Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 27 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohammad Adhitya Latief
Abstrak :
ABSTRAK Pendahuluan : Perkembangan teknologi telah menghasilkan model 3-dimensi berdasarkan data CT-Scan yang mampu menyajikan data lebih informatif. Karena dapat menghasilkan bentuk seperti anatomi tubuh, maka model 3-dimensi dijadikan acuan dalam bidang rekonstruksi mandibula menggantikan peran CT-Scan. Tujuan Penelitian: Membandingkan hasil pengukuran tebal dan tingginya symphisis mandibula pada model 3 dimensi terhadap data CT-Scan sehingga diketahui tingkat akurasinya. Material dan Metode : 8 data CT-Scan Maksilofasial Pasien dalam bentuk DICOM (Digital Imaging and Communication for Medicine) dengan mandibula bebas defek atau hanya sebagian, dengan gigi geligi telah erupsi penuh dilakukan analisa dan pengukuran dengan piranti lunak OSIRIX pada komputer, kemudian dibuatkan 8 Model 3-Dimensi berdasarkan data DICOM dengan menggunakan mesin printing FDM (Fused Deposition Modelling) untuk dilakukan analisa dan pengukuran menggunakan kaliper digital. Hasil : Tebal dan Tinggi Symphisis Mandibula hasil pengukuran model 3-Dimensi dan data CT-Scan berbeda, terdapat deviasi ukuran lebih kecil pada model 3 Dimensi, Nilai akurasi model 3-dimensi yang dihasilkan mesin FDM sebesar 98% dari data aslinya. Kesimpulan : Perbandingan pengukuran ketebalan dan ketinggian tulang symphisis mandibula pada model 3 Dimensi terhadap CT-Scan memiliki perbedaan yang signifikan secara statistik namun secara klinis dapat digunakan sebagai alternatif sebagai acuan rekonstruksi mandibula.
ABSTRACT Introduction : the emerging technologies has invented 3-dimensional model based on CT-Scan data that able to present better information. Because of the similiarity to anatomy, 3-Dimensional model became guidance for mandible reconstruction, replacing the role of CT-Scan imaging. Objective : To compare the measurements of mandibular symphisis height and thickness using 3 Dimensional model to CT-Scan data and be able to define the accuracy level of it. Materials and Methods : 8 CT-Scan maxillofacial data in form of DICOM (Digital Imaging and Communication for Medicine) were analyzed and measured using OSIRIX software on computer, continued with production of 8 3-Dimensional model based on DICOM data using printing FDM (Fused Deposition Modelling) machine, model then analyzed and measured using digital caliper. Result : The thickness and height of mandible symphisis from 3 dimensional model measurement compared with CT-Scan are different. Smaller deviation were measured in 3 dimensional model, the accuracy level of 3 Dimensional model made from FDM printing machine is 98% from original data. Conclussion : The measurement comparison of mandibular symphisis height and thickness using 3 Dimensional model to CT-Scan data is statistically different but clinically 3 dimensional model could be used as alternative as mandibular reconstruction guidance.
