Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 30 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nissia Ananda
"Latar Belakang: Berkembangnya populasi lansia secara global termasuk di Indonesia tidak diikuti dengan kualitas hidup yang baik, yang salah satu penyebabnya adalah penyakit. Osteoporosis adalah salah satu penyakit dengan usia lanjut sebagai faktor risikonya. Deteksi awal osteoporosis antara lain dapat dilakukan melalui pengukuran tebal tulang kortikal mandibula pada radiograf panoramik.
Tujuan: Mencari nilai rata-rata lebar/tebalnya tulang kortikal mandibula pada individu yang berisiko mengalami osteoporosis dengan rentang usia 40-80 tahun tanpa membedakan wanita dan pria.
Metode: Sampel penelitian adalah radiograf panoramik yang berjumlah 89 dengan usia 40-80 tahun. Pengukuran tebal tulang kortikal mandibula dilakukan pada regio sekitar foramen mental kiri dan kanan.
Hasil: Nilai rata-rata tebal tulang kortikal mandibula 4,80618 mm pada populasi kelompok usia 40-80 tahun dengan kecenderungan lebih tebal pada kelompok usia 40-59 tahun dibandingkan pada kelompok usia 60- 80 tahun.
Kesimpulan: Nilai rata-rata tebal tulang kortikal mandibula pada kelompok usia 40-80 tahun pada penelitian ini masih tergolong normal.

Background: The increasing number of elderly population in the world, which including Indonesia, is not followed by enhanced quality of life of the elderly that partly caused by with one of the reason is diseases. Osteoporosis is one of the diseases with age as its risk factor. Panoramic radiographs can be used as early detection of osteoporosis, which one of the methods is measuring mandibular cortical bone thickness.
Objective: To obtain the average width / thickness of the mandibular cortical bone in individuals at risk of osteoporosis with age ranged 40- 80 years without differentiating women and men.
Methods: The research sample is panoramic radiographs. The study subjects were 89 people aged 40-80 years. Measurements of cortical bone thickness done in the left and right foramen mental region.
Results: Average width/thickness of the mandibular cortical bone in individuals at risk of osteoporosis with age range 40-80 years is 4,80618 mm. There is a tendency of thicker mandibular cortical bone in age ranged 40-59 years population than in age ranged 60-80 years population.
Conclusion: In this study, the average thickness / width of the mandibular cortical bone in the age group 40- 80 years were within the normal range."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45042
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Missy Mercia
"Pada usia 40-75 tahun tulang rahang mengalami pengurangan massa yang dapat menyebabkan kehilangan gigi, sehingga dapat digunakan sebagai penanda awal risiko osteoporosis. Penelitian cross-sectional deskriptif ini dilakukan untuk mengetahui distribusi frekuensi jumlah kehilangan gigi pada usia yang berisiko osteoporosis dari radiograf panoramik. Penghitungan kehilangan gigi pada 191 sampel di Paviliun Khusus RSGM FKG UI. Penghitungan oleh dua orang pengamat dan masing-masing dua kali penghitungan. Data reliabel dengan uji reliabilitas Intraclass Correlation Coefficient = 0,999, sedangkan uji korelasi usia dan jumlah kehilangan gigi menggunakan Pearson?s correlation coefficient (r) = 0,318. Database didapatkan dan terdapat korelasi antara usia dengan jumlah kehilangan gigi.

In the age of 40-75, bone mass reduction occurs and can lead to tooth loss, which is considered as an indicator of osteoporosis. This descriptive cross-sectional study was held to provide database of tooth loss frequency distribution in risk ages of osteoporosis by using panoramic radiograph. Two observers counted the tooth loss in 191 samples from Paviliun Khusus RSGM FKG UI. Data set is reliable with Intraclass Correlation Coefficient (ICC) 0.999. Pearson Correlation test shows correlation between age and tooth loss (r = 0.318). Frequency distribution of tooth loss database is attained with a correlation between age and tooth loss."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45351
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Antolis, Maureen
"Tingkat distorsi vertikal yang cukup besar pada radiograf periapikal gigi anterior rahang atas serta penggunaan lebar singulum sebagai acuan evaluasi distorsi vertikal radiograf gigi anterior.
