Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ardhia Kusuma Putri
Abstrak :
Latar Belakang: Telah diketahui infeksi COVID-19 dapat menetap menjadi sindroma pasca COVID-19. Magnetic Resonance Imaging (MRI) kardiak memiliki nilai diagnostik tinggi untuk menilai karakteristik jaringan miokard. Belum diketahui secara pasti efek jangka panjang COVID-19 terhadap jaringan miokardium serta faktor-faktor admisi yang memiliki pengaruh terhadap prevalensi sindroma pasca-COVID-19 pada populasi dengan penyakit kardiovaskular.  Tujuan: Mengevaluasi prevalensi fibrosis miokardium dengan MRI kardiak pada pasien dengan penyakit kardiovaskular dan riwayat COVID-19 1 tahun pascaperawatan, serta mengidentifikasi faktor admisi yang berpengaruh terhadap fibrosis miokardium.  Metode: Kohort prospektif dengan menilai parameter MRI kardiak pada pasien terkonfirmasi COVID-19 dengan penyakit kardiovaskular 1 tahun pascaperawatan. Selanjutnya, dilakukan analisa temuan MRI kardiak terhadap kelompok kontrol tanpa riwayat COVID-19 yang telah di-matching berdasarkan umur, jenis kelamin, dan faktor resiko. Analisa multivariat dilakukan untuk mengetahui faktor admisi yang memiliki hubungan dengan kejadian fibrosis miokardium.  Hasil: Total 32 subjek dengan penyakit KV dan riwayat COVID-19 1 tahun pascaperawatan dengan 49 subjek kontrol disertakan dalam studi ini. Terdapat peningkatan yang signifikan pada parameter MRI kardiak yaitu proporsi abnormal T1 relaxation time (65,5% vs 36,7%; p-value=0,011) serta late gadolinum enhancement (LGE) skar noniskemik 62,5% vs 29,8%;p-value=<0,001) pada kelompok dengan riwayat COVID-19 dibanding kontrol. Tidak ditemukan faktor admisi yang berpengaruh terhadap peningkatan LGE noniskemik/T1 abnormal. Kesimpulan: Terdapat peningkatan prevalensi fibrosis miokardium pada pasien dengan penyakit KV dan riwayat COVID-19 1 tahun pascaperawatan dibanding kontrol dinilai melalui MRI kardiak. Tidak terdapat hubungan antara faktor admisi dengan fibrosis miokardium 1 tahun pascaperawatan COVID-19. ......Background: Presently, it has been acknowledged that COVID-19 infection may persist longer as Post-acute COVID-19 Syndrome. Cardiac Magnetic Resonance Imaging (cMRI) possesses a high diagnostic value to evaluate myocardial tissue characteristics. Data are still limited regarding longer implications of COVID-19 infection towards myocardial tissues and predictive admission factors in patients with Cardiovascular Diseases (CVD). Aim(s): To evaluate the prevalences of myocardial fibrosis using cMRI in patients with CVD and one year post-COVID-19 hospitalization and identifying admission factors in correlation with myocardial fibrosis.  Method(s): Prospective cohort to assess cMRI parameters in patients with CVD and history of COVID-19 one year post-hospitalization. The results were then compared with the age-, sex-, risk factors-matched control group without prior of COVID-19 infection. Lastly, multivariat analysis was done to identify relations between admission factors and myocardial fibrosis.  Result(s): A total of 32 subjects with CVD one year post-COVID-19 hospitalization and 49 controls were included in this study. Significant increases of cMRI parameters, namely abnormal T1 relaxation time (65.5% vs 36.7%; p-value=0.011) and non-ischemic late gadolinum enhancement (LGE) (62.5% vs 29.8%;p-value=<0.001) were observed in the population with prior COVID-19 infection compared to control. No admission factors were found to be related with the increases in nonischemic LGE/abnormal T1. Conclusion: There is a significant increase of myocardial fibrosis prevalence in patients with CVD one year post-COVID-19 hospitalization compared to control assessed through cMRI parameters. No relationships were found between admission factors and myocardial fibrosis. 