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mochamad Zain Anggriadi
Abstrak :
Latar Belakang: Celah langit-langit merupakan salah satu kelainan bawaan yang banyak terjadi. Alpha-smooth muscle actin (ASMA) adalah actin isoform yang dominan di dalam sel-sel otot halus dan berperan penting dalam proses fibrogenesis. Diferensiasi fibroblast menjadi myofibroblast merupakan proses kunci dalam penyembuhan luka dan repair jaringan, namun berbahaya untuk fungsi jaringan apabila berlebihan seperti hypertrophic scars (jaringan parut). Dalam kesembuhan luka Angiogenesis sangat penting untuk penyediaan oksigen dan nutrisi ke sel jaringan yang terluka dan membaginya sel tumor yang memiliki kebutuhan metabolik tinggi, angiogenesis dirangsang oleh vascular endothelial growth factor (VEGF). Faktor aktivitas ASMA dan VEGF yang mempengaruhi pembentukan jaringan parut pasca tindakan yang dapat menyebabkan gangguan perkembangan maksila. Tujuan: Dapat Mengetahui ekpresi ASMA dan VEGF pada pasien celah langit langit inkomplit, unilateral  dan bilateral non sindromik. Metode: Pada penelitian ini dilakukan studi deksripstif laboratorik Ekpresi ASMA dan VEGF dengan pemeriksaan imunohistokimia ASMA dan VEGF terhadap jaringan mukosa pasien langit – langit inkomplit, unilateral dan bilateral serta dilakukan pemeriksaan foto klinis pada minggu pertama, ketiga dan keempat dimana pengambilan jaringan dilakukan unit Celah Bibir dan Langit-Langit RSAB Harapan. Hasil: Dilakukan pengambilan jaringan pasien 4 pasien celah langit – langit non sindromik. Satu pasien celah langit – langit bilateral non sindromik, satu pasein celah langit – langit inkomplit non sindromik dan dua pasien celah langit – langit unilateral non sindromik. Hasil pemeriksaan imunohistokimia pada pasien  celah langit – langit bilateral non sindromik lebih tinggi dibandingkan dengan pasien celah langit – langit unilateral dan inkomplit. Pada pemeriksaan foto klinis didapatkan kesembuhan luka pada keempat pasien tercapai dalam waktu empat minggu. Kesimpulan: Terdapat perbedaan ekspresi gen ASMA dan VEGF di jarigan mukosa palatum pada kasus pasien celah langit – langit inkompilt, unilateral dan bilateral non sindromik yang berpengaruh terhadap kecepatan kesembuhan luka pasca operasi palatoplasti primer. Peningkatan ekspresi asma akan menyebabkan peningkatan luasan terjadi gagalan fusi antara prosessus palatinus. ......Background: Cleft palate is one of the many congenital abnormalities that occur. Alpha-smooth muscle actin (ASMA) is the dominant actin of isoform in the smooth muscle cells and plays an important role in the process of fibrogenesis. Differentiation of fibroblasts into myofibroblasts is a key process in wound healing and tissue repair, but is harmful to tissue function when overuse such as hypertrophic scars. In wound healing Angiogenesis is essential for the supply of oxygen and nutrients to injured tissue cells and dividing tumor cells that have high metabolic requirements, angiogenesis stimulated by vascular endothelial growth factor (VEGF). ASMA and VEGF activity factors that influence the formation of post-action scarring which may cause impairment of maxillary development. Objectives: Can be known for ASMA and VEGF expression in incomplete, unilateral and non-syndromic bilateral cleft palate patients. Methods: In this study a laboratory deksripstif study of ASMA and VEGF expression was performed with ASMA and VEGF immunohistochemistry examination of mucosal tissue of incomplete, unilateral and bilateral cleft palate patients as well as clinical photo examination in the first, third and fourth week where tissue taking was performed at Celah Bibir dan Langit-Langit RSAB Harapan kita. Results: Conducted tissue retrieval patients 4 patients cleft palate non-syndrome. One patient had a non syndromic bilateral cleft palate, one patient non syndromic incomplete cleft palate and two non syndromic unilateral cleft palate patients. Immunohistochemical examination results in non-syndromic bilateral cleft palate  higher than with unilateral and incomplete cleft palate patients. At the clinical photo examination, the wound healing in all four patients was achieved within four weeks. Conclussion: There is a difference in ASMA and VEGF gene expression in the palatum mucosa in the case of incomplete, unilateral and bilateral non syndromic cleft patients affecting the rate of wound healing following primary palatoplasty surgery. Increased expression of asthma will cause an increase in the extent of fusion failure between the palatinus process.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Teuku Ahmad Arbi
