Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Helen Surya Atmaja
"Bahan dan Metode : Desain cross seksional pada 99 subyek laki-laki tahun yang dipilih secara simple random sampling dari sarnpel MONICA Jakarta III. Data yang dikumpulkan meliputi data umum subyek, asupan makanan, antropometri, tekanan darah, EKG dan pemeriksaan laboratorium darah. Uji statistik yang digunakan adalah uji X2, Fisher dan Kolmogorov-Smimov, Mann Whitney dan korelasi Pearson / Spearman rank.
Hasil : Kadar feritin serum ?200 p.glL tedapat pads 8,1% subyek. Asupan besi total 4,81 mg (1,59-13,24 mglhari), besi hem 0,21 mg (0-1,22 mg/had), 93,9% asupan besi kurang 1 AKG. Terdapat 13,1% dengan IMT >27 kglm2, 20,2% dengan Lpe X94 cm aan rasio LpelLpa X0,95; 34,3% dengan tekanan darah >149190 mm Hg, Kadar kolesterol total abnormal 41,4% (?200 mgldL); kolesterol HDL abnormal 63,6%(z40 mgldL); kolesterol LDL abnormal 52,5% (?130 mgldL); trigiiserida abnormal 11,I%(200 mg/dL); gula puasa abnormal 5,1% (?126 mgldL). Kebiasaan merokok pada 54,5% subyek. Tidak trdapat korelasi bermakna antara asupan besi total (r--0,038) dan besi hem (r,027) dengan feritin serum. Rasio Odds kasar antara feritin serum dengan PJK (diagnostik EKG) 5,5 kali (CI. 0,87-34,33). Pada uji statistik didapat perbedaan bermakna median feritin serum pads subyek diabetes daengan non diabetes (p~,001) dan subyek dengan kelebihan lemak tubuh dengan subyek dengan lemak tubuh normal (Lpe dengan p:1,009; LpelLpa dengan p"0,047).
Kesimpulan: Didapatkan hubungan tidak bermakna antara feritin serum dengan asupan zat gizi. Terdapat hubungan moderat antara feritin serum dengan risiko PJK. Subyek dengan feritin serum ? 200 .iglL mempunyai kecenderungan risiko 5,5 kali menderita PJK (diagnostik EKG) dibandingkan subyek dengan feritin serum <200 p.g(L,

Serum ferritin in men 35 years old or over and its relating factors at Mampang PrapatanMethods : A cross sectional study had been carried out of on 99 subjects age 35 years selected using simple random sampling method from MONICA Jakarta's III sample. Data collected consist of socio-economic state, dietary intake, anthropometric, laboratory, blood pressure and electrocardiogram examination. Statistical analysis was performed by X-, Fisher, Kolmogorov-Sm imov, Mann-Whitney, and Pearson/ Spearman rank correlation.
Result : Serum ferritin 1200 1.tglL was found in 8,1% subjects. Total iron intake 4,81 mg (1,59-13,24 mg/day), heme iron 0,21 mg (0-1,22 mg/day), 93,9%% of iron intake below the RDA. There were 13,1% subjects with BMI >27 kg/m2; 20,2% with AC >94 cm and WHR >0,95; 34,5% with blood pressure >140/90 mm Hg. Abnormal total cholesterol level 41,4% (1200 mg/dL); abnormal HDL cholesterol 63,6% (<40 mg/dL); abnormal LDL cholesterol 52,5% (1130 mg/dL); abnormal triglyceride 1,1% (~0d mg/dL); abnormal fasting glucose 5,1% (?126 mgldL); 54,5% had smoking habits. Lack association between total iron (r=-0,038) and heme iron (r 0,027) with serum ferritin. Men with ferritin serum 1200 l.tg1L had an crude odds ration 5,5 fold suffer from CHD (according to ECG diagnostic) compare to subjects with ferritn serum <200 .iglL (CI. 0,87-34,33). Statistical analysis showed significant difference of serum ferritin median in diabetic and non diabetic subjects (p:1,001), overfatness subjects and normo fatness subjects (AC with. pC,009 and WHR with p=0,047).
