,6% Iebih tinggi dari akarta 7,5% (p 0,001). Perbedaan prevalensi karena Subang mempunyai kadar S02 yang tinggi sehingga menimbulkan mengi dan batuk. Tingginya prevalensi asma di Subang tidak didukung oleh riwayat asma dalam keluarga (Jakarta 30,9%, Subang 28,9% dan p 0,611), penyakit atopi yang menyertai (Jakarta rinitis 50%, Subang 40%), kadar alergen Grup I (Jakarta 2,08 pglg debu, Subang 1,24 pg/g debu dan p 0,013), sementara sensitisasi alergen (Jakarta 79,23%, Subang 55,83% dan p 0,000), urutan kelahiran anak tidak berbeda bermakna (Jakarta OR 0.70, p.0.191, Subang OR 0.86, p. 0.625). Satu-satunya perbedaan yang mendukung tingginya prevalensi mengi 12 bulan di Subang adalah tingginya kadar SO2.
Berbagai faktor risiko di Jakarta yang masuk analisis multivariat seperti riwayat asma dalam keluarga (p 0,000), sensitisasi alergik D pteronyssinus (p 0,000) D.farinae (p 0,000), kecoak (p 0,000) dan Qalbicans (p 0,0429) dan urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 (p 0,09), tetapi setelah analisis multivariat yang bermakna berhubungan dengan asma adalah (model prediksi 1.2), ayah OR 11,73 (IK 95% 3,76;36,62; p 0,000), ibu OR 16.10 (IK 95% _5,44;47,60; p 0,000), ayahdan ibu OR 8,06 (IK 95% 0,85;76,46; p 0,069), D.pteronyssinus OR 14,35 (IK 95% 8,79;23,43; p 0,000), urutan kelahiran anak makin tinggi, makin besar daya proteksi. Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,70 (IK 95% 0,41;1,20; p 0,191) dan Iebih dari 4 OR 0,51(IK 95% 0,22 ; 1,20) (p 0,123).
Sensitisasi alergen D.p1?eronyssinus dan D. farinae kolinier sehingga dimasukkan analisis Salah satu. Population Atributable Risk (PAR) D.pteronyssinus di Jakarta 71,9%. Di Subang hasil analisis multivariat faktor risiko yang ada (model prediksi 2_2) menunjukkan ayah OR 15,04 (IK 95% 4,87-46,39; p 0,000), ibu OR 18,12 (IK 95% 4,98;66,00; p 0,000), D.pteronyssinus OR 2,36 (IK 95% 1,43;3,91; p 0,001), C.albicans OR 15.00 (IK 95% 1,69;1,33). Urutan kelahiran anak 3 sampai dengan 4 OR 0,86 (IK 95% 0,46;1,59; p 0,625) dan Iebih dari 4 OR 0,50 (IK 95% 0,13;1,88; p 0,306). Jumlah saudara kandung kolinier dengan urutan kelahiran anak. PAR untuk D.pteronyssinus di Subang 28,2%, Calbicans meskipun mempunyai OR 15,00 tetapi secara klinis kurang penting, dan nilai PARnya hanya 5,4%.
Model prediksi, skoring dan titik potong
Dari analisis multivariat, juga menghasilkan nilai prediksi bentuk terjadinya asma. Nilai prediksi tersebut diperuntukkan bagi masyarakat, dokter maupun peneliti. Bagi masyarakat (model prediksi 1.1 di Jakarta atau 2.1 di Subang) hanya membutuhkan data adanya riwayat asma dalam keluarga, serta urutan kelahiran anak. Bagi dokter (model 1.2 di Jakarta dan 2.2 di Subang) ditambahkan data hasil uji tusuk kulit, terutama alergen TDR), sedangkan bagi peneliti selain data di atas perlu tambahan kadar TDR (model 1.3 di Jakarta dan 2.3 di Subang). Dalam diskusi ini Jakarta diambil sebagai model (1.2 dan 1.3).
Dari hasil analisis Receiver Operator Curve (ROC) antara model prediksi secara matematis dengan skoring ternyata menunjukkan hasil yang tidak berbeda yang dapat dilihat dari 95% IK yang saling bersinggungan dengan kata Iain memprediksi terjadinya asma dengan menggunakan skoring sama baiknya dengan menggunakan model prediksi. Titik potong (cutoff) untuk menentukan batas sensitivitas dan spesitisitas yang terbaik. Model 1.2 skor total 83, titik potong 2 20, sensitivitas 84,6%, spesitisitas 76,01% dan akurasi 79,5%. Model 1.3 skor total 130, titik potong 2 40, sensitivitas 82,96%, spesitisitas 71,34%, prediksi 36,68% dan akurasi 76,59%.
Berat asma
Pada penelitian ini secara statistik derajat berat asma di Jakarta Iebih berat dari pada di Subang, baik untuk frekuensi mengi 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,87 (IK 95% 1,55;5,33), bangun malam akibat mengi (p 0,000) OR 2,92 (IK 95% 1,71-4.01), mengi serangan hebat dalam 12 bulan terakhir (p 0,000) OR 2,18 (IK 95% 1,46-2,47).