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aldo Ferly
Abstrak :
Latar Belakang : Gagal jantung adalah salah satu kondisi dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Penyebab paling sering dari masalah gagal jantung adalah iskemia yang disebabkan oleh stenosis pada pembuluh darah koroner. Studi viabilitas adalah metode non-invasif untuk mengidentifikasi sel miokard yang mengalami kondisi stunning maupun hibernating yang mungkin memperoleh manfaat dari revaskularisasi. Studi sebelumnya mencoba melihat perananan viabilitas dengan kesintasan tidak menemukan kaitan antara adanya viabilitas miokard dan juga kesintasan.

Tujuan : Studi ini mencoba membandingkan luaran kejadian kardiovaskular mayor (KKM), mortalitas, rehospitalisasi maupun perbaikan dari fraksi ejeksi pada pasien kardiomiopati iskemik yang akan menjalankan bedah pintas arteri koroner dengan atau tanpa studi viabilitas

Metode : Suatu studi kohort retrospektif dilakukan pada pasien Gagal Jantung dengan Fraksi Ejeksi Menurun yang diputuskan untuk dilakukan Bedah Pintas Arteri Koroner (BPAK) oleh Heart Team Meeting dari Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita. Pasien tersebut dikelompokan kedalam grup yang dilakukan studi viabilitas dan grup yang tidak dilakukan studi viabilitas. Dilakukan follow up pada pasien ini dan dilakukan pencatatan luaran seperti kematian, rehospitalisasi dan juga perbaikan dari fraksi ejeksi.

Hasil : Didapatkan adanya 216 pasien yang menjalankan BPAK dengan dilakukan pemeriksaan viabilitas dan 269 pasien yang menjalankan BPAK tanpa dilakukan pemeriksaan viabilitas. Tidak ada perbedaan yang signifikan secara statistik antara dilakukannya uji viabilitas dengan luaran KKM, mortalitas maupun rehospitalisasi paska dilakukan prospensity score adjustment. Namun, mereka yang dilakukan uji viabilitas lebih banyak yang mengalami perbaikan fraksi ejeksi dibandingkan dengan mereka yang tidak dilakukan uji viabilitas.

Kesimpulan : Tidak ada perbedaan dari KKM, kesintasan maupun rehospitalisasi pada pasien yang menjalankan BPAK dengan data viabilitas dibandingkan dengan mereka yang menjalankan BPAK tanpa data viabilitas. Namun, pasien yang menjalankan BPAK dengan data viabilitas lebih mungkin memiliki perbaikan dari fraksi ejeksi ......Backgrounds : Heart failure with reduced ejection fraction is one of the condition with significant morbidity and mortality. The most common etiology is ischemia caused by stenosis of coronary artery. Viability study is a non-invasive methods to identify which myocardial cells that may experienced stunning or hibernating conditions that may gain benefit from surgical revascularization using coronary artery bypass graft (CABG). Previous study failed to identify the benefit of viability study on major adverse cardiovascular events (MACE), mortality or rehospitalization.

Aim : This study aims to compare the outcome of major adverse cardiovascular events (MACE), mortality, rehospitalization and improvement of ejection fraction in patients with ischemic cardiomyopathy that had coronary artery bypass graft surgery with and without undergoing myocardial viability study.

Methods : A retrospective cohort study were done on patients with heart failure with reduced ejection fraction (HFrEF) that were decided to do coronary artery bypass graft by heart team meeting of National Cardiovascular Center Harapan Kita. The patients were grouped according to whether they undertook viability study or not. Follow up were done on these patients and outcome such as mortality, rehospitalization and improvement of ejection fraction were recorded.

Results : There are 216 patients that had CABG with viability study and 269 patients that had CABG without viability study. There are no statistically significant differences between those undergoing viability study and outcome of MACE, mortality or rehospitalization after prospensity score adjustment. However, those with viability study are more likely to have improvement of ejection fraction compared to those that do not have viability results.

