Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Maha Fitra Nd
"Latar belakang: Diabetes mellitus tipe 2 (DMT2) dan gagal jantung memiliki keterkaitan yang kuat dan luaran klinis yang satu mempengaruhi lainnya. Studi terakhir berhasil membuktikan manfaat empagliflozin, obat lini kedua pada DMT2, terhadap kardiovaskular. Mekanisme seluler yang diketahui berperan pada hewan adalah efek antifibrosis miokard, namunbelum ada studi pada manusia.Tujuan: Mengetahui efek pemberian empagliflozin terhadap fibrosis miokard pada pasien DMT2 dengan gagal jantung. Metode: Uji klinis acak tidak tersamar yang dilakukan di RS Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita dari Februari 2019 sampai Mei 2019. Pasien DMT2 dan gagal jantung diberikan empagliflozin 10 mg selama tiga bulan. Perbedaan kadar suppression of tumorigenicity-2 (ST2) serum pada kelompok kontrol dan intervensi di awal dan akhir penelitian akan dianalisis. Hasil: Terdapat 58 pasien yang menjadi subjek penelitian dan 40 (69%) pasien menyelesaikan penelitian. Terdapat perbedaan kadar ST2 yang bermakna setelah pemberian empagliflozin selama tiga bulan (median ST2 kelompok empagliflozin sebelum dan sesudah empagliflozin masing-masing 23,5(12,5 - 130,7)ng/mL dan 18,9(12,5 - 29,4) ng/mL, p=0,02). Penurunan ST2 dan persentase penurunan ST2 kelompok empagliflozin kedua kelompok tidak berbeda secara statistik (masing-masing p=0,16 dan p=0,21). Kesimpulan: Pemberian empagliflozin selama tiga bulan dapat menurunkan fibrosis miokard yang tidak terlihat pada kelompok kontrol. Tidak terdapat perbedaan besaran penurunan fibrosis pada pemberian empagliflozin dibandingkan terapi standar.

Background: Type 2 diabetes mellitus (T2DM) and heart failure have a strong relationship; one affects each other. Recent studies have proven some cardiovascular benefits of empagliflozin. Myocardial antifibrosis is proposed to be the mechanism in many animal studies, but in humans the data is lack. Objectives: To investigate the effect of empagliflozin on myocardial fibrosis in T2DM patients and heart failure. Methods: This was an open-labeled clinical trial in National Cardiovascular Center Harapan Kita, from February 2019 to May 2019. Patients with T2DM and heart failure received empagliflozin 10 mg for three months. Differences of serum suppression of tumorigenicity-2 (ST2) levels in both control and intervention groups at the beginning and end of the study were analyzed. Results: There were 58 patients enrolled in the study and total of 40 (69%) patients completed it. There were significant differences in ST2 levels after administration of empagliflozin (median for ST2 empagliflozin group before and after empagliflozin was 23.5 (12.5 - 130.7) ng / mL and 18.9 (12, 5 - 29.4) ng / mL respectively, p = 0.02). The ST2 value difference and percent different were not different (p=0,16 and p=0,21, respectively). Conclusion: Three months Empagliflozin might reduce myocard fibrosis which was not seen in control group. The total fibrosis reduction was not significantly different compared to standard therapy"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59208
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hary Sakti Muliawan
"Latar Belakang : Disfungsi ventrikel kanan merupakan prediktor mortalitas dan morbiditas terburuk  pada pasien dengan hipertensi pulmonal (HP) prekapiler yang independen terhadap resistensi vaskular paru (RVP). Berbagai studi telah membuktikan bahwa pemberian penghambat oksidasi asam lemak seperti trimetazidine dapat memperbaiki fungsi ventrikel kanan pada hewan coba HP prekapiler. Oleh karena itu, kami berhipotesa bahwa terapi trimetazidine dapat memperbaiki fungsi ventrikel kanan pada pasien HP prekapiler.
Tujuan Penelitian : Mengetahui efek trimetazidine terhadap fungsi ventrikel kanan pasien HP prekapiler.
Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan studi eksperimental acak tersamar ganda. Sampel diambil secara acak dari populasi terjangkau pasien HP prekapiler yang berobat di poliklinik Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSJPDHK). Pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi akan mendapatkan tablet trimetazidine atau plasebo selama 3 bulan diatas terapi standar HP. Pasca terapi, kedua grup akan dilakukan evaluasi terhadap luaran berupa perubahan fungsi ventrikel kanan yang diukur melalui MRI kardiak pada bulan ke-3.
Hasil : Terdapat 26 subjek penelitian HP prekapiler diikutsertakan dalam penelitian ini dan dirandomisasi ke dalam grup plasebo atau trimetazidine. Sebanyak 10 pasien grup trimetazidine dan 10 pasien grup plasebo berhasil menjalani proses penelitian sampai selesai. Didapatkan perbaikan fungsi fraksi ejeksi ventrikel kanan (FEVKA) secara bermakna pada grup trimetazidine 3.87+1.5% dibandingkan dengan grup plasebo -2.76+1.6% (p0.008, IK 1.96-10.96). Terdapat pula perbaikan kapasitas fungsional secara bermakna pada grup trimetazidine 0.24+0.09 dibandingkan dengan plasebo -0.44+0.16 (p 0.002, IK 0.28 s/d 1.08).
