Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 118 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nuh Anak Ampun
Abstrak :
Salah satu indikasi kekuatan sebuah negara untuk mampu bertahan hidup dan berkembang adalah bila masyarakatnya memiliki integritas yang tinggi baik berdimensi horizontal maupun vertikal. Hanya dengan suasana seperti itulah memungkinkan pembangunan di segala aspek kehidupan dapat terlaksana dengan baik. Oleh karena itu negara senantiasa berusaha semaksimal mungkin dengan menggunakan kekuatan yang ada pada dirinya untuk tercapai suasana yang kondusif, yaitu integrasi nasional. Berkenaan dengan hal tersebut diatas, Propinsi Sumatera Utara dengan ibu kotanya Medan, sebagai salah satu propinsi di Indonesia tidak sunyi dari masalah integritas. Kota Medan sendiri dikenal memiliki sumber daya alam yang kaya, seperti tambang minyak, perkebunan meskipun sifatnya sangat terbatas. Kuat dugaan bahwa dengan sumber daya alam tersebut mengakibatkan daerah ini banyak dikunjungi oleh para perantau baik dari dalam maupun luar negeri. Bahkan kehadiran kolonial Belanda maupun Jepang di daerah ini tidak terlepas dari keinginan untuk menguasai sumber daya alam yang kaya tersebut. Dengan demikian kota Medan menjadi tumpuan berbagai perantau yang berbagai etnis. Meskipun demikian hingga saat ini tidak pernah ditemukan konflik etnik atau benturan budaya meskipun tidak ada budaya dominan, kecuali terhadap etnik Cina. Khusus mengenai etnis Cina sebagai salah satu etnis perantau di kota Medan ini, walaupun jumlah mereka relatif sedikit, namun kelihatannya sangat berbeda dengan etnis pendatang lainnya. Mereka mampu menguasai roda perekonomian, menguasai pusat-pusat perbelanjaan, perbankan, manukfatur dan lain sebagainya. Namun yang sangat mengherankan bahwa meskipun mereka sudah relatif lama di daerah kota Medan ini, akan tetapi belum dapat berbaur dengan baik dengan masyarakat lokal dimana mereka berada. Cara hidup mereka masih eksklusif baik tempat tinggal, interaksi sosial maupun dalam dunia pekerjaan. Seolah-olah mereka memiliki pemerintahan sendiri di wilayah hukum Pemerintah Kota Medan. Akan tetapi pada sisi lain sering kali mendapat perlakuan yang kurang baik dari masyarakat, beberapa kerusuhan sosial di Medan yang menjadi korban adalah etnis Cina ini, balk gangguan terhadap harta maupun jiwa. Apakah memang ada hubungan antara cara hidup mereka yang eksklusif tersebut terhadap gangguan harta dan jiwa mereka, apakah memang pola-pola interaksi yang mereka gunakan selama ini kurang sesuai dengan penduduk lokal, dan seandainya ada hubungan kedua variable ini, mengapa etnis Cina kelihatannya tidak menunjukkan perbaikan sikap. Dan masih banyak lagi pertanyaan yang dapat diajukan terhadap keberadaan Cina di kota Medan ini. Hal inilah sebenarnya mendorong penelitian ini dilakukan. Mengingat demikian luasnya aspek kehidupan masyarakat Cina di kota Medan ini yang berkaitan dengan pembauran (asimilasi), maka peneliti hanya menyoriti 5 aspek saja yaitu: 1). Sikap WN1 Cina dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya dan kekeluargaan. 2). Motivasi mempertahankan identitas sebagai WNI Cina bukan sebagai bangsa Indonesia. 3). Tanggapan pribumi alas sikap eksklusif WNI Cina. 4). Faktor-faktor penghambat dalam proses pembauran. 5). Upaya yang dilakukan oleh Pemko Medan dalam proses pembauran antara WNI keturunan dengan pribumi. Kemungkinan hasil yang dapat diperoleh dari penelitian ini, yaitu: 1). Memprediksikan kemungkinan-kemungkinan yang timbul akibat dari sikap yangkurang mendukung terhadap pelaksanaan pembauran. 2). Sebagai bahan masukan bagi Pemko Medan dalam mengambil kebijakan dalam pelaksanaan pembauran di kalangan WNI Keturunan yang bermuara kepada ketahanan Daerah. Mengenai metode penilitian, peneliti menggunakan pendekatan disiplin ilmu sosiologi dan politik yang membahas segi-segi tingkah laku manusia yang dipengaruhi oleh interaksi sosial. Dan hal itu dipandang dipandang kejiwaan yang dapat berubah karena perbedaan-perbedaan situasi sosial dan perkembangan budaya. Penelitian ini sendiri dilakukan di kota Medan dengan responden utama sebanyak 100 tersebar 4 Kecamatan dari 21 Kecamatan. 4 Kecamatan tersebut adalah 1). Kecamatan Medan Timur, 2). Kecamatan Medan Tembung, 3). Kecamatan Medan Labuhan, dan 4). Kecamatan Medan Maimun. Sedangkan jumlah mereka saat ini diperkirakan sebanyak 115.400 orang untuk seluruh kota Medan. Akan tetapi mengingat penelitian ini bersifat diskriptif analitik, adakalanya responden juga diambil dari luar 100 orang tersebut. Responden tambahan dimaksud seperti aparat pemerintah termasuk Kepala Lingkungan, tokoh masyarakat, para pedagang di pasar dan sejumlah pribumi, akan tetapi sifatnya hanya mendukung terhadap data yang sudah ada. Hal itu diperlukan guns lebih jernih dalam menarik kesimpulan. Tehnik pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini ada 4 bentuk yaitu: 1). Mencatat dokumen-dokumen dan studi kepustakaan. 2). Observasi, yaitu melihat dan melibatkan diri secara langsung kepada obyek dan subyek penelitian, sehingga fenomena kehidupan mereka yang berkenaan dengan masalah penelitian dapat terekam dengan baik. 3). Wawancara mendalarn (Indepth Interview) berkenaan dengan tujuan penelitian. Wwancara juga dilakukan terhadap Key Informants (termasuk didalamnya tokoh-tokoh masyarakat, tokoh pemuda) tentang pokok permasalahan sesuai dengan pengamatan dan pandangan mereka terhadap proses pembauran. 4). Kuesioner digunakan untuk menjaring data: Latar belakang kehidupan responden seperti tingkat pendidikan, jenis kelamin, pekerjaan dan agama. Sedangkan tehnik pengolahan dan analisa data, setelah dikumpulam dan ditabulasikan akan diolah secara diskriptif. Data primer yang dijaring melalui wawancara tersturuktur maupun non struktur diolah kedalam bentuk tabel-tabel diskriptif dengan menggunakan persentase. Kemudian data dalam bentuk table tersebut akan dianalisis secara bersama-sama dengan data yang diperoleh melalui instrumen lainnya. Temuan Walaupun etnis Cina di Medan sudah berlangsung beberapa generasi, namun dapat dikatakan bahwa hampir seluruh aspek kehidupan WNI Keturunan mengalami eksklusif. Sikap eklusif ini setidak-tidaknya disebabkan oleh 6 hal: 1. Keinginan melestarikan budaya Cina, mereka tetap yakin bahwa budaya yang paling baik mutunya di dunia ini adalah budaya Cina. 2. Mereka berorientasi kepada paham materialistik, sehingga masyarakat pribumi yang tidak memiliki ekonomi setara dengan mereka maka mereka mengambil jarak dalam kehidupan sosial. Kecuali itu mereka juga memiliki sikap parasit, hanya mengambil keuntungan belaka tanpa mempertimbangkan kerugian yang dialami pihak pribumi. 3. Sistem kekerabatan yang sangat kokoh, akan tetapi memiliki sanksi tinggi pula. Hal ini dimaksudkan agar tetap terpeliharanya budaya Cina dikalangan mereka dan tetap sukses dalam melakukan usaha sesuai dengan profesi masing-masing anggota kelompoknya. 4. Menghindari gangguan masyarakat yang pada umumnya masyarakat pribumi. 5. Perlakuan pemerintah dan masyarakat mendorong mereka membina kesetiakawanan untuk menghadapi kemungkinan yang tidak diharapkan. 6. Sikap pribumi yang menganggap Cina eksklusif dan sombong. 