Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tangkudung, Gerard
Abstrak :
ABSTRAK Tindakan intrusi molar pertama rahang atas menggunakan penjangkar miniscrew yang diletakkan di sisi bukal dan palatal sering digunakan dan memiliki tingkat keberhasilan yang cukup tinggi. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui perbedaan distribusi tekanan pada tindakan intrusi molar pertama rahang atas menggunakan miniscrew yang diletakkan dengan ketinggian 3 mm, 5 mm, dan 7 mm dari cementoenamel junction, serta sudut 45° dan 90° dari sumbu gigi. Model tiga dimensi struktur kraniomaksila dibuat dari hasil pemindaian tengkorak kering. Terdapat empat Region of Interest (ROI) yang ditentukan yaitu akar molar pertama rahang atas, alveolar molar pertama rahang atas, miniscrew, dan alveolar miniscrew. Terdapat perbedaan bermakna (p<0,05) distribusi tekanan pada tindakan intrusi molar pertama rahang atas, baik pada kelompok ketinggian maupun sudut pemasangan miniscrew, di semua ROI. Gambaran tekanan pada molar pertama rahang atas dan alveolarnya terkonsentrasi di daerah akar palatal dan trifurkasi. Gambaran tekanan pada alveolar miniscrew menunjukkan perbedaan distribusi spektrum warna pada kelompok sudut pemasangan. Tindakan intrusi molar pertama rahang atas dipengaruhi oleh ketinggian dan sudut pemasangan miniscrew.
ABSTRACT Miniscrew-assisted upper first molar intrusion had been developed recently with high rate of success. The placement of two miniscrews, buccally and palatally, is usually done to deliver such force. This research was conducted to analyse the difference of stress distribution of upper first molar intrusion using two miniscrews, placed at 3 mm, 5 mm, and 7 mm from cementoenamel junction, and 45° and 90° from the tooth axis. A three-dimensional solid model of craniomaxillary structure was rendered and the region of interests (ROI) were defined at the first molar roots, its alveolar, miniscrews, and the bone surrounding the miniscrews. Statistical analysis showed that there were significant differences (p<.05) of Von Mises mean values in the ROIs between all groups of height and angle of placement. Visual analysis showed that the stress distribution in first molar roots were concentrated at the trifurcation and palatal root apex area, while in the bone surrounding the miniscrews, the highest stress distribution was located diversely among separate angles of placement groups. The stress distribution of upper first molar intrusion using miniscrews anchorage was affected by heights and angles of miniscrews placement.

Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Poetrie Febrinadya
Abstrak :
Pendahuluan: Pergerakan gigi ortodonti akan merangsang terjadinya proses inflamasi sehingga mengeluarkan mediator inflamasi. Prostaglandin E2 (PGE2) adalah salah satu mediator inflamasi yang dikeluarkan selama pergerakan ortodonti dan berperan dalam resorpsi tulang. Proses inflamasi ini terjadi pada semua pergerakan ortodonti termasuk pada penggunaan sistem self-ligating. Walaupun sistem self-ligating diklaim banyak memiliki keuntungan, termasuk efeknya pada ligamen periodontal, akan tetapi belum ada penelitian secara biomolekular yang membandingkan mediator inflamasi dalam ligamen periodontal. Metode: Duabelas pasien dari klinik ortodonti, FKG-UI, dengan kasus nonekstraksi dan indeks iregularitas pada insisif mandibula sebesar 4-9 mm, mendapatkan perawatan ortodonti dengan sistem self-ligating pasif (Damon Q, Ormco) dan sistem konvensional preskripsi MBT (Agile, 3M). Cairan krevikular gingiva diambil dari sisi labial regio insisif mandibula pada 0 jam (sebagai kontrol), 24 jam, dan 4 minggu. Kadar PGE2 diperiksa menggunakan ELISA. Hasil: Walaupun secara statistik tidak terdapat perbedaan kadar PGE2 pada pemakaian braket self-ligating dibandingkan dengan konvensional pada 0 jam, 24 jam (p=0,815), dan 4 minggu (p=0,534), namun secara deskriptif kelompok selfligating memiliki kadar PGE2 lebih tinggi dari konvensional secara konsisten pada 0, 24jam, dan 4 minggu. Pada waktu 24 jam, kadar PGE2 meningkat dibandingkan saat 0 jam, pada kedua sistem, dan kadar PGE2 pada kelompok self-ligating pasif (302,55±26,33 