Kesimpulan : Terdapat perbaikan fungsi FEVKA dan kapasitas fungsional secara bermakna pasca terapi trimetazidine selama 3 bulan dibandingkan dengan plasebo diatas terapi standar HP yang sudah rutin dikonsumsi.

RATIONALE: Right ventricular dysfunction is the worst mortality predictor in pulmonary arterial hypertension (PAH). Recent animal PAH studies have demonstrated the benefit of partial fatty acid inhibitor such as trimetazidine in improving right ventricular function. Therefore, we hypothesize that trimetazidine can improve right ventricular ejection fraction (RVEF) in PAH patients.
OBJECTIVE : Investigating the effect of  trimetazidine on right ventricle function in PAH patients.
METHODS: We conducted 3 months randomized double blind placebo controlled trial on PAH patients at outpatient clinic in National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital Indonesia. Those who fulfilled the inclusion criteria will be randomized into trimetazidine or placebo group for 3 months on top of their standard PAH regime. The primary outcome of this study is the differences of RVEF.
MEASUREMENT AND MAIN RESULTS: We randomly enrolled 26 PAH patients equally to receive placebo or trimetazidine for 3 months on top of their standard PAH regime. Total of 10 patients in each group was able to finish the study. There was significant improvement of RVEF in trimetazidine group 3.78+1.5% compared to placebo 2.76+1.6% (p 0.008, CI 1.96 to 10.96). Furthermore, we also observed improvement of functional capacity in trimetazidine group 0.24+0.09 compared to placebo -0.44+0.16 (p 0.002, CI 0.28 s/d 1.08).
CONCLUSIONS: Trimetazidine therapy for 3 months on top of standard PAH regime significantly improve RVEF and functional capacity in PAH patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arindya Rezeki
"Latar belakang: Gagal jantung dekompensasi akut (GJDA) termasuk penyakit kardiovaskular dengan mortalitas serta tingkat readmisi yang tinggi. Resistensi insulin saat ini merupakan salah satu faktor yang dapat menjadi prediktor terhadap prognosis pasien GJDA. Indeks trigliserida glukosa (ITG) telah dilaporkan sebagai salah satu prediktor risiko kardiovaskular dan petanda resistensi insulin yang sederhana. Namun, hubungan ITG terhadap kejadian readmisi 30-hari dan kematian dalam 6 bulan pascarawat pasien GJDA masih belum diteliti.
Tujuan: Mengetahui hubungan ITG dengan kejadian readmisi 30-hari dan kematian dalam 6 bulan pascarawat pasien GJDA yang dirawat pertama kali.
Metode: Studi dilakukan dengan desain kohort retrospektif. Data subjek diambil dari rekam medis berdasarkan admisi pasien yang memenuhi kriteria inklusi dari Januari 2018 – November 2021. Luaran klinis yang dinilai adalah readmisi 30 hari dan kematian dalam 6 bulan pascarawat. Data tersebut diolah dengan analisis multivariat dan laju kesintasan pada subjek.
Hasil: Total subjek dalam penelitian ini adalah 467 orang, dengan 158 subjek mengalami luaran klinis readmisi 30-hari dan kematian dalam 6 bulan pascarawat. Proporsi readmisi sebesar 29% (135 subjek) dan kematian dalam 6 bulan pascarawat sebesar 5% (23 subjek). Analisis multivariat menunjukkan bahwa faktor yang berhubungan dengan luaran klinis readmisi 30- hari adalah hipertensi (p 0.05, HR 1.493, 95% IK 1.019 – 2.187), usia (p 0.013, HR 0.98, 95% IK 0.964 – 0.996), fraksi ejeksi <50% (p 0.016, HR 1.888, 95% IK 1.124 – 3.172), tekanan darah sistolik saat admisi (p 0.012, HR 1.010, 95% IK 1.001–1.017), denyut nadi sebelum pulang (p 0.017, HR 0.989, 95% IK 0.979 – 0.998), gula darah puasa (p 0.017, OR 0.992, 95% IK 0.986 – 0.999), dan nilai ITG ( p <0.001, OR 28.9, 95% IK 10.112 – 83.068). Sedangkan faktor independen terhadap luaran kematian dalam 6 bulan pascarawat adalah tanpa penggunaan diuretik (p 0.02, HR 6.89, 95% IK 2.022 – 23) dan gula darah puasa (p 0.017, OR 0.992, 95% IK 0.986 – 0.999).
Kesimpulan: Nilai ITG dapat menjadi prediktor readmisi 30-hari, namun tidak berhubungan dengan luaran kematian dalam 6 bulan pasarawat pada pasien GJDA

Background: Acute decompensated heart failure (ADHF) is a cardiovascular disease with high mortality and readmission rates. Currently, insulin resistance has been reported to predict prognosis of ADHF patients. Triglyceride glucose index (TyG) has now been proposed as an independent predictor of cardiovascular risk and a simple marker of insulin resistance. However, the association between TyG and 30-days readmission and 6 months mortality after hospitalization remains unclear.