7. Pribumi kurang siap menerima kehadiran mereka. Kecuali itu dapat ditambahkan disini bahwa ada kecendrungan membenarkan sebuah hipotesis bahwa "Cina tetap Cina". Pada tujuh pain tersebut di atas adalah prilaku masyarakat kota. Akan tetapi prilaku etnis Cina dipedesaan walaupun tidak sepenuhnya dapat berbaur dengan masyarakat setempat, namun pada saat anak-anak mereka pindah ke pusat kota, biasanya bertempat tinggal dilingkungan kerabatnya atau rekan kerjanya, maka prilaku mereka sewaktu dipedesaan sudah mulai berkurang. Dan setelah merekaberumah tangga dan memiliki anak maka budaya yang diajarkan kepada anak mereka adalah budaya Cina bukan budaya Indonesia. Berbeda halnya dengan yang mengawini pribumi, ada kecendrungan bahwa budaya atau sikap prilaku Cina sudah tidak diajarkan lagi, melainkan budaya atau bahasa ibunya. Namun persentasi mereka ini sangat sedikit. Meskipun demikian keberadaan Cina di Medan ini dalam hal pembauran, ada juga diantara mereka memberikan kritik atas prilaku Cina tersebut sekaligus menganjurkan agar menggunakan budaya Indonesia terutama dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat yang sama juga memberikan kritikan terhadap kebijakan pemerintah yang terkesan masih diskriminatif. Kemudian-ada juga ditemukan pengusaha Cina melebihi tuntutan pembauran yang di canangkan pemerintah, pengusaha tersebut selaian tidak memandang etnis didalam pekerjaan sehari-hari termasuk dalam perolehan gaji setiap bulannya, akan tetapi juga memberangkatkan haji rata-rata 3 orang pertahun karyawannya sendiri dengan dana perusahaan, mengunjungi karyawan yang sakit maupun menghadiri pasta perkawinan karyawannya, memberikan sapi kepada masyarakat sekitar pada saat hari raya Qurban. Dan memotivasi karyawan agar dalam kurun waktu tertentu sudah harus mandiri dalam hal mencari nafkah. Temuan lainnya yang dapat dikemukakan disini adalah bahwa aparat pernerintah tidak mampu mendeteksi secara baik jumlah anggota keluarga masing-masing warga Cina, demikian juga halnya pelaksanaan KB di lingkungan mereka masih jauh dari tuntutan sebenarnya. Dengan demikian sangat sukar menentukan jumlah komunitas Cina di Medan ini. Di dalam stagnasi proses pembauran tersebut kelihatannya Pemko belum mengambil langkah-langkah konkrit, sehingga komponen yang terkait dalam pembauran tersebut berjalan sendiri-sendiri. Kenyataan tersebut sekaligus menggambarkan bahwa Ketahanan Nasional belum berjalan sebagaimana diharapkan. Oleh karena itu untuk mengantisipasi munculnya konflik baru yang berbau SARA semestinya Pemko Medan maupun insitusi lainnya menyusun konsep baru sebagai manifestasi dari konsepsi Ketahanan Nasional.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T205
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andi Fachrudin M.
Abstrak :
Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar didunia, dan berpenduduk terbesar ke empat di dunia dengan jumlah 203,5 juta jiwa. Hal tersebut menjadi sangat erat hubungannya dengan perkembangan teknologi komunikasi di era globalisasi saat ini, yang sangat berpengaruh terhadap ketahanan keluarga masyarakat untuk memperkokokoh ketahanan nasional. Menurut data Biro Pusat Statistik/BPS (survey aksesbilitas penduduk Indonesia terhadap media massa tahun 2000) Aksesbilitas penduduk Indonesia terhadap televisi sebesar 78,22%, yang bila dihitung dari 203,5 juta jiwa adalah 168 juta jiwa penduduk, televisi terbukti sangat besar diminati oleh masyarakat Indonesia dibandingkan media massa lainnya. Sedangkan penduduk Indonesia sebagian besar 67,34% tinggal di pedesaan dengan taraf hidup dan pendidikan yang masih relatif rendah, serta kegemaran membaca pada masyarakat Indonesia juga dikenal paling rendah didunia. Dengan kenyataan yang demikian menyebabkan peran serta televisi sangat penting dalam menyampaikan pesan-pesan pembangunan dan membina kesadaran masyarakat dalam berbangsa serta membangun masyarakat Indonesia yang berkualitas. Program siaran televisi merupakan karya budaya demikian pula dengan prilaku anggota keluarga yang dapat berubah karena dipengaruhi menjadi negatif ataupun positif. Keluarga sebagai lembaga yang paling penting dan paling mendasar dalam masyarakat adalah sebagai bagian dari ketahanan nasional. Permasalahan yang ada dalam penelitian ini yaitu: 1. Sampai sejauh mana pengaruh program siaran televisi terhadap ketahanan keluarga pada masyarakat pedesaan di Banten? 2. Program siaran televisi manakah yang paling disukai masyarakat pedesaan di Banten? 3. Stasiun televisi manakah yang paling disukai masyarakat pedesaan di Banten? dimana efektivitas penyebaran pesan-pesan pembangunan melalui siaran televisi dapat membina kesadaran berbangsa. Namun hal itu dipengaruhi oleh faktor faktor sosial budaya yang hidup di masyarakat dengan latar belakang adat istiadat, agama, pendidikan, kebudayaan yang beraneka ragam dan taraf hidup yang masih relatif rendah serta jangkauan media cetak yang masih terbatas terrnasuk minat membaca yang kurang. Selanjutnya penelitian ini bertujuan untuk: 1. Menganalisis pengaruh program siaran televisi terhadap ketahanan keluarga masyarakat pedesaan di Banten. 2. Menganalisis program siaran televisi yang paling disukai masyarakat pedesaan di Banten. 3. Menentukan stasiun televisi nasional yang paling disukai masyarakat pedesaan di Banten. Metode penelitian yang dipakai adalah Metode Analisis pada tujuan penelitian pertama, serta Tabel Analisis pada tujuan penelitian kedua dan ketiga dengan mengunakan data primer dan sekunder yang didapat dari jawaban kuesioner responden. Adapun hasil penelitian yang didapat adalah sebagai berikut: 1. Semua variabel program siaran televisi (siaran berita, hiburan, dan niaga) signifikan pada taraf 5%, kecuali variable X3 (siaran pendidikan) tidak signifikan. Variabel siaran berita adalah variabel yang terbesar mampu meningkatkan ketahanan keluarga apabila ditambah satu unit yaitu sebesar 69%. 2. Sedangkan R2 = 0,85 atau 85% yang berarti program siaran televisi secara bersama-sama mampu menjelaskan variansi ketahanan keluarga sebesar 85%, adapun 15% lagi dipengaruhi oleh variabel lainnya. 3. Selanjutnya program siaran televisi yang paling disukai oleh responden adalah program siaran berita sebesar 53,3% di televisi SCTV, yang terbesar dipilih oleh kelompok Bapak 40,6%. 4. Serta stasiun televisi yang paling disukai oleh responden adalah stasiun televisi INDOSIAR dimana program siaran hiburan 33,3% dan siaran niaga 26,6% mendapat prosentase terbesar. Dunia pertelevisian Indonesia dimulai pada tahun 1962 dengan berdirinya TVRI, selanjutnya berkembang pesat pada tahun 1979 setelah diluncurkannya Satelit Komunikasi PALAPA yang mendukung penerimaan siaran televisi diseluruh tanah air yang terbentang luas dari Sabang hingga Marauke. Masyarakat Indonesia ketika itu telah jenuh dengan sajian seremonial dan gambaran kehidupan miskin yang selalu ditampilkan TVRI, Masyarakat terlihat antusias sejak berdirinya televisi swasta pertama yaitu RCTI pada tahun 1989, yang berturut-turut muncullah TPI, SCTV, ANTV dan INDOSIAR dan saat ini telah/siap mengudara METRO-TV, TRANS-TV, TV-7, LA-TV, GLOBAL-TV. Yang semuanya kenyataan menuju siaran nasional (program siaran sarat kekerasan dan pornografi) tanpa menghiraukan perbedaan pendidikan, taraf hidup, dan sosial budaya masyarakat di seluruh Indonesia. Program siaran televisi swasta sebagian besar hanya menjual mimpi yang laku dipasar (produk import dan produk lokal yang cenderung meniru budaya asing) berdasarkan research dari konsultan internasional yang lebih dipercaya dibandingkan mengaca kepribadian bangsa Indonesia yaitu AC-NIELSEN. Hanya program siaran TVRI yang selalu mengedepankan rasa kebangsaan dengan membina kesadaran berbangsa melalui layar kaca, seperti menampilkan penyiar multikultural, kebudayaan daerah-daerah melalui stasiun penyiarannya, menyuguhkan berita yang menyejukkan, dan menyiarkan produk import hanya 5 %. Akan tetapi TVRI justru seakan ingin ditekan agar tidak berkutik oleh penguasa, kalangan DPR, dan konglomerat yang sebagian besar memang memiliki asset di televisi swasta dengan tidak memberikan TVRI siaran iklan dan kesepakatan 12,5% dari transaksi iklan TV swasta, adapun yang diberikan dana pada TVRI hanya dari APBN yang hanya bisa menghidupi 10 % saja dari kegiatan operasionalnya. Namun betapapun besarnya beban yang dipikul TVRI, dengan penanganan yang benar akan mengurangi atau bahkan dapat menghilangkan resiko rusaknya mental bangsa sehingga dapat memperkuat ketahanan keluarga. Propinsi Banten menjadi lokasi penelitian karena sebagai daerah penyanggah lbukota Jakarta, daerah pariwisata, dan jalur transportasi penting yang menghubungkan Pulau Jawa dan Pulau Sumatra. Pihak manajemen seluruh televisi di Indonesia sebaiknya melakukan berbagai perbaikan terhadap penanganan program siaran televisi yang akan ditampilkan pada masyarakat Indonesia secara nasional, dengan memperhatikan rasa kebangsaan dan pembinaan ketahanan keluarga.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T1853
