Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 7 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Olivia Charissa
Abstrak :
Latar belakang: Obesitas pada anak dikaitkan dengan peningkatan risiko berbagai masalah kesehatan. Rekomendasi kebutuhan anak yang digunakan saat ini adalah berdasarkan pedoman gizi seimbang Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Konseling dan optimasi diet menggunakan linear programming (LP) merupakan salah satu cara yang baik untuk pengaturan kebutuhan anak karena dapat memperhitungkan ketersediaan makanan lokal dan kebutuhan nutrisi anak. Omega-3 memiliki banyak manfaat salah satunya sebagai antiinflamasi, akan tetapi strukturnya membuatnya rentan terhadap terjadinya peroksidasi. Vitamin e merupakan antioksidan penting dalam menangkal oksidasi asam lemak. Objektif : Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh konseling optimasi asam lemak omega-3 dibandingkan dengan konseling standar sesuai rekomendasi DepkesRI terhadap kadar vitamin E serum pada anak prone obes. Metode : merupakan penelitian uji klinis dengan intervensi berupa edukasi nutrisi diet optimasi omega-3 pada anak usia 12-24bulan di kecamatan Pulogadung, Jakarta Timur, Indonesia. Kelompok intervensi (n=14) dibandingkan dengan kontrol (n=18). Edukasi nutrisi dengan bantuan flipchart dan menu optimasi disusun dengan LP, diberikan sekali seminggu dengan durasi 10 minggu. Hasil : Mayoritas asupan omega-3 dan vitamin E anak masih cukup, meskipun peranan susu pertumbuhan cukup tinggi. Terdapat peningkatan asupan omega-3 dan vitamin E serta penurunan konsumsi susu formula dengan pemberian LP, meskipun tidak berbeda bermakna. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna dalam perubahan asupan nutrisi dan kadar vitamin E serum sebelum dan sesudah intervensi antar kedua kelompok (p = 0,52). Tidak terdapat perubahan perilaku pemberian makan antar dua kelompok (p>0,05), akan tetapi perilaku pemberian makan sebelum dan sesudah intervensi memiliki perbedaan yang bermakna. Kesimpulan : Konseling diet optimasi omega-3 dapat memenuhi dan mempertahankan kebutuhan anak, akan tetapi tidak berbeda bermakna dibandingkan konseling standar.
Background: Children obesity is associated with the increased risk of various health problems. Recommendations for children which are used today are based on balanced nutrition guidelines Indonesian Ministry of Health. Counseling and diet optimization using linear programming (LP) is a good way of managing a child's dietary needs due to its ability to calculate the availability of local food and the nutritional needs of each child. Omega-3 has many benefits, for example as anti-inflammatory and antiobesity, however its structure makes it vulnerable to peroxidation. Vitamin E is an important antioxidant in counteracting the oxidation of fatty acids. Objective: This study aimed to evaluate the effect of dietary counseling on omega-3 fatty acids optimization towards the vitamin E serum level compared to standard counseling based on recommendations of Indonesian Ministry of Health on children who are prone to obese. Design: A clinical trial which involves a series of nutrition education sessions targeted to optimize omega-3 diet on children aged 12-24 months in the Pulogadung district, East Jakarta, Indonesia. The intervention group (n = 14) is compared to controls (n = 18). A set of optimized menu, prepared using the LP, was administered and flipcharts were used as demonstration tools during the weekly session, within the period of 10 weeks. Results: The majority of children show sufficient level of omega-3 and vitamin E intake despite the relatively high contribution of formula milk. There is an increased of omega-3 and vitamin E intakes, in addition to slight decrease in formula milk consumption as the result of the LP program. There were no significant differences in the change of nutrient intakes and the level of vitamin E in blood serum between the two groups, both before and after the intervention (p = 0.52). There is no change in child feeding behavior between the two groups (p> 0.05), whereas the behavior before and after the intervention had a significant difference. Conclusion: Optimized omega-3 diet counseling could maintain and fulfill children?s needs of nutrient, but there is no significant difference if compared to standard counseling.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Ayuningtyas