Objective: To investigate TyG as a predictor of 30-day readmission and 6 months mortality after hospitalization in ADHF patients.
Methods: The study was conducted in a retrospective cohort. Data were taken from medical records based on the admission of patients who met the inclusion criteria from January 2018 – November 2021. The clinical outcomes were 30-days readmission and 6 months mortality. The data were analyzed by multivariate analysis and the survival rate of the subjects.
Results: This study included 467 subjects, with 158 subjects have clinical outcomes. The readmission rate is 29% (135 subjects), and 6 month mortality after hospitalization is 5%. Multivariate analysis showed that the factors associated with 30-days readmission were hypertension (p 0.05, HR 1.493, CI 95% 1.019 – 2.187), age (p 0.013, HR 0.98, CI 95% 0.964 – 0.996), ejection fraction <50% (p 0.016, HR 1.888, CI 95% 1.124 – 3.172), systolic blood pressure on admission (p 0.012, HR 1.010, 95% CI 1.001 – 1.017), heart rate predischarge (p 0.017, HR 0.989, CI 95% 0.979 – 0.998), gfsting blood glucose (p 0.017, OR 0.992, CI 95% 0.986 – 0.999), dan TyG (p <0.001, OR 28.9, 95% IK 10.112 – 83.068). Independent factors for 6 months mortality were no diuretic medication (p 0.02, HR 6.89, 95% IK 2.022 – 23) and fasting blood glucose (p 0.017, OR 0.992, 95% IK 0.986 – 0.999).
Conclusion: Triglyceride glucose index can predict 30-days readmission, but does not associated with 6-months mortality in ADHF patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Gibran Fauzi Harmani
"ABSTRAK
Latar Belakang: Terapi sel punca sumsum tulang merupakan salah satu pilihan sebagai terapi regeneratif. Terdapat luaran klinis bervariasi yang berhubungan dengan mekanisme implantasi dan kualitas sel punca. Penting untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi kemampuan proliferasi, diferensiasi, dan kesintasan sel punca untuk meningkatkan luaran klinis pasca terapi sel punca. Mikro-RNA merupakan RNA non kodon rantai pendek yang menghasilkan regulasi pasca transkripsi yang negatif. Telah diketahui adanya pengaruh mikro RNA 34a miR-34a terhadap kesintasan sel punca sumsum tulang. Ekspresi berlebih miR-34a meningkatkan apoptosis sel punca sumsum tulang. Diabetes mellitus DM meningkatkan ekspresi miR-34a di sel endotel aorta dan serum. Masih belum terdapat studi yang menilai hubungan antara DM dengan ekspresi miR-34a dalam sel punca sumsum tulang.Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai hubungan antara DM dengan ekspresi miR-34a dalam sel punca sumsum tulang pada dan mengetahui korelasi antara HbA1C dengan ekspresi miR-34a dalam sel punca sumsum tulang pada pasien PJK yang menjalani terapi sel punca.Metode: Suatu studi potong lintang dengan subjek penelitan berupa pasien PJK yang menjalani terapi sel punca di RSJPDHK. Sampel penelitian yang digunakan adalah sel punca sumsum tulang dari aspirasi sumsum tulang subjek penelitian, sedangkan data sekunder adalah rekam medis. Dilakukan analisis miR-34a dengan metode assay Taqman fast mastermix 7500 dengan menggunakan real time PCRHasil: Terdapat 24 subjek PJK yang telah menjalani terapi sel punca dan diikutsertakan dalam penelitian ini. Subjek dibagi dalam 2 kelompok, yakni DM 13 orang dan non-DM 11 orang . Data primer berupa ekspresi miR-34a dalam sel punca sumsung tulang, sedangkan data sekunder diambil dari rekam medis. Pemeriksaan kadar HbA1C hanya dilakukan pada kelompok pasien diabetes dengan rerata kadar HbA1C adalah 7,3 1,5 . Terdapat kecenderungan peningkatan ekspresi miR-34a pada pasien dengan DM 0,3 0,24 vs 0,05 0,08, p = 0.9 . Terdapat korelasi positif antara HbA1C pada populasi DM dengan ekspresi miR-34a r=0,601 dan nilai p = 0,039 .Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara diabetes mellitus dengan ekspresi miR-34a dalam sel punca sumsum tulang pada pasien PJK. Terdapat korelasi antara kadar HbA1c pada pasien PJK dengan diabetes mellitus terhadap ekspresi miR-34a dalam sel punca sumsum tulang ABSTRACT
Background Bone marrow stem cell therapy is one of the developing options in regenerative therapy for patients with CHD. There are great variations in clinical outcomes after stem cell therapy which may be caused by stem cell quality. Therefore, it is important to recognize factors that will affect the stem cell quality, especially survivability, to improve clinical outcomes after stem cell therapy. Micro RNA are small non coding RNA that will exert negative post trancriptional regulation. Relationship between micro RNA34a miR 34a and bone marrow stem cell survival has been studied. Increased expression of miR 34a will induce more apoptosis in bone marrow stem cell. Diabetes mellitus DM has been known to increase miR 34a expression in aortic endothelial lining and serum. But to this day, no