pg/ mL) lebih besar daripada kelompok konvensional (264,43±83,08 pg/mL). Pada waktu 4 minggu, kadar PGE2 menurun dibandingkan dengan waktu pengambilan 0 jam dan 24 jam, pada kedua kelompok sistem, dan kadar PGE2 pada kelompok self-ligating (236,17±42,63 pg/mL) lebih besar dari kelompok konvensional (208,267±81,83 pg/mL). Kesimpulan: Penelitian kami menyimpulkan bahwa sistem self-ligating memberikan respon selular yang berbeda dibandingkan sistem konvensional. ......Introduction: Inflammation process, as a result of orthodontic tooth movement, will trigger the release of inflammatory mediator. Prostaglandin E2 (PGE2) is one of the inflammatory mediator that is released during the orthodontic movement and plays an important role in bone resorption. These inflammatory process occurred in all orthodontic movement included in orthodontic treatment using self-ligating system. Although self-ligating system?s advantages have been claimed, including the effect of the system in periodontal ligament, there are still no research in biomolecular level comparing the mediator release in periodontal ligament. Objective: The purpose of this study was to examine PGE2 concentration in gingival crevicular fluid (GCF) during initial alignment of anterior mandible, using two different system brackets, passive self-ligating and conventional bracket. Methods: Twelve patients with mandibular incisor irregularities of 4 to 9 mm and prescribed nonextraction cases, from orthodontic clinic, faculty of dentistry, Universitas Indonesia, were having orthodontic treatment. They were divided into 2 groups, each group were using Damon passive self-ligating system (Damon Q, Ormco), and conventionally ligated bracket with MBT?s prescription (Agile, 3M). GCF were taken from labial site of mandibular incisors at 0 hour (served as control), 24 hours, and 4 weeks. PGE2 level was determined using ELISA kit. Results: There was no statistically difference in PGE2 level in self-ligating system group compared with conventional group, at 0, 24 hours, and 4 weeks, but from descriptive view self-ligating group had higher PGE2 levels than conventional at 0, 24 hours, and 4 weeks. At 24 hours, mean of PGE2 level was elevated from 0 hour, in both groups, and mean of PGE2 level was higher in self-ligating group (302,55±26,33 pg/ mL) than conventional group (264,43±83,08 pg/mL). At 4 weeks, mean of PGE2 level was decrease from 0, and 24 hours in both groups, and mean of PGE2 level was still higher in self-ligating group (236,17±42,63 pg/mL) than conventional group (208,267±81,83 pg/mL). Conclusion: Our findings suggest that self-ligating giving difference cellular response than conventional systems during orthodontic tooth movement
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T31294
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Hanny Kurnia
Abstrak :
Model studi digital 3D diperkenalkan seiring dengan perkembangan teknologi digital. Penelitian ini dilakukan untuk menilai keandalan model studi digital yang dipindai dengan menggunakan perangkat pemindai laser yang dikembangkan oleh STEI ITB. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk membandingkan model studi digital 3D dengan model studi konvensional. Dua belas subyek dengan geligi berjejal ringan sampai sedang dicetak sebanyak dua kali dengan menggunakan alginat dan polyvinylsiloxane. Cetakan alginat dicor untuk menghasilkan model studi konvensional dan cetakan polyvinylsiloxane dipindai untuk menghasilkan model studi digital. Kemudian dilakukan pengukuran lebar mesiodistal gigi dan indeks ketidakteraturan Little (LII) pada model studi konvensional secara manual dengan kaliper digital dan pada model studi digital secara digital. Lalu analisa Bolton dilakukan pada masing-masing studi model menggunakan data pengukuran lebar gigi. Setiap pengukuran dilakukan dua kali untuk menguji variasi antar pengukuran (uji intra-observer). Pengukuran pada model studi konvensional dan digital dibandingkan dengan menggunakan uji t tidak berpasangan. Ditemukan tidak terdapat perbedaan bermakna antara pengukuran lebar mesiodistal gigi pada model studi konvensional dengan model studi digital (p>0.05). Uji t