Conclusion : There is no significant relationship between serum ferritin level and dietary intake. Bivariate analysis found moderate relationship between serum ferritin and CHD. Men with serum ferritin 1200 pglL had a crude odds ratio 5,5 fold suffer from CHD (according to ECG diagnostic) compare to the subjects with serum ferritin < 200 pg/L."
2001
T597
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Masrul
"Latar belakang - Gambaran elektrokardiogram awal pasien sindroma koroner akut khususnya STEMI yang datang ke unit emergensi dapat memberikan prediksi tentang luasnya infark dan responnya terhadap terapi reperfusi yang diberikan serta prognosis jangka panjangnya. Gambaran EKG pada STEMI, khususnya IMA anterior dapat berupa distorsi (+) dan (-). Distorsi terminal komplek QRS adalah emergensi point > 50% dari gelombang R pada sandapan dengan konfigurasi qR (1, aVL, V4-V6) atau tidak munculnya gelombang S pada sandapan dengan konfigurasi Rs (V1-V3) pada 2 sandapan berdekatan. Ternyata distorsi QRS (+) pada STEMI mempunyai infark yang boas, angka kematiaan yang tinggi, EF yang rendah stria perawatan yang lama dan berulang.
Mahan dan care kerja - Penelitian ini merupakan penelitian retrospektif-kohort terhadap pasien infark rniokardial akut anterior yang mendapat tempi trombolitik penode Januari 2003 sampai September 2004 yang dirawat di Rumah Sakit Hasapan Kites, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Pasien dikelompokkan jadi 2 bagian yaitu messing-messing 30 orang dengan distorsi QRS dan tanpa distorsi QRS. Hubungan antara 2 variabel dinilai dengan uji t dan chi-square serta Mann Whitney.
Hasil Penetftian -- Subyek penelitian ini berumur antara 40 - 69 tahun. Jenis kelamin terutama adalah laki-laki. Tidak terdapat perbedaan data dasar karaktcristik klinis antara kedua kelompok, sehingga keduanya adalah seimbang. Data laboratorium yang berbeda bermakna antara distorsi QRS dengan taopa distorsi adalah kadar LDL kolesterol yaitu I62,30 ± 30,89 mg% VS 141,70 ± 35,22 mg%, p = 0,019. Respon terhadap terapi trombolitik temyata pada kelompok distorsi lebib banyak yang gagal dibanding tanpa distorsi yaitu 70% VS 23,3°/°4 p=4,003. Hasil ini membawa konsekwensi berupa kejadian aritmia, EF yang rendah dan seringnya perawatan ulangan karma CHF, yang secara statistik berbeda bermakna.
Kesimpulan - Gambaran elektrokardiogranl awal berupa distorsi QRS (+) pads pasien STEM! khususnya IMA anterior adalah lebih beret dibanding tanpa distorsi QRS."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ida Bagus Adiatmaja
"Latar belakang
Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian utama pada pekerja perusahaan yang bergerak dalarn minyak dan gas bumi nasional. Para pekerja tersebut diharapkan mempunyai kewaspadaan akan faktor risiko penyakit kardiovaskular tersebut.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah Skor Kardiovaskular Jakarta dapat dipakai guna menentukan kemungkinan kejadian kardiovaskular, guna upaya promotifpreventif risiko dan mengetahui hubungan faktor pekerjaan dengan Skor Kardiovaskular Jakarta maupun Skor Framingham.
Metode
Penelitian ini menggunakan rancangan kros seksional dengan 107 responden. Dilakukan pengumpulan data primer melalui wawancara, pengisian kuesioner dan pengumpulan data sekunder melalui penelusuran catatan rekam medic.