study has evaluated the association between diabetes mellitus and miR 34a expression in bone marrow stem cell.Objective This study aims to evaluate the relationship between DM and miR 34a expression in bone marrow stem cell and to evaluate correlation between HbA1C and miR 34a expression in bone marrow stem cell in CHD patients who underwent bone marrow stem cell therapy.Methods This is a cross sectional study which included all CHD patients undergoing stem cell therapy in National Cardiovascular Center Harapan Kita NCCHK . Primary data are miR 34 expression in bone marrow stem cell taken from subject rsquo s bone marrow aspiration, while secondary data were taken from medical records. MiR 34a analysis was carried out using the Taqman fast mastermix 7500 assay with real time PCR.Results There were 24 CHD patients undergoing stem cell therapy. Two group were compared, DM with 13 patients and non DM with 11 patients. The DM group consisted of older subjects compared to the non DM group. Examination of HbA1c was done only in the DM group with mean value was 7.3 1.5. There seems to be an increase in miR 34a expression in patients with DM 0,3 0,24 vs 0,05 0,08, p 0.9 . There is a positive correlation between HbA1c in DM population and miR 34a expression r 0.601 and p 0.039 .Conclusion There is no significant association between diabetes mellitus and miR 34a expression in bone marrow stem cell in CHD patients. There is a correlation between HbA1c and miR 34a expression in bone marrow stem cell in CHD patients with diabetes mellitus"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nitia Almaida Asbarinsyah
"Latar belakang: Gangguan pada regulasi transportasi natrium di ginjal merupakan salah satu patofisiologi hipertensi yang penting. Transportasi natrium diregulasi oleh jalur natriuresis dan antinatriuresis, salah satunya adalah dopamin, yang bekerja melalui G protein-coupled receptors (GPCRs). GPCR pada ginjal diatur oleh gen GRK4. Adanya polimorfisme GRK4 A486V akan meningkatkan aktivitas gen tersebut dan menurunkan fungsi dari reseptor dopamin sehingga terjadi retensi natrium. Dari berbagai studi dengan melibatkan hewan dan manusia, didapatkan adanya hubungan yang signifikan antara polimorfisme GRK4 A486V dengan hipertensi dan sifat sensitif garam. Stratifikasi risiko dan potensi preventif serta terapeutik menjadi alasan dilakukannya sejumlah studi pada gen GRK4 A486V ini. Hingga saat ini, belum ada penelitian yang memperlihatkan frekuensi dan hubungan antara polimorfisme pada gen GRK4 A486V dengan hipertensi pada populasi di Indonesia.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menentukan hubungan antara polimorfisme A486V pada gen G Protein-Coupled Receptor Kinase 4 (GRK4) dengan hipertensi pada masyarakat rural di desa Gunung Sari, Bogor-Indonesia.
Metode: 412 subyek yang terdiri dari 211 subyek dengan hipertensi dan 201 subyek normotensif sebagai kontrol, menjalani pemeriksaan polimorfisme GRK4 A486V dengan menggunakan metode Taqman.
Hasil: Setelah disesuaikan dengan usia, indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan status diabetes mellitus, didapatkan hubungan yang bermakna antara polimorfisme GRK4 A486V dengan kejadian hipertensi (OR 1.7; 95 IK 1,1-2,7)
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara polimorfisme GRK4 A486V dengan kejadian hipertensi pada populasi desa Gunung Sari, Kabupaten Bogor, Indonesia

Background: Many studies have focused on the abnormal renal handling of natrium chloride in the pathogenesis of essential hypertension. Natrium transport is regulated by natriuretic and antinatriuretic pathways, one of them is dopamine, which exert their effects via G protein-coupled receptors (GPCRs). GPCRs in renal mainly regulated by GRK4 gene. GRK4 A486V polymorphism gene will increase it activity and down regulating dopamine receptor, and attenuate natrium retention. From many studies, GRK4 A486V polymorphism is associated with hypertension and salt sensitivity depending on ethnic and geographic region. Salt sensitivity is a trait in which blood pressure "changes parallel to changes in salt intake". It is counted as a risk factor for cardiovascular mortality and morbidity, independent of and as powerful as blood pressure. Risk stratification and therapeutic potential regarding salt sensitivity, have become the reasons of recent studies on this gene. No published study of GRK4 A486V polymorphism on hypertension is available in Indonesia.
Objective: This study sought to determine the association of GRK4 A486V gene polymorphism and hypertension in rural population of Gunung Sari Village, Bogor-Indonesia.
Methods: 412 subjects containing of 211 hypertensive subjects and 201 normotensive subjects as a control group, underwent GRK4 A486V polymorphism examination using Taqman method.