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hernadewita
Abstrak :
Pertumbuhan penduduk yang sangat pesat,khususnya di Kota Cilegon disebabkan oleh pertumbuhan alamiah dan migrasi. Pertumbuhan ini mengakibatkan tekanan yang berat terhadap kota, apalagi mengingat fungsi kota Cilegon yang dijadikan sebagai kota industri, perdagangan dan jasa. Dengan berbagai fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, tentunya semua kegiatan tersebut akan bertumpu pada lahan sebagai ruang yang dapat menyediakan (mengalokasikan) ruang bagi kegiatan-kegiatan tersebut beserta fasilitas dan utilitas penunjang yang dibutuhkan. Keterbatasan luas lahan yang tersedia, sementara tuntutan terhadap peningkatan berbagai fungsi lahan untuk berbagai kegiatan pembangunan terus meningkat. Kegiatan pembangunan yang dilaksanakan diberbagai bidang seiring dengan fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, baik langsung maupun tidak langsung akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pemanfaatan ruang. Perubahan struktur dan fungsi ruang baik secara langsung maupun tidak langsung akan berpengaruh terhadap pola adaptasi masyarakat. Proses adaptasi akan dialami baik oleh masyarakat pendatang maupun masyarakat asli. Adaptasi yang dituntut terjadi tidak hanya dari segi budaya tetapi juga dalam keikutsertaan berperan pada kegiatan pembangunan. Berdasarkan karakteristik tersebut, penelitian dilakukan di wilayah Cilegon, yang saat ini terbagi atas 4 (empat) kecamatan, yaitu: Cilegon, Ciwandan, Cibeber, dan Pulomerak. Cilegon berada 90 km dari Barat Jakarta. Sebagai pusat penataan ruang, Cilegon merupakan pusat perdagangan, perkantoran, dan wilayah permukiman; Ciwandan memiliki pelabuhan Banten dan kawasan industri; Pulomerak sebagai kawasan industri, pelabuhan Merak dan wilayah pemukiman; Cibeber adalah wilayah permukiman dan juga terdapat waduk yang digunakan untuk menyuplai air ke sebagian komunitas masyarakat di Cilegon dan juga untuk PT. Krakatau Steel. Luas Cilegon (17.550 Ha), dan jumlah penduduk sebesar 294,936 jiwa (talrun 1999), tersebar pada 4 (empat) Kecamatan di Kota Cilegon, dengan rincian:
  1. Kecamatan Ciwandan dengan luas wilayah (7.483 Ha), kepadatan penduduk sebesar 83.861 jiwa, yang terdiri dari 42.897 jiwa laki-laki dan 40.964 jiwa perempuan.
  2. Kecamatan Cilegon dengan luas wilayah (1.753 Ha), kepadatan penduduk sebesar 69.488 jiwa, yang terdiri dari 35.352 jiwa laki-laki dan 34.136 jiwa perempuan.
  3. Kecamatan Cibeber dengan luas wilayah (2.466 Ha), kepadatan penduduk sebesar 41.362 jiwa, yang terdiri dari 20.911 jiwa laki-laki dan 20.451 jiwa perempuan.
  4. Kecamatan Pulomerak dengan luas wilayah (5.848 Ha), kepadatan penduduk sebesar 100.225 jiwa, yang terdiri dari 51.527 jiwa laki-laki dan 48.698 jiwa perempuan.
Pada tahun 1990 penduduk Cilegon terdaftar sebesar 226.461 jiwa. Pada 1998 jumlah tersebut meningkat menjadi sebesar 257.864 jiwa dan pada tahun 1999 menjadi 278.462 jiwa. Pertambahan jumlah penduduk tersebut terus berlangsung pada tahun 2000, mencapai 294.936 jiwa, hal itu berarti bahwa pada tahun 1999 terjadi pertambahan penduduk sebesar 8,06%, dibandingkan dengan tahun 1998 terjadi peningkatan sebesar 6,13% (terjadi penurunan peningkatannya sebesar 1,93% dibandingkan dengan pertumbuhan tahun 1998-1999). Sementara luas Cilegon tetap pada 17.550 Ha, yang berarti tingkat kepadatan penduduk pada tahun 1998 adalah sebesar 1.469 jiwa per Ha, sedangkan tahun 2000 menjadi 1.681 jiwa per Ha. Pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi di daerah ini erat kaitannya dengan perkembangan industri yang dimulai semenjak tahun 1965 dengan berdirinya industri baja pertama yang sekarang dikenal dengan PT. Krakatau Steel, dan pembangunan berianjut sampai tahun 1990 (di mana industri lain juga dibangun di Cilegon, yang sebagian besar industri kimia, seperti: PT. PENI, PT. UAP, Bakrie Kasei, PT. PIPI (DOW Chemical), PT Tripolyta, Asahimas, PT. Chandra Asri. dan lain-lain). Nampaknya pertumbuhan penduduk yang tidak merata persebarannya di Cilegon itu sangat erat kaitannya dengan perkembangan industri tersebut. Hal ini menimbulkan penyebaran penduduk yang terkonsentari di pusat kegiatan bisnis (Cilegon). Perkembangan industri dan konsentrasi serta distribusi penduduk tersebut, tidak terlepas dari penataan wilayah yang direncanakan sedemikian rupa. Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 47 tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN), Cilegon ditetapkan sebagai pusat utama untuk kawasan andalan Bojonegara-Merak-Cilegon dan sekitarnya. Sektor unggulan untuk kawasan ini adalah: industri, pertanian tanaman pangan, pariwisata, perikanan, dan pertambangan. Khusus untuk RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah), Cilegon berfungsi sebagai pusat (simpul). Dengan adanya RTRW yang menetapkan fungsi sebagai pusat, maka fungsi-fungsi yang diemban oleh Cilegon adalah sebagai pusat industri, pusat kegiatan perdagangan dan jasa, pusat kegiatan komersial, pusat kegiatan pemerintahan, pusat kegiatan pelabuhan dan sebagai pintu gerbang Barat PuIau Jawa, serta sebagai kota lintasan pergerakan kegiatan wisata Anyer-Carita dan lalu lintas Jawa-Sumatera. Dengan berbagai fungsi yang harus diemban oleh Cilegon, tentunya semua kegiatan tersebut akan menyebabkan terjadinya perubahan pada pemanfaatan ruang dan daya dukung wilayahnya. Dari kenyataan tersebut di atas penataan ruang Cilegon menunjukkan penataan ruang dalam arti sempit. Budihardjo (1997: 1) mengungkapkan bahwa tata ruang sebagai suatu kegiatan penataan yang tidak hanya berarti sempit atau terbatas pada perencanaan dan perancangan fisik semata, tetapi juga melakukan penataan manusia dengan segenap keunikan perilakunya. Bahkan Rapoport menggunakan istilah "cultural landscape" karena kota dan daerah pada dasarnya merupakan pengejawantahan budaya dengan beraneka ragam karakter, sifat, keunikan, dan kepribadian. Mengingat hal tersebut (Budihardjo, 1997: 2) mengungkapkan bahwa yang pertama-tama harus dipahami adalah budaya dari berbagai kelompok masyarakat dan pengaruh dari tata nilai, norma, gaya hidup, kegiatan dan simbol-simbol yang mereka anut terhadap penataan dan bentuk kota maupun daerah. Berkaitan dengan penataan ruang dan adaptasi manusia, Weber (dalam Budihardjo, 1997. 2) mengungkapkan bahwa jurang kaya miskin makin menganga mencolok mata, komunitas yang guyub pecah menjelma menjadi masyarakat patembayan yang dilandasi penalaran kalkulatif. Durkheim (dalam Budihardjo, 1997:2) menambahkan bahwa keadaan demikian menyebabkan kesepakatan moral yang disepakati bersama makin meluntur. Gejala demikian terlihat pada masyarakat yang terdapat di Kota Cilegon. Permasalahan umum yang terdapat di Kota Cilegon, seperti juga yang dihadapi oleh kota-kota lain di Indonesia, sesuai dengan perkembangannya adalah sebagai berikut :
  1. Penyebaran (distribusi) penduduk di wilayah kota yang tidak merata.
  2. Pertumbuhan penduduk kota yang tinggi, pertumbuhan ini terjadi terutama diakibatkan oleh migrasi penduduk dari tempat lain ke Cilegon untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik.