Baik di Jakarta maupun di Subang riwayat asma dalam keluarga tidak mempengaruhi berat asma (p > 0,427) demikian pula dengan penyakit atopi yang menyertai (p > 0,171). Kadar alergen TDR di Jakarta tidak berhubungan dengan derajat berat asma (p > 1,01), begitu pula di Subang (p > 0,250).
Sensitisasi alergen Dfarinae mempunyai kecenderungan berhubungan dengan serangan asma berat di Jakarta (p 0,071), sedangkan di Subang sensitisasi Dpteronyssinus mempunyai hubungan dengan serangan asma berat (p 0,034) dan sensitisasi alergen Dfarinae berhubungan dengan frekuensi tidur ternganggu > 1 malamlminggu (p 0,035) dan serangan asma berat (p 0,004).
Urutan kelahiran anak baik di Jakarta (p > 0,229) maupun di Subang (p > O,349) tidak berhubungan dengan derajat asma.
Kadar emisi kendaraan bermotor NO2, CO, O3 3 sampai 4 kali Iebih tinggi di Jakarta yang umumnya telah mendekati, bahkan kadang-kadang Iebih tinggi dan ambang batas merupakan iritan bagi peserta asma, sehingga memperberat gejala asma yang sudah ada.
KESIMPULAN
- Prevalensi asma baik menurut kriteria kombinasi tiga gejala asma maupun menurut kriteria mengi 12 bulan ternyata Iebih tinggi di Subang (rural) dibanding Jakarta (Urban). Tingginya prevalensi ini berkaitan dengan tingginya kadar SO2, faktor risiko yang Iain seperti riwayat asma datam keluarga, penyakit atopi yang menyertai, kadar alergen TDR, sensitisasi alergen maupun urutan kelahiran anak tidak mendukung tingginya prvalensi asma, sehingga hipotesis ditolak.
- Derajat berat asma berhubungan dengansensitisasi alergen TDR dan kuat dugaan dengan polusi udara dari kendaraan bermotor.
- Dari faktor risiko yang dapat di intervensi sensitivitas alergen TDR merupakan risiko yang penting, terutama di Jakarta karena memberikan nilai PAR 71 ,9%.
- Telah dikembangkan sistem untuk memprediksi terjadinya asma baik untuk masyarakat, dokter maupun peneliti di bidang penyakit asma.
- Riwayat asma dalam keluarga dan sensitisasi alergen TDR berperan dalam terjadinya asma.
SARAN
- Untuk mengurangi terjadinya asma disarankan untuk menghindari perkawinan sesama penderita asma, menghindari alergen TDR sehingga diharapkan dapat mengurangi sensitisasi alergen.
- Perlu kebijakan mengurangi polusi udara dart emisi kendaraan bermotor terutama di Jakarta.
- Penelitian lanjutan mengenai sistem skor pada terjadinya asma di berbagai daerah.
- Pengukuran prevalensi asma dengan menggunakan kuesioner ISAAC pada daerah yang mempunyai kadar SO2 yang tinggi, interprestasinya harus hati-hati.
- Perlu penelitian lanjutan bagi penduduk yang tinggal di sekitar gunung berapi yang masih aktif."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
D712
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Safrida Hoesin
"ABSTRAK
Ruang Lingkup dan Metode: Pada murid kelahiran Palembang dievaluasi
kebiasaan mengkonsumsi makanan tradisional dengan cuko (Kuah Asam Manis atau
KAM), yang dikaitkan dengan latar belakang sosial demogratik dan perilaku
kesehatan gigi. Risiko terjadinya karies yang meliputi multifaktor dianalisis dengan
menggunakan univariat dan logistik regresi ganda. Respon aktivitas bakteri S.
mutans, kecepatan aliran saliva dan kapasitas dapar saliva di analisis terhadap
pemberian KAM. Untuk menetapkan peran KAM pada anak-anak berusia 12 tahun
dengan karies ringan dilakukan perbandingan kejadian karies berdasarkan intensitas
mengkonsumsi KAM di dua wilayah sekolah Ulu dan ilir. Evaluasi dilanjutkan
dengau Kariogram dari Bratthall (1996) untuk mengetahui faktor-faktor yang
berinteraksi pada terjadinya karies atau pencegahannya.