Conclusion : There are no differences in either MACE, survival or rehospitalization in patients that did CABG procedure with viability data compared to those that do not have the data. However, those that have viability data are more likely to have improvement of ejection fraction.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Azlan Sain
Abstrak :
Latar belakang: Pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi memiliki angka readmisi yang lebih tinggi dibandingkan dengan fraksi ejeksi normal, dan angka readmisi paling tinggi pada 30-hari pertama pascakeluar admisi sebelumnya. Sekitar 30% pasien dengan gagal jantung juga mengalami Diabetes Melitus (DM) Tipe-2. Sejauh ini, belum ada prediktor kejadian readmisi dalam 30-hari pada pasien dengan populasi tersebut di RSJPDHK, khususnya prediktor dari sisi klinis dan metabolik. Tujuan: Mengetahui prediktor klinis dan metabolik terhadap kejadian readmisi dalam 30-hari pada pasien Gagal Jantung Dekompensasi Akut (GJDA) dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe-2. Metode: Studi dilakukan secara kohort retrospektif, data diambil dari rekam medis berdasarkan admisi pasien yang memenuhi kriteria inklusi antara Januari 2016-Januari 2021. Luaran klinis terbagi menjadi kelompok readmisi dan kelompok non-readmisi. Luaran klinis yang dinilai adalah kejadian readmisi akibat perburukan kondisi gagal jantung pada 30-hari pascaadmisi terakhir di RSJPDHK. Dilakukan analisis multivariat untuk menentukan prediktor yang bermakna menentukan readmisi dalam 30-hari Hasil: Dari total 747 subjek penelitian, 179 subjek termasuk ke dalam kelompok readmisi, dan 568 subjek termasuk ke dalam kelompok non-readmisi (angka readmisi 24%). Analisis regresi logistik multivariat menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian readmisi dalam 30-hari adalah: irama fibrilasi atrium (OR 2.616; 95% IK: 1.604-4.267; p 0.000), serta denyut jantung saat pulang rawat (OR 1.022; 95% IK: 1.005-1.039; p 0.010). Kadar gula darah post-prandial < 140 mg/dL menjadi prediktor protektif untuk kejadian readmisi dalam 30-hari (OR 0.528; 95% IK: 0.348-0.802; p 0.003). Kesimpulan: Dua faktor klinis yaitu irama fibrilasi atrium dan denyut jantung saat akhir masa rawat menjadi prediktor readmisi yang bermakna terhadap kejadian readmisi dalam 30-hari akibat perburukan kondisi gagal jantung, sedangkan kadar gula darah post-prandial < 140 mg/dL menjadi faktor protektif untuk kejadian readmisi 30-hari pada populasi pasien gagal jantung dengan penurunan fraksi ejeksi dan DM tipe-2. ......Background: Patients Heart Failure with reduced Ejection Fraction (HFrEF) had higher readmission rates than normal ejection fractions, and readmission rates were highest in the first 30-days post-admission. About 30% of patients with heart failure also have Type-2 Diabetes Mellitus (DM). So far, there is no predictors for the incidence of 30-days readmission in patients with this kind of population in National Cardiovascular Centre Harapan Kita (NCCHK). Objective: To determine the clinical and metabolic predictors of 30-days readmission in patients with Acute Decompensated Heart Failure (ADHF) with reduced ejection fraction and type-2 DM. Methods: The study was conducted in a retrospective-cohort, data were taken from medical records based on admissions of patients who met the inclusion criteria between January 2016-January 2021. The clinical outcomes were divided into readmission and non-readmission groups. The clinical outcome assessed was the incidence of readmission due to worsening of the condition of heart failure at 30-days after the last admission at NCCHK. Multivariate analysis was performed to determine significant predictors for 30-day readmission. Result: Of the total 747 research subjects, 179 subjects were included in