  3. Ketersediaan fasilitas dan utilitas kota yang tidak atau belum mencapai tingkat yang optimal.
  4. Perkembangan yang sangat pesat terkonsentrasi di sepanjang jalur arteri regional (sepanjang Jalan Raya Cilegon).
  5. Kualitas jaringan jalan yang sebagian besar belum mencapai tingkat kondisi yang baik, terutama jalan-jalan lingkungan atau jalan-jalan desa.
Sementara itu permasalahan khusus yang dihadapi oleh Cilegon adalah adaptasi masyarakat terhadap perubahan fisik dan sosial yang diperkenalkan melalui kegiatan pembangunan wilayah. Perubahan yang diperkenalkan melalui kegiatan pembangunan seyogyanya dapat meningkatkan mutu hidup masyarakat. Kenyataannya, perubahan kegiatan pembangunan khususnya di bidang industri, ternyata juga membuka lapangan kerja dan menimbulkan dampak lingkungan yang harus dihadapi oleh penduduk setempat dan juga tergusurnya penduduk dari lingkungan hidupnya yang asli. Di mana hal ini akan menimbulkan masalah yang cukup besar atau akan berdampak pada perubahan sosial dan budaya masyarakat. Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini difokuskan pada penduduk setempat dan kemampuan mereka dalam menghadapi proses penyesuaian terhadap perubahan fungsi lingkungan. Dari permasalahan yang diuraikan di atas maka formulasi pertanyaan penelitian adalah:
  1. Apakah terdapat hubungan antara penataan ruang dengan kualitas hidup masyarakat?
  2. Apakah terdapat hubungan antara penataan ruang dengan kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut maka dirumuskan: tata ruang mikro (yang dilihat dari: ventilasi, pencahayaan, saluran air (drainage)) dan persepsi terhadap pelaksanaan rencana tata ruang (yang dilihat dari struktur dan wujud tata ruang) di jadikan variabel bebas (independent variable) dan kualitas hidup (berisikan kondisi sosial ekonomi, yang dilihat dari: umur, jenis kelamin, pendidikan, pekerjaan, daerah asal, pendapatan, pengeluaran, kesehatan, kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban) dijadikan variabel tidak bebas (dependent variable). Selanjutnya, berdasarkan fokus penelitian, asumsi-asumsi yang dikemukakan, diformulasikan kedalam 2 (dua) hipotesis berikut:
  1. Terdapat hubungan antara kualitas hidup masyarakat dengan penataan ruang.
  2. Terdapat hubungan antara kelembagaan sosial, keamanan dan ketertiban dengan penataan ruang.
Lokasi penelitian adalah Kota Cilegon seperti telah disebutkan di atas, yang meliputi 4 (empat) kecamatan, yaitu: Ciwandan, Cilegon, Cibeber, dan Pulomerak. Sampel yang digunakan dipilih secara acak, yaitu sebesar 130 kepala keluarga (KK/responden), yang terdiri dari: 25 responden di Ciwandan, 55 responden di Cilegon, 15 responden di Cibeber, dan 35 responden di Pulomerak. Analisis data dilakukan secara deskriptif (dengan menggunakan perhitungan persentase dan populasi) dan analisis kuantitatif (untuk melihat hubungan dari masing-masing variabel, menggunakan uji statistik Chi-Square (x2) dan uji korelasi dengan tingkat signifikansi 95% (a=0,05)). Dari hasil pengolahan data terhadap penataan ruang (independent variable) dan kualitas hidup (dependent variable) diperoleh: 1. Tata Ruang Mikro. Variabel uji yang digunakan adalah ventilasi, pencahayaan, dan saluran air. Dari hasil uji statistik diperoleh, penataan ruang berpengaruh terhadap kualitas hidup (dari variabel kontrol pendapatan). Hal ini dapat dilihat dari hasil perhitungan (x2 hitung = 33,815 (ventilasi) dan 25,631 (pencahayaan) lebih besar dari x2 tabel= 24,996; dan 33,015 (saluran air) lebih besar x2 tabel= 18,307), 2. Persepsi terhadap Pelaksanaan Rencana Tata Ruang. Variabel yang diuji dibagi atas dua yaitu struktur tata ruang (meliputi: alih fungsi ruang, dan pembebasan tanah) dan wujud tata ruang (meliputi: persepsi terhadap UUPR, UU, dan pelaksanaan UUPR). Dari hasil uji statistik diperoleh hasil uji terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), untuk struktur tata ruang (x2 hitung = 59,138 (alih fungsi); 32,415 (pembebasan tanah), yang keduanya lebih besar dari x2 tabel = 18,307); perhitungan statistik untuk wujud tata ruang (x2 hitung = 29,569 (pengetahuan), lebih besar dari x2 tabel =11,070) dan (f hitung = 32,415 (pelaksanaan RUTR) dan 92,785 (sikap pemerintah terhadap RUTR), keduanya lebih besar dari (x2 tabel = 18,307). Dapat dikatakan pengetahuan mengenai tata ruang yang tertuang dalam RUTR wilayah berpengaruh terhadap peningkatan kualitas hidup yang diwakili oleh pendapatan yang diperoleh sebagai penghasilan perbulan. 3. Daerah Asal. 79 responden (60,80%) menyatakan bahwa mereka adalah penduduk asli daerah Cilegon, karena mereka sudah bermukim dan memperoleh penghidupan di wilayah ini sudah lebih dari 20 tahun. Sementara sisanya, 51 responden (39,20%) adalah penduduk yang datang dan bermukim di Cilegon untuk memperoleh penghidupan kurang dari 20 tahun. Dari hasil analisis statistik menunjukkan, tidak adanya pengaruh daerah asal terhadap pendapatan, dimana (x2 hitung=6,031 lebih kecil dari x2 tabel= 11,070), 4. Sosial Ekonomi a.Tingkat Pendidikan Dari tingkat pendidikan sebagian besar responden berada pada tingkat pendidikan menengah (Pendidikan SLTA), 84 responden (64,6%) berada pada tingkat pendidikan menengah (SLTA); 29 responden (22,3%) berada pada tingkat pendidikan tinggi (Perguruan Tinggi); 17 responden (13,1%) berada pada tingkat pendidikan rendah (SD-SLTP). b.Jenis Pekerjaan. 42 responden (32,3%) berprofesi sebagai Pegawai Negeri; 30 responden (23,1%) berprofesi sebagai karyawan swasta; 30 reponden (23,1%) mempunyai usaha sendiri sebagai wiraswasta; dan sisanya 28 responden (21,6%) bekerja sebagai buruh dan lain-lain (tukang ojek dan ibu rumah tangga). c.Pendapatan dan pengeluaran. Berada pada kisaran (Rp. 500.000 sampai lebih besar dari Rp. 3.000.000 per bulan). Sebahagian besar tingkat pendapatan penduduk Cilegon tersebut dipergunakan untuk pengeluaran kebutuhan pokok (37,75%) dan sekunder (62,25%). Dari hasil ini dapat dikategorikan bahwa masyarakat Cilegon sebagai masyarakat tidak miskin, dikarenakan proporsi pengeluaran untuk kebutuhan pokok berada dibawah 40% dari seluruh total pengeluaran. 5. Kelembagaan Sosial, Keamanan dan Ketertiban - Kelembagaan Sosial. Terdapat 11 (sebelas) lembaga sosial masyarakat yang terbentuk di Cilegon, yaitu: PPM (Pemuda Panca Marga); FKKT (Forum Komunikasi Karang Taruna); AMS (Angkatan Muda Siliwangi); KNPI; Pemuda Pancasila; IPSI; FBMC (Forum Bersama Masyarakat Cilegon); MUI (Majelis Ularna Indonesia); LPMC (Lembaga Pemberdayaan Masyarakat Cilegon); AMPI; KMC (Korp Mubalig Cilegon). - Keamanan dan Ketertiban. 92 responden (70,77%) menyatakan kondisi keamanan lingkungannya aman; 38 responden (29,23%) tidak aman. Dari hasil uji statistik diperoleh bahwa keamanan lingkungan berpengaruh terhadap terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), yang ditunjukkan oleh (x2 hitung = 84,938 lebih besar dari x2 tabel = 18,307). 6. Kesehatan. Kesehatan masyarakat dilihat dari tingkat kesehatan balita, penyediaan sumber air bersih, dan sanitasi/MCK. Dari perhitungan statistik diperoleh, terdapat pengaruh kesehatan masyarakat terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan), dengan variabel uji: Kesehatan balita, penyediaan sumber air bersih, MCK. Dari hasil perhitungan diperoleh untuk kesehatan balita (x2 hitung = 51,154 lebih besar dari x2 tabel = 18,307). Tetapi untuk Kondisi MCK (x2 hitung = 6,108 lebih kecil dari x2 tabel = 18,307) dan sumber air bersih [x2 hitung = 2,406 lebih kecil dari x2 tabel = 18,307), yang berarti sanitasi dan air bersih yang digunakan dan dikonsumsi masyarakat sehari-hari tidak berpengaruh terhadap pendapatan (variabel kontrol kualitas hidup). Secara keseluruhan, berdasarkan hasil penelitian dan hubungannya dengan perspektif penelitian lingkungan (sebagai acuan dalam penggelolaan lingkungan), penataan ruang berpengaruh terhadap kualitas hidup, dan tidak terdapat korelasi (hubungan) antara penataan ruang dan keberadaan kelembagaan sosial. Sementara itu, keamanan dan ketertiban lingkungan berpengaruh terhadap kualitas hidup (variabel kontrol pendapatan). Sesuai dengan keinginan masyarakat, Pemerintah Kota Cilegon harus terbuka dalam penataan kotanya, terutama dalam penataan ruang. ......The fast growing of population, especially in Cilegon was caused by natural growth and