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang : Prevalens terjadinya malnutrisi bervariasi pada berbagai siklus kemoterapi LLA. Penelitian di Malaysia mendapatkan anak LLA pasca-kemoterapi fase induksi cenderung mengalami obesitas atau status gizi lebih. Penyebab malnutrisi pada anak LLA dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor. Perubahan status gizi selama kemoterapi dapat memengaruhi luaran kemoterapi. Tujuan: mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi perbaikan status gizi anak LLA setelah kemoterapi fase konsolidasi, serta pengaruhnya terhadap luaran kemoterapi, sehingga dapat dipakai sebagai masukan untuk upaya mengatasi malnutrisi pada anak LLA. Metode : Penelitian ini dengan uji retrospektif, di Rumah sakit Cipto Mangunkusumo, selama tahun 2016-2018. Total sampling pada pasien leukemia limfoblastik akut yang terdiagnosis, dan menjalani kemoterapi di RSCM hingga fase konsolidasi. Hasil : Seratus empat puluh satu subyek pasien anak LLA diikutsertakan dalam penelitian ini. Terdapat 69,5% subyek mengalami perbaikan status gizi, dan 30,5% mengalami perburukan status gizi, dengan 60% perburukan ke arah overnutrition pasca-kemoterapi fase konsolidasi. Faktor risiko independen terhadap terjadinya perbaikan status gizi pasca-kemoterapi fase konsolidasi ialah tidak timbulnya efek samping kemoterapi (RR 1,36, 95% IK 1,02 - 1,81). Jenis makanan dan cara pemberian makan tidak memengaruhi perubahan status gizi anak LLA pasca-fase konsolidasi. Terdapat hubungan antara perbaikan status gizi anak LLA pasca-fase konsolidasi dengan kejadian remisi (RR 1,24, 95% IK 1,03 - 1,5). Simpulan : Status gizi pasca-kemoterapi fase konsolidasi mengalami perbaikan dibandingkan sebelum kemoterapi, sedangkan yang mengalami perburukan status gizi cenderung mengalami overnutrition. Perbaikan status gizi anak LLA pasca-kemoterapi fase konsolidasi dipengaruhi oleh tidak timbulnya efek samping kemoterapi. Terdapat hubungan antara perbaikan status gizi anak LLA pasca-kemoterapi fase konsolidasi dengan kejadian remisi.
ABSTRACT
Background: Acute lymphoblastic leukemia (ALL) is the most common malignancy in childhood. The prevalence of malnutrition varies in phase of ALL chemotherapy. Study in Malaysia showed ALL children after induction phase of chemotherapy tended to be obese or overweight. The causes of malnutrition in ALL children can be influenced by various factors. Changes in nutritional status during chemotherapy can affect the outcome of chemotherapy. Aim: To investigate factors that influence nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase, as well as the effect on the outcomes of chemotherapy, so it can be used as an input to overcome malnutrition in ALL children. Method: A retrospective design was performed in Cipto Mangunkusumo Hospital from 2016 until 2018. Total sampling in patients with acute lymphoblastic leukemia who was diagnosed and started chemotherapy at Cipto Mangunkusumo Hospital until the consolidation phase. Result: A total of 141 subjects were included in this study. After consolidation phase, 69.5% of subjects experienced nutritional status improvements, and 30.5% worsened, of which 60% become over nutrition post-consolidation phase. Independent risk factor for the improvement of nutritional status after consolidation phase was the absence of chemotherapy side effects (RR 1.36, 95% CI 1.02 - 1.81). There were no association between type of food and route of feeding with nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase. There