the readmission group, and 568 subjects included in the non-readmission group (readmission rate 24%). Multivariate logistic regression analysis showed that the factors associated at 30-days readmission were: atrial fibrillation rhythm (OR 2.616; 95% CI: 1.604-4,267; p 0.000), heart rate at discharge (OR 1.022; 95% CI: 1.005-1.039; p 0.010). Post-prandial blood glucose level < 140 mg/dL was a protective predictor for 30-day readmission (OR 0.528; 95% CI: 0.348-0.802; p 0.003). Conclusions: Two clinical factors, namely atrial fibrillation and heart rate at the end of hospitalization, were significant predictors of readmission in 30 days due to worsening of heart failure, while postprandial blood sugar levels < 140 mg/dL were protective factors for 30-days readmission in population of heart failure with reduced ejection fraction and type-2 DM
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Krishna Murthi
Abstrak :
Defisiensi kobalamin dapat menyebabkan berkurangnya donor metil yang berpotensi menggangu metabolisme jantung. Defisiensi kobalamin dapat terjadi pada pasien dengan malnutrisi, ulkus peptikum, diabetes melitus, dan alkoholisme. Berbagai studi pada defisiensi vitamin B12 masih berfokus pada aterogenesis dan stress oksidatif. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi defisiensi vitamin B12 dengan penurunan fungsi jantung melalui gambaran EKG, ekspresi protein PGC-1α dan protein BNP. Empat belas tikus Sprague-Dawley jantan usia 24-28 minggu dibagi dalam 2 kelompok (kontrol dan perlakuan). Kelompok kontrol diberikan pakan standar dengan nutrisi lengkap, sementara kelompok perlakuan diberikan pakan AIN-93M termodifikasi defisien vitamin B12. Kedua kelompok diberikan pakan dalam periode yang sama yakni selama 16 minggu. Pada akhir minggu ke-16 dilakukan pemeriksaan EKG, pemeriksaan ELISA vitamin B12 plasma, Hcy plasma, ekspresi PGC-1α dan kadar BNP-45 plasma. Hasil penelitian pada kelompok perlakuan menunjukkan terdapat penurunan kadar vitamin B12 plasma, peningkatan kadar Hcy plasma disertai dengan penurunan ekspresi protein PGC-1α dan peningkatan kadar BNP-45 plasma. Pada kelompok perlakuan didapatkan hasil tebal miokardium lebih besar dari kelompok kontrol. Pada kelompok perlakuan juga didapatkan aritmia pada rekam EKG 2 dari 7 tikus. Terdapat korelasi negatif dengan kekuatan sedang antara penurunan ekspresi PGC-1α dengan peningkatan BNP-45 plasma. Defisiensi kobalamin terbukti menyebabkan gangguan metabolisme energi kardiomiosit yang ditandai dengan penurunan ekspresi protein PGC-1α dan berujung pada aritmia serta hipertrofi/pembesaran ventrikel kiri yang ditandai dengan peningkatan tebal miokardium dan peningkatan kadar BNP-45 plasma. ......Cobalamin deficiency may cause lack of dietary methyl donors which alter heart metabolism. Cobalamin deficiency are common in patients with malnutrition, gastrics ulcers, diabetes mellitus, and alcoholism. Most studies on cobalamin deficiencies are focused on its relationship with oxidative stress and atherogenesis. Therefore, this study aims to find the corelation between cobalamin deficiency and heart function deterioration through analysis of ECG pattern, expression of PGC-1α protein, and plasma BNP-45 level. Fourteen male Sprague-Dawley rats (age 24-28 weeks) were divided into 2 groups: control group and treatment group. The control group was given standard diet while the treatment group received a modified diet type AIN-93M. Both groups are fed with the same 16-weeks period. ECG and ELISA was performed to evaluate plasma vitamin B12, Hcy levels, expression of PGC-1α protein and plasma BNP-45 levels in each group at the end of the treatment period. At the end of study period, higher Hcy level was observed in the treatment group with lower plasma cobalamin followed by two rats has developed arrythmias and decreased expression of PGC-1α protein and also increased in plasma BNP-45 levels. There is a relatively strong correlation between deterioration of PGC-1α protein with the increased in plasma BNP-45 levels. Cobalamin deficiency has proven to alter cardiomyocites energy metabolism which resulted in arrythmia and tendency to developed left ventricular hypertrophy.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Moses Hanky JR. Tandayu