Hasil dan kesimpulanz: 75% murid yang biasa mengkonsumsi KAM mempunyai
kejadian karies yang rendah, tetapi kejadian fluorosis yang dijumpai lebih tinggi. Dari
analisis regresi logistik ganda diperoleh bahwa frekuensi mengkonsumsi KAM,
fluorosis email, gender, asal orangtua, dan rasa takut pada perawatan gigi
berhubungan dengan kejadian karies. Bakteri plak ternyata tidak memperlihatkan
pengaruhnya pada kelompok yang mengkonsumsi KAM atau tidak. Sesudah 2 jam
pemberian KAM, aktivitas bakteri cenderung menurun dan pada kelompok karies
terlihat pH saliva lebih rendah dari sebelum pemberian KAM. Dari gambaran
Kariogram diketahui bahwa lama mengkonsumsi KAM sejak usia sebelum gigi tetap erupsi merupakan faktor yang paling berperan terhadap karies. Pada model ini
diperoleh kemungkinan untuk tidak karies sangat rendah, yaitu antara 1 - 13%. Faktor
yang turut berperan terhadap kerentanan gigi yang fluorosis mungkin karena terdapat
gula dan rendahnya pH dalam diet KAM yang meningkatkan demineralisasi email
bila KAM dikonsumsi setiap hari. Frekuensi mengkonsumsi KAM merupakan faktor
yang paling berperan terhadap rendahnya karies. Demikian juga pada kelompok
dengan kebiasaan mengkonsumsi KAM atau tanpa KAM disertai karies atau tanpa
karies, mempunyai kebiasaan jajan di antara waktu makan, jajan yang manis-manis,
mempunyai orangtua asal Palembang.
Kesimpulan penelitian adalah: (1) Kejadian karies di Ulu lebih rendah daripada di
Ilir; (2) KAM menghambat tenjadinya karies yang dikonsumsi setiap minggu dan
setiap bulan; (3) Kelompok bebas karies tidak bergantung pada perilaku kesehatan
gigi yang diperoleh di sekolah; (4) KAM tidak menyebabkan terjadinya fluorosis bila
dikonsumsi sesudah usia 8 tahun; (5) Kebiasaan mengkonsumsi KAM berhubungan
dengan faktor tempat lahir pada latar belakang sosial demografik; (6) Fluorosis
berhubungan dengan faktor tingkat pendidikan orangtua pada latar belakang sosial
demografik; (7) Kemungkinan tidak karies tidak bergantung pada frekuensi
mengkonsumsi KAM semata, tetapi lebih bergantung pada saat anak mulai
mengkonsumsi KAM. Faktor yang paling lemah dalam model Kariogram ini adalah
diet KAM dan kerentanan gigi karena fluorosis. Dengan model Kariogram ini dapat
dikembangkan berbagai model sesuai dengan ciri-ciri individu, sehingga perlu
observasi lanjutan dengan latar belakang yang sama agar dapat disusun strategi
penyuluhan dan intervensi pencegahan karies yang spesifik. Selain itu perlu
dilakukan pemetaan fluor di masyarakat, dan penelitian lanjut agar dapat
menjelaskan mekanisme karies pada kelompok dengan fluorosis.

Abstract
Field of study and Methods. Children born in Palembang were evaluated to detect
their habitual KAM consumption, social demographic backgrotmd, and oral hygiene
practice. The risks involving preventive factors were calculated using univariant and
multiple logistic regression analysis. Response to KAM administration was analysed
on S- mutans activities, salivary flow rates, and the change of salivary pH. The role of
KAM in high caries risk children was determined by comparing caries experience
and the intensity of KAM consumption using two different school locations (Ulu and
Ilir). A cariogram model was used to evaluate the interaction among all factors in
caries development or prevention.
Result and Conclusions. Seventy five percent of children that regularly consumed
KAM had a lower caries occurrence, but higher enamel fluorosis. Multiple logistic
regression analysis disclosed that the frequency of KAM consumption, enamel
iluorosis, gender, parental origin, and fear of dental procedures were associated with
the development of dental caries. Dental plaque bacterial activity was not
significantly different between KAM consumers and non-consumers. After
administering KAM in both regular and non-regular KAM consumers, bacterial
activity tended to decrease and in the caries group after two hours the salivary pH
slightly decrease. Cariograms revealed that the period of fluoride intake from KAM
before the age of eight was the most significant factor in caries, neither a daily or a
weekly basis. They appeared to have a very low chance of avoiding caries, i.e.
between 1 to 13%. The other factors that influence dental caries might be explained
by the sugar content and low pH of the KAM. The low pH may increase enamel
demineralization when used on a daily basis to influence the susceptible tooth which
was a hypomineralised enamel. They were also constant in KAM and non KAM users
as well as carious or caries free children either frequents intake of snacks between
meals, or sweets, and parents origin of Palembang were additional factors to increase
the caries risk.
The conclusions of the study were: (1) Caries occurrence in Ulu were less than in
llir; (2) KAM inhibits caries when consumed on a weekly or monthly basis. (3)
Caries free children were not dependant on the preventive oral hygiene methods
taught in schools. (4) KAM did not induce fluorosis when constuned after the age of
eight. (5) KAM consumption was related to the birth location of the social
demographic factors. (6) Fluorosis was related to the parents education level of the
social demographic factors. (7) The chance for not having caries was not only
dependant on how frequent, but more on when the children started consuming KAM.
Vulnerable factors shown in Cariogram was correlated to particular diet KAM and
fluorosis as a susceptible tooth. More Cariogram model can be developed due to the
individual characteristics, therefore observation in a similar background is needed to
determine a particular strategy for health promotion and preventive intervention.
There is also a need to have a fluoride mapping in community, and iilrther
investigation to explain the mechanism of caries in fluorosis group."
2000
D718
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>