Abstrak :
Celah bibir dan langitan merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada daerah kepala. Protokol tata laksana yang baik diperlukan untuk dapat mengurangi morbiditas dan meningkatkan kualitas hidup penderita. Tujuan : Penelitian ini menilai hasil operasi pada Unit Celah Bibir dan Langitan Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita sebagai salah satu cara mengevaluasi protokol tata laksana pasien celah bibir dan langitan. Metode : pasien celah bibir dan langitan unilateral usia 5 tahun sebanyak 36 orang dan 12 tahun sebanyak 10 orang dinilai hasil operasinya dengan menggunakan GOSLON yardstick index dan Modified Huddart Bodenham index. Hasil : GOSLON yardstick index pada subyek usia 5 dan 12 memiliki hasil operasi sedang, baik dan sangat baik sebanyak 80%. Modified Huddart Bodenham index pada usia 5 dan 12 tahun memiliki hasil operasi sedang, baik dan sangat baik sebanyak 80,6%. Uji kesesuaian menunjukkan tingkat kesesuaian sangat baik dengan nilai kappa 0,763 pada usia 5 tahun dan 0,839 pada usia 12 tahun. Diskusi : Hasil penelitian menunjukkan adanya kesesuaian pengukuran hasil operasi dengan GOSLON yardstick index dan Modified Huddart Bodenham index. Kesimpulan : Penelitian ini menyimpulkan bahwa protokol tata laksana pasien celah bibir dan langitan di Unit Celah Bibir dan Langitan Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita mampu memberikan hasil operasi dengan kategori baik bila diukur menggunakan GOSLON yardstick index dan Modified Huddart Bodenham index. ......Cleft lip and palate is the most common congenital anomaly on the head and neck. A good treatment planning will reduce morbidity and increase quality of life. Aims : to assess the surgical outcome of patients at Cleft Center Harapan Kita General Hospital in order to evaluate their treatment protocol. Method : 36 dental cast patients with unilateral cleft lip and palate at the ages of 5 years and 12 year who had completed labioplasty and palatoplasty will be assisted by using GOSLON yardstick index and modified Huddart Bodenham index. Results : regarding to GOSLON yardstick index, 80% of surgical outcome was in good category (best, good, fair )and the same result when we use modified Huddart Bodenham index which about 80,6% was in good category (best, good and fair category). Reliability test shows a very high correlation between assessment of surgical outcome at the first, second and third time (cronbach alpha = 0,908) . Kappa value shows a great deal between two index. (kappa value = 0,763). Discussion : there was a good agreement between GOSLON yardstick index and modified Huddart Bodenham in evaluation of surgical outcome. Conclusions : surgical outcome patients with unilateral cleft lip and palate in Cleft Center Harapan Kita general hospital had a good category base on GOSLON yardstick index and modified Huddart Bodenham and treatment protocol provide a sophisticated result for the patient who underwent operation at Harapan Kita general hospital.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T30895
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Vania Ghassani Putri
Abstrak :
Latar Belakang: Molar tiga merupakan gigi yang paling sering mengalami impaksi. Impaksi gigi molar tiga seringkali dikaitkan dengan berbagai macam kondisi patologis, salah satunya adalah karies pada molar tiga itu sendiri. Penelitian mengenai distribusi dan frekuensi karies pada molar tiga yang impaksi telah dilakukan di berbagai negara, namun di Indonesia masih sedikit penelitian yang membahas hal ini. Tujuan: Mengetahui distribusi dan frekuensi karies pada molar tiga yang impaksi di RSKGM FKG UI Periode Januari 2014-Desember 2016. Metode: Studi deskriptif retrospektif dengan menggunakan data sekunder yang didapat dari rekam medik pasien RSKGM FKG UI periode Januari 2014-Desember 2016. Hasil: Analisis dilakukan pada 442 kasus impaksi molar tiga yang diindikasikan untuk dilakukan tindakan odontektomi. Dari 442 molar tiga yang impaksi, sebanyak 136 gigi 30,8 mengalami karies. Karies paling banyak terjadi pada pasien usia 26-30 tahun 32,4. Karies lebih banyak ditemukan pada pasien laki-laki 55,1 dan pada elemen gigi 38 58,1. Karies paling sering terjadi pada molar tiga dengan impaksi mesioangular 72, kelas II 63,2, dan posisi A 80,1. Permukaan