Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sihombing, Hotrim Elsandra
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian pengaruh ekstrak kental - daun jambu biji segar dan daun yang dikeringkan terhadap diare buatan dengan menggunakan minyak jarak pada hewan percobaan tikus putih . Bahan diberikan per oral 1 jam Sebelum dan sesudah pemberian minyak jarak dengan dosis lx 5x , 25x dan 125x dosis manusia dengan menggunakan LOperamide sebagai pernbanding dan air suling sebagai plasebo
Depok: Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfa Indah Kemalahayati Fadli
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Cerebral small vessel disease CSVD merupakan salah satu subtipe stroke iskemik dengan prevalensi tertinggi 45 .1,2 Penyakit ini menyerang pembuluh darah dengan diameter < 50 ?m.3 Manifestasi klinis CSVD yang tersering adalah gangguan fungsi kognitif 45 . Pada pemeriksaan MRI, salah satu lesi CSVD yang paling sering ditemukan adalah white matter hyperintensities WMH .4 Lesi WMH diketahui berhubungan dengan gangguan aliran vena jugularis interna VJI .5 Penelitian tentang gambaran aliran VJI pada CSVD belum pernah dilakukan. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai gambaran aliran kecepatan dan debit VJI pada CSVD dengan gangguan fungsi kognitif.Metode: Studi potong lintang pada 40 pasien CSVD yang memiliki gangguan fungsi kognitif dan gambaran WMH pada pemeriksaan MRI. Instrumen pemeriksaan kognitif yang digunakan adalah MoCA-Ina, TMT-A, TMT-B dan Grooved Peg Board. WMH diklasifikasikan berdasarkan skala Fazekas. Pemeriksaan aliran VJI bilateral dilakukan menggunakan Ultrasonografi Doppler ada posisi berbaring 0 dan berdiri 90 . Parameter yang dinilai adalah area penampang, kecepatan dan debit aliran. Sebagai pendalaman, hasil pengukuran parameter aliran VJI dibandingkan dengan penelitian terdahulu pada orang sehat.6Hasil: Sebanyak 40 subjek dengan rerata usia 60,8 9,0 tahun ikut serta dalam penelitian. Ranah kognitif yang terganggu pada CSVD adalah memori, fungsi eksekutif, dan kecepatan psikomotor. Berdasarkan derajat lesi, yang terbanyak adalah Fazekas 1 yaitu 67,5 . Area penampang VJI kanan dan kiri lebih kecil pada saat berdiriABSTRACT
Background Cerebral Small Vessel Disease CSVD is a subtype of ischemic stroke with the highest prevalence 45 .1.2 It affects blood vessels 50 m in diameter.3 The most common clinical manifestations of CSVD is cognitive dysfunction 45 . On MRI examination, one of the most common CSVD lesions is white matter hyperintensities WMH .4 WMH is known to be associated with internal jugular vein IJV flow abnormalities.5 Studies of IJV flow profile in CSVD have not been performed. The aim of this study is to assess the flow and velocity of the IJV in CSVD.Methods Cross sectional studies of 40 CSVD patients with cognitive dysfunction and WMH lesion on MRI examination. The cognitive instruments used are MoCA Ina, TMT A, TMT B and Grooved Peg Board. WMH is classified based on the Fazekas scale. Bilateral IJV flow examination was performed using Doppler Ultrasound at supine 0 and standing 90 . The parameters assessed are the cross sectional area, flow and velocity. For further analysis, the results of IJV flow in CSVD are compared with previous studies on healthy volunteers.6Results A total of 40 subjects with the age of 60.8 9.0 years participated in the study. Impaired cognitive domains are memory, psychomotor, and executive function. The majority of lesional degrees are Fazekas 1 67.5 . The cross sectional area of the bilateral IJV are smaller at standing p
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58970
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elyas Aditya Pradana
Abstrak :

Penelitian ini bertujuan untuk menilai kesesuaian antara dacryoscintigraphy dibandingkan dacryocystography sebagai pemeriksaan penunjang pada pasien obstruksi duktus nasolakrimal primer didapat (PANDO). Penelitian ini merupakan suatu studi diagnostik pada pasien tersangka PANDO dengan epiphora yang datang ke poliklinik Plastik dan Rekonstruksi RSCM Kirana. Pasien tersebut selanjutnya dikirim ke Departemen Radiologi untuk pemeriksaan dacryoscintigraphy dan dacryocystography. Selanjutnya dengan observasi dan kuesioner dinilai efek samping dan kenyamanan terhadap kedua pemeriksaan.

 

Penelitian ini merekrut 31 subjek (62 mata). Melalui tes irigasi dan sondase didapatkan 47 mata tersangka PANDO. Sebanyak 87.1% subjek berjenis kelamin perempuan, dengan kelompok umur terbanyak (74.2%) yaitu >40 tahun. Pada pemeriksaan dacryoscintigraphy, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai sakus yaitu 0 menit, duktus (5 menit), dan kavum nasi (12.5 menit). Nilai kesesuaian antara kedua pemeriksaan dalam menentukan ada atau tidaknya obstruksi sebesar 83.8% (strong agreement), sedangkan dalam menentukan letak obstruksi sebesar 70.9% (agreement).