was association between improvement in nutritional status of ALL children after consolidation phase with the incidence of remission (RR 1.24, 95% CI 1.03 - 1.5). Conclusion: Nutritional status at post-consolidation phase has improved compared to pre- chemotherapy, while those who worsening nutritional status tend to overnutrition. The absence of chemotherapy side effects affects nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase. There is a relationship between nutritional status improvement of ALL children after consolidation phase with the incidence of remission.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55513
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cynthia Centauri
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Thalassemia merupakan kelainan genetik terbanyak di dunia, termasuk Indonesia. Pasien thalassemia mayor berisiko mengalami gangguan fungsi neurokognitif akibat anemia kronik dan penumpukan besi. Tujuan: mengetahui prevalens abnormalitas hasil EEG dan tes IQ, menganalisis faktor-faktor yang diduga berhubungan dengan gangguan fungsi neurokognitif pada anak dengan thalassemia mayor usia saat diagnosis, lama transfusi, pendidikan pasien, rerata Hb pra-transfusi, kadar feritin serum, saturasi transferin, dan komplians terhadap obat kelasi besi , serta untuk mengetahui apakah gangguan neurokognitif dapat memengaruhi fungsi sekolah. Metode: Penelitian potong lintang deskriptif analitik antara April 2016-April 2017. Pengukuran tes IQ menggunakan WISC-III. Hasil: Total subyek adalah 70 anak thalassemia mayor berusia antara 9 hingga 15,5 tahun. Prevalens hasil EEG abnormal adalah 60 dan prevalens skor IQ abnormal
ABSTRACT
Background Thalassemia is the most common hereditary disorders worldwide, including Indonesia. Chronic anemia and iron overload in thalassemia major lead to several risk factors including neurocognitive problems. Aim To investigate the prevalence of abnormal EEG and IQ test, to identify the factors related to neurocognitive function in children with thalassemia major age at diagnosis, years of transfusion, patients education, pre transfusion haemoglobin level, ferritin, transferrin saturation, and compliance to chelation , and to identify whether neurocognitive dysfunction affects child rsquo s school performance. Methods A cross sectional descriptive analitic study. Subjects were recruited from April 2016 April 2017. Cognitive function assessed by the WISC III. Results A total 70 children aged from 9 to 15.5 years old were recruited. The prevalence of abnormal EEG and abnormal IQ score
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asrawati
Abstrak :
Latar belakang: Perawakan pendek pada usia prasekolah dipengaruhi oleh faktor sosiodemografi, sanitasi dan lingkungan serta environmental enteric dysfunction (EED). Etiologi perawakan pendek sebagian besar adalah varian normal, sedangkan varian patologis hanya 1,3-13,9%. Tujuan: Mengetahui hubungan faktor sosiodemografi dan environmental enteric dysfunction (EED) terhadap terjadinya perawakan pendek usia prasekolah. Metode: Penelitian ini berbasis komunitas dengan disain potong lintang pada 70 balita riwayat perawakan pendek studi retrospective cohort yang saat ini usia 4 tahun 10 bulan - 5 tahun 9 bulan di 5 kelurahan wilayah DKI Jakarta. Subjek didapat secara total sampling. Dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, antropometrik subjek dan orang tua, usia tulang, dan pemeriksaan tinja (parasit, calprotectin dan alfa1 antitripsin) sebagai biomarker EED, sebagai penanda adanya gut integrity. Etiologi perawakan pendek diperoleh dengan pendekatan algoritma diagnosis perawakan pendek. Hasil: Proporsi perawakan pendek pada anak usia prasekolah dengan riwayat perawakan pendek sebesar 44,3%, (pendek 40,0% dan sangat pendek 4,3%) dan didapatkan lelaki lebih banyak. Faktor risiko yang paling berpengaruh terhadap terjadinya perawakan pendek adalah pendidikan ibu yang