Pemakaian antibiotik yang tidak tepat pada penyakit infeksi akan menyebabkan resistensi bakteri dan akan memperburuk kondisi pasien. Sejumlah faktor yang memengaruhi, pola bakteri penyebab dan penggunaan antibiotik dapat memengaruhi luaran perlu di nilai kembali. Penelitian ini bertujuan mengetahui profil sensitivitas bakteri, penggunaan antibiotik dan faktor yang berpengaruh terhadap mortalitas infeksi anak. Penelitian ini dilakukan secara kohort retrospektif serta studi deskriptif terhadap 254 pasien di RSCM pada Januari-Desember 2018. Riwayat medis, pola kuman, sensitivitas antibiotik dan penggunaan antibiotik didata serta faktor yang memengaruhi dianalisis menggunakan uji multivariat regresi logistik. Bakteri terbanyak adalah gram negatif 57,1% diikuti gram positif 42,8%. Hampir semua golongan bakteri sensitif dengan ampisilin sulbaktam (87,5-100%). Amoksiklav, tigesiklin dan vankomisin sensitif dengan bakteri gram positif (100%). Amikasin dan meropenem sensitif dengan bakteri gram negatif (80-100%). Faktor yang memengaruhi peningkatan mortalitas adalah usia > 5 tahun (OR 2,482; IK95% 1,139-5,408), penggunaan selang nasogastrik (OR 2,516; IK95% 1,083-5,847), antibiotik yang tidak sesuai (OR 2,159; IK95% 1,034-4,508), serta fokus infeksi pada aliran darah (OR 5,021; IK95% 2,411-10,459).
Inappropriate use of antibiotics in infectious diseases will lead to anti-microbial resistance and disease's complication. Among several contributing factors to disease outcome, anti-microbial pattern and antibiotics use need to be re-evaluated. This study aims to determine anti-microbial sensitivity profile, antibiotics use and factors affecting mortality in pediatric infection cases. Retrospective cohort study was conducted in Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 254 patients included for study analysis. Data were obtained from medical records and electronic health records from January-December 2018. Patient’s medical history, anti-microbial pattern and sensitivity as well as antibiotic use were recorded and analyzed using a multivariate logistic regression test. The most common bacteria were gram negative bacteria (57.1%) followed by gram positive bacteria (42.8%). Majority of bacteria were sensitive with ampicillin sulbactam (87.5-100%). Antibiotics such as amoxicillin-clavulanic acid, tigecycline and vancomycin are sensitive to gram-positive bacteria (100%) while amikacin and meropenem are sensitive to gram-negative bacteria (80-100%). Factors influencing mortality were age > 5 years (OR 2.482; 95%CI 1.139-5,408), use of nasogastric tubes (OR 2.516; 95%CI 1.083-5.847), inappropriate antibiotics choice (OR 2.159; 95%CI 1.034-4.508), and presence of bloodstream infection (OR 5.021; 95%CI 2.411-10.459).
"Infeksi human Immunodeficiency virus (HIV) yang berkembang menjadi acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) dapat menurunkan angka harapan hidup. Setiap harinya sekitar 850 anak terinfeksi HIV dan 301 di antaranya meninggal karena AIDS. Secara global, penularan dari ibu ke anak menyumbang 90% kasus HIV baru pada anak. Meskipun intervensi untuk mencegah penularan dari ibu ke anak telah berhasil menurunkan tingkat penularan menjadi di bawah 1% di negara maju, namun penularan di negara berkembang masih tinggi, yaitu sebesar 8,9%. Kurangnya pengetahuan dan ketidakpatuhan terhadap rekomendasi yang ada pada program PPIA dapat menjadi penyebab PPIA di indonesia belum terlaksana dengan baik. Studi ini bertujuan untuk mengetahui tingkat pengetahuan dokter spesialis anak dan dokter spesialis obstetri/ginekologi (obsgin) di Jakarta mengenai PPIA HIV. Studi potong lintang ini melakukan survei pada 106 dokter spesialis anak dan 104 dokter spesialis obstetri/ginekologi di Jakarta menggunakan kuesioner online yang dibagikan melalui aplikasi WhatsApp©. Kuesioner yang digunakan merupakan kuesioner yang baru pertama kali dibuat dan belum pernah ada sebelumnya. Uji validitas dan reliabilitas dilakukan, termasuk analisis statistik deskriptif untuk secara akurat menilai dan menginterpretasikan data tentang pemahaman dokter dan identifikasi faktor yang mempengaruhinya. Tingkat pengetahuan tentang PPIA HIV pada dokter spesialis anak di Jakarta mayoritas berada pada kategori sedang, dengan sebanyak 14% responden memiliki tingkat pengetahuan rendah, 58% sedang, dan 27% tinggi. Aspek pengetahuan tentang profilaksis merupakan yang terendah pada dokter spesialis anak (sebanyak 41,5% mendapat nilai rendah). Sebaliknya, dokter spesialis obstetri/ginekologi menunjukkan pemahaman yang lebih baik tentang PPIA, dengan 80,8% responden memiliki tingkat pengetahuan tinggi dan tidak ada yang berada pada kategori rendah. Secara keseluruhan, aspek pengetahuan tentang perawatan pasca-persalinan merupakan yang terendah pada dokter spesialis obsgin. Tidak ditemukan korelasi signifikan antara tingkat pengetahuan dengan variabel demografis atau pengalaman profesional di antara para spesialis.
Kortikosteroid merupakan terapi utama pada sindrom nefrotik, tetapi memiliki efek samping penurunan kepadatan massa tulang. Pemeriksaan bone mineral density (BMD) merupakan cara terbaik untuk mengetahui kesehatan tulang, tetapi belum rutin dilakukan dan banyak diteliti di Indonesia, khususnya pada pasien sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh durasi penggunaan, dosis kumulatif kortikosteroid, kadar vitamin 25(OH)D, dan kalsium terhadap penurunan nilai BMD pasien SNRS. Sebuah penelitian potong lintang terhadap 63 subjek SNRS di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo yang berusia 5 – 18 tahun, mendapatkan kortikosteroid minimal 4 minggu dengan laju filtrasi glomerulus >60 ml/menit/1,73 m2. Dilakukan pemeriksaan laboratorium darah, BMD total body less head (TBLH) dan vertebrae lumbar. Subjek mendapatkan kortikosteroid dengan median durasi 37,4 (16,27 – 67,30) bulan, dosis harian 0,4 (0,30 – 0,67) mg/kgbb/hari dan dosis kumulatif 488,89 (309,62-746,05) mg/kgbb. Terdapat 66,7% subjek dengan defisiensi 25(OH)D. Hasil pemeriksaan BMD rendah lebih banyak didapatkan pada pemeriksaan BMD L1-L4 dibandingkan TBLH (25,4% vs 7,9%). Analisis bivariat dan multivariat menunjukkan bahwa durasi dan dosis kumulatif kortikosteroid memengaruhi penurunan nilai BMD L1-L4 (p<0,0001, p=0,0001, berturut – turut), tetapi kadar vitamin 25(OH)D dan kalsium darah tidak memengaruhi penurunan nilai BMD. Sebagai kesimpulan, durasi penggunaan dan dosis kumulatif kortikosteroid memengaruhi penurunan nilai BMD L1-L4 pasien SNRS.