Tujuan: Untuk mengetahui perubahan sudut vertikal yang masih dapat ditoleransi pada radiograf periapikal gigi insisif rahang atas.
Metode: Pada 30 gigi insisif rahang atas, dilakukan pembuatan radiograf periapikal sudut vertikal 0° sebagai acuan standar, selanjutnya dilakukan perubahan sudut vertikal -10°, +10°, -15°, +15°, -20°, dan +20°. Sumbu panjang gigi diatur posisinya sejajar film pada saat dilakukan paparan sinar-X. Kemudian panjang gigi dan lebar singulum pada radiograf dengan perubahan sudut vertikal diukur dan dibandingkan dengan kondisi sebenarnya. Seluruh hasil pengukuran diuji secara statistik dengan T test.
Hasil: Perbedaan antara panjang gigi klinis dengan panjang gigi radiografik pada seluruh perubahan sudut vertikal terbukti tidak signifikan (p>0.05), sedangkan perubahan lebar singulum signifikan pada sudut +15° dan -10° (p<0.05).
Kesimpulan: Panjang gigi pada radiograf periapikal gigi insisif rahang atas yang diposisikan sejajar dengan film radiograf masih dapat ditoleransi sampai dengan perubahan sudut vertikal sebesar 20º. Lebar singulum menyempit secara signifikan pada radiograf yang mengalami perubahan sudut +15º dan melebar secara signifikan pada radiograf yang mengalami perubahan sudut -10º.

The prevalence of vertical distortion in the periapical radiograph of anterior maxillary teeth is quite significant and cingulum is commonly used as the reference of vertical distortion in anterior radiograph.
Objective: To evaluate the limit of vertical angulation error that still can be tolerated.
Method: Periapical radiograph with vertical angle 0° was obtained from 30 maxillary incisors as reference, then the vertical angulation was changed into -10°, +10°, -15°, +15°, -20°, and +20°. Long axis of the teeth was adjusted parallel to the film. Tooth length and cingulum width with vertical angulation alteration was measured and compared to the actual length. All of the measurement was tested using T test.
Result: There were no significant difference between all the measurements of tooth length with the alteration in vertical angulation (p>0.05), whereas cingulum width had a significant difference at +15° and -10°, (p>0.05).
Conclusion: Tooth length in periapical radiograph of maxillary incisor with parallel position is still tolerable until 20º vertical angle errors. Cingulum width on radiograph with +15º vertical angle alteration is significantly narrowed and on radiograph with -10° vertical angle alteration is significantly widened.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shafira Gina Andriana
"Latar belakang: Prevalensi penyakit osteoporosis di Indonesia tergolong cukup tinggi seiring bertambahnya usia. Berdasarkan hasil Data dan Informasi Kementrian Kesehatan RI (InfoDATIN 2015) mengenai penyakit osteoporosis di Indonesia, tertera bahwa proporsi penderita osteoporosis berusia lebih dari 50 tahun pada wanita mencapai 32,3% dan 28,8% pada pria. Usia lanjut sangat jelas dapat dijadikan sebagai faktor risiko terhadap terjadinya osteoporosis. Didukung pula dengan minimnya pola hidup sehat baik itu olahraga maupun asupan nutrisi tulang dari konsumsi susu masyarakat Indonesia. Hal ini memicu terjadinya porositas bahkan hingga fraktur dini terhadap tulang yang dapat dicegah salah satunya melalui metode deteksi dini Panoramic Mandibular Index (PMI).
Tujuan: Memperoleh data rerata rasio ketebalan tulang kortikal pada subjek wanita usia 31-75 tahun secara radiografis pada panoramik berdasarkan metode PMI.