tidak berpasangan juga tidak menemukan perbedaan bermakna antara model studi konvensional dan digital pada analisa Bolton (p=0.603) dan LII (p=0.894). Dapat disimpulkan bahwa pengukuran pada model studi digital sama akurat dengan model studi konvensional. ...... Three-dimensional digital study models were introduced following advances in digital technology. This study was carried out to assess the reliability of digital study models scanned by laser scanning device assembled by STEI ITB. The aim of this study was to compare digital study models and conventional models. Twelve sets of dental impressions were taken from patients with mild to moderate crowding. The impressions were taken twice, one with alginate and the other with polyvinylsiloxane. The alginate impressions were made into conventional models and the polyvinylsiloxane impressions were scanned to produce digital models. Mesiodistal tooth width and Little?s irregularity index (LII) were measured manually with digital callipers on the conventional models and digitally on digital study models. The Bolton analysis was performed on each study models. Each method was carried out twice in order to check for intra-observer variability. The reproducibility (comparison of the methods) was assessed by using independent samples t test. Mesiodistal tooth width between conventional and digital models were not significantly different (p>0.05). Independent samples t test did not identify statistically significant differences for Bolton analysis and LII (p=0.603 for Bolton and p=0.894 for LII). The measurements on digital study models are as accurate as the measurements on conventional study models.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Caterine
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Kasus kehilangan gigi molar pertama yang disertai dengan mesial tipping dari gigi molar kedua sering ditemui, sehingga penegakan gigi merupakan salah satu mekanika yang sering dilakukan oleh klinisi. Namun, sebagian besar literatur yang tersedia mengenai penegakan gigi merupakan laporan kasus yang memaparkan mengenai hasil perawatan dengan mekanika tertentu, sesuai dengan pengalaman masing-masing klinisi. Efisiensi dalam perawatan ortodonti, khususnya penegakan gigi, dapat dicapai apabila pergerakan gigi dapat diprediksi. Tujuan: Menganalisis gambaran distribusi stress pada ligamen periodontal gigi molar kedua, pada model 3D mandibula, serta menganalisis perpindahan inisial gigi molar kedua (dalam arah bukolingual, vertikal, dan mesiodistal) ketika diaplikasikan gaya penegakan gigi dengan menggunakan initial archwire, helical uprighting spring, T-loop, serta dengan retromolar miniscrew. Metode: Konstruksi model tiga dimensi mandibula dilakukan dalam satu kuadran, dengan konfigurasi kehilangan gigi molar pertama dan gigi molar kedua tipping 30º. Empat buah model kerja dibuat sesuai dengan metode penegakan gigi yang akan diuji yaitu dengan initial archwire, helical uprighting spring, T-loop, serta dengan retromolar miniscrew. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna intensitas stress dan perpindahan inisial pada keempat kelompok mekanika yang diuji. Distribusi stress dan perpindahan inisial gigi molar kedua pada penggunaan initial archwire sangat kecil dibandingkan dengan ketiga mekanika lain yang diuji. Pada penggunaan T-loop, helical uprighting spring, dan retromolar miniscrew, area tension terbentuk paling besar di area servikal akar mesial, sedangkan area compression terbentuk pada area servikal akar distal. Pada analisis perpindahan inisial gigi molar kedua, penggunaan helical uprighting spring menunjukkan ekstrusi yang paling besar, diikuti oleh T-loop, dan retromolar miniscrew. Selain itu, terlihat adanya pergerakan akar pada penggunaan retromolar miniscrew, yang tidak ditemukan pada penggunaan mekanika lainnya. Kesimpulan: Intensitas stress ekuivalen paling besar dihasilkan dari penggunaan helical uprighting spring, T-loop, dan retromolar miniscrew secara berurutan. Analisis perpindahan inisial gigi menunjukkan penggunaan retromolar miniscrew menyebabkan mesial root movement, dibandingkan dengan distal tipping mahkota gigi pada mekanika lain.