Results: After adjustment of age, body mass index, waist circumference, and diabetes mellitus, there was an association between GRK4 A486V polymorphism with hypertension (OR 1,7; 95 CI 1,1-2,7)
Conclusion: There is an association between GRK4 A486V gene polymorphism and hypertension in rural population of Gunung Sari Village, Bogor-Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Theresia Sri Rezeki
"Latar belakang: Rehospitalisasi 30 hari pada gagal jantung menyebabkan perburukan prognosis dan paling sering terjadi karena kongesti hemodinamik yang ditandai oleh tekanan pengisian ventrikel kiri (left ventricular end diastolic pressure/LVEDP) persisten tinggi. Oleh karena itu, dekongesti komplit harus dipastikan sebelum pasien pulang dari perawatan. Salah satu modalitas yang potensial adalah skor SAFE melalui evaluasi 3 komponen kongesti hemodinamik, yaitu: pompa (ejection fraction/EF), pipa (internal jugular vein collapsibility index/IJVCI dan inferior vena cava/IVC) dan jaringan interstisial (B-lines). Pada studi ini, rerata E/e’ ditambahkan pada skor SAFE dengan pertimbangan nilai prognostik rerata E/e’ dalam memprediksi kejadian rehospitalisasi.
Tujuan: Membandingkan skor SAFE dan skor SAFE+rerata E/e’ dalam memprediksi rehospitalisasi 30 hari terkait gagal jantung akut.
Metode: Dilakukan studi kohort prospektif dengan melibatkan 82 orang pasien gagal jantung akut yang dirawat di RSJPDHK. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk membandingkan kemampuan prediksi skor SAFE dan skor SAFE+rerata E/e’ terhadap rehospitalisasi 30 hari terkait gagal jantung akut.
Hasil: Insidensi rehospitalisasi 30 hari terkait gagal jantung akut mencapai 19,5%. Kurva Kaplan-Meier menunjukkan rehospitalisasi lebih rendah pada kondisi euvolemia daripada hipervolemia (p 0,003). Skor SAFE+rerata E/e’ memiliki kemampuan prediksi rehospitalisasi 30 hari yang lebih baik daripada skor SAFE (AUC 0,77 [95% CI: 0,64 – 0,89] vs AUC 0,74 [95% CI: 0,62 – 0,85]).
Kesimpulan: Skor SAFE+rerata E/e’ memiliki kemampuan prediksi rehospitalisasi 30 hari terkait gagal jantung akut yang lebih baik daripada skor SAFE.

Background: Short-term-rehospitalization worsens prognosis and frequently occurs due to persistently high LVEDP (hemodynamic congestion) among patients with heart failure (HF). Therefore, it is necessary to ascertain complete decongestion prior to hospital discharge. SAFE score is a potential scoring system to do so because it measures 3 main components of hemodynamic congestion: pump (EF), pipe (IJVCI and IVC) and interstitial tissue (B-lines). In this study, average E/e’ is added to SAFE score considering its clinically significant prognostic value in predicting risk of rehospitalization among patients with HF.
Aim: To compare SAFE score and SAFE score+average E/e’ in predicting 30-day-acute HF (AHF)- related-rehospitalization.
Methods: A prospective cohort study was conducted by involving 82 patients admitted with AHF in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK). Bivariate and multivariate analysis were done to find out which of the 2 models: SAFE score and SAFE score+average E/e’ could better predict risk of 30-day-AHF-related-rehospitalization.
Results: The incidence of 30-day-AHF-related-rehospitalization in this study was 19,5%. By using Kaplan-Meier curve, we identified significantly lower 30-day-AHF-related-rehospitalization in patients discharged with euvolemia than those with hypervolemia (p 0,003). SAFE score+average E/e’ had better predictive properties than SAFE score regarding 30-day-AHF-related-rehospitalization (AUC 0,77 [95% CI: 0,64 – 0,89] vs AUC 0,74 [95% CI: 0,62 – 0,85]).
Conclusion: SAFE score+average E/e’ had better predictive properties than SAFE score regarding 30- day-AHF-related-rehospitalization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Theresia Sri Rezeki
"Latar belakang: Rehospitalisasi 30 hari pada gagal jantung menyebabkan perburukan prognosis dan paling sering terjadi karena kongesti hemodinamik yang ditandai oleh tekanan pengisian ventrikel kiri (left ventricular end diastolic pressure/LVEDP) persisten tinggi. Oleh karena itu, dekongesti komplit harus dipastikan sebelum pasien pulang dari perawatan. Salah satu modalitas yang potensial adalah skor SAFE melalui evaluasi 3 komponen kongesti hemodinamik, yaitu: pompa (ejection fraction/EF), pipa (internal jugular vein collapsibility index/IJVCI dan inferior vena cava/IVC) dan jaringan interstisial (B-lines). Pada studi ini, rerata E/e’ ditambahkan pada skor SAFE dengan pertimbangan nilai prognostik rerata E/e’ dalam memprediksi kejadian rehospitalisasi.