 

Pada pemeriksaan dacryoscintigraphy tidak ditemukan adanya efek samping, sedangkan pada dacryocystography, terdapat 2 pasien yang menunjukan hiperemis konjungtiva. Terdapat 22 subjek mengeluhkan nyeri saat pemeriksaan dacryocystography, sedangkan tidak ada subjek yang mengeluhkan nyeri saat pemeriksaan dacryoscintigraphy (p<0.005). Sebanyak 16 subjek menyatakan dacryoscintigraphy lebih nyaman, 11 subjek menyatakan dacryocystography lebih nyaman, sedangkan 4 subjek menyatakan kedua pemeriksaan sama nyamannya. Dacryoscintigraphy memiliki nilai kesesuaian yang baik dengan dacryocystography dalam menentukan ada atau tidak obstruksi dan menentukan letak obstruksi pada pasien PANDO. Kedua pemeriksaan tersebut mempunyai tingkat kenyamanan yang sama, namun pemeriksaan dacryocystography dirasakan lebih nyeri sewaktu atau durante tindakan dibandingkan dengan dacryoscintigraphy.


This study aims to assess conformity of dacryoscintigraphy compared to dacryocystography as supporting assessment in patient with primary acquired nasolacrimal duct obstruction (PANDO). This diagnostic study performed in PANDO with epiphora complaint whose visiting RSCM Kirana Plastic and Reconstruction Division. Subsequently, subjects were sent to Radiology Department for dacryoscintigraphy and dacryocystography examinations. After the examination, observation and questionnaire assessed the side effects and comfort of both examinations.

This study recruited 31 subjects (62 eyes). Through irrigation and probing, there were 47 eyes found with PANDO. As much as 87.1% subjects were female, with mostly (74.2%) aged >40 years old. With dacryoscintigraph, time needed to reach sac was 0 minutes, duct was 5 minutes, and nasal cavum was 12.5 minutes. Conformity value between the two examinations in detecting obstruction was 83.8%, meanwhile in detecting the location of obstruction was 70.9%.

With dacryoscintigraph, there were no side effects found. Meanwhile with dacryocystograph, there were 2 patients found with conjunctival hyperemia. There were 22 subjects complaining with pain at dacryocystograph examination, while there were none at dacryoscintigraph examination (p<0.005). Sixteen subjects feel dacryoscintigraph examination was more convenient, eleven subjects feel dacryocystohraph examination was more convenient, while 4 subjects feel the two examinations just as convenient.

Dacryoscintigraph has good conformity value with dacryocystograph examination in detecting obstruction and defining the location in PANDO patients. Both examinations have high convenience level, even though dacryocystograph was more painful at the examination than dacryoscintigraph.