ABSTRACT
Introduction: One of the most frequently encountered clinical situation in adult patients would be the tipping of mandibular second molar which normally occurred due to early loss of the first molar. Previous studies reported different uprighting mechanics were mainly case report and only a few that aimed to describe the efficacy of the various available mechanics. A profound understanding of the efficacy and predictability of the various mechanics would improve tooth movement and prevent unwanted side effects that may arise. The aim of this study was to analyse and compare the stress distribution as well as initial displacement of mandibular second molar using various uprighting mechanics. Methods: A three-dimensional model was constructed and analysed using Finite Element Analysis (FEA) with tipped mandibular second molar set at 30º. Four mandibular models were assembled according to different uprighting mechanics, as follows: initial continuous archwire, helical uprighting spring, T-loop and retromolar miniscrew. Results: Stress distribution and initial displacement resulted from the use of initial archwire were insignificant compared to other mechanics tested. The highest tensile stress were observed on the cervical area of mesial root and the highest compressive stress were observed on the cervical area of distal root on the application of T-loop, helical uprighting spring, and retromolar miniscrew mechanics. Analysis of initial tooth displacement showed that helical uprighting spring caused the largest degree of extrusion, followed by T-loop, and retromolar miniscrew. Root movement was observed on the usage of retromolar miniscrew. Conclusion: Greatest equivalent stress were observed on the usage of helical uprighting spring, T-loop, and retromolar miniscrew in consecutive order. Analysis of initial displacement of the second molar showed that the application of retromolar miniscrew caused mesial root movement, while other mechanics showed distal tipping of the crown.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sigit Handoko Utomo
Abstrak :
Pendahuluan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan gambaran kraniofasial pada masa pubertal yang sama yang dievaluasi dengan metode cervical vertebral maturation (CVM) antara anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit pasca labioplasti dan palatoplasti dibandingkan dengan anak tanpa celah bibir dan langit-langit. Material dan metode: Subyek penelitian yang terdiri dari 14 anak dengan celah bibir dan langit-langit unilateral komplit pasca labioplasti dan palatoplasti dan 14 anak tanpa celah bibir dan langit-langit yang berada pada masa pubertal. Periode pubertal dievaluasi menggunakan metode cervical vertebral maturation (CVM) yang dikembangkan oleh Baccetti et al, 2002.Dilakukan pengukuran sefalometri linier dan angular pada sefalogram lateral dari subyek penelitian meliputi 11 variabel. Uji t tidak berpasangan dilakukan untuk mengetahui perbedaan gambaran kraniofasial antara kedua kelompok. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna pada: panjang basis kranium anterior (p=.002), panjang keseluruhan basis kranium (p=.001), panjang maksila (p=.000), panjang mandibula (p=.000), tinggi ramus mandibula (p=.000), panjang badan mandibula (p=.002), tinggi wajah anterior atas (p=.004). Tidak terdapat perbedaan bermakna pada: panjang basis kranium posterior (p=.051), tinggi wajah anterior bawah (p=.206), tinggi wajah posterior (p=.865), pola pertumbuhan/tipe wajah (p=.202). Kesimpulan: Kompleks nasomaksila merupakan area yang paling terpengaruh oleh adanya celah bibir dan langit-langit unilateral
Abstract
Introduction: The purpose of this study was to evaluate craniofacial morphology of pubertal children with complete unilateral cleft lip and palate following labioplasty and palatoplasty. Materials and methods: A series of 14 consecutively treated subjects with complete unilateral cleft lip and palate following labioplasty and palatoplasty were compared with 14 pubertal stage-matched controls with normal craniofacial structure. Pubertal stage was determined with cervical vertebral maturation (CVM) method improved by Baccetti et al, 2002.Lateral cephalograms were used for comparison. An unpaired t-test was run for 14 subjects with complete unilateral cleft lip and palate and 14 normal subjects. Results:: There were significant cephalometric differences in anterior cranial base length (p=.002), cranial base length (p=.001), maxillary length (p=.000), mandibular length (p=.000), mandibular ramus height (p=.000), mandibular body length (p=.002), and upper anterior face height (p=.004). There was no significant cephalometric difference in posterior cranial base length (p=.051), lower anterior face height (p=.206), posterior face height (p=.865), growth pattern/ facial type (p=.202). Conclusion: The maxillary complex was most affected by cleft lip and palate but growth disturbance in chidren with complete unilateral cleft lip and palate were not restricted only at the maxilla.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T31135
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Riko Nofrizal, athor
Abstrak :
ABSTRAK
Persepsi merupakan suatu proses menyeleksi, mengatur dan menginterpretasikan berbagai masukan informasi sensorik untuk memperoleh pemahaman mengenai lingkungan. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengevaluasi perbandingan persepsi estetika dental antara orang awam dengan ortodontis berdasarkan Aesthetic Component dari IOTN. Terdapatnya hasil yang masih berbeda-beda dari beberapa penelitian sebelumnya serta belum adanyapenelitian sejenis di Indonesia dengan latar belakang kultural yang berbeda menjadi alasan dilakukan penelitian ini.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif crosssectional. Masing-masing kelompok terdiri dari 42 responden.Setiap responden diminta untuk membandingkan enam foto intra oral pada lembar kuesioner terhadap foto dari Aesthetic Component.Enam foto intra oral pada lembar kuesioner tersebut diambil dari enam pasien, dengan keadaan tiap foto intra oral tersebut mewakili salah satu foto dari Aesthetic Component.