Tujuan: Membandingkan skor SAFE dan skor SAFE+rerata E/e’ dalam memprediksi rehospitalisasi 30 hari terkait gagal jantung akut.
Metode: Dilakukan studi kohort prospektif dengan melibatkan 82 orang pasien gagal jantung akut yang dirawat di RSJPDHK. Analisis bivariat dan multivariat dilakukan untuk membandingkan kemampuan prediksi skor SAFE dan skor SAFE+rerata E/e’ terhadap rehospitalisasi 30 hari terkait gagal jantung akut.
Hasil: Insidensi rehospitalisasi 30 hari terkait gagal jantung akut mencapai 19,5%. Kurva Kaplan-Meier menunjukkan rehospitalisasi lebih rendah pada kondisi euvolemia daripada hipervolemia (p 0,003). Skor SAFE+rerata E/e’ memiliki kemampuan prediksi rehospitalisasi 30 hari yang lebih baik daripada skor SAFE (AUC 0,77 [95% CI: 0,64 – 0,89] vs AUC 0,74 [95% CI: 0,62 – 0,85]).
Kesimpulan: Skor SAFE+rerata E/e’ memiliki kemampuan prediksi rehospitalisasi 30 hari terkait gagal jantung akut yang lebih baik daripada skor SAFE.

Background: Short-term-rehospitalization worsens prognosis and frequently occurs due to persistently high LVEDP (hemodynamic congestion) among patients with heart failure (HF). Therefore, it is necessary to ascertain complete decongestion prior to hospital discharge. SAFE score is a potential scoring system to do so because it measures 3 main components of hemodynamic congestion: pump (EF), pipe (IJVCI and IVC) and interstitial tissue (B-lines). In this study, average E/e’ is added to SAFE score considering its clinically significant prognostic value in predicting risk of rehospitalization among patients with HF.
Aim: To compare SAFE score and SAFE score+average E/e’ in predicting 30-day-acute HF (AHF)- related-rehospitalization.
Methods: A prospective cohort study was conducted by involving 82 patients admitted with AHF in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK). Bivariate and multivariate analysis were done to find out which of the 2 models: SAFE score and SAFE score+average E/e’ could better predict risk of 30-day-AHF-related-rehospitalization.
Results: The incidence of 30-day-AHF-related-rehospitalization in this study was 19,5%. By using Kaplan-Meier curve, we identified significantly lower 30-day-AHF-related-rehospitalization in patients discharged with euvolemia than those with hypervolemia (p 0,003). SAFE score+average E/e’ had better predictive properties than SAFE score regarding 30-day-AHF-related-rehospitalization (AUC 0,77 [95% CI: 0,64 – 0,89] vs AUC 0,74 [95% CI: 0,62 – 0,85]).
Conclusion: SAFE score+average E/e’ had better predictive properties than SAFE score regarding 30- day-AHF-related-rehospitalization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Beta Canina Harlyjoy
"Latar belakang: Sebagai salah satu penyebab hipertensi, pengaruh langsung asupan asam lemak trans masih belum diketahui dengan pasti. Konsumsi jangka panjang dapat mengakibatkan inkorporasi asam lemak trans di membran neural otak yang dapat memengaruhi jalur sinyal neurotrophin, termasuk Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). Sebagai neurotrophin yang terdapat di berbagai bagian dari tubuh, BDNF diperkirakan memiliki peran dalam pengaturan tekanan darah.
Tujuan: Mengetahui apakah terdapat hubungan antara asupan asam lemak trans dan kadar BDNF terhadap hipertensi di Kabupaten Natuna.
Metode: Studi potong lintang analitik ini menggunakan data sekunder hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan food recall yang dilakukan oleh tenaga kesehatan di Kabupaten Natuna pada Juli 2019, serta data primer berupa pemeriksaan kadar BDNF dari sampel darah yang sudah tersimpan di laboratorium RSPJDHK pada bulan September 2019. Hasil: Terdapat 181 penduduk Natuna yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Median asupan asam lemak trans subjek dengan hipertensi lebih tinggi dibandingkan kontrol (0,013: 0,0003 – 0,07 vs 0,010: 0,0006 – 0,06, p = 0,021). Analisis statistik menunjukkan bahwa interaksi kadar BDNF dengan asupan asam lemak trans memiliki efek modifikasi terhadap asupan asam lemak trans dan hipertensi (p = 0,011). Pada total subjek, asupan asam lemak trans memiliki OR 1,81 IK95% 1,10-2,99 p 0,020, namun OR 3,63 IK95% 1,69-7,77 p 0,001 pada BDNF di tertile bawah dan sedang. Uji analisis multivariat menunjukkan bahwa hasil tersebut tidak dipengaruhi oleh faktor perancu.
Kesimpulan: Kadar BDNF memiliki efek modifikasi terhadap hubungan asupan asam lemak trans dan hipertensi, di mana peningkatan probabilitas hipertensi seiring penambahan asupan asam lemak trans hanya terjadi pada subjek dengan kadar BDNF rendah.

Background: As one of the major cause of hypertension, direct effect of trans fat intake and hypertension is not yet illuminated. Long-term consumption has been linked with trans fat incorporation in brain neural membrane that could lead into alteration of signaling pathways, including Brain Derived Neurotrophic Factor (BDNF). As an ubiquitous neurotrophin, BDNF is believed to play a role in the regulation of blood pressure.
Objective: This study aimed to investigate the association between trans fat intake and BDNF level with hypertension in the population of Natuna.
Methods: This analytical cross-sectional study is using a secondary data including demographic data, physical examination, and food recall obtained from Natuna district population in July 2019. Primary data of BDNF level was obtained through analysis of blood samples stored in National Cardiovascular Center Harapan Kita (NCCHK) in September 2019.
Results: A total of 181 samples were obtained in this study. Compared to normontesive subjects, median of daily trans fat intake of hypertensive subjects was higher (0,013: 0,0003 – 0,07 vs 0,010: 0,0006 – 0,06, p 0,021). Statistitical analysis showed that plasma BDNF level has a modyfing effect in relationship of trans-fat intake and hypertension (p 0,011). In cumulative subjects, trans-fat showed an odds ratio (OR) of 1,81 95%CI 1,10-2,99 p 0,020, while the OR for those with low-middle tertile BDNF level was 3,63 95%CI 1,69-7,77 p 0,001. Further multivariate analysis showed that the interaction was statistically significant after adjustment to confounding factors.
Conclusion: Plasma BDNF level has a modifying effect in the relationship between trans-fat intake and hypertension. Increased probability of hypertension in accordance with trans-fat intake only occurred in subjects with low level plasma BDNF.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Cahyo Baskoro
"Latar belakang: Berdasarkan Riskesdas 2013, salah satu daerah dengan prevalensi hipertensi tertinggi di Indonesia adalah Kepulauan Natuna, sehingga faktor yang berkaitan dengan hipertensi dan hypertension mediated organ damage (HMOD) pada populasi tersebut menarik untuk diinvestigasi. Proses aterosklerosis adalah salah satu HMOD yang dapat dideteksi secara dini dengan pemeriksaan ketebalan intima media karotis (KIMK).
Patofisiologi aterosklerosis pada hipertensi dilaporkan mellibatkan beragam jalur molekular, yang diawali oleh disfungsi endotel, dan diduga melibatkan regulasi MikroRNA (miRNA) pada pembuluh darah. miRNA 214 merupakan non-koding RNA yang berhubungan dengan penyakit kardiovaskular terutama aterosklerosis. Peran MikroRNA 214 dalam proses aterosklerosis yang terjadi pada hipertensi belum diketahui dengan pasti.
Tujuan : Untuk mengetahui hubungan ekspresi miRNA 214 dengan ketebalan intima media karotis pada populasi hipertensi di kepulauan Natuna
Metode : Penelitian ini menggunakan studi potong lintang dengan data sekunder hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang penderita hipertensi di Kabupaten natuna pada Juli 2019, serta data primer berupa kadar mikroRNA 214 dari sampel darah beku yang tersimpan di laboratorium, Rumah Sakit Pusat Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita (RSPJDHK) pada bulan Juli 2022. KIMK diukur dengan ultrasonografi arteri karotis.
Hasil : Terdapat 47 subjek yang sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi. Tidak terdapat perbedaan ekspresi miRNA 214 pada KIMK ≥0,9 mm dengan ekspresi miRNA 214 pada KIMK <0.9 mm pada subjek penelitian [(1,4 ± 0,8) vs. (1,4 ± 0,9), p 0,921]. Analisis multivariat menunjukkan tidak terdapat hubungan yang bermakna antara ekspresi miRNA 214 dengan KIMK pada subjek hipertensi di kepulauan Natuna.

Background: Data from Indonesian Basic Health Survey 2013 revealed Natuna Islands as one of area with highest prevalence of hypertension in Indonesia. Hypertension remain major health problem through the presence of hypertension mediated organ damage (HMOD), including atherosclerosis. Carotid ultrasound examination is one of simple method for early detection of atherosclerosis, with carotid intima media thickness (CIMT) reported to represent subclinical atherosclerosis.
Pathophysiology of atherosclerosis in hypertension derived from multiple molecular pathways, including endothelial dysfunction and the involvement of MikroRNA (miRNA). miRNA 214 is associated with cardiovascular disease. However, the role of miRNA 214 in atherosclerosis remains unclear.
Objective : To investigate the association between miRNA 214 plasma expression with carotid intima media thickness (CIMT) in hypertension subject.