Abstrak :
Latar Belakang : Deteksi infark pada populasi sindroma koroner akut non elevasi segmen ST (SKA-NEST) pada praktik klinis sulit dan menyebabkan kegagalan stratifikasi risiko yang tepat. Pemeriksaan enzim jantung tidak tersedia secara luas, memiliki waktu tunggu yang lama, dan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tujuan : Mengetahui akurasi dasar dan akurasi paska training kecerdasan buatan Learning Intelligent for Effective Sonography (LIFES) dalam mendeteksi infark miokard pada populasi SKA-NEST berdasarkan gambaran ekokardiografi Metode : Penelitian ini merupakan studi diagnostik yang mengevaluasi kemampuan kecerdasan buatan berbasis deep learning LIFES dalam mendeteksi infark miokard pada pasien SKA-NEST di RSJPDHK pada tahun 2019-2023 berdasarkan gambaran ekokardiografi. Dilakukan transfer learning menggunakan dataset penelitian dan cross validation untuk mengetahui tingkat akurasi model baru paska transfer learning. Hasil : Sebanyak 721 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari tahun 2019-2023. 310 diantaranya adalah pasien infark miokard non elevasi segmen ST (IMA-NEST). Sebanyak 67,8 % subjek adalah laki-laki dengan median usia 61 tahun. Median waktu dilakukan ekokardiografi dari admisi adalah tiga hari. Terdapat perbedaan signifikan pada beberapa parameter ekokardiografi pada kelompok infark vs non infark berupa median FEVKi 53% vs 63 % (p < 0,001), median LVEDD 48,8 mm vs 44,6 mm (p < 0,001), median rerata E/E’ 12,0 vs 9,8 (p < 0,001) dan median LAVI 30 ml/m2 vs 26 ml/m2 (p < 0,001). Performa diagnostik LIFES terhadap infark didapatkan paling baik pada tampilan PLAX dengan sensitivitas 88,7 % dan spesifisitas 20,4 % AUC 0,55 pada LIFES fase 2 model 1. Paska transfer learning, model LIFES-MI menghasilkan akurasi terbaik pada tampilan A4C dengan sensitivitas 41,3 % dan spesifisitas 83,7% AUC 0,61. Kesimpulan Model kecerdasan buatan LIFES fase 2 model 1 memiliki sensitivitas yang baik untuk deteksi infark miokard, sedangkan model LIFES-MI memiliki spesifisitas yang baik dalam mendeteksi infark miokard berdasarkan gambaran ekokardiografi pada populasi SKA-NEST. ......Background: Detecting myocardial infarction in the non-ST segment elevation acute coronary syndrome (NSTEACS) population in clinical practice is challenging and leads to failure in appropriate risk stratification. Cardiac enzyme assays are not widely available, have long waiting times, and incur significant costs. Objective: To determine the baseline accuracy and post-training accuracy of the Learning Intelligent for Effective Sonography (LIFES) artificial intelligence in detecting myocardial infarction in the NSTEACS population based on echocardiographic findings. Method: This study is a diagnostic study that evaluates the ability of deep learning-based artificial intelligence LIFES in detecting myocardial infarction in NSTEACS patients at RSJPDHK from 2019 to 2023 based on echocardiographic videos.. Transfer learning was performed using the research dataset and cross-validation to determine the accuracy level of the new model post-transfer learning. Results: A total of 721 subjects met the inclusion and exclusion criteria from 2019 to 2023. Among them, 310 were non-ST segment elevation myocardial infarction (NSTEMI) patients. 