yang paling sering mengalami karies adalah permukaan oklusal 47,8. Sebagian besar karies yang terjadi pada molar tiga impaksi telah mencapai kateogori advanced 61,8. Kesimpulan: Distribusi dan frekuensi karies pada molar tiga paling banyak ditemukan pada pasien laki-laki dengan usia 26-30 tahun dan karies paling banyak ditemukan pada molar tiga dengan impaksi mesioangular IIA. ......Background: The third molar is the most common tooth to become impacted. Impacted third molar is often associated with various pathological conditions, one of which is dental caries in the third molar itself. Research about caries in impacted third molar had been done in some countries. However, in Indonesia, the research about this matter is currently limited. Aim: This research is conducted to see the frequency and distribution of caries in impacted third molar in RSKGM FKG UI from January 2014 ndash December 2016. Methods: The analysis was conducted on 442 cases of impacted third molar indicated for odontectomy. Results: From 442 cases of impacted third molar, 136 teeth 30.8 had dental caries. Dental caries mostly found in patients that were 26 30 in age 32.4. Dental caries mostly happen in man 55.1 and mostly found in mandibular left third molar 58.1. Mesioangular angulation 72, class II 63.2, and position A 80.1 impaction are the most common. Caries mostly found in the occlusal surface of the impacted third molar 47,8 . Most of the caries found in the third molar are classified into the advanced category 61.8. Conclusion Caries in impacted third molar mostly found in male patient that were 26 30 in age and mostly found in third molar with mesioangular IIA classification.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusdiana
Abstrak :
Karya ilmiah ini membahas distribusi dan frekuensi pasien meloblastoma berdasarkan tipe histopatologis dan jenis kelamin di Poli Bedah Mulut RumahSakit Umum CiptoMangunkusumo Periode Januari 2002 ? Juli 2008. Penelitianini adalah penelitian kuantitatif dengan desain deskriptif restrospektif. Penelitianterhadap 66 orang pasien ameloblastoma menggambarkan bahwa kasusa meloblastoma pada jenis kelamin perempuan lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Tipe histopatologis yang terbanyak adalah tipe pleksiform. Pada pasien ameloblastoma laki-laki tipe histopatologis yang terbanyak adalah tipe folikuler dan pleksiform - folikuler, sedangkan pada perempuan adalah tipe pleksiform. Terdapat juga beberapa variasi dari tipe histopatologis.
The focus of this study is frequency and distribution of ameloblastoma patient according to histopathologic features and gender at the Oral Surgery Clinic of CiptoMangunkusumo Hospital period January 2002 - July 2008. This research is quantitative with descriptive retrospective design. According to the result, women has more high frequent than man in 66 observation case of ameloblastoma. Plexiform has more high percentage than the other types of histopathologic pattern. Follicular and Plexiform - Follicular are more found in man while plexiform is in women. There are also present the variation of histopathologic features in ameloblastoma.
Depok: Universitas Indonesia, 2008
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Tri Susilo
Abstrak :
Latar Belakang : Tebal ramus mandibula merupakan salah satu faktor penting yang harus diperhatikan saat melakukan Bilateral Sagittal Split Osteotomy BSSO . Fraktur unvaforable atau bad split dapat terjadi saat melakukan BSSO apabila ramus mandibula tipis. Data antropometri tentang tebal ramus mandibula masih belum banyak diteliti. Data antropometri tentang tebal ramus mandibula bisa dipakai sebagai acuan jika akan melakukan BSSO. Tujuan : untuk mengetahui tebal ramus mandibula berdasarkan CBCT Scan sebagai acuan tindakan BSSO. Metode : Subjek penelitian ini terdiri dari 61 sampel data DICOM CBCT Scan yang kemudian dilakukan reorientasi dalam 3 bidang dan dilakukan pengukuran pada tebal ramus mandibula menggunakan software Osirix LXIV. Hasil : Didapatkan rata-rata tebal ramus mandibula pada laki-laki 8.049 1.205 mm dan pada perempuan 8.463 1.358 mm. Pada kelompok usia 18-30 tahun didapatkan rata-rata tebal ramus mandibula 8.087 1.29 mm, kelompok usia 31-40 tahun 8.176 1.49 mm, kelompok usia 41-50 tahun 8.742 1.04 mm. Kesimpulan : Berdasarkan CBCT Scan, secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna tebal ramus mandibula pada jenis kelamin laki-laki dan perempuan maupun pada kelompok usia.