Metode: Pengukuran PMI menggunakan sampel radiograf panoramik wanita sebanyak 225. Dibagi menjadi tiga kategori dengan interval 15 tahun, yaitu kategori 1 dengan rentang usia 31-45 tahun, kategori 2 yaitu 46-60 tahun, dan kategori 3 yaitu 61-75 tahun. PMI diukur berdasarkan rasio ketebalan kortikal mandibula terhadap jarak antara margin superior atau inferior foramen mental dan margin inferior dari korteks mandibula.
Hasil: Diperoleh rerata dan standar deviasi pada kategori 1 sebesar 0,30±0,032, kategori 2 sebesar 0,28±0,042, dan kategori 3 sebesar 0,24±0,063. Berdasarkan hasil analisis Uji ANOVA, didapatkan perbedaan signifikan antar kategori (p<0,05). Selain itu, berdasarkan hasil pengukuran yang didapatkan, secara statistik pengukuran PMI menunjukkan penurunan seiring dengan pertambahan usia dalam interval usia 15 tahun.
Kesimpulan: Nilai PMI menurun seiring dengan pertambahan usia dan secara statistik terdapat perbedaan bermakna diantara kategori usia.

Background: Prevalence of osteoporosis in Indonesia is quite high with age. Based on the results of Information from Ministry of Health of the Republic of Indonesia (InfoDATIN 2015) regarding the conditions of osteoporosis in Indonesia, it was stated that the proportion of osteoporosis patients aged more than 50 years in women reached 32.3% and 28.8% in men. Old age can clearly be used as a risk factor for osteoporosis. Also supported by the lack of a healthy lifestyle such as physical exercise and bone nutrition intake from milk consumption of Indonesian people. This certainly will trigger the occurrence of porosity even to the early fracture of bone, which one of them can be prevented through the early detection method of the Panoramic Mandibular Index (PMI).
Objective: To obtain data on mean cortical bone thickness ratio in female subjects aged 31-75 years radiographically on panoramic based on the PMI method.
Method: A total of 225 female panoramic radiograph samples were selected and divided into three categories with 15-year intervals, namely category 1 with an age range of 31-45 years, category 2 is 46-60 years, and category 3 is 61-75 years. PMI is measured based on the ratio of the mandibular cortical thickness to the distance between the superior or inferior margins of the mental foramen and the inferior margins of the mandibular cortex.
Results: The mean and standard deviation obtained in category 1 was 0.30±0.032, category 2 was 0.28±0.042, and category 3 was 0.24±0.063. Based on the one-way ANOVA analysis test result, there were significant differences between categories p<0.05. In addition, based on the results of measurements obtained, statistically PMI measurements show a decrease with age in the 15 year age interval.
Conclusion: PMI values ​​decrease with age and statistically there are significant differences between age categories."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qurrotul Aini
"ABSTRACT
Latar Belakang: Penyakit periodontitis yang sering dijumpai adalah periodontitis kronis. Periodontitis kronis tidak menimbulkan rasa sakit, sehingga tidak jarang penyakit ini terdiagnosa ketika telah mencapai tingkat keparahan moderate atau severe. Pada pemeriksaan radiografis periodontitis kronis, akan terlihat penurunan tulang alveolar. Penurunan tulang alveolar  akibat proses destruksi meluas akan menyebabkan terjadinya perubahan rasio akar-mahkota gigi. Nilai rasio akar-mahkota gigi dapat berpengaruh pada rencana perawatan dan prognosis dari gigi. Tujuan: Memperoleh nilai rata-rata rasio akar-mahkota pada gigi 36 atau 46 pasien usia 40-59 tahun yang mengalami periodontitis kronis di RSKGMP FKG UI dari radiograf. Metode: Pengukuran rasio akar-mahkota dengan menggunakan metode Lind (1972) dan modifikasi metode Lind pada 69 sampel radiograf periapikal digital yang diambil dari rekam medik pasien periodontitis kronis pada gigi 36 dan/atau 46 usia 40-59 tahun di RSKGMP FKG UI. Hasil: Pada gigi molar pertama mandibula, nilai rata-rata rasio akar-mahkota anatomis sebesar 1,99 ± 0,26, nilai rata-rata rasio akar-mahkota radiografis sebesar 1,32 ± 0,18, dan nilai rata-rata rasio akar-mahkota kasus periodontitis kronis sebesar 0,78 ± 0,29. Berdasarkan tingkat keparahan, nilai rata-rata penurunan tulang pada tingkat keparahan moderate sebesar 2,66 ± 1,43 dan menghasilkan nilai rata-rata rasio akar-mahkota sebesar  0,82 ± 0,24, sedangkan nilai rata-rata penurunan tulang pada tingkat keparahan severe sebesar 8,25 ± 1,41 dan menghasilkan nilai rata-rata rasio akar-mahkota sebesar 0,20 ±0,13. Kesimpulan: Nilai rata-rata rasio akar mahkota anatomis gigi molar pertama mandibula lebih besar dari rasio akar-mahkota radiografis. Dari penelitian ini terlihat kecenderungan bahwa semakin besar tingkat keparahan periodontitis kronis maka semakin kecil nilai rata-rata rasio akar-mahkota radiografis gigi.

ABSTRACT
Background: The most common type of periodontitis is chronic periodontitis. Chronic periodontitis is painless, consequently the disease may not be diagnosed until the severity is moderate or severe.  In radiograph examination of chronic periodontitis, a decreased alveolar bone height will be seen. Decreasing alveolar bone height due to the extensive destruction process will cause changes in the root-crown ratio. The value of root-crown ratio can affect the treatment planning and prognosis of the tooth. Objective: To obtain the average value of root-crown ratio on mandibular first molar in 40-59 years old patient with chronic periodontitis at RSKGMP FKG UI radiographically. Method: Measurement of root-crown ratio using Lind Method (1972) and modification of Lind Method in 69 digital periapical radiograph samples obtained from medical records of patient with chronic periodontitis on mandibular first molar aged 40-59 years old at RSKGMP FKG UI. Result: On mandibular first molar, the average value of anatomic root-crown ratio was 1,99 ± 0,26, the average value of radiographic root-crown ratio was 1,32 ± 0,18 and the average value of root-crown ratio was 0,78 ± 0,29. Based on the severity, the average value of decreased alveolar bone height at moderate severity was  2,66 ± 1,43 and  the average value of root-crown ratio was 0,82 ± 0,24, whereas the average value of root-crown ratio at severe severity was 8,25 ± 1,41 dan the average value of root-crown ratio was 0,20 ±0,13. Conclusion: The average value of anatomic root-crown ratio is greater than radiographic root-crown ratio. From this study, there is a tendency that the greater severity of chronic periodontitis, the smaller average value of radiographic root-crown ratio.
"
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stevie Kristianti
"Latar Belakang: Semakin bertambahnya populasi usia lanjut dan berubahnya gaya hidup di Indonesia, insidensi silent disease osteoporosis pun meningkat. International Osteoporosis Foundation (IOF) menyatakan bahwa 1 dari 4 wanita Indonesia berusia >50 tahun berisiko terkena osteoporosis. Penyakit ini tampak secara klinis setelah terjadi fraktur, sedangkan pada tahap awal tidak memiliki gejala klinis. Korteks inferior mandibula merupakan salah satu tulang yang dapat diamati untuk melihat perkembangan penyakit osteoporosis karena sangat dipengaruhi oleh perubahan usia fisiologis serta cukup luas dan mudah diidentifikasi. Baku emas alat deteksi osteoporosis di Indonesia sangat terbatas dan cukup mahal sehingga banyak pasien yang tidak terdeteksi. Oleh karena itu, mulai dikembangkan alternatif baru deteksi dini risiko osteoporosis menggunakan indeks radiomorfometri mandibular cortical width (MCW) pada radiograf panoramik digital yang dapat dilakukan oleh dokter gigi.
Tujuan: Memperoleh data rerata MCW pada wanita 31-45 tahun dibandingkan dengan MCW pada wanita usia 46-75 tahun sehingga dapat digunakan untuk pengembangan alat deteksi dini risiko osteoporosis.
Metode: Penelitian ini menggunakan data sekunder berupa 270 sampel radiograf panoramik digital wanita usia 31-75 tahun di Rumah Sakit Kedokteran Gigi Universitas Indonesia (RSKGM UI). Subjek dibagi menjadi 3 kategori: 31-45 tahun, 46-60 tahun, dan 61-75 tahun. Untuk mendapatkan nilai MCW, diukur jarak korteks mandibula dalam (endosteum) dan luar pada garis tegak lurus foramen mental dengan batas bawah mandibula. Pengukuran lebar kortikal mandibula dilakukan dengan perbesaran 2 x pada regio bawah foramen mental. Kemudian dilanjutkan dengan uji reliabilitas intraobserver dan interobserver dengan t-test dan Bland Altman.
Hasil: Rerata dan standar deviasi kelompok usia 31-45 tahun adalah 3.40 ± 0.42 mm; 46-60 tahun 3.18 ± 0.47 mm; dan 61-75 tahun 2.76 ± 0.66 mm. Rerata MCW wanita antar kelompok usia berbeda bermakna (p<0,05 berdasarkan uji One-way Anova). Semakin bertambah usia dalam rentang 15 tahun, nilai lebar kortikal mandibula semakin menurun secara signifikan.
Kesimpulan: Indeks radiomorfometri panoramik MCW pada usia 31-45 tahun berbeda bermakna dibandingkan pada usia risiko osteoporosis 46-60 dan 61-75 tahun.

Background: The increasing number of elderly population and lifestyle changes in Indonesia, raise the number of the incidence of the silent disease, osteoporosis. International Osteoporosis Foundation (IOF), stated that one out of four Indonesian women at age more than 50 years old having the risk of osteoporosis. Osteoporosis can be seen clinically as bone fracture, while in the early stage osteoporosis does not have specific symptom. Mandibular inferior cortex is one of the bone landmark that is useful for observing osteoporosis progression because it is affected by physiological changes and wide enough to identify. The gold standard of osteoporosis detection in Indonesia is very limited in number and the cost is quite high, thus most of people with the risk of osteoporoses go undetected. Therefore, a new alternative early detection tool for osteoporosis risk is developed by using radiomorphometric index, mandibular cortical width (MCW), on digital panoramic radiograph that can be done by a dentist.
Objective: To obtain the mean of mandibular cortical width in women 31-45 years old and comparison with women 46-75 years old in order to develop mandibular cortical width index usage for early osteoporosis risk detection tool.
Method: This study utilizing secondary data, totally 270 digital panoramic radiographs of women 31-75 years old Universitas Indonesia Dental Hospital (RSKGM UI). Subjects are divided into 3 categories: 31-45 years old, 46-60 years old and 61-75 years old. MCW was obtained by measuring mandible cortex distance from endosteum to the border of mandible at the perpendicular line between mental foramen and tangent line of border of the mandible. Mandibular cortical width measurement was done with 2 times magnification on the region below foramen mental. The reliability test for both intraobserver and interobserver were done using t-test and Bland altman test.
Results: Average and standard deviation 31-45 years old group is 3.40 ± 0.42 mm; 46-60 years old 3.18 ± 0.47 mm; and 61-75 years old 2.76 ± 0.66 mm. Mandibular cortical width average between age group is statistically different (p < 0,05 in one-way anova test) and decreases with age.
Conclusion: Mandibular radiomorphometric index MCW on women aged 31-45 years group significantly different compared with women in the risk ages of osteoporosis 46-60 and 61-75 years old.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nuraini
"Sistem klasifikasi citra lidah telah banyak digunakan dalam kepentingan medis dan diagnosis kesehatan. Penelitian ini berfokus pada peningkatan peforma akurasi klasifikasi pada sistem prediksi perokok berdasarkan analisis letak persebaran Smoker Melanosis pada citra lidah. Teknik diagonis lidah yang dibangun adalah metode yang non-invasif serta berbasis pencitraan hiperspektral (HSI). Berbagai pendekatan dan arsitektur Deep Learning  telah diusulkan untuk mengatasi analisis data HSI dan telah mencapai akurasi klasifikasi yang relatif tinggi. Pada penelitian ini, arisitektur Convolutional Neural Network (CNN) dipakai dalam konfigurasi spektral-spasial yang terutama digunakan dengan tujuan ekstraksi fitur dan klasifikasi. Peneliti membuat beberapa arsitektur CNN untuk melakukan beberapa pengujian. Peneliti mengklasifikasikannya sebagai Single CNN dan Hybrid CNN. Pada algoritma Single CNN ada 2 arsitektur yang dibuat  yaitu CNN-Autoencoder dan CNN-Alexnet. Pada algoritma Hybrid CNN ada 2 arsitektur yang dibuat yaitu Proposed Hybrid CNN dengan satu cabang dan Hybrid CNN Resnet18 dengan 8 cabang. Peneliti menguji dampak kernel pada setiap subjek segmentasi yang berbeda dan terlihat bahwa akurasi klasifikasi tertinggi setiap subjek bervariasi terhadap ukuran kernel. Oleh karena itu, model Hybrid-CNN ini diusulkan untuk dapat membuat arsitektur hibrida dan skala konvolusi hibrida. Pada model Proposed Hybrid CNN yang diusulkan, akurasi pada subjek Lateral A bisa mencapai 90,6%, Lateral B mencapai 86,5%, dan Persepsi Dokter mencapai 99,2%. Pada model Hybrid CNN-Resnet18 yang diusulkan, Lateral A bisa mencapai 89,4%, Lateral B mencaapai 84,6%, dan Persepsi Dokter mencapai 97,4%. Secara umum hasil akurasi model yang diusulkan berhasil mencapai peforma yang lebih baik.

The tongue image classification system has been widely used in medical interests and health diagnosis. This research emphasizes on improving the performance of classification accuracy in the Smoker prediction system based on the location analysis of the SmokerMelanosis distribution on the tongue image. The tongue diagonalization technique developed is a non-invasive method based on hyperspectral imaging (HSI). Various considerations and architecture In-depth learning have been proposed to overcome the analysis of HSI data and has obtained relatively high classification completion. In this study, the Convolutional Neural Network (CNN) architecture is used in the spectral-spatial configuration used for feature extraction and classification. CNN to do some testing. Researchers classified it as Single CNN and Hybrid CNN. In the Single CNN algorithm, there are 2 architectures created, namely CNN-Autoencoder and CNNAlexnet. In the Hybrid CNN algorithm, there are 2 architectures created, namely Proposed Hybrid CNN with one branch and Hybrid CNN Resnet18 with 8 branches. Learn more about the kernel in each different subject segmentation and look at the kernel classification. Therefore, the Hybrid-CNN model is proposed to be able to make hybrid architecture and hybrid convolution scale. In the approved Proposed Hybrid CNN model, approved on the subject of Lateral A can reach 90,60%, Lateral B reaches 86,5%, and Doctor Perception reaches 99,2%. In the CNN-Resnet18 Hybrid model obtained, Lateral A can reach 89,4%, Lateral B reaches 84,6%, and Doctor Perception reaches 97,4%. In general, the results of the completion of the approved model have achieved better performance. "
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
A. Fatima Azzahra
"Latar belakang: Kondisi penyakit periodontal dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan klinis dan radiografi.Pada teknik radiografi digitaldapat dilakukan image enhancement untuk memperbaiki kualitas gambar dengan mengoptimalkan brightness dan contrast. Tujuan :Mengetahui batasan valueyang dapat ditoleransi pada pengaturan brightnessdan contrast pada kasus periodontitis mild - moderate.Metode :Dilakukan image enhancementdengan mengubah brightnessdan contrastpada 100 radiograf dengan kasus periodontitis mild-moderatedengan interval poin -20,-10, +10 dan +20 pada setiap sampel pada masing-masing kelompok menggunakan program software Digora for Windows. Hasil :Valueyang dapat ditoleransi pada pengaturan brightness pada kasus periodontitis mild-moderateberkisarpada valuedibawah +10 dan yang dapat ditoleransi dalam pengaturan contrastberkisardari valuediatas -20.Kesimpulan :Pengaturan brightnessdan contrastdilakukan pada valuetersebut tidak akan mempengaruhi ataupun mengubah interpretasi radiografik periodontitis mild - moderatejika dilakukan pada value toleransinya.

Background :Periodontal disease condition can be checked by clinical and radiograph examination. In digital radiography techniques, image enhancement can be done to improve image quality by optimizing brightness and contrast. Objective :To determine the limit of values that can be tolerated in brightness and contrast setting in mild-moderate periodontitis cases. Methods :Adjust the image enhancement setting by changing the brightness and contrast of 100 radiographs with mild-moderate periodontitis with points intervals of -20, -10, +10 and +20 each sample in each group using the Digora for Windows. Result :Values that can be tolerated in brightness setting in interpretation of mild-moderate periodontitis rangeat values below +10 and values that can be tolerated in contrast setting rangefrom values above -20. Conclusion :Brightness and contrast adjustment made at these values will not affect the radiographic interpretation of mild-moderate periodontitis if carried out at their tolerance values."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shelvy Nur Utami
"ABSTRAK
Tujuan: Untuk mengetahui nilai batas toleransi pengaturan brightness dan
contrast pada radiograf digitized dengan diagnosis periodontitis apikalis dan abses
dini. Metode: Pengaturan brightness dan contrast pada 60 radiograf periapikal
dengan periodontitis apikalis dan abses dinioleh 2 pengamat. Uji reliabilitas
dengan Kappa Coefficient dan kemaknaan dengan uji wilcoxon. Hasil: Nilai batas
toleransi periodontitis apikalis adalah -5 dan +5, abses dini adalah -10 dan +10,
dan gabungan keduanya adalah -5 dan +5. Kesimpulan: Pengaturan nilai
brightness dan contrast yang terlalu tinggi dapat mengubah evaluasi lesi
pulpoperiapikal dan diagnosis banding lesi pulpoperiapikal.

ABSTRACT
Objective: To measure the tolerance limit value of brightness and contrast
adjustment on digitized radiograph with apical periodontitis and early abscess.
Method: Brightness and contrast adjustment on 60 periapical radiograph with
apical periodontitis and early abscess made by 2 observers. Reliabilities tested by
Kappa Coeficient and significancy tested by wilcoxon test. Results: Tolerance
limit value for apical periodontitis is -5 and +5, early abscess is -10 and +10, and
both is -5 and +5. Conclusion: Brightness and contrast adjustment which not
appropriate can alter the evaluation and differential diagnosis of periapical lesion.
"
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2014
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sita Rose Nandiasa
"ABSTRAK
Latar Belakang: Dalam bidang forensik, pengukuran radiografis gigi belum banyak diteliti. Perlu dikembangkan metode pengukuran yang sederhana yang dapat diaplikasikan untuk kepentingan identifikasi personal.
Tujuan: Menganalisis keakurasian pengukuran gigi untuk identifikasi personal.
Metode: Perbandingan pengukuran tujuh titik anatomis pada premolar kedua dan molar pertama rahang bawah dengan perangkat lunak radiografis digital dan manual.
Hasil dan Kesimpulan: Didapatkan tujuh titik anatomis acuan yang reliabel dan metode pengukuran gigi yang akurat untuk kepentingan identifikasi personal.

ABSTRACT
Background: In forensic field, research about tooth measurement is still limited. Simple measurement method needs to be developed for personal identification puspose.
Aim: To analyze the accuracy of tooth measurement for personal identification.
Methods: Measurement comparation of seven reference points on ,mandibular second premolar and first molar using digital radiography software and manual.
Result and Summary: Reliable seven reference points and accurate tooth measurement method have been developed for personal identification purpose.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>