67.8% of the subjects were male with a median age of 61 years. The median time from admission to echocardiography was three days. There were significant differences in several echocardiographic parameters between the infarct and non-infarct groups, including median EF% 53% vs 63% (p < 0.001), median LVEDD 48.8 mm vs 44.6 mm (p < 0.001), median mean E/E' 12.0 vs 9.8 (p < 0.001), and median LAVI 30 ml/m2 vs 26 ml/m2 (p < 0.001). LIFES diagnostic performance for infarction was best achieved in the PLAX view with sensitivity of 88.7% and specificity of 20.4%, AUC 0.55 in LIFES phase 2 model 1. Post-transfer learning, the LIFES-MI model produced the best accuracy in the A4C view with sensitivity of 41.3% and specificity of 83.7%, AUC 0.61. Conclusion: The Learning Intelligent for Effective Sonography (LIFES) phase 2 model 1 has good sensitivity for detecting myocardial infarction, while the LIFES-MI model has good specificity in detecting myocardial infarction based on echocardiographic findings in the NSTEACS population.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Febrizal
Abstrak :
Masalah utama pada saluran Radio Over Fiber (RoF) adalah terjadinya penurunan daya pada sinyal radio frequency (RF) yang di-recovery di receiver karena adanya dispersi kromatik fiber. Fenomena ini dikenal dengan dispersion power fading (DPF). Salah satu metode yang digunakan untuk mengatasi DPF adalah dengan menggunakan skema modulasi Optical Single Sideband (OSSB). Skema modulasi OSSB dapat dibangkitkan dengan mem-bias Dual-Drive Mach-Zehnder modulator (DD-MZM) pada quadrature bias point (QBP) dan membedakan fasa input RF (q) kedua lengan DD-MZM sebesar 90°. Kelemahan dari metode ini adalah tidak dapat mengatasi DPF secara efektif pada pada indeks modulasi (m) > 0.1. Untuk mengatasi DPF secara efektif pada m > 0.1, nilai q dalam penelitian ini dibedakan secara irregular. Ada dua rangkaian DD-MZM yang digunakan pada penelitian ini yaitu DD-MZM tanpa carrier arm (CA) dan DD-MZM dengan CA. Tingkat DPF dari saluran RoF dalam penelitian ini diukur menggunakan deviaton factor (DF). Semakin kecil nilai DF berarti tingkat DPF dari saluran RoF juga kecil. DF dari saluran RoF dengan modulasi OSSB pada m = 1 sebesar 0.9. DF dari saluran RoF yang menggunakan θ irregular pada DD-MZM tanpa CA sebesar 0.1 dan yang menggunakan θ irregular pada DD-MZM dengan CA sebesar 0.03. Ini berarti θ irregular dapat mengatasi DPF lebih baik dari OSSB. ......The main problem with Radio Over Fiber (RoF) channels is that there is a reduction in the power of the recovered radio frequency (RF) signal at the receiver, due to the presence of fiber chromatic dispersion. This phenomenon is known as dispersion power fading (DPF). One of the methods used to overcome DPF is by using the Optical Single Sideband (OSSB) modulation scheme. The OSSB modulation scheme can be generated by biasing the Dual-Drive Mach-Zehnder modulator (DD-MZM) at the quadrature bias point (QBP) and differentiating the RF input phase (q) of the two DD-MZM arms by 90°. The weakness of this method is that it cannot overcome DPF effectively at the modulation index (m) > 0.1. To overcome DPF effectively at m > 0.1, the q value in this study was differentiated irregularly. There are two series of DD-MZM used in this research, namely DD-MZM without carrier arm (CA) and DD-MZM with CA. The DPF level of the RoF channel in this study was measured using the deviaton factor (DF). The smaller the value of DF means that the DPF level of the RoF channel is also small. DF from RoF channel with OSSB modulation at m = 1 is 0.9. DF of RoF channel using θ irregular on DD-MZM without CA is 0.1 and those using θ irregular on DD-MZM with CA is 0.03. This means that irregularities can handle DPF better than OSSB.
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library