Backgorund: Ramus mandibular thickness is one of the most important factor that has to be concerned when performing Bilateral Sagittal Split Osteotomy BSSO . Unfavorable fracture or bad split could happen when performing BSSO if the ramus mandible thickness is thin. There only a few regarding antropometric data about thickness of mandibular ramus. Objective: To measure thickness of mandibular ramus based on CBCT Scan as a reference when performing BSSO. Methods: Subject of this research consist of 61 data sample DICOM CBCT Scan which reoriented in three planes and measuring thickness of the ramus mandible using Osirix LXIV. Result: Mean thickness of the ramus mandible for male is 8.049 1.205 mm and female 8.463 1.358 mm. In group age of 18 30 mean thickness of the ramus mandible is 8.087 1.29 mm, group age 31 40 is 8.176 1.49 mm, group age 41 50 is 8.742 1.04 mm. Conclusion: Based on CBCT Scan there are no difference statistically between thickness of ramus mandible in male and female, and group of age.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bramadita Satya
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Impaksi Molar 3 rahang bawah telah diketahui akan meningkatkan resiko fraktur tulang mandibula terutama di daerah angulus mandibula. Fraktur angulus mandibula sering terjadi akibat kecelakaan lalu lintas di Indonesia. Masyarakat belum mengetahui pentingnya odontektomi sebagai langkah awal pencegahan fraktur angulus mandibula.Tujuan: Untuk mengetahui apakah terdapat hubungan dari adanya fraktur angulus mandibula dengan adanya impaksi molar 3 rahang bawah.Material dan Metode: Rekam medis pasien poli Bedah Mulut dan Maksilofasial Rumah Sakit Umum kabupaten Tangerang selama periode Januari 2013-Desember 2017 dikumpulkan dan didapatkan 41 orang dengan fraktur angulus mandibula. Setiap sampel diidentifikasi adanya fraktur angulus mandibula, adanya impaksi molar 3 rahang bawah, posisi erupsi impaksi molar 3 dan kelas impaksi menurut Pell dan Gregory. Data diolah dengan uji Chi Square dan Kolmogorov Smirnov, serta ditentukan Odd Ratio. Uji hipotesis korelatif dilakukan dengan Uji Contingency Coeficient, Phi ? ? ?, Cramer rsquo;s V, dan Kendall rsquo;s Tau-b.Kesimpulan: Ditemukan hubungan antara terjadinya fraktur angulus mandibula dengan adanya impaksi molar 3 bawah mandibula dengan p = 0,01 p < 0,05 dengan Odd Ratio = 4,615; memiliki hubungan korelatif dengan p = 0,010 p < 0,05 dengan kekuatan r = 0,272 lemah . Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan posisi erupsi Suprabony,Infrabony p=0,375 p>0,05 . Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan kelas impaksi menurut Pell dan Gregory p=0,087, p>0,05 .Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan Jenis Kelamin p=0,763 p>0,05 . Tidak ditemukan hubungan bermakna antara fraktur angulus mandibula dengan Usia p=1,000 p>0,05. ABSTRACT
Background: Impacted third molar of mandibula have been studied to have a role in increasing mandible fracture especially in the mandibular angle region. Mandibular angle fractures are often the result of traffic accidents in Indonesia. People do not yet know the importance of odontectomy as a first step to prevent fracture of the mandibular angle.Objective: To determine whether there is association or correlation of the presence of angular fracture in the presence of lower third molar impaction.Materials and Methods: Medical records of patients with Oral and Maxillofacial Surgery of Tangerang District General Hospital during the period of January 2013-December 2017 were collected and obtained 41 people with mandibular angle fractures. Each sample identified an mandibular angle fracture, a lower third molar impaction, third molar impaction eruption position and an impaction class according to Pell and Gregory. The data were processed by Chi Square and Kolmogorov Smirnov, and Odd Ratio was determined. Test the correlative hypothesis with Contingency Coefficient, Phy ? ? ?, Cramer rsquo;s V, and Kendall Tau B test.Conclusion: There was found a association between the presence of mandibular angle fracture in the presence of mandibula lower 3 molar impaction with p = 0,01 p 0,05 . There was no significant association between mandibular angle fracture and Gender p = 0,763 p> 0,05 . There was no significant association between mandibular angle fracture and Age p = 1,000 p> 0,05
