Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Basuki Ario Seno
Abstrak :
Partikel debu lingkungan kerja yang berukuran 0,1 - 10 p.m dapat membahayakan kesehatan, karena partikel ini di udara yang relatif lama dan akan terhirup oleh pekerja melalui saluran pernafasan, yang pada akhirnya akan menimbulkan penyakit saluran pernafasan. Adakah hubungan pajanan kadar debu inhalabel lingkungan kerja dengan timbulnya gejala penyakit saluran pernafasan, dan adakah hubungan antara variabel pengganggu dengan timbulnya gejala penyakit saluran pernafasan di bagian produksi Indarung V PT Semen Padang. Ruang Lingkup penelitian ini adalah pajanan debu inhalabel dan timbulnya gejala penyakit saluran pemafasan pekerja di bagian produksi Indarung V PT Semen Padang. Rancangan Penelitian ini adalah observasional dan dilaksanakan secara cross sectional dan bersifat kuantitatif Lokasi Penelitian di bagian Produksi Indarung V PT. Semen Padang. Kadar debu inhalabel lingkungan kerja yang diambil sebanyak 40 sampel, diukur dengan Personal Dust Sampler, sedangkan besarnya sampel tenaga kerja sebanyak 40 orang. Kadar debu inhalabel lingkungan kerja dalam rentang minimum 1,88 mg/m3, maximum 10,46 mg/m3, rata-rata 4,25 mg/m3, standar deviasi 2,65 mg/m3. Pekerja yang terpajan melebihi nilai ambang batas sebanyak 12.5 %. Timbulnya gejala penyakit saluran pemafasan 32,5 %. Pekerja dengan gejala penyakit saluran pernafasan sebagian besar adalah pada kelompok umur < 30 tahun, pendidikan tamat SD, IMT kurang, masa kerja 10-20 tahun, tidak ikut latihan K3, kebiasaan tidak memakai alat pelindung diri, kebiasaan merokok dengan jenis rokok campuran (kretek dan Putih). Hubungan kadar debu inhalabel menunjukkan ada hubungan dengan timbulnya gejala penyakit saluran pernafasan. Karakteristik yang berhubungan dengan timbulnya gejala penyakit saluran pernafasan adalah umur, pendidikan, IMT, masa kerja, pelatihan K3, pemakaian alat pelindung diri, dan yang tidak berhubungan tempat kerja dan kebiasaan merokok. Hasil uji multivariat dengan regresi logistik ditemukan bahwa variabel NAB, APD dan kebiasaan merokok yang berpeluang. untuk timbulnya gejala penyakit saluran pernafasan. Sedangkan yang berikteraksi adalah variabel NAB dan penggunaan APD. Model Persamaan Regresi Logistik Logit p(x) = - 16.497 - 0.647 * Kelompok Umur - 2.423 * Pendidikan - 2.674 * Status Gizi + 3.261 * Masa Kerja - 1946 * Latihan K3 + 5.117 * Nilai Ambang Batas + 4.859 * Pemakaian APD + 6.755 * Kebiasaan Merokok + 3.462 * APD * NAB. Rekomendasi yang diusulkan pada rekruitment pekerja di bagian produksi minimal berpendidikan SLTA, melakukan pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan pemeriksaan kesehatan berkala. Pengenalan lapangan melalui observasi lapangan, latihan-latihan, baik latihan K3 ataupun latihan proses produksi. Perlu ditingkatkan pemantauan, penegakan peraturaan dalam penggunaan APD seperti masker. Pemantauan, pengendalian dan pemeliharaan Electrostatic Precipitator dan Wet Scrubber secara teratur dan berkesinambungan. Sesuai dengan kebijakan direksi, maka perlu dilakukan koordinasi antara K2LH, Rumah Sakit dengan atasan pekerja langsung harus dijalin untuk pembinaan pekerja dalam penggunaan APD. ...... Dust Related Respiratory Symptoms of Workers Employed at PT. Semen Padang Cement suspended particuled dust with size of 0,1 to 10 µm will affects workers' exposed for health of, exposed for a long period of time, will develope respiratory tracts system. Scope of this research is to identify a relationship between workers exposed and symptoms of respiratory. Design of research was observasional and application of Cross sectional study and quantitative technical analysis. The location of this was in the production section of Indarung V PT. Semen Padang with sample size of 40 samples and using Personal Dust Sampler. The consentration of inhalabel dust was ranging from minimum 2,60 mg/m3, to a maximum of 10,46 mg/m3, mean was 5,44 mg/m3, standard deviation 2,24 mg/m3. Result of this research were 12,5 % of the sample exposed more has the threshold limit value. The symptom of respiratory tract were 32,5 % among worker employed of less than are 30 years, senior high school level, normal body mass index and 10-20 years length of services, smoking and not using personal protective equipment. The relationship between the concentration of inhalabel dust and the development of symptoms seems to be attributed by age, education, body mass index, length of services, occupational health and safety training, personal protective equipment, but there is no related with work place and smoking habits. The result of multivariat analysis with Logistic regression showed that three variables such as threshold limit value, personal protective equipment and smoking habits have the probability of induced respiratory tract symptom. Two variables threshold Iimit value and personal protective equipment was more interacts each other in related to the development respiratory tract symptom. Logistic regression model is Logit p(x) = - 16.497 - 0.647 * age group - 2.423 * education - 2.674 * Body Mass Index + 3.261 * length of services - 3.946 * training on safety and health + 5.117 * threshold limit value + 4.859 * using protective devices + 6.755 * smoking habits + 3.462 * threshold limit value * using protective devices. This research suggested that for new employees in the production section of PT Semen Padang should have minimum senior high school, preemployment and periodical medical examination, occupational health and safety training, production processes training, enforcement of personal protective equipment Control tecimologi by using Electrostatic Precipitator and Wet Scrubber to monitor dust emmission and maintenance of its. The clear management policies accountability related to the Occupational safety health and environment.
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2001
T8276
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laksmisari Darya Yuwono
Abstrak :
Bekerja pada shift malam adalah periode yang sulit bagi pekerja. Berdasarkan penelitian yang sudah dilakukan, kerja shift malam dapat menimbulkan gangguan: tidur, neurologis umum, pencernaan dan juga gangguan kehidupan sosial. Gangguan-gangguan itu dapat meningkatkan absentisme pekerja dan merendahkan produktifitas kerjanya. Hal tersebut juga dapat dilihat dari lebih tingginya prosentase absensi karyawan Direct Soap (shift) dari prosentase karyawan Personnel (non shift). Tujuan penelitian ini adalah untuk nengetahui apakah kelompok shift malam mempunyai angka ketidakthadiran yang lebih tinggi dan produktifitas yang lebih rendah daripada kelompok shift-pagi/siang. Jenis penelitian ini adalah studi prospektif dengan pengambilan sampel secara purposif. Data primer tentang gangguan yang diderita diambil dengan cara pengisian kuesioner selama 3 minggu. Data sekunder tentang absensi, produksi dan kecelakaan kerja dari seluruh pekerja Production Line Pabrik Sabun diambil selama 9 minggu. Teknik analisa yang digunakan adalah Chi-Square, Risiko Relatif, Analysis of Variance dan T-tes. Pengolahan data dan perhitungannya dilakukan dengan Statistical Analysis Package. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pekerja shift malam mempunyai risiko menderita gangguan tidur, gangguan syaraf dan kelelahan lebih tinggi dari pekerja shift sore dan pagi. Selain itu pekerja shift malam mempunyai produktifitas kerja lebih rendah dan melakukan kesalahan kerja yang lebih tinggi dari pekerja shift sore dan pagi. Pekerja shift sore mempunyai risiko menderita gangguan kehidupan sosial lebih tinggi dari pekerja shift malam dan pagi. Selain itu angka ketidakhadiran pekerja shift sorepun lebih tinggi daripada shift pagi dan malam. Gangguan pencernaan tidak didapat hubungan nyatanya dengan kerja shift. Kecelakaan kerja tidak terjadi selama masa penelitian, jadi tidak dapat diambil kesimpulan tentang hubungan antara kecelakaan kerja dengan kerja shift. Selanjutnya disarankan untuk membagi dua waktu istirahat shift malam, agar para pekerja shift malam tersebut terhindar dari rasa lelah dan kejenuhan.
Depok: Universitas Indonesia, 1991
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Warouw, Sonny Priajaya
Abstrak :
ABSTRAK Proses pengelasan merupakan salah satu sumber sinar UV buatan manusia Pemaparan radiasi sinar UV pada pekerja las bila tidak dikendalikan/dibatasi dapat menimbulkan efek kesehatan yang merugikan. Akibat dari sinar UV antara lain terhadap mata, yang dapat menyebabkan peradangan selaput mata, selaput bening, dan peradangan kelopak mata, biasa disebut "welder's flash" atau "arc eye". Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat radiasi sinar UV dan beberapa faktor yang berhubungan dengan keluhan mata "welder's flash". Faktor faktor yang diteliti adalah tingkat radiasi efektif alat las, lingkungan kerja, lama pemaparan, dan pemakaian alat pelindung diri. Penelitian ini bersifat deskriptif analitik dengan pendekafan Crossectional, yang dilakukan terhadap 98 pekerja las dari 2 sentry industri kecil yaitu Perkampungan Industri Kecil (PIK) dan Santa. Usaha/ndustri Kecil (MK) Pulogadung Jaktim. Dari hasil penelitian diketahui tingkat radiasi efektif berkisar antara 120 - 4580 μW/cm2 . Tingkat radiasi terbanyak antara 300-3000 μW/cm2 , yang berdasarkan NAB ACGIH exposure level hanya boleh 1-10 detik tanpa alat pelindung diri. Prevalensi keluhan mata welder's flash (tiga bulan terakhir) adalah 62,2%. Dengan jumlah keluhan berkisar 1 sampai 3 kali. Jenis proses las terbukti berhubungan dengan tingkat radiasi efektif (p<0,05). Kuat arcs (amper) berhubungan dengan tingkat radiasi efektif dengan pola hubungan linier positif (r=0,44, R2=0,21, p<0,05). Diameter kawat las berhubungan dengan tingkat radiasi dengan pola hubungan linier positif (r=0,53, R2 =0,27, p<0,05). Lokasi kerja (indoor,outdoor) terbukti berhubungan dengan tingkat radiasi efektif (F=7,25, p<0,05). Cat dinding tidak terbukti berhubungan dengan radiasi efektif (P=0,61, p> 0,05). Jarak dinding dengan alat las tidak terbukti berhubungan dengan radiasi efektif (t=-0,75,p>0,05). Tingkat radiasi efektif berhubungan dengan keluhan mata (X2=11,54 p<0,05). Pemakaian APD tidak baik ada 40,8%. Pemakaian APD terbukti berhubungan dengan keluhan mata (X2=4,80,p<0,25). Lama pemaparan berkisar antara 90-400 menit perhari dan terbukti berhubungan dengan keluhan mata (X2=1,92, p< 0,25). Model regresi linier ganda radiasi efektif sbb : Y = 246,87-2,94(amper)-293,47(kawat)+560, 66(proses)+77,62(lokasi kerj a)+12,52(amperxpros)+5,56(amperx kawat), 0,-47,93, R2=0,86, Re .= 0,85). Model regresi logistic keluhan mata sbb : Logit p(x) = -1,9647+2,21(T_RAD)+1,16(APD)+0,46(L EXPOS) dengan (X2= 18,09, p< 0,05). Nilai Odds Ratio (95% Confident Interval) tingkat radiasi = 9,1 (2,16-38,32), pemakaian APD = 3,2(1,20-8,51), lama pemaparan =1,6 (0,59-18,98). Melihat keadaan tersebut di atas, maka perlu diadakan upaya pelayanan kesehatan dan keselamatan kerja, serta perlu upaya pengawasan dan pembinaan K3 di industri kecil las.
ABSTRACT Welding process is a source of UV radiation created by human made. Exposure to UV radiation from the welding arc can result a serious health problems to the welder, and impact of UV ray on the eyes is inflammatory of conjungtivita, cornea and eyelid, also known as "welder's flash" or "arc eye". The objectives of this research were to identify the level of UV radiation and several factors related welder's flash eye complaints. Several factors in research of this study were the level of effective irradiance (eflr), welding process, the current levels used (ampere), welding rod diameters, working station, length of exposures, and the use of personal protective equipment (PPE). The research was descriptive analysis with crossectional approach, which was conducted to 98 welders in 2 centers of small scale welding industry called Perkampuagan Industri Kecil (PIK) and Sentra Usaha Industri Kecil (SUM) Pulogadung Jakarta Timur. The results of this research showed that the level of effective irradiance were arround 120 - 4580 µW/cm2. Mostly the level of ef.irr were between 300 -3000 µW/crn2, based on TLV ACGH exposure level allow only 1-10 second without PPE. The prevalence of welder's flash eye complaints (for late 3 month) was 62,2% with amount of frequency around 1 - 3 times. There was significant association between the type of welding process and the level of effective irradiance (p<0,05). The current levels used (ampere) was proved significant association with the eff.lrr, by the type of relation was liner positive (r 0,44, R2=0.36,pcz0.05), and also was Welding rod diameters with efIR, by the type of relation was linier positive (r 0.53,R2=0,27,p<0.05). Places of working station (indoor/semi, outdoors) were proved significant association with level of efIrr (F=7.25,p<0.05). There was no significant association between wall painting and e£Irr. (F=0.61,p?0.05), and also no significant association between distance of wall and welding equipment with e£Lr. (t=0.75,p>0.05). From 98 of welders , there were 40.8% bad uses for PPE. Using PPE was proved significant association with the welder's flash eye complaints (X2=4.80,p<0.25)_ Length of exposure were between 90-400 minutes per days and it's proved significant association with welder's flash eye complaints.(X2=2.14,p<0.25). Using multiple linear regression analysis, the fit model of eflrr prediction was Y=246.87-2.94(amp er)-93.47(kawat)+5 60.66(proses)+77.62(lokasi kerj a)+12.5 2 (amperxproses)+5.56(amperxkawat), (r'193,R2=0.86, Ra=0.85). Using multiple logistic regression, the fit model of welder's flash eye complaints prediction was ' : Logit p(x) = -1.9647+2.21(level of e£Tr) +1.16(PPE) + 0.46(length of exposure) with (X2=18.09, p<0.05). Value of Odds Ratio(95% Confident Interval) level of efective irradiance = 9.1(2.16-38.32), using PPE = 3.2(1.20-8.51), length of exposure = 1.6(0.59-18.98). By looking for the reasons above, it is important to conduct the occupational health services, and necessary to control and establish safety practices in welding small scale industry.
Depok: Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Euis Fety Fatayaty
Abstrak :
Masalah di lingkungan kerja di industri garmen adalah iklim kerja yang panas dan lembab, alat kerja (setrika Iistrik/boiler) yang dapat menghasilkan paparan panas dan kelelahan yang dialami pekerja setrika setelah bekerja. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan antara lingkungan kerja panas dengan kelelahan pekerja setrika di PT Hansung Garmindo Mulia (PT HGM). Pendekatan penelitian bersifat kualitatif dan kuantitatif. Metode yang digunakan adalah survei dengan Cross Sectional. Populasi dan sampel yaitu semua pekerja setrika di PT HGM berjumlah 16 orang. Langkah Penelitian dengan cara mengukur Index Suhu Bola Basah (ISBB) di 5 titik di area finishing memakai alat Dues Temp Heat Stress Monitor, mengukur denyut nadi pekerja sebelum dan sesudah bekerja, pengisian kuesioner oleh pekerja dan pengamatan Iangsung oleh peneliti. Hasil penelitian ISBB di 5 area lingkungan kerja PT HGM adalah: 26,9" C; 27,TC; 27,9°C; 29,2?'C; dan 29,7"C, jadi semuanya berada di area slightly warm (di Iuar comfortable) Hasil pengukuran denyut nadi dalam % Cardio Vasculer Load (%CVL) dan pengisian kuesioner temyata semua pekerja setrika di PT HGM mengalami kelelahan setelah me!akukan pekerjaan dengan tingkat kelelahan ringan sampai berat. Data ISBB dan % CVL yang diperoleh dianalisis dengan Korelasi Spearman dengan (di = 15, a = 0,05), r hitung 0,577 sedangkan r tabel 0,522. Kesimpulan penelitian ini adalah terdapat hubungan antara lingkungan kerja panas dengan kelelahan pekerja setrika di PT Hansung Garmindo Mulia, dengan tingkat hubungan sedang. Saran diletakkan local exhaust, posisi tabung boiler dijauhkan jaraknya dari pekerja, desain meja setrika harus antropometri, pekerja minum air (ditambah gula & garam) 1 galas (150 ml) setiap 20 menit, posisi kerja bergantian (duduk dan berdiri) dan supervisi medic secara berkala untuk pekerja.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2007
T20779
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library