rendah. EED positif pada 41,9% dan parasit positif pada 57,1% subjek perawakan pendek serta jenis parasit yang ditemukan adalah Blastocystis hominis. Berdasarkan algoritma diagnosis perawakan pendek didapatkan perawakan pendek terbanyak adalah varian normal 93,6% (perawakan pendek konstitusional 83,9% dan familial 9,7%) dan patologis (malnutrisi dan /infeksi kronis, atau stunting) hanya 6,4%. Simpulan: Faktor sosiodemografi yang paling berhubungan adalah pendidikan ibu sedangkan EED tidak memengaruhi terjadinya perawakan pendek. Proporsi perawakan pendek usia prasekolah sebesar 44,3% dan terbanyak adalah varian normal Background: Short stature at preschool age is influenced by sociodemographic factors, sanitation, the surrounding environment and environmental enteric dysfunction (EED). Etiology of short stature is mostly a normal variant, while pathological variants are only 1.3 to 13.9%. Objective: To determine the influence of sociodemographic factors and environmental enteric dysfunction (EED) on short stature in preschool children and etiological factors of short stature in children. Methods: A cross-sectional study base on community at 5 urban areas in DKI Jakarta Indonesia, from January 2018 to June 2019. Seventy preschool children of short stature retrospective cohort studies, ranging 4 years 10 months to 5 years 9 months presenting with short stature were studied. Subjects were obtained by total sampling. Data collected from anthropometric measurements of subject and parents, bone age and stool examination are performed; parasites, calprotectin and alpha1 antitrypsin as biomarkers of EED or gut integrity. The etiology of short stature is obtained by the algorithm approach to short stature diagnosis. Results: The proportion of short stature in preschool children with a history of short stature was 44.3%, (short stature at 40.0% and very short stature at 4.3%) and were found in more boys. The most influential risk factor for the occurrence of short stature is due to low education mother. EED positive was 41.9%, positive parasites was 57.1%, and the type of parasite found was Blastocystis hominis, respectively. Based on the algorithm of short stature diagnosis, the most short stature found in normal variants was 93.6% which is constitutional delay of growth (83.9%), familial (9.7%) and pathological (stunting) 6.4%, respectively. Conclusion: The most influential sociodemographic factor is low education of mother, while EED does not significant to occurrence of short stature. The proportion of short stature preschool children were 44.3% and most in the normal variant.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58540
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Setiorini
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Penyakit jantung bawaan (PJB) didapatkan pada 40-50% pasien sindrom Down, merupakan penyebab utama morbiditas dan mortalitas. Salah satu manifestasi tambahan lain selain PJB adalah hipertensi pulmoner. Faktor-faktor risiko yang berperan untuk terjadinya PJB, terjadi pada periode perikonsepsi yaitu 3 bulan sebelum kehamilan hingga trimester pertama kehamilan. Beberapa penelitian mengenai faktor risiko PJB yang telah dilakukan memiliki hasil yang tidak konsisten baik dalam populasi sindrom Down sendiri, maupun apabila dibandingkan dengan populasi umum. Tujuan: Mengetahui prevalens PJB dan hipertensi pulmoner, jenis PJB yang banyak didapatkan, dan faktor risiko PJB pada sindrom Down. Metode: Studi potong lintang observational analytic pada pasien sindrom Down berusia ≤5 tahun di RSCM. Data diambil dari wawancara dengan orangtua subyek yang datang langsung ke poliklinik rawat jalan RSCM Kiara, Departemen Rehabilitasi Medis, dirawat di Gedung A RSCM, IGD, perinatologi maupun orangtua dari subyek yang tercatat di rekam medis dengan diagnosis sindrom Down atau memiliki International Classification of Disease (ICD) 10 Q90.9 sejak Januari 2012 hingga Desember 2015. Hasil