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indriati
Abstrak :
Pendahuluan: Trauma maksilofasial dapat terjadi karena beberapa etiologi dan yang paling sering terjadi ialah trauma akibat kecelakaan lalu lintas. Pasien dengan trauma maksilofasial biasanya akan menjalani perawatan rawat inap dengan durasi yang lama berkaitan dengan rangkaian perawatan yang harus dilakukan. Terdapat beberapa sistem penilaian tingkat keparahan dari trauma yang terjadi yang sudah diperkenalkan dan digunakan, dan sistem penilaian Facial Injury Severity Scale (FISS) oleh Bagheri et al telah digunakan secara luas untuk menilai derajat keparahan cedera maksilofasial. Trauma maksilofasial dapat menjadi salah satu kondisi yang dapat berhubungan dengan cedera kranial, sehingga penilaian kesadaran perlu dilakukan. Glasgow Coma Scale (GCS) adalah sistem penilaian kesadaran pasien pasca trauma yang telah digunakan secara luas selama empat dekade terakhir. Namun, kemampuan kedua sistem penilaian tersebut dalam menunjukkan hubungan tingkat keparahan trauma dan tingkat kesadaran dengan lama rawat inap masih jarang digunakan dalam penelitian. Tujuan: Untuk mengevaluasi indeks keparahan trauma maksilofasial menggunakan (FISS) dan tingkat kesadaran (GCS) dengan lama rawat inap pada pasien trauma maksilofasial di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Metode: Studi restrospektif, menggunakan data sekunder dengan menganalisis rekam medis trauma maksilofasial semua rentang usia di IGD RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo pada periode Januari 2019 hingga Desember 2022. Hasil dan pembahasan: Sebanyak 346 pasien yang memenuhi kriteria inklusi diikutkan dalam studi ini. Analisis multivariat menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna tiap kelompok secara statistik (p>0,05) antara skor FISS dengan lama rawat inap dan didapatkan tidak adanya hubungan yang signifikan antara lama rawat inap dengan skor FISS (p > 0,05). Hubungan lama rawat inap dengan skor FISS menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola positif, di mana semakin bertambah skor FISS, akan menambah lama rawat inap. Analisis multivariat juga menunjukan bahwa tidak terdapat perbedaan bermakna tiap kelompok secara statistik (p>0,05) antara skor FISS dengan lama rawat inap dan tidak terdapat hubungan yang signifikan antara lama rawat inap dengan Nilai GCS (p > 0,05). Hubungan lama rawat inap dengan nilai GCS menunjukkan hubungan yang lemah dan berpola negatif di mana semakin berkurang nilai GCS, akan menambah lama rawat inap.Kesimpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna dari skor FISS dan GCS terhadap lama rawat inap pasien. ......Introduction: Maxillofacial trauma can occur due to several etiologies and the most common is trauma due to traffic accidents. Patients with maxillofacial trauma will usually undergo inpatient treatment with a long duration due to the series of treatments. There are several trauma severity rating systems that have been introduced and used, and the Facial Injury Severity Scale (FISS) rating system by Bagheri et al has been widely used to assess the severity of maxillofacial injuries. Maxillofacial trauma can be one of the conditions that can be associated with cranial injuries, so an assessment of consciousness needs to be done. The Glasgow Coma Scale (GCS) is a system for assessing the consciousness of posttraumatic patients that has been widely used over the past four decades. However, the ability of the two scoring systems to show the relationship between trauma severity and level of consciousness with length of hospitalization is rarely used in research, Objective: To evaluate the index of severity of maxillofacial trauma using FISS and level of