Method: This is a cross sectional study using secondary data from hypertension subject in Natuna Island, and measurement of miRNA 214 expression from plasma stored in molecular laboratory of National Cardiovascular Center Harapan Kita Hospital. CIMT data were obtained with carotid ultrasonography
Results: Forty seven subject included in this study. We observed no significant difference in miRNA 214 plasma expression in subject with CIMT ≥0,9 mm as compared to CIMT <0.9 mm [(1,4 ± 0,8) vs. (1,4 ± 0,9), p 0,921]. Further multivariate analysis revealed no significant association between miRNA 214 plasma expression with carotid intima media thickness (CIMT) in hypertension subject.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Felix Chikita Fredy
"Latar belakang: Pada era intervensi koroner perkutan primer (IKKP), angka kematian akibat infark miokard akut dengan elevasi segmen ST (IMA-EST) berhasil ditekan. Peningkatan angka sintasan tersebut berbanding dengan peningkatan insiden gagal jantung. Proses remodeling pascamiokard infark yang belum sepenuhnya dihambat oleh standar terapi saat ini akan berujung pada kondisi gagal jantung. Doksisiklin sebagai anti-matriks metaloproteinase (MMP) menunjukkan hasil yang baik dalam mencegah proses remodeling. Biomarker remodeling merupakan surrogate dini yang baik untuk memprediksi kejadian remodeling. Namun, efek doksisiklin terhadap biomarker remodeling dan luaran klins pasien IMA-EST belum diketahui.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek doksisiklin terhadap penurunan kadar biomarker remodeling pascainfark miokard.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain uji klinis tersamar tripel. Pasien IMA-EST dengan keterlibatan anterior atau Killip 2-3 dengan onset kurang dari 12 jam yang menjalani IKKP terbagi acak kedalam grup yang mendapat doksisiklin 2x100 mg selama 7 hari sebagai tambahan dari standar terapi dan grup dengan standar terapi. Pemeriksaan biomarker (netrofil, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-pro BNP) dilakukan saat admisi rumah sakit dan evaluasi intraperawatan. Ekokardiografi dilakuan saat admisi dan hari ke-5 untuk menilai dimensi dan fungsi ventrikel kiri.
Hasil: Terdapat 94 subyek yang diikutkan dalam penelitian dan terbagi rata ke dalam kedua grup. Karakteristik demografis dan klinis kedua grup homogen. Grup doksisiklin menujukkan nilai netrofil jam ke-24 yang lebih rendah dibanding grup kontrol (69,1±5,8% vs 71,9±8,0%, p=0,049). Peningkatan hs-Troponin T didapatkan lebih rendah pada kelompok dengan onset lebih dari 6 jam yang mendapatkan doksisiklin, namun tidak pada grup kontrol. Insiden gagal jantung 11,3% lebih rendah pada grup doksisiklin. Perbaikan fraksi ejeksi signifikan didapat pada grup doksisiklin dibanding grup kontrol (4,5±10,4% vs 0,3±10,3%, p=0,05). Peningkatan tersebut lebih besar pada pasien dengan onset lebih dari 6 jam dengan rerata peningkatan 5,9% (95%IK 0,05-11,7%, p=0,048).
Kesimpulan: Doksisiklin memiliki efek perbaikan biomarker remodeling ventrikel, terutama netrofil dan hs-troponin T, serta fraksi ejeksi ventrikel kiri. Jumlah insiden gagal jantung lebih rendah pada grup doksisiklin.

Background: In era of primary percutaneous coronary intervention (PPCI), mortaliry rate was reduced significantly. The increament in survival rate was followed by increament in heart failure cases. Cardiac remodelling after myocardial infarction was not fully anticipated by current therapy hence the patent would suffer for hear failure. Doxycycline as antimatrix metaloproteinase (MMP) inhibitor showed a promising results in modulation cardiac remodelling. Cardiac biomarkers for remodelling are surrogate parameters for early indentifying of remodelling. However, the effect of doxycyline to cardiac remodelling and its clinical implication are unknown.
Objective: To determine the effect of doxycycline on cardiac remodelling biomarkers after myocardial infarction.
Methods: We conducted triple blinded-randomized control trial. Patients with STEMI anterior or with Killip class 2-3 who underwent PPCI were randomly assigned to doxycycline (100 mg b.i.d for 7 days) in addition to standard therapy or to standar care. Cardiac remodelling biomarkers (neutrophils, hs-Troponin T, hs-CRP, NT-proBNP) were obtained on admission and during hospitalization. Echocardiography were assessed on admission and at 5 days to evaluate left ventricle dimmension and function.
Results: There were 94 patients assigned into doxycycline and control group. Baseline demographics and clinical characteristics were comparable between 2 groups. Doxycycline group showed lower percent neutrophils at 12 hours compare to control group (69.1±5.8% vs 71.9±8.0%, p=0.049). hs-Troponin T changes were lower in patients with onset >6 hours who received doxycycline and there were no differences among control group. Heart failure incidence was 11.3% lower in doxycycline group to control group. The improvement of left ventricle ejection fraction was sifnificantly higher in doxycycline group than in control group (4.5±10.4% vs 0.3±10.3%, p=0.05). The imrpovement was even higher in those with onset >6 hours with mean increament of 5.9% (95%CI 0.05-11.7%, p=0.048).
Conclusion: Doxycycline had effect in improving cardiac remodelling biomarkers, ie percent neutrophils and hs-Troponin T and left ventricle ejection fraction. Incidence of heart failure was lowe in doxycycline group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>