penelitian: Sebanyak 70 subyek sindrom Down memenuhi kriteria inklusi. Median usia subyek adalah 16,5 bulan. Penyakit jantung bawaan didapatkan pada 47,1% subyek. Defek septum atrium dan duktus arteriosus paten merupakan PJB terbanyak yang didapatkan yaitu masing-masing 30,3%. Penyakit jantung bawaan lain yang didapatkan adalah defek septum atrioventrikel dan defek septum ventrikel yaitu sebesar 18,2 dan 21,2%. Hipertensi pulmoner didapatkan pada 17,1% subyek dengan 10/12 subyek terjadi bersamaan dengan PJB. Usia ibu ≥35 tahun [p= 0,77; OR 0,87 (0,34-2,32)], usia ayah ≥35 tahun [p= 0,48; OR 1,44 (0,52-4,01)], febrile illness [p= 0,72; OR 0,81 (0,25-2,62)], penggunaan obat-obat yaitu antipiretik [p= 0,71; OR 0,60 (0,14-2,82)], antibiotik (p=0,91; OR 1,13 (0,15-8,5)], jamu/obat herbal [p=0,89; OR 0,89 (0,22-3,60)], keteraturan penggunaan asam folat [p= 0,27; OR 0,58 (0,22-1,50)], ibu merokok (p= 0,34), dan pajanan rokok [p= 0,89; OR 0,94 (0,36-2,46)] saat periode perikonsepsi tidak terbukti berhubungan dengan terjadinya PJB pada sindrom Down. Kesimpulan: Faktor risiko lingkungan periode perikonsepsi tidak terbukti berhubungan dengan kejadian PJB pada sindrom Down.
2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rizqi Amaliah
Abstrak :
Latar belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) merupakan penyakit autoimun sistemik yang 10-20% kasusnya memiliki awitan sejak masa kanak. Kesintasan anak dengan LES di negara maju maupun berkembang jauh meningkat sejak beberapa dekade terakhir. Meskipun kesintasannya meningkat, tidak semua anak dan remaja LES dapat memasuki masa dewasa dengan baik. Layanan transisi remaja merupakan jembatan penghubung antara layanan kesehatan anak dan dewasa yang mulai banyak dikembangkan untuk remaja dengan kebutuhan medis khusus seperti LES. Metode: Studi pre-eksperimental pada remaja LES berusia 15 tahun hingga 17 tahun 6 bulan dilakukan di RSUPNCM dalam kurun waktu antara Desember 2022 hingga Mei 2023. Dalam studi ini seluruh subyek diikutkan dalam modul transisi remaja yang kegiatannya dilakukan secara daring maupun luring. Kegiatan daring meliputi 3 kali pemaparan materi dan diskusi interaktif dengan tema LES, masa remaja, dan layanan kesehatan di klinik dewasa. Kegiatan luring dilakukan melalui bermain peran menyerupai suasana saat melakukan kunjungan mandiri di layanan kesehatan dewasa yang dilakukan pada akhir penelitian. Luaran modul transisi dinilai dengan membandingkan rerata skor TRAQ 6.0 Bahasa Indonesia sebelum dan sesudah mengikuti modul transisi. Hasil: Terdapat 36 remaja LES yang mengikuti modul transisi, namun hanya 32 subyek yang mengikuti ≥75% kegiatan. Rerata skor TRAQ 6.0 Bahasa Indonesia sebelum mengikuti modul adalah 3,4 (0,6). Rerata tersebut meningkat menjadi 3,8 (0,6) setelah mengikuti modul (p=0.001). Tidak ada hubungan antara lama sakit, derajat aktivitas penyakit, dan kunjungan mandiri terhadap skor TRAQ 6.0 Bahasa Indonesia sebelum mengikuti modul transisi. Simpulan: Modul transisi remaja terbukti dapat meningkatkan kesiapan transisi remaja dengan LES berusia 15-17 tahun. ......Background: Systemic lupus erythematosus (SLE) is a systemic autoimmune disease in which 10-20% of cases have an onset in childhood. The survival of children with SLE in both developed and developing countries has increased greatly in the last few decades. Although survival has increased, not all children and adolescents with SLE can enter adulthood well. Adolescent transition services are a bridge between child and adult health services which have begun to be developed for adolescents with special medical needs such as SLE. Methods: The pre-experimental study on LES adolescents aged 15 to 17 years 6 months was conducted at Cipto Mangunkusumo General Hospital from December 2022 to May 2023. In this study, all subjects were included in the adolescent transition module, whose activities were carried out both online and offline. Online activities include 3 presentations