consciousness (GCS) with length of hospitalization in maxillofacial trauma patients at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from January 2019 to December 2022. Metode: Retrospective study, using secondary data by analyzing Maxillofacial Trauma medical records for all age ranges in the emergency room at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo from January 2019 to December 2022. Result and Discussion: A total of 346 patients who met the inclusion criteria were included in this study. Multivariate analysis showed that there was no statistically significant difference between each group (p>0.05) between the FISS Score and length of hospitalization and there was no significant relationship between length of hospitalization and FISS Score (p>0.05). The relationship between length of hospitalization and FISS score shows a weak relationship and has a positive pattern, where the increasing FISS score will increase the length of hospitalization. Multivariate analysis also showed that there was no statistically significant difference between each group (p>0.05) between the FISS score and length of hospitalization and there was no significant relationship between length of hospitalization and GCS score (p>0.05). The relationship between the length of hospitalization and the GCS score shows a weak relationship and has a negative pattern, where the decreasing the GCS score, the longer the length of hospitalization. Conclusion: There was no significant difference between the FISS and GCS scores on the patient's length of hospitalization.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marpaung, Yohan Edward
Abstrak :
Defek tulang merupakan kondisi yang sering dijumpai di daerah mulut dan maksilofasial. Rekonstruksi perlu dilakukan untuk mengatasi hal ini. Rekonstruksi dapat dilakukan dengan menggunakan material tandur tulang sintetik, salah satunya adalah biomaterial komposit hidroksiapatit-kitosan. Suatu biomaterial yang bertindak sebagai bahan tandur tulang harus memiliki kemampuan bioaktivitas, yang dinilai secara in vitro dari kemampuannya membentuk lapisan bone-like apatite pada permukaannya setelah diberikan perlakuan dalam cairan yang analog plasma tubuh. Pada uji in vitro dalam simulated body fluid selama 2, 4, 6 dan 8 hari nampak terbentuk lapisan bone-like apatite pada permukaan yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan SEM dan XRD. ......Bone defect in oral and maxillofacial region is common occurred. Reconstruction, regardless the etiology is required. Bone graft materials as reconstruction material can be made synthetically, one of them is hydroxyapatite-chitosan composite. This biomaterial needs bioactive ability to act as bone graft. Bioactive ability can be examined by the formation of bone-like apatite on the composite surface after incubating in human plasma analogue solution. In this study, the hydroxyapatite-chitosan granules show bone-like apatite formation on the surface after incubation in simulated body fluid which then confirmed using SEM and XRD analysis for 2, 4, 6 and 8 days.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yudy Ardilla Utomo
Abstrak :
Latar Belakang: Tumor rongga mulut jinak yang besar menyebabkan deformitas pada wajah sehingga tindakan koreksi dengan operasi menyebabkan defek anatomis, fisiologis, serta psikologis pada penderita. Prosedur bedah dan rekonstruksi pada pasien dengan tumor mandibula merupakan tantangan yang kompleks. Mandibula tersusun atas komponen-komponen seperti korpus mandibula, simphisis mandibula, parasimphisis mandibula, ramus mandibula, procesus coronoideus, dan kondilus mandibula. OPG masih dapat digunakan untuk melihat perubahan morfologi kondilus. Diketahui bahwa perubahan pada morfologi kondilus dapat berupa berkurangnya konfigurasi dan volume dari kondilus itu sendiri, berkurangnya ketinggian ramus, hal ini dapat menyebabkan permasalahan pada sistem stomatognatik pasien. Tujuan: Mengetahui perubahan morfologi kondilus mandibula pasca reseksi dengan kategori perubahan morfologi