Hasil
Karakteristik sosiodemografi subyek sebagian besar berumur ? 45 tahun (70,1%). Skor Kardiovaskular Jakarta subyek sebagian besar tergolong kategori risiko tinggi (58,0%), sedangkan Skor Framingham subyek sebagian besar risiko rendah (76,6%). Dart analisis 1regresi logistik binary yang paling kuat berhubungan dengan Skor Kardiovaskular Jakarta adalah umur (OR-suaian=10,06, 95% CI=2,43-41,66), sedangkan yang paling kuat berhubungan dengan Skor Framingham adalah diabetes melitus (OR-suaian=216,82, 95%CI=13,76-3416,07) dan kolesterol-total (OR-suaian=162,I7. 95% C1=13,27-1982,17). Terdapat korelasi yang bermakna dengan arah positif dan cukup kuat antara Skor Kardiovaskular Jakarta dengan Skor Framingham (koefisien korelasi = 0,592 dan p = 0,000).
Kesimpulan
Skor Kardiovaskular subyek sebagian tergolong kategori risiko tinggi. Skor Framingham subyek sebagian besar tergolong kategori rendah. Tidak ada hubungan faktor pekerjaan dengan kedua skor tersebut. Terdapat korelasi antara Skor Kardiovaskular Jakarta dengan Skor Framingham. Skor Kardiovaskular Jakarta dapat dipakai pada populasi penelitian ini.

Background
Cardiovascular diseases are among the most common causes of death in employees of the national oil and gas company. Employees should be made aware on the cardiovascular risk factors.
The aim of this research was to know if Jakarta Cardiovascular Score could be used to determine cardiovascular risks and to know the relationship between job factors, Jakarta Cardiovascular Jakarta and Framingham Score.
Methods
This study was using cross sectional design with a sample of 107 respondents. Data were collected by interview using questionnaire and medical record file review.
Result
Sociodemographyc characteristics of the respondents showed that most of them were 45 years of age. The study found out that using Jakarta Cardiovascular Score most subjects showed risk high (58,0%), while using Framigham Score most subyects still showed risk low (76,6%). The result of logistic binary regression indicated that there were significant relationship between age and Jakarta Cardiovascular Score (adjusted-OR= 10,06, 95% CI=2,43-41,66) and also there were significant relationship among diabetic, cholesterol level and Framingham Score (adjusted-OR--216,82, 95% CI-13,76-3416,09 and adjusted-CR=162,17, 95% CI=13,27-1982,17). No significant relationship was found between job factors and either scores. A positive significant correlation was established between Jakarta Cardiovascular Score and Framingham score (coefficient of correlation 0,592, p=0,000).
Conclusion
Most subject showed high Jakarta Cardiovascular Score, while most subject showed low Framingham Score. No significant relationship was found between job factors and either scores. A positive significant correlation was established between Jakarta Cardiovascular Score and Framingham Score. Jakarta Cardiovascular Score can be used for the populations of this study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T21218
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bogor: Ghalia Indonesia, 2011
616.1 BUK (1);616.1 BUK (2)
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Effendi Rustan
"ABSTRAK
Tujuan:
Untuk mengetahui hubungan antara kadar kromium serum dengan kadar insulin, gula darah, HbAlc, profit lipid dan tingkat oklusi koroner pada penderita baru penyakit jantung koroner.
Tempat : Bagian Cath-Lab RS Jantung Harapan Kita.
Bahan dan Cara:
Penelitian dilakukan pada laki-laki di atas usia 35 tahun yang memenuhi kriteria dikumpulkan data mengenai sosio-ekonomi, keadaan kesehatan, gaya-hidup, aktivitas, IMT, asupan makanan, proporsi zat dan pemeriksaan tekanan darah, kadar kromium serum, insulin, gula darah, HbAlc, profil lipid dan tingkat oklusi koroner.
Karakteristik subyek disajikan secara deskriptif, sedangkan analisis dilakukan dengan uji statistik chi kuadrat, t, Mann Whitney, dan uji korelasi Spearman.