Dari keenam foto intra oral pada lembar kuesioner yang dibandingkan terhadap keseluruhan foto dari Aesthetic Component, ditemukan satu foto yang memiliki perbedaan persepsi estetika dental antara orang awam dengan ortodontis, yaitu foto dengan keadaan deepbite. Sedangkan pada lima foto lainnya tidak terdapat perbedaan persepsi estetika dental antara orang awam dengan ortodontis.

Hasil penelitian secara keseluruhan menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan persepsi estetika dental antara orang awam dengan ortodontis pada hampir semua foto, kecuali satu foto dengan keadaan deepbite, yang dinilai berdasarkan Aesthetic Component dari IOTN.
ABSTRACT
Perception is a process of selecting, organizing and interpreting the input of sensory information to gain acomprehensionabout environment. Several studies had been conducted to evaluate comparation of dental aesthetic perceptions between the lay personsand orthodontists based on the Aesthetic Component of IOTN. The results of those studies still had differenceswith some previous studies. Because of the differences in results and yet no studies had been done in Indonesia with a different cultural background, the author found it interesting to study the topic more deeply.

The study was a descriptive cross-sectional study. Each group consisted of 42 respondents whereas each respondent was asked to compare six intra oralimages on a questionnaire sheet to the photos of Aesthetic Component. The six intra oral images were taken from six patients that represented the Aesthetic Componentimages.

From six intra-oral images on a questionnaire that had been compared to the overall pictures of Aesthetic Component, there wasan imagewhich hadgiven a different perception of dental aesthetics between the lay personsand orthodontists. It was animage with deepbite condition. Meanwhile, the rest ofimageshad no different perception of dental aesthetics between lay personand orthodontists.

The overall results showed that there was no different perception of dental aesthetics between the lay personsand orthodontists, exceptone image with deepbite condition, which was assessed based on the Aesthetic Component of IOTN.
2012
T31240
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Kusumadewy
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Pergerakan gigi pada perawatan ortodontik merupakan kombinasi proses resorbsi dan aposisi sehingga terjadi remodelling tulang. Gaya ortodontik menyebabkan keluarnya mediator inflamasi seperti interleukin-1β dari ligamen periodontal dan tulang alveolar sehingga merangsang resorbsi tulang. Salah satu tren ortodontik saat ini adalah pemakaian braket self-ligating, yang dianggap memiliki keunggulan dibandingkan dengan braket konvensional. Penelitian klinis menunjukkan bahwa dengan braket self-ligating waktu perawatan lebih cepat, nyeri berkurang, dan kerusakan periodontal minimal dibandingkan dengan braket konvensional. Saat ini belum pernah ada penelitian dari aspek biologi molekuler yang membandingkan kedua sistem braket ini dengan indikator interleukin-1β. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kadar IL-1 β pada perawatan ortodontik menggunakan self-ligating dan konvensional. Metode: 12 pasien baru klinik ortodonti FKG-UI, dengan derajat crowding 4- 9mm pada anterior mandibula, dibagi menjadi 2 kelompok menggunakan selfligating dan konvensional. Subyek tidak memiliki penyakit periodontal dan penyakit sistemik yang terkait dengan kerusakan tulang. Sampel diambil dari cairan krevikular gingiva pada 0, 24jam, dan 4minggu setelah pemberian gaya, kemudian diperiksa konsentrasi total IL-1 β menggunakan ELISA. Hasil: Tidak terdapat perbedaan kadar IL-1β yang bermakna secara statistik pada pemakaian braket self-ligating dibandingkan dengan braket konvensional pada 0 jam (p=0,093), 24 jam (p=0,327), dan 4 minggu (p=0,077), namun kelompok braket self-ligating secara konstan memiliki rata-rata kadar IL-1β yang lebih tinggi dibanding kelompok braket konvensional pada 24 jam (73,27±27,80 pg/ml dan 56,45±28,76 pg/ml), dan 4 minggu (62,27±25,46 pg/ml dan 37,29±17,13 pg/ml)