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Setiawati
Abstrak :
Tujuan: menilai prevalensi katarak terinduksi radiasi, serta menghubungkannya dengan dosis paparan radiasi dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi. Metode: Studi potong lintang dan studi kasus-kontrol. Seratus delapan puluh subyek berpartisipasi dalam penelitian. Prevalensi katarak terinduksi radiasi dinilai menggunakan analisis Scheimpflug pada alat Pentacam® Oculus. Dosis paparan radiasi kumulatif dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi pada subyek diidentifikasi melalui kuesioner dan personal dosimeter
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wida Setiawati
Abstrak :
Tujuan: menilai prevalensi katarak terinduksi radiasi, serta menghubungkannya dengan dosis paparan radiasi dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi. Metode: Studi potong lintang dan studi kasus-kontrol. Seratus delapan puluh subyek berpartisipasi dalam penelitian. Prevalensi katarak terinduksi radiasi dinilai menggunakan analisis Scheimpflug pada alat Pentacam®-Oculus. Dosis paparan radiasi kumulatif dan penggunaan perlengkapan proteksi radiasi pada subyek diidentifikasi melalui kuesioner dan personal dosimeter. Hasil: Prevalensi katarak terinduksi radiasi sebanyak 16.7%. Median dosis radiasi kumulatif berdasarkan kuesioner menunjukkan median 0,8 (0.1- 35.6) Gy. Hubungan korelasi positif didapatkan antara dosis radiasi kumulatif dengan densitas lensa (R Spearman= 0.64). Sebanyak 83.9% subyek menggunakan tabir pada 71-100% masa kerjanya, tetapi mayoritas subyek penelitian (40.6%), tidak menggunakan kacamata pelindung. Peningkatan risiko katarak terinduksi radiasi meningkat secara bermakna seiring dengan kepatuhan penggunaan proteksi radiasi yang kurang. Subyek dengan proteksi tabir radiasi 31-50% dari masa kerjanya meningkatkan risiko katarak 10.80 kali lipat (IK 95% 1.05-111.49, p=0.044). Sementara itu, kelompok proteksi tabir radiasi 51-70% meningkatkan risiko katarak 8.64 kali lipat (p=0.001). Subyek yang tidak memakai kacamata pelindung memiliki OR 164.3 (IK 95% 19.81-1363) dibandingkan dengan kelompok pengguna kacamata pelindung. Kesimpulan: Katarak terinduksi radiasi pada pekerja radiasi bidang kardiologi intervensi tergantung pada dosis paparan radiasi dan penggunaan proteksi radiasi. Oleh karena itu, kepatuhan pekerja radiasi perlu ditingkatkan sesuai ketentuan proteksi radiasi.
Objectives: to determine the prevalence of radiation-induced cataract and correlate with radiation exposure dose and radiation protection use among radiation workers of interventional cardiology. Methods: A cross-sectional and retrospective case-control study. One hundred and eighty subjects were included. Prevalence of radiation-induced cataract was assessed using Scheimpflug analysis on the Pentacam®-Oculus. Individual cumulative radiation exposure dose and radiation protection use of subjects were identified from questionnaire and personal dosimeter. Results: The prevalence of radiation-induced cataract was 16.7%. Median cumulative radiation dose was 0.8 (0.1-35.6) Gy. A positive correlation was found between cumulative radiation dose and lens density (RSpearman=0.64). This study showed that 83.9% of subjects used ceiling-suspended shield in 71-100% of their working period, however the majority of subjects (40.6%) did not wear protective eyewear. Statistically significant increasing risk of cataract was found along with unresponsive use of radiation protection. The subjects using ceiling-suspended shield in 31-50% of their working period were increasing their cataract risk by 10.80 times (95% CI 1.05- 111.49, p=0.044). Meanwhile, the subjects using protective eyewear in 51-70% of their working period were increasing their cataract risk by 8.64 times (p=0.001). Subjects who did not wear protective eyewear had an OR 164.3 (95% CI 19.81-1363) compared to those who wore protective eyewear. Conclusion: Radiation-induced cataract among radiation workers of interventional cardiology was depend on radiation exposure dose and radiation protection. Therefore, the compliance of radiation safety recommendation should be improved.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Giovano Andika Pradana
Abstrak :
Tujuan: Menilai kesintasan hidup (OS) dan kesintasan bebas progresivitas (PFS) pasien meningioma intrakranial yang menjalani radioterapi di RSCM dan mengetahui faktor klinis yang dapat dijadikan faktor prognostik. Metode: Dilakukan studi kohort retrospektif yang menyertakan 61 subjek meningioma intrakranial yang terdiagnosis secara radiologis maupun histopatologis yang menjalani radioterapi di IPTOR RSCM pada Januari 2014 – Desember 2019. Hasil: OS 1, 2, dan 3 tahun adalah 98,1%, 87,8%, dan 77,1%. PFS 1, 2, dan 3 tahun adalah 84%; 72,4%; dan 58,2%. Faktor yang memperburuk OS adalah jenis kelamin laki-laki (p <0,001), KPS <70 (p <0,001), lokasi tumor di konveksitas/falx/parasagittal (p <0,016), tumor derajat II dan III (p <0,001) dan BED ≥85,74 Gy3,7. Faktor yang memperburuk PFS adalah jenis kelamin laki-laki (p = 0,027), KPS <70 (p <0,001), lokasi tumor konveksitas/falx/parasagittal (p = 0,002), tumor derajat III (p <0,001), volume GTV ≥46,35 cm3 (p = 0,026), dan BED ≥85,74 Gy3,7 (p = 0,02). Pada analisis multivariat, faktor independen yang mempengaruhi OS adalah jenis kelamin, dan faktor yang mempengaruhi PFS adalah jenis kelamin dan KPS. Kesimpulan: Jenis kelamin merupakan faktor prognostik independen terhadap OS pasien meningioma yang menjalani radioterapi. ......Aims: To assess overall survival (OS) and progression-free survival (PFS) of patient with intracranial meningioma who underwent radiotherapy in RSCM and to find clinical factors that contribute as prognostic factors. Methods: Patient with radiologically or pathologically-confirmed intracranial meningioma who underwent radiotherapy in our department from January 2014 to Decemer 2019 were retrospectively analyzed. Results: OS in 1, 2, and 3 year were 98,1%; 87,8%; dan 77,1%; and PFS in 1, 2, dan 3 year were 84%; 72,4%; dan 58,2%. Male (p <0,001), KPS <70 (p <0,001), convexity/falx/parasagittal tumor (p <0,016), WHO grade II dan III tumor (p <0,001) and BED ≥85,74 Gy3,7 were associated with poor OS. Male (0,027), KPS <70 (p <0,001), lokasi tumor convexity/falx/parasagittal (p = 0,002), WHO grade III (p <0,001), GTV volume ≥46,35 cm3 (p = 0,026), and BED ≥85,74 Gy3,7 (p = 0,02) were associated with poor PFS. Male is independent factor associated with poor OS in multivariate analysis, wherase male and KPS <70 were associated with poor PFS. Conclusions: Male is an independent prognostic factor affecting OS and PFS in meningioma patients underwent radiotherapy.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library