of material and interactive discussions on the themes of LES, adolescence, and health services in adult clinics. Offline activities are carried out through role playing, resembling the atmosphere during independent visits to adult health services carried out at the end of the study. The main outcome of the transition module was assessed by comparing the average Indonesian TRAQ 6.0 score before and after participating in the transition module. Results: There were 36 LES adolescents who took part in the transition module, but only 32 subjects took ≥75% of the activities. The average Indonesian TRAQ 6.0 score before taking the module was 3.4 (0.6). The mean increased to 3.8 (0.6) after participating in the module (p=0.001). There is no relationship between disease duration, degree of disease activity, and independent visits to the Indonesian TRAQ 6.0 score before joining the transition module. Conclusion: The transition module has been proven to increasing transition readiness of adolescents aged 15 to 17 years with SLE.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Adi Wirawan
Abstrak :
Proporsi kematian neonatal meningkat dari 40% menjadi 47% di antara kematian Balita. Program Resusitasi Neonatus (PRN) yang terstandar diyakini akan dapat menurunkan kematian neonatal sampai 30%. Pasca pelatihan modul resusitasi neonatus supaya di akhir studi PPDS anak kompeten melakukan resusitasi neonatus. Upaya refreshing dibutuhkan untuk mempertahankan retensi keterampilan resusitasi Penelitian ini bertujuan mengetahui kompetensi prosedur resusitasi neonatus dan upaya penyegaran untuk memperbaiki performa resusitasi neonatus PPDS anak. Desain penelitian yang digunakan adalah Quasi experimental. Kelompok intervensi yang mendapatkan penyegaran dengan mengakses video resusitasi neonatus secara aktif pada modul pembelajaran daring. Hasil ada 35 PPDS dalam 2 tahun pendidikan, dianalisis pada penelitian ini, 18 kelompok intervensi 17 kelompok kontrol. Hasil penilaian pada base line didapati 16(45,7%) dari 35 PPDS tidak memenuhi standar kelulusan prosedur keterampilan resusitasi neonatus. Penilaian pasca perlakuan didapatkan performa resusitasi kelompok intervensi lebih baik dengan nilai rerata 80 ± 11 sedang pada kelompok kontrol dengan nilai rerata 58 ± 18, berbeda bermakna dengan nilai kemaknaan p < 0,001. Kesimpulan stimulasi secara audiovisual dangan video pembelajaran resusitasi neonatus secara bermakna memperbaiki performa resusitasi PPDS saat dievaluasi dengan megacode. ......The proportion of neonatal deaths increased from 40% to 47% among neonatal deaths. The standardized Neonatal Resuscitation Program (NRP) is believed to reduce neonatal mortality by up to 30%. After the module training, monitoring of skill retention is important to maintain the resuscitation performance of pediatric residents, and refreshing efforts are needed. This study aimed to determine the competence of neonatal resuscitation procedures and refresher efforts to improve the resuscitation performance of pediatric residents. The research design used was Quasi-experimental design. The intervention group received a refresher by actively accessing neonatal resuscitation videos in the online learning module. The results were 35 pediatric residents in 2 years of education, analyzed in this study, divided into 18 intervention groups and 17 control groups. The baseline assessment found that 16 (45.7%) of 35 residents did not meet the graduation standards for neonatal resuscitation skills procedures. Post-intervention showed that the resuscitation performance of the intervention group was better with a mean value of 80 ± 11, while the control group had 58 ± 18, which with a significance value of p <0.001. Conclusion: Audiovisual stimulation with neonatal resuscitation learning videos significantly improves the resuscitation performance of pediatric residents when evaluated by megacode.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library