Hasil:
Dari 65 subyek penelitian yang diteliti, umur rata-rata 51.17 + 7.44 tahun, terbanyak (60 %) antara 40 - 55 tahun, 73.9% golongan ekonomi menengah atas, prevalensi DM 13.8%, Hipertensi 16.9%, Merokok 69.2%, olahraga 28%, Obese dan gemuk 52.3%, aktivitas ringan 100%. Asupan nutrisi secara kualitatif sesuai dengan anjuran diit Konsensus Nasional Pengelolaan Dislipidemia di Indonesia, secara kuantitatif subyek dengan tingkat oklusi > 50%, mempunyai asupan protein hewani dan kolesterol yang lebih besar secara bermakna (p<0,05) dibandingkan dengan subyek dengan tingkat oklusi < 50%, dan telah jauh di atas AKG. Nilai rata-rata kromium serum 8.08 ug/L. Nilai ini 431 lebih rendah dari nilai normal. Nilai insulin, gula darah puasa dan trigliserida masih berada dalam batas normal. Nilai HbAlc, LDL, HDL dan Total kolesterol berada dalam batas yang diwaspadai. Berdasarkan Triad Lipid 98.5% menderita Dislipidemia.
Berdasarkan tingkat oklusi koroner, didapatkan 44 orang subyek dengan tingkat oklusi >50%, dan 21 orang dengan tingkat oklusi <50% . Subyek dengan tingkat oklusi >50% mempunyai kadar LDL dan total kolesterol yang lebih besar secara bermakna. Kadar kroaium, insulin, gula puasa, HbAlc, trigliserida dan HDL kolesterol tidak berbeda secara bermakna. Pada tingkat oklusi koroner <50%, tidak ada korelasi yang bermakna antara kromium serum dengan faktor-faktor resiko. Pada tingkat oklusi koroner >50% ada korelasi yang bermakna kromium serum dengan gula puasa, trigliserida dan HDL kolesterol.
Kesimpulan:
Tidak ada hubungan antara kromium serum dengan kadar gula puasa, profil lipid dan tingkat oklusi koroner. Pada tingkat oklusi > 50% ada korelasi yang bermakna antara kroaium serum dengan gula puasa, trigliserida dan HDL kolesterol."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simarmata, Hendra
"ABSTRAK
Latar belakang: PCSK9 merupakan protein yang berperan dalam regulasi kadar kolesterol LDL darah. PCSK9 diketahui memiliki mekanisme kerja lain yang melibatkan proses inflamasi, peningkatan Lp(a), aktivasi jaras protrombotik dan platelet, metabolisme triglyceride-rich lipoprotein, serta modifikasi plak yang juga dapat berperan dalam patogenesis berbagai spektrum penyakit aterosklerotik, termasuk IMA-EST. Kemajuan dalam strategi penatalaksanaan IMA-EST telah berhasil meningkatkan kesintasan. Polimorfisme R46L gen PCSK9 diketahui memiliki efek proteksi terhadap risiko kardiovaskular. Pada pasien infark miokard, prevalensi pembawa karier mutan R46L sebesar 2,14%. Dalam observasi pasien infark miokard akut didapatkan proporsi pasien yang memiliki kesintasan yang panjang. Polimorfisme R46L gen PCSK9 dipikirkan dapat memiliki peranan dalam mempertahankan kesintasan pasien-pasien tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari hubungan antara polimorfisme R46L gen PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP dengan luaran kardioserebrovaskular mayor. Metode: Sebanyak 601 pasien dengan IMA-EST yang menjalani IKPP diperiksakan polimorfisme R46L gen PCSK9 pada saat admisi. Data luaran kardioserebrovaskular mayor dan data penunjang lain didapatkan dari rekam medik dan follow-up melalui telepon. Hasil: Tidak ditemukan varian mutan (GT dan TT) polimorfisme R46L gen PCSK9 pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP sehingga analisa hubungan polimorfisme R46L gen PCSK9 terhadap luaran kardioserebrovaskular mayor tidak dapat dilakukan. Kesimpulan: Pada pasien IMA-EST yang menjalani IKPP di RS Jantung Harapan Kita, tidak ditemukan varian mutan R46L gen PCSK9. Analisa hubungan polimorfisme R46L gen PCSK9 terhadap luaran kardioserebrovaskular mayor tidak dapat dilakukan.

ABSTRACT
Background: PCSK9 is a protein molecule that regulates serum LDL cholesterol level. Recent data suggest that PCSK9 activity may also work through other mechanisms, such as inflammation, increased Lp(a), triglyceride-rich lipoprotein metabolism, activation of prothrombotic pathways and platelets, and modification of atherosclerotic plaque, which may contribute to the pathogenesis of atherosclerotic diseases, including STEMI. Advances in the management of STEMI have succeeded in increasing survival. Polymorphism R46L of PCSK9 gene has been known to have protective effect on cardiovascular risks. In patients with myocardial infarction, the prevalence of R46L mutation carriers was 2.14%. In the longterm observation of acute coronary syndrome patients, a proportion of patients experienced longer survival. Polymorphism R46L of PCSK9 gene may play a role in longterm survival. Objective: The aim of this study is to evaluate the association between plasma polymorphism R46L of PCSK9 gene with MACCE in STEMI patients who underwent primary PCI. Methods: In total, 601 patients with STEMI who were treated with primary PCI had their plasma sample drawn during admission and evaluated for polymorphism R46L of PCSK9 gene. MACCE and other supportive data were taken from the medical records and telephone follow-up. Results: In this study, no polymorphism R46L of PCSK9 gene was detected. Therefore, its association with MACCE could not be further analysed. Conclusion: There was no polymorphism R46L of PCSK9 gene detected in STEMI patients treated with primary PCI. The analysis of its association with MACCE could not be conducted."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suryo Wibowo
"Latar Belakang: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan status pekerjaan sebagai suatu faktor risiko infark miokard pada para pekeija pxia yang dirawat di Rumah Sakit Jantung dan Pembuluh Darah Harapan Kita.
Metode: Desain penelitian kasus-kontrol dengan 77 kasus infark miokard dan kontrol 77 orang yang dipilih dan disamakan kclompok umumya. Informasi mengenai pekezjaan dan falctor-faktor risiko klasik infark miokard diperoleh melalui questionnaire dan dengan menelusun berkas rekam medik subyek. Hubungan antara infark miokard dan status pekerjaan dinilai dengan analisis regresi logistik, disuaikan terhadap sejumlah faktor risiko lainnya.
Hasil: Setelah disuaikan terhadap obesitas, hipertensi, riwayat keluarga, kelompok pendidikan, status perkawinan, dan jam kerja, kami menemul-can bahwa, dibandingkan terhadap status pekerjaan manual tidak terlatih, pda yang status pekerjaannya semakin tinggi semakin bcrisiko untuk terjadi infark miokard yakni OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% CI 1,56 _ 2s,5z), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95) dan OR 14,17 (95% CI 3,24 - 6l,99) berturut- turut untuk status pekerjaan manual terlatih, non manual tingkat rendah, non manual tingkat menengah, dan non manual tingkat tinggi.
Kesimpulan: Terdapat perbedaan dalarn risiko infark miokard antara status pekeljaan yang berbeda. Pria yang status pekerjaannya non manual tingkat tinggi paling bcrisiko. Perbedaan dalam faktor-faktor psikososial di negara-negara sedang berkembang mungkin mempunyai andii terhadap hasil yang diamati dalam penelitian ini.

Background: This study was carried out to identity occupational status as a risk factor associated with myocardial infarction among male workers who hospitalized at National Cardiovascular Center Harapan Kita.
Methods: Case-control study with myocardial infarction as cases (n = 77) and controls (n = 77) were selected and matched on age. lnfomtation about occupation and classical risk factors for myocardial infarction was obtained with questionnaire and through subjects? medical record. The relation between myocardial infarction and occupational status was evaluated by logistic regression analysis, adjusting for a number of selected risk factors.
Results: After adjusting for obesity, hypertension, family history, educational group, marital status, and working hour, we found that, compared to manual unskilled occupational status, higher occupational status increased risk of myocardial infarction with OR 4,17 (95% CI 0,98 - 17,73), OR 6,67 (95% C1 1,56 - 28,52), OR 11,11 (95% CI 2,94 - 41,95), and OR 14,17 (95% Cl 3,24 - 61,99) respectively for manual skilled, non manual low level, non manual middle level, and non manual high level occupational status.
Conclusions: Differences in myocardial infarction risk among occupational status were found. Non manual high level occupational status were at highest risk. Differences in psychosocial factors in developing countries may contribute to observed results.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T29188
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Rima Melati
"Latar belakang dan tujuan: Penyakit jantung koroner merupakan penyakit yang sangat menakutkan dan masih menjadi masalah baik di negara maju maupun negara berkembang. Prevalensi infark miokard juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Hal ini selain disebabkan oleh faktor risiko konvensional, juga dipengaruhi oleh faktor pekerjaan. Upaya pengendalian bam ditujukan pada iinktor-faktor risiko konvensional. yang sudah diketahui jelas pengaruhnya, sedangkan faktor pekexjaan yang menimbulkan job strain masih belum diperhatikan, padahal job strain dapat menimbulkan stres kerja yang akan berdampak pada terjadinya infark miokard. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara job strain dan faktor risiko lainnya dengan terjadinya infark miokard pada pekerja.
Metode: Desain penelitian ini adalah kasus kontrol dengan jivquency matching 1:1 menurut umur. Data dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner data umum yang meliputi karakteristik demografi, faktor risiko konvensional, karakteristik pekerjaan, dan kuesioner demand- control (ICQ) untuk mengukur job strain.
Hasil: Job strain, merokok dan dislipidemia merupakan faktor risiko yang berhubungan dengan infark miokard. Job sirain meningkatkan risiko infark miokard 6,8 kali lipat (Adj OR 6,80, 95% CI: 2,72 ; l6,98, p = 0,000). Perokok ringan bexisiko I5 kali lipat terhadap teljadinya infark miokard (Adj OR 14,97, 95% CI: 3,17 ; 70,74, p = 0,001), perokok sedang beaisiko 7,7 kali lipat terhadap terjadinya infark miokard (Adj OR 7,72, 95% CI: 273 ; 21,84, p = 0,000), dan perokok berat berisiko 26 kali lipat terhadap terjadinya infark miokard (Adj OR 25,6l, 95% Cl: 5,25 ; 124,88, p = 0,000). Dislipidemia meningkatkan risiko infark miokard 2,8 kali lipat (Adj OR 2,82, 95% CI: 1,07 ; 7,44, p = 0,035). Komponen job strain yang meningkatkan risiko infark miokard adalah job demands yang tinggi (Ad_§ OR 2,44, 95% CI: 1,02 ; 5,85, p = 0,046).
Kesimpulan: Job strain, merokok dan dislipidemia secara bersama-sama berhubungan dengan kejadian infark miokard.

Background and aim: Coronary heart disease is the most tightening disease and still become a problem in the developed and developing countries. The prevalence of myocard infarction is also increasing fiom year to year. Beside the conventional risk factors, it is also influenced by occupational factors. Although job strain can cause stress which would have impact on the occurrence of myocard infarction, the prevention strategies being implemented are just for conventional risk factors. There is still no concern for occupational factors which can also cause job strain. This study was aimed to assess the relationship between job strain and other risk factors with myocard infarction among workers.
Methods: The study design was case - control with frequency matching 1:1 for age. Data were collected by using general questionnaire which covered demography characteristics, conventional risk factors, job characteristics, and demand - control questionnaire(ICQ) to assess job strain.
Result: Job strain, smoking and dyslipidemia were risk factors which had relationship with myocard infarction Job strain increased myocard infarction risk by 6.8 times (Adj OR 6.80, 95% CI: 2.72 ; 16.98, p = 0.000). Light smokers increased myocard infarction risk by 15 times (Adj OR 14.97, 95% CI: 3.17 ; 70.74, p = 0.001), medium smokers increased myocard infarction risk by 7,7 times (Adj OR 7.72, 95% CI: 2.73 ; 21.84, p = 0.000), and heavy smokers increased myocard infarction risk by 26 times (Adj OR 25.61, 95% CI: 5.25 ; 124.88, p = 0.000)_ Dyslipidemia increased myocard infarction risk by 2.8 times (Adj OR 2.82, 95% CI: 1.07 ; 7.44, p == 0.035). Job strain component which increased myocard infarction risk was high job demand (Adj OR 2-44, 95% CI: 1.02 ; 5.85, p = 0046).
Conclusion: Job strain, smoking and dyslipidemia simultaneously had relationship with myocard infarction.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2008
T32344
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Angga Arifianto
"Latar Belakang : Kerja shift dapat menyebabkan gangguan tidur dan gangguan kehidupan sehari-hari (stres), perubahan perilaku seperti mulai merokok dan pola konsumsi makanan yang tidak sehat, yang menyebabkan obesitas dan perubahan kadar kolesterol darah. Dimana hal tersebut dapat meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular. Tujuan penelitian ini mengetahui hubungan antara pekerja shift dan non shift terhadap perubahan profil EKG iskemik di perusahaan baja selama kurun waktu 2014-2018.Nelayan adalah jenis pekerjaan dengan risiko kelelahan kerja yang tinggidan
Metode Penelitian : Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif dengan subyek penelitian adalah pekerja perusahaan baja yang melakukan medical check up rutin kurun waktu 2014-2018, dilakukan dengan mengambil data sekunder hasil medical check up dalam kurun waktu diatas. Hasil uji statistik menggunakan Chi Square dan Regresi Cox menggunakan nilai probabilitas (p<0,05) untuk signifikansi. Jumlah sampel pada penelitian ini adalah 834 pekerja, laki-laki usia 36-55 tahun. Faktor risiko PJK yang diukur obesitas, usia, lingkar pinggang, lama bekerja, aktifitas fisik, konsumsi makanan berlemak, riwayat genetik, hipertensi, diabetes, dislipidemi, dan merokok. Sedangkan faktor stres kerja diukur menggunakan kuesioner survey diagnosis stres.
Hasil : Prevalensi perubahan EKG iskemik pada pekerja shift sebanyak 13,2% dan pada pekerja non shift 12,0%. Survival rate untuk perubahan EKG iskemik pada pekerja shift sebesar 85,4% dan pekerja non shift sebesar 82,9%. Hipertensi berhubungan dengan EKG iskemik, dengan RR 1,88 dan IK95% (1,15-3,09). Tidak ditemukan hubungan antara kerja shift dan non shift dengan EKG iskemik.di Ancol, Cilincin
Kesimpulan : Kejadian EKG iskemik antara kelompok pekerja shift dan non shift tidak berbeda signifikan. Hipertensi berhubungan dengan EKG iskemik. Pekerja non shift memiliki angka ketahanan lebih rendah terhadap terjadinya EKG iskemik daripada pekerja shift. satu
Background : Shift work can cause sleep disturbance and disruption of daily life (stress), changes in behavior such as starting smoking and unhealthy food consumption patterns, which cause obesity and changes in blood cholesterol levels. Where it can increase the risk of cardiovascular disease. The purpose of this study is to find out the relationship between shift and non-shift workers on changing the ischemic ECG profile in steel indus-try during the 2014-2018 period. Fishermen, which are widely spread in
Research methods : The design of this study was a cohort retrospective with research subjects as steel industry workers who performed routine medical check-ups in the 2014-2018 period, carried out by taking secondary data from medical check-up results in the above period. Statistical test results using Chi Square and Cox Regression use probabil-ity values (p <0.05) for significance. The number of samples in this study were 834 work-ers, men aged 36-55 years. CHD risk factors measured by obesity, age, waist circumfer-ence, length of working, physical activity, consumption of fatty foods, genetic history, hypertension, diabetes, dyslipidemia, and smoking. While work stress factors are meas-ured using a Survey Diagnosis Stress questionnaire.his study was a retrospective cohort
Results : The prevalence of ischemic ECG changes in shift workers is 13.2% and in non shift workers is 12.0%. The survival rate for ischemic ECG changes in shift workers was 85.4% and non-shift workers was 82.9%. Hypertension is associated with ischemic ECG, with RR 1.88 and CI 95% (1.15-3.09). There is no relation between shift and non shift work with ischemic ECG.
Conclusion : Ischemic ECG events between shift and non shift worker groups are not significantly different. Hypertension is associated with ischemic ECG. Non-shift workers have lower endurance numbers against ischemic ECG than shift workers"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>