kondilus di Divisi Bedah Mulut dan Maksilofasial, Departemen Gigi dan Mulut RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Material dan Metode: Penelitian dengan metode retrospektif melalui radiografi panoramik pasien-pasien tumor mandibula pre operasi reseksi,pasien-pasien tumor mandibula pasca operasi reseksi,dan pasien-pasien tumor mandibula 1 tahun pasca operasi reseksi selama bulan Juni sampai dengan Agustus tahun 2019 di Divisi Bedah Mulut dan Maksilofasial RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Setiap sampel dilakukan pengukuran pada radiografi panoramiknya dengan menggunakan Klasifikasi Kranjenbrink dan klasifikasi morfologi kondilus mandibula. Hasil: Pada penelitian ini tidak terjadi perubahan tinggi kondilus mandibula pasca segmental reseksi mandibula. (p: 0,801). Tidak terjadi perubahan morfologi kondilus mandibula pasca reseksi mandibula (P: 0.41) untuk kondilus kiri dan (p: 0.32) untuk kondilus kanan. Dan didapat dengan jenis operasi disartikulasi, terjadi perubahan morfologi kondilus mandibula pasca disartikulasi reseksi mandibula (p: 0.003) untuk kondilus kiri, dan (p: 0.012) untuk kondilus kanan. Kesimpulan: Hasil penelitian menunjukkan tidak terdapat perubahan morfologi kondilus mandibula pada reseksi mandibula pada left condyle (LC)ataupun right condyle (RC). Terdapat perubahan morfologi kondilus pada satu sisi pasca reseksi disartikulasi mandibula. Tidak terdapat perubahan tinggi kondilus mandibula pasca reseksi segmental mandibula pada left condyle (LC)ataupun right condyle (RC). ......Background: Large benign oral cavity tumors causing deformity in the face, requires surgical correction causing anatomical, physiological and psychological defects in patients. Surgical and challenging procedures in patients with mandibular tumors are complex challenges. The mandible is composed of components such as the mandibular corpus, mandibular symphysis, mandibular parasymhysis, mandibular ramus, coronoid process, and mandibular condyle. OPG can still be used to see changes in the condyle morphology. It is known that changes in the condyle morphology can affect its configuration and volume of the condyle itself, reducing the height of the ramus, this can cause complications in the patient's stomatognathic system. Objective: To determine the morphological changes of the mandibular condyle post resection in condyle morphological changes in the Oral and Maxillofacial Surgery Division, Department of Dentistry Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. Materials and Methods: A retrospective study using panoramic radiographs of patients with preoperative mandibular tumor resection, patients with mandibular tumor postoperative resection, and mandible tumor patients 1 year after surgery 2019 in the Oral and Maxillofacial Surgery Department of Cipto General Hospital, Cipto General Hospital Mangunkusumo, Jakarta. Each sample was measured on its panoramic radiography using the Kranjenbrink Classification and the morphological classification of the mandibular condyle. Result: In this study there was no change in the height of the mandibular condyle after segmental resection of the mandible. (p: 0.801). There were no changes in the morphology of the mandibular condyle after resection of the mandible (P: 0.41) for the left condyle and (p: 0.32) for the right condyle. And obtained with this type of disarticulation surgery, there was a morphological change in the mandibular condyle after disarticulation of the resection of the mandible (p: 0.003) for the left condyle, and (p: 0.012) for the right condyle. Conclusion: The results showed no morphological changes in the mandibular condyle in resection of the mandible in the left condyle (LC) or right condyle (RC). There is a change in the condyle morphology on one side post disarticulating resection of the mandible. There is no change in the height of the mandibular condyle after resection of the segmental mandible in the left condyle (LC) or right condyle (RC).
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>