Abstract
Introduction: Tooth movement in orthodontic treatment resulting from resorption and apposition process that leads to bone remodeling. Orthodontic force will trigger the release of inflammatory mediators such as interleukin-1β from the periodontal ligament and alveolar bone to stimulate bone resorption. One current trend is the use of self-ligating bracket, which is considered to have more advantages compared with conventional bracket. Clinical studies have shown that the using of self-ligating bracket will reduce treatment time, causing less pain, and minimal periodontal damage compared with the conventional bracket. Until date, none of the research comparing IL-β as an indicator of inflammation between two bracket systems were done. The purpose of this research is to detect the IL-1 β level on orthodontic treatment using self-ligating and conventional brackets. Methods: 12 patients from orthodontic clinic faculty of dentistry Universitas Indonesia, with the degree of crowding 4-9mm in the anterior mandible, divided into 2 groups using self-ligating and conventional. The subjects did not have periodontal disease and systemic diseases associated with bone destruction. Samples taken from gingival crevicular fluid at 0, 24h, and 4week after giving force, and then examined the concentration and total IL-1 β using ELISA. Results: There were no statistically differences found in IL-1β level beetween self-ligating compared with conventional brackets in 0 hour (p=0,093), 24 hour (p=0,327), and 4 weeks (p=0,077) but self-ligating group contantly had higher levels of IL-1β than the conventional at 24h (73,27±27,80 pg/ml versus 56,45±28,76 pg/ml), and 4 weeks (62,27±25,46 pg/ml versus 37,29±17,13 pg/ml) Conclusion: There are differences in the cellular response beetween the use of self-ligating brackets and conventional brackets
2012
T30907
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jessyca
Abstrak :
Tujuan: Mengetahui perbedaan persepsi antara ortodontis dengan masyarakat awam serta pria dengan wanita dalam menilai hasil perawatan hipodonsia insisif lateral rahang atas bilateral. Metode penelitian: Bentuk, warna, dan tepi gingiva gigi insisif lateral rahang atas bilateral dimodifikasi secara digital sebagai simulasi hasil perawatan hipodonsia insisif lateral rahang atas bilateral. Ketiga foto hasil modifikasi dilampirkan pada kuesioner berbasis digital lalu dinilai oleh 100 ortodontis dan 100 masyarakat awam, terdiri dari 100 pria dan 100 wanita. Penilaian dilakukan dengan metode Visual Analogue Scale (VAS) dan uji statistik dilakukan dengan uji-t tidak berpasangan. Hasil: Perbedaan bermakna secara statistik ditemukan pada persepsi ortodontis dan masyarakat awam terhadap foto perawatan dengan substitusi kaninus tanpa rekonturing dan foto perawatan dengan protesa. Kesimpulan: Ortodontis dan masyarakat awam memiliki persepsi yang berbeda terhadap hasil perawatan hipodonsia insisif lateral rahang atas bilateral, sedangkan jenis kelamin tidak mempengaruhi persepsi terhadap hasil perawatan hipodonsia insisif lateral rahang atas bilateral. ......Objectives: This study aimed to compare the perception of Indonesian orthodontists and laypeople as well as men and women to the treatment of bilateral upper lateral incisor hypodontia. Methods: Shape, color, and gingival margin of bilateral upper lateral incisor were digitally modified as a simulation of bilateral upper lateral incisor hypodontia treatment result. Three modified photos were presented in a digital-based questionnaire and assessed by 100 orthodontists and 100 laypeople, consisting of 100 men and 100 women. The assessment was done using Visual Analogue Scale (VAS) and unpaired t-test was used to process the data. Results: Statistically significant differences were found between the perception of orthodontists and laypeople to the treatment utilizing canine substitution without recontouring, along with the treatment using prosthesis. Conclusions: Orthodontists and laypeople have different perceptions to the treatment results of bilateral upper lateral incisor hypodontia, while gender does not affect the perception to the treatment results.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Rachma Gullianne
Abstrak :
Tujuan: Mengetahui hubungan antara polimorfisme gen Myosin 1H dan P561T dengan pertumbuhan dan perkembangan mandibula pada kasus maloklusi kelas I, II dan III. Metode penelitian: Subjek merupakan pasien dengan dengan kasus maloklusi skeletal kelas I, II dan III berusia 17 - 45 tahun yang sedang dan akan melakukan perawatan ortodonti di klinik ortodonti RSGM-FKGUI, yaitu 50 orang dengan maloklusi skeletal kelas I sebagai kontrol, 50 orang dengan maloklusi skeletal kelas II dan 50 orang dengan maloklusi skeletal kelas III. Penentuan maloklusi kelas I, II dan III berdasarkan analisis radiografis sefalometri awal dengan metode Stainer. Sampel DNA diekstraksi dari potongan kuku dan folikel rambut pada kasus maloklusi skeletal kelas III dan menggunakan sampel yang sudah diekstraksi dari usapan bukal dan sel darah pada pada kasus maloklusi skeletal kelas I dan II. Amplifikasi sekuens DNA dilakukan dengan menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction). Analisis Polimorfisme Genetik gen Myosin 1H dan P561T dengan teknik RLFP (Restriction Fragment Length Polymorphism). Pearson Chi-Square dilakukan untuk menganalisis hubungan antara polimorfisme dan pengukuran kraniofasial pada gen Myosin 1H dan Fisher Exact Test untuk menganalisis hubungan antara polimorfisme dan pengukuran kraniofasial pada gen P561T. Hasil: Terdapat hubungan polimorfisme gen Myosin 1H dengan maloklusi skeletal kelas I, II dan III. Tidak terdapat hubungan polimorfisme gen P561T dengan maloklusi skeletal kelas I, II dan III. Kesimpulan: Polimorfisme gen Myosin 1H merupakan salah satu faktor resiko dari maloklusi kelas I, kelas II dan kelas III. Ekstraksi DNA dari folikel rambut memberikan hasil yang cukup baik dalam hal kualitas DNA dan cara pengambilan sampel yang relatif lebih mudah dibandingkan purifikasi sel darah dan usapan bukal. ......Objectives: To determine the relationship between polymorphisms of Myosin 1H and P561T genes and the growth and development of the mandible in Class I, II, and III malocclusion cases. Methods: Subjects were patients aged 17-45 years old with Class I, II, and III skeletal malocclusion cases who were undergoing and/ or would undergo orthodontic treatment at the orthodontic clinic at RSGM-FKG UI, namely 50 people with Class I skeletal malocclusion, 50 people with Class II skeletal malocclusion, and 50 people with Class III skeletal malocclusion. Class I skeletal malocclusion was used as control group. Class I, II and III malocclusion were determined based on radiographic analysis of the initial cephalometry using the Stainer method. DNA samples were extracted from buccal swabs and blood cells in Class I and II malocclusion while nail clippings and hair follicles extracts were used in Class III malocclusion. DNA sequence amplification was carried out using the PCR (Polymerase Chain Reaction), while Genetic Polymorphism Analysis of Myosin 1H and P561T genes was performed with RLFP (Restriction Fragment Length Polymorphism). Pearson Chi-Square was used to analyze the relationship between polymorphism and craniofacial measurements in the Myosin 1H gene, while the Fisher Exact Test was used to analyze the relationship between polymorphism and craniofacial measurements in the P561T gene. Results: There is a relationship between Myosin 1H gene polymorphism and Class I, II, and III skeletal malocclusion. There was no correlation between P561T gene polymorphism and Class I, II, and III skeletal malocclusion. Conclusions: Myosin 1H gene polymorphism is one of the risk factors for Class I, II, and III malocclusion. Extraction of DNA from hair follicles gave good results in terms of DNA quality and was a relatively easier sampling method compared to blood cell purification and buccal swabs.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library