migration. This growth brought heavy pressure to the city, especially its function in the future as the industrial city, trading, and services. By the number of its functions, its makes all of activities concentrated to the land as the space with allocated for all of those activities and also provided facilities and utilities as needed. Its need to increase the land functions for all aspect in development activities, meanwhile, its limited on availability of land area. Those activities, direct or indirect, will caused the changed on space utilisations for the number of development sectors. Eventually, the changed in function of structure and space will be affected to the adaptation pattern in the society. Adaptation process should be concerned by the society, even the foreigner or origin society. It's not just adaptation of cultural needs, but also the participation on the development activity. Based on those characteristics, this research focuses on the Cilegon area, which is divided by 4 (four) sub-districts area, ie: Cilegon, Ciwandan, Cibeber and Pulomerak. Cilegon is 90 kilometers from west Jakarta. As focused to the spatial planning, Cilegon as the center of trading, offices, and settlement region; Ciwandan has a Banten Port and industrial estate; Pulomerak as industrial estate, Merak Port and settlement region; Cibeber as settlement region and has a reservoir which is supply the water to some area in Cilegon community and PT. Krakatau Steel. When the monetary crisis came to Indonesia in the middle of 1997, its affected to all of economic sectors in this country, and also to the investment on industrial sector in Cilegon. By 1997, population growth following the crisis not so many people come to work in industrial basis. Industrial sector could not employ `more employee' to work with them. This is another problem that affected to Cilegon government in manage their community. Cilegon area (17.550 Ha), 294.936 persons in number of populations (year 1999); which are 150.687 (male) and 144.249 (female) and they spread on 4 (four) sub-districts in Cilegon, as follows: 1. Ciwandan area (7.483 Ha), by population density of 83.861 persons; 42.897 (male) and 40.964 (female). 2. Cilegon area (1.753 Ha), by population density of 69.488 persons: 35.352 (male) and 34.136 (female). 3. Cibeber area (2.466 Ha), by population density of 41.362 persons; 20.911 (male) and 20.451 (female). 4. Pulomerak area (5.848 Ha), by population density of 100.225 persons; 51,527 (male) and 48.698 (female). By the 1990, number of populations in Cilegon are 226.461 persons, and in 1998 increased to 257.864 persons, and its increased in 1999 278.462 persons. Its increased continued to year 2000, up to 294.936 persons. Its mean, in 1999 (8,06%) increased than 1998 (6,13%) and the populations decreased (1,93%) than growth in population (1998-1999). Meanwhile, Cilegon areas stay at 17.550 Ha (1998), population density of 1.469 persons per Ha, and 1.681 persons per Ha (2000). Higher in population growth of Cilegon are related to the development of industrial growth which has started since 1965 by development of PT. Krakatau Steel, and the developing continued to 1990 (when some other industries build in Cilegon area, mostly chemical industries, ie., PT. PENI, PT. UAP, Bakrie Kasei, PT. PIPI (Dow Chemical), PT. Tripolyta, Asahimas, PT. Chandra Asri, etc). Population distribution related to the distribution of industries space. Its make the population concentrated into the center of business districts (Cilegon). Industrial development and population density concentrated in Cilegon area based on Spatial Planning Area, under Regulation No. 47, year 1999 about National of Regional Spatial Planning (RTRWN), and considered to Cilegon, as the center of the pledge area: Bojonegara-Merak-Cilegon. The first development sectors are: industries, agricultural, tourism, fishery, and mining area. Especially, RTRW (Regional Spatial PIanning), Cilegon functions are as the districts of industries, trading and services, center of commercial places, government activities, and as the West Gate' of Java Island, and the center of maritime-tourism (Anyer-Carita-Labuan) and as the matters pertaining traffic of Java-Sumatra. By the number of that functions, its makes all of activities were concentrated to the land, and for the number of development sectors will caused the changed on space utilisations and capability (carrying capacity). Based on those characteristics, spatial planning in Cilegon has shown a `constrictive meaning'. Budihardjo (1997: 7) said that spatial planning is a structuring activity that not just limited on planning and physical design, but also how to manage human aspect in all of unique behavior. Even, Rapoport used the `cultural landscape', because the city and region are based on the implementation of the culture in various characteristics, attitude, unique, and personality. Considering to those matters (Budihardjo, 1997: 2) shown that the first things to understand of the culture from various community and the impact of value system, norm, life style, activities and the conviction symbol to the structure and format of the city and region. Understand to the impact in all aspect of human life, its need a human adaptation to their community. Related to the spatial planning and human adaptation, Weber (in Budihardjo, 1997: 2) shown, that we have to face `the gap' between the richer and the poorer, and the solid community became an individualistic and based on the calculative thinking. Durkheim (in Budihardjo, 1997: 2) also said that situation will affected to the changeable of integrative agreement (integrative needs). Those symptoms have shown by Cilegon community, lately. General issues in Cilegon area, as also found in the other cities (or entire cities) in Indonesia, following their development are: 1. Inequitability in distribution population, especially in the city region. 2. Higher in population growth, specially in the city region, its caused (especially) by migration from the other city to Cilegon for having `a better income (revenue). 3. The availability of facilities and utilities are not optimise. 4. The fast development concentrated along the arterial road (along Cilegon main road). 5. Most of road network are still in `minor' conditions, especially embraced road and rural. Meanwhile, the specific issues that have to face by Cilegon are adaptation of community into physical and social change that introduced by the region development activities. The changed that introduced by the development activities should increase the quality of life. In fact, changed in development activities, especially in industries based, beside its open new space for `man power', also affected to `minor community who could not gain to it. Who become `a big problem' or affected to social and culture. In accordance with these matters, this research focuses on the local society effort to face readjustment process on their environment, which shifted in function. For this reason, the fundamental problem in this research is formulated in two research questions as follows: 1. Are there any correlations between spatial planning and the quality of life? 2.Are there any correlations between spatial planning and social institution and environmental safety? To answer research questions as it has been mentioned, the spatial planning (contained society perception on implementation of spatial planning it self; Regulations and the implementation) indicated as independent variable and quality of life (contained in social-economic basis: education, income (revenue), expenditure, health, social institution perception on implementation of the spatial planning and environmental safety), as dependent variable. Furthermore, to focus to the research problem, assumption has been made through two general hypothesis: 1. There is correlation between spatial planning and the quality of life. 2. There is correlation between spatial planning and social institution and environmental safety. Research location is Cilegon (as mentioned above) in four sub-districts, ie: Ciwandan, Cilegon, Cibeber and Pulomerak. Sample being used is stratified random sampling for 130 head of family (KK) consist of 25 in Ciwandan, 55 in Cilegon, 15 in Cibeber and 35 in Pulomerak. Data were analyses descriptively by percentage as well as statistical test of CM-Square (x2) and correlation (0, with significance level 95% (a= 0.05). As a research results were the spatial planning (independent variable) and the quality of life (dependent variable) in social-economics, which is contained: 1. Micro Spatial Planning. Variable test that used for statistical test was ventilations, illuminations (sunlight), and drainage. From statistical test, its shown (x2 test 33.815 (ventilations); 25.631 (illuminations); and 33.015 (drainage), which are higher than x2 table= 24.996 (ventilations and illuminations); 18,307 (drainage), its mean these variables significantly affected by spatial planning. 2. Perception on Implementation of Spatial Planning. Variable test that used for statistical test was spatial planning structures (transferring the right of land and acquittal) and formatted (perception of knowledge and implementation of regulation of spatial planning). From statistical test, its shown that (x2 test = 59.138 and 32.415 for structures) higher than (x2 tables for both = 18.307) and (x2 test = 29.569; 31415; and 92.785 for formatted) higher than (x2 tables = 18.307 for implementations and 11.070 for knowledge). Significantly structure and formatted of spatial planning affected to the quality of life (in income as control variable). 3. Origin Region. 79 respondents (60.0%) from Cilegon (which stayed in Cilegon longer than 20 years) and 51 respondents (39.20%) from outside Cilegon. There is no impact of the origin to income, as shown statistically (x2 test=6,031 lower than x2 table= 11,070). 4. Social-Economics, contained: Education. 84 respondents (64,6%) from senior high school (SLTA); 29 respondents (22,3%) from college, 17 respondents (13,1%) basic (SD-SLTP). Job. 42 respondents (32,3%) Government Employee; 30 respondents (23,1%) private workers; 30 respondents (23,1%) running their own business; 28 respondents (others; house wife, laborer, etc). Income and expenses. Range between (Rp. 500,000 to higher than Rp. 3,000,000)1 Most of expenses for secondary section needs (62.25%) and the rest for nine staples (37.75%). That's mean Cilegon society are not poor society. 5. Social Institutions and Environmental Safety Social Institutions. There are 11 (eleven) social institutions in Cilegon, ie., PPM, AMS KNPI, Youth Pancasila, IPSI, FBMC, MIA and KMC (Moslem organization), LPMC, and AMPI. According to the information, these institutions not affected to the lower level community. They trapped into the conflict of interest (certain community). - Environmental Safety. 92 respondents (70.77%) said there were no crime (safe); 38 respondents (20.77%) unsafe. It was found from the statistical test that environmental endurance was affected to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 84.938 higher than x2 table = 18.307). 6. Health. The society health test by children under five years old category, clean water resources, and sanitations. From statistical test results: for health conditions affected to quality of life (income), which has shown by (x2 test = 51.154 higher than x2 table = 18.307) and sanitations did not affect to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 6.108 lower than x2 table = 18.307); clean water resources did not affect to the quality of life (income), which shown by (x2 test = 2.406 lowest than x2 table = 18.307). As a whole, based on research results and in conjunction with the perspective of environmental research (basic guidance on managing the environment), spatial planning affected to quality of life, and there was correlated between spatial planning to environmental safety but not affected to social institutions. In order to the community requested, Cilegon government should have open management in manage their town.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T 2953
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gede Mega Suparwitha
Abstrak :
Perubahan sosial memungkinkan terjadinya peningkatan mobilitas penduduk, intensitas interaksi sesama manusia dan perekonomian, yang secara umum berpengaruh pada keteraturan kehidupan masyarakat desa adat di Bali. Lebih dalam, perubahan sosial juga berpengaruh pada peningkatan intensitas dan ragam kegiatan sosial yang berimplikasi pada perubahan tugas dan fungsi pecalang yang ada di desa adat. Perubahan yang terjadi pada tugas dan fungsi pecalang menimbulkan polemik di masyarakat sehingga dipertanyakan eksistensi pecalang. Perhatian utama tesis ini adalah tugas dan fungsi pecalang dan kaitannya dengan kepolisian, dengan fokus pada fungsi pecalang. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas, penelitian dilakukan di Desa Meliling, Kecamatan Kerambitan, Kabupaten Tabanan, sebuah desa yang masyarakatnya agraris, yang sedang mengalami transisi menuju masyarakat industri. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan metode pengamatan terlibat serta wawancara dengan pedoman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa telah terjadi perluasan tugas dan fungsi pecalang untuk mengimbangi peningkatan intensitas dan ragam kegiatan sosial, Kendatipun peraturan daerah menentukan bahwa pecalang merupakan satuan tugas tradisional yang bertugas mengamankan kegiatan yang berkaitan dengan adat dan agama di wilayah desa adat, di Desa Adat Meliling, pecalang juga melakukan tugas mengamankan kegiatan di luar kegiatan adat, agama, bahkan mengamankan kegiatan adat warganya sampai ke luar wilayah desa adat. Pada hakikatnya pecalang dan kepolisian sama-sama pengemban fungsi kepolisian. Perbedaanya, pecalang pengemban fungsi kepolisian dalam konteks desa adat, sedangkan kepolisian dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia. Secara formal hubungan yang terjadi antara kepolisian dan pecalang adalah hubungan kelembagaan dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia, di mana pecalang berstatus pembantu kepolisian dalam mengemban fungsi kepolisian. Sejalan dengan itu, kepolisian berkewajiban membina pecalang. Secara informal hubungan pecalang dengan kepolisian dilihat dari hubungan individu yang ditentukan oleh kepribadian dan kemampuan pihak yang berhubungan yang kemudian melahirkan kesan terhadap pihak yang berhubungan ini mempengaruhi hubungan formalnya. Daftar Kepustakaan : 40 Buku + 10 Dokumen
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T7906
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anas Yulfan
Abstrak :
Sebagai bagian dari masyarakat Aceh, masyarakat Alas Kabupaten Aceh Tenggara mempunyai kebiasaan yang agak berbeda dengan daerah lainnya dalam melegalkan hubungan muda - mudi untuk mencari jodoh, yaitu kebiasaan mepakhur. Akan tetapi seiring dengan pergeseran waktu adat mepakhur sudah banyak mengalami pergeseran nilai - nilai dan norms - norma adat yang berlaku. Mepakhur telah mengalami pergeseran nilai - nilai dan norma - norma. Remaja sudah tidak lagi membiasakan dirinya untuk belajar untuk menyesuaikan diri bagaimana pentingnya kebiasaan ini di mata masyarakat setempat. Mereka sudah terpengaruh dengan kuatnya arus modernisasi sehingga sudah mencontoh pergaulan dan kebiasaan orang - orang kota dalam hubungan muda - mudi ini, kenyataan ini mengkhawatirkan banyak pihak, terutama para orang tua, sentuwe, sesepuh adat dan masyarakat setempat. Maka dari pada itu perlu adanya sebuah sosialisasi bagi para remaja setempat tentang pentingnya nilai yang terkandung dalam adat mepakhur pada masyarakat Alas di kecamatan Babussalam Kabupaten Aceh Tenggara. Tujuan dari penetitian adalah untuk mengetahui perkembangan kegiatan mepakhur sebagai sebuah kegiatan yang resmi dalam sebuah pasta perkawinan atau pun khitanan masyarakat Alas, sehingga sosialisasi dalam arti sebagai fungsi pendidikan dalam arti lugas mepakhur di antara para remaja dapat berjalan sesuai dengan keinginan seluruh masyarakat dan juga untuk mengetahui bentuk perkembangan dan pergeseran nilai - nilai adat mepakhur di era modemisasi saat sekarang ini. Penelitian menggunakan metode penelilian kualitatif dan dilakukan di kecamatan Babussalam dengan alasan, karena di duga masih kuat memegang tradisi dan adat istiadat Alas yang berlaku, Berdasarkan hasil penelitian di daerah ini terlihat bahwa tradisi mepakhur hanya dianggap sebagai pelengkap sebuah pesta raja dan bahkan tradisi mepakhur ini sudah mulai mengalami pergeseran nilai dan norma - norma agama yang berlaku di masyarakat Alas oleh para remaja setempat. Dengan adanya proses modemisasi yang ditandai dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, terutama teknologi informasi dan komunikasi, tradisi mepakhur oleh para remaja sudah mulai berkurang. Fungsi dan makna mepakhur itu sendiri oleh para remaja sudah mulai luntur, yang disebabkan adanya sikap, mental dan perilaku remaja itu sendiri yang sudah mulai terpengaruh oleh masuknya budaya asing yang masuk ke Tanah Alas. Pengaruh kemajuan zaman yang ada pada masyarakat saat sekarang ini dihadapkan pada transformasi struktur sosial melalui sistem pendidikan daiam arti luas yang mengajarkan norma - norma dan nilai - nilai baru banyak sekali mempengaruhi terhadap kegiatan mepakhur itu sendiri. Bukan hanya itu saja, diharapkan melalui proses sosialisasi kepada remaja - remaja suku Alas diharapkan timbulnya suatu bentuk keterampilan sosial bagi mereka. Mereka diharuskan mampu untuk belajar cara - cara mengatasi untuk melakukan hubungan sosial dengan orang lain. Kegiatan mepakhur dalam lingkungan masyarakat Alas merupakan lambang identitas kelompok (group identity) masyarakat setempat. Masyarakat saat sekarang ini telah membuka diri terhadap lajunya pembangunan di segala bidang yang akhirnya berujung kepada perwujudan kesejahteraan sosial masyarakat Alas. Nilai - nilai kultural yang terkandung dalam kegiatan mepakhur sudah dianggap sebagai sebuah norma - norma yang ada dalam kehidupan masyarakat untuk tidak mau menutup diri dan keterbukaan dunia luar. Dari studi ini dapat disimpulkan bahwa tradisi mepakhur yang berlaku di tengah - tengah masyarakat sudah mulai mengalami pergeseran nilai dan hanya dianggap sebagai lambang atau pelengkap sebuah pesta, sehingga dengan demikian kegiatan mepakhur harus disosialisasikan kembali kepada para remaja agar mereka diharapkan bisa belajar dengan adat - istiadat yang berlaku di lingkungan masyarakat Alas setempat. Bukan hanya itu saja diharapkan adanya pembentukan lembaga - lembaga baru untuk menggantikan kegiatan mepakhur di masa mendatang. Dengan demikian segi positif yang dapat di petik hikmahnya oleh para remaja khususnya dan masyarakat pada umunya, sehingga kegiatan ini dapat terns dilestarikan dan dipertahankan sebagai aset kebudayaan daerah Kabupaten Aceh Tenggara.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2003
T10322
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Balelang, Samuel
Abstrak :
Penggunaan senjata api oleh Fold tidak terlepas dari ketentuan perundang-undangan yang mengatur tentang wewenang, tata Cara dan pertanggung jawabannya. Adanya ketidak jelasan dan ketidak pastian dalam penggunaan dapat mendorong terjadinya penyalahgunaan wewenang dalam menggunakan senjata api. Di mana secara berlanjut kondisi tersebut sangat memungkinkan masyarakat karena hak asasinya dilanggar, demikian pula bagi Polri citranya akan terus memburuk dimata masyarakat. Adapun rumusan masalah penelitian adalah bentuk-bentuk penggunaan senjata api yang cenderung untuk di simpangkan sehingga menjadi penyimpangan kepolisian (abuse of power). Bagaimana terjadinya penyimpangan maka berkaitan erat dengan perilaku pembentukan anggota dalam melaksanakan tugas baik yang bersumber dari dalam diri (Kondisi Psikologis) ataupun lingkungan sosial (Social Interaction) yang turut membentuk dan mempengaruhi anggota berperilaku. Adapun metodologi yang digunakan dalam melakukan penelitian di Unit Resmob Polda Metro Jaya adalah penelitian yang berifat kualitatif, yang didasarkan oleh pemikiran bahwa untuk dapat, melihat perilaku dapat juga dilakukan pemahaman-pemahaman terhadap kehidupan sosial. Sedangkan untuk menganalisis hasil penelitian tentang adanya kecenderungan penyimpangan kepolisian. Teori yang digunakan adalah sebagaimana yang dikemukakan oleh Klitgard. Dari serangkaian penelitian yang dilakukan ditemukan fakta yang melatar betakangi motivasi, pertimbangan-pertimbangan dan pertanggung jawaban yang telah membentuk kondisi psikologis dimana kondisi psikologis ini berinteraksi dengan lingkungan sosial maka terbentuklah perilaku sosial dalam pelaksanaan tugas anggota Unit Resmob Polda Metro Jaya. Terutama dalam penggunaan senjata api yang cenderung untuk disimpangkan. Sesuai dengan permasalahan bahwa perilaku yang dibahas adalah perilaku yang menyimpang atau penyimpangan kepolisian. Maka, penyimpangan yang ada pada Unit Resmob tentang penggunaan senjata api yaitu karena adanya penggunaan power yang berlebih penerapan diskresi serta tidak adanya pertanggungjawaban secara jelas dan pasti dalam operasionalisasi penggunaan senjata api pada pelaksanaan tugas. Penggunaan senjata api dan kekerasan adalah bukan satu-satunya cara dalam rangka penegakan hukum jadi upaya penegakan hukum yang mengedepankan kekerasan dengan menggunakan senjata api oleh Polri harus dapat dirubah.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T10654
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Subowo
Abstrak :
Tanah adalah permukaan bumi yang bersifat multi dimensional yaitu dimensi fisik, sosial budaya, ekonomi, politik dan magis-religius, masing-masing berpotensi memberikan kesejahteraan bagi umat manusia. Itulah sebabnya kebijakan pertanahan sangat penting dalam kaitannya dengan lahan/tanah untuk berbagai keperluan yang mendukung kebutuhan bagi program pembangunan. Namun dalam penerapannya dihadapkan pada persoalan mulai dari penyediaan tanah, untuk memenuhi kebutuhan penggunaan yang makin beragan, seperti untuk permukiman, pertanian, perkebunan, pertambangan, industri dan jasa, prasarana serta fasilitas umum lainnya Disamping kepentingan pemilik awal yang harus diperhatikan masa depannya dan penghormatan terhadap hak kaum adat maupun kelembagaan sosial masyarakat yang ada. Penelitian ini diarahkan pada kebijakan pertanahan untuk perluasan kota di Kota Bekasi dengan meneliti sejauh mana kebijakan pertanahan dalam meningkatkan ketahanan daerah di lihat dari pengaruh ketahanan keluarga. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analisis dengan menggunakan pendekatan kualitatif yang dilengkapi dengan data-data dalam bentuk tabel yang menggunakan prosentase. Pemanfaatan tanah dan Tata Ruang bagi kemakmuran rakyat belum sepenuhnya tercapai.. Hal i ni antara lain di abaikannya kepentingan rakyat kecil dan kurangnya perilndungan hukum terhadap hak rakyat kecil, serta adanya lahan tidur yang dikuasai pengembang belum digunakan sesuai tata ruang. Pandangan sebagian masyarakat terhadap tanah, di satu sisi masih memandang tatah sebagai tali pengikat batin keluarga dan disisi lain memandang tanah sebaga komoditi, yaitu memandang tanah sebagai faktor ekonomi, dan lainnya memandang tanah sebagai sesuatu yang benilai sakral, yang mempunya fungsi integratif dan lambang status sosial bagi warga diatasnya baik sebagai keluarga atau komunitas yang harus dihormati dan dipertahankan sebagai milik yang paling berharga.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11049
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sumawijaya
Abstrak :
Sebagai negara yang sangat kaya sumber daya alam, pendidikan harus diprioritaskan agar mampu menggali dan memanfatkannya untuk mencapai masyarakat yang sejahtera. Kekurangan sandang dan pangan yang sangat mengenaskan dialami oleh hampir sebagian besar penduduk Indonesia akibat- krisis moneter, salah satunya diakibatkan oleh sikap ketergantungan terhadap produk negara lain. Di era reformasi ini merupakan kesempatan yang sangat baik untuk memulai pemberdayaan kekayaan alam yang maksimal, yaitu dengan menata sistem pendidikan agar sumber daya Indonesia ahli dan profesional. Menengok ke belakang pemberdayaan pendidikan di era ORBA sudah dilakukan namun tidak tuntas, yaitu hanya sebatas mencanangkan SD masuk desa kalaupun tanpa menitikberatkan pada kwalitas. Sesuatu yang sudah dimulai sekarang harus dituntaskan dimana orientasi pendidikan dan pengajaran mencetak lulusan yang berkwaliatas. Lulusan yang berkwalitas sangat tergantung oleh faktor internal dan faktor eskternal. Faktor internal yaitu: guru SD tidak merata, bangunan gedung dan sarana belajar tidak memadai bahkan rusak parah, kurikulum dalam KBM kurang berjalan dengan baik. Faktor Eksternal, yaitu: peran masyarakat kurang dalam mendukung kemajuan pendidikan. Dalam upaya mewujudkan ketahanan, yang paling mendasar adalah menciptakan ketahanan berlapis dengan mengkondisikan ketahanan individu, ketahanan keluarga dan ketahanan sekolah, dengan tiga ketahanan tersebut akan tercipta ketangguhan, dengan demikian ketahanan Masyarakat dan Ketahanan Nasional akan terwujud.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1999
T11050
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yustaf Hilmi
Abstrak :
Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai pantai yang sangat panjang dengan segala potensi yang melingkupinya. Dalam perspektif ketahanan nasional pantai merupakan garis pertahanan darat yang terdepan dalam menghadapi segala macam invasi dari luar. Penduduk pesisir yang mendiami pantai-pantai yang ada mempunyai potensi, baik potensi pendukung maupun penghambat dalam membina keamanan lingkungan yang akhirnya mewujudkan ketahanan nasional. Potensi pendukung yang ada pada masyarakat pesisir adalah potensi kelembagaan masyarakat yang ada baik formal maupun informal, baik kelembagaan profesi maupun kelembagaan sosial biasa dan lain-lain yang mendukung upaya pembinaan keamanan lingkungan. Potensi penghambat adalah berbagai persaingan dan konflik baik di tingkat keluarga maupun masyarakat yang dapat memicu goyahnya keamanan lingkungan. Ketrampilan dan keahlian nelayan di Muara Angke, dilihat secara perorangan dan kelompok. Secara perorangan, profil seorang nelayan masih berkutat pada rendahnya tingkat pendidikan formal yang ditempuh. Akibatnya, eksplorasi sumber daya kelautan masih dilakukan secara subsisten, dan menjadikan keluarga sebagai basis produksi. Secara kelompok, organisasi-organisasi kemasyarakatan yang ada tidak mampu mewadahi aspirasi nelayan, dan memperbaiki posisi tawar yang lebih tinggi untuk memperoleh akses ke berbagai sumber, baik permodalan, maupun kekuasaan. Masyarakat nelayan di Muara Angke mengembangkan berbagai lembaga sosial berdasarkan kepentingan yang dimiliki dengan mendasarkan pada profesi, kesukuan dan keagamaan. Kelembagaan sosial yang berdasarkan atas profesi berfungsi mewadahi para nelayan yang mempunyai kesamaan komoditi yang dieksplorasi dan alat-alat yang digunakan. Kelembagaan sosial berdasarkan. kesukuan berfungsi mewadahi para nelayan yang mempunyai kesamaan asal muasal dan melestarikan berbagai tradisi yang berasal dari daerahnya, seperti nadran atau pesta laut. Menghadapi berbagai tantangan, sebagian besar nelayan di Muara Angke memiliki posisi yang kurang menguntungkan. Posisi tawar ini mengakibatkan mereka melakukan berbagai adaptasi, dengan menghindari permasalahan atau dengan mencari berbagai alternatif dan melakukan berbagai kompromi. Contohnya, nelayan yang belum mampu atau bisa mendapatkan perumahan, berusaha mendekatkan domisilinya kelokasi produksi dengan membuat rumah/gubuk liar.
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11051
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ridwan
Abstrak :
Penelitian ini berjudul Konflik Horizontal di Matraman Jakarta Timur di tinjau dari sudut ketahanan nasional. Penelitian ini dilakukan melalui metode atau pendekatan kualitatif dengan sifat/jenis penelitian deskriptif. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini meliputi : (1) Bagaimanakah sumber, bentuk dan sifat konflik horizontal di Matraman Jakarta Timur ? (2) Pihak mana saja yang terlibat konflik dan faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi ? (3) Solusi apa yang tepat dalam menyelesaikan konflik dalam rangka memperkuat sendi-sendi ketahanan nasional di wilayah Matraman Jakarta Timur ? Sejak tahun 1991 sampai dengan 2000 konflik antar kelompok masyarakat di Matraman Jakarta Timur terjadi sebanyak 28 (duapuluh delapan) kali dengan volume terbanyak terjadi pada bulan Juni tahun 2000 yaitu sebanyak 6 (enam) kejadian. Konflik terjadi karena perasaan superioritas anak-anak kompleks militer terhadap penduduk sipil disekitarnya. Dominasi / perasaan superioritas anak tangsi dimasa penjajahan terhadap pribumi/penduduk asli dianggap terbelakang itu berlanjut setelah kemerdekaan. Mereka tidak mau tabu perkembangan masyarakat sipil disekitar yang sadar akan hak-hak dan martabatnya. Konflik itu bertambah kuat dengan persaingan dibidang ekonomi dimasa pembangunan. Kalau semula kenakalan anak-anak tangsi itu dilandasi kesadaran jagoan, dikemudian merambah pada perebutan lahan sumber nafkah. Salah satu faktor pemicu konflik sosial horizontal berkepanjangan (antarwarga Berland dengan warga Palmeriam) di Matraman adalah akibat kematian Jerry (warga Berland). Warga Berland merasa dilecehkan oleh sikap pihak Hotel Mega Matra yang terletak di Kel. Palmeriam. Warga Berland mengaggap pihak Hotel dinilai tidak bertanggung jawab. Apalagi kasus kematian Jerry merupakan kasus yang ketiga kalinya, warga Berland tewas ditangan keamanan Hotel tersebut. Konflik merupakan buntut kekecewaan warga atas sikap pihak Hotel Mega Matra. Di satu sisi manajemen Hotel dinilai tidak bertanggung jawab atas perbuatan karyawannya, sedangkan pada sisi lain, warga Berland kecewa pada sikap aparat yang lamban menangkap pembunuh Jerry dan dilain pihak penduduk Palmeriam sering kali dikecewakan oleh pihak aparat keamanan yang tidak berani mengusut pelanggaran yang dilakukan oleh pihak anak-anak Berland mengingat kompleks militer, akibatnya kedua belah pihak yang bertikai cenderung untuk menghakimi sendiri. Dewasa ini konflik horizontal di Matraman bertambah parah karena persaingan lahan parkir dan lahan pedagang kaki lima. Dilain pihak tindakan aparat yang dianggap kurang tegas dalam menegakkan hukum, pada umumnya polisis tidak berani masuk tangsi (kompleks militer). Pembentukan forum komunikasi persaudaraan masyarakat Matraman adalah salah satu langkah yang tepat dalam menanggulangi konflik antar kelompok masyarakat (antar pemuda) di Matraman. Dan pelibatan tokoh pemuda pada setiap pertemuan dalam wadah tersebut diharapkan dapat menyelesaikan setiap permasalahan khususnya menyangkut konflik antarpemuda dapat diperkecil.
Horizontal Conflict in Matraman, East Jakarta in Term of National DefenseThis research entitled of Horizontal Conflict in Matraman, East Jakarta in term of national defense. The research was exercised by qualitative method or approach by the nature / range of descriptive research. The adopted problems in this research consist of (1) How the root, type and characteristic of Horizontal Conflict in Matraman, East Jakarta? (2) Which party involving in conflict and what factors formed the background of the issue? (3) What the appropriate solution should accomplish the conflict in the framework to strengthen of national defense principles in Matraman, East Jakarta district? Since 1991 up to year of 2000 conflict within society groups in Matraman, East Jakarta occurred of twenty eight times (28) with the most volume of incident on June year of 2000, that is of six (6) incidents. The conflict occurred is caused by there is superiority feeling in teenagers of military dormitory complex against civilian around them. Domination or superiority feeling of what called the tanksi' boy' in colonization era which is supposed to be the left behind to native or inhabitant that have been still taking place after the independence era. They do not curious about developing of civilian society surrounding that aware of the rights and values. The conflict should be forceful by competition in economy sector in development era. Supposing originally, juvenile delinquency of tanksi is based on awareness jargon, and then spread to fight of land to life. One of the trigger factors of horizontal social conflict for a long time conflict that is (between inhabitant of Bearland and Palmeriam) in Matraman is because of the death of Jerry (Bearland inhabitant). Those Bearland inhabitants were disparaged in attitude of Mega Matra Hotel party located in Sub District of Palmeriam. Bearland inhabitants considered that Hotel party is assessed irresponsible. And even the death of Jerry case is an incident case of the three times, Bearland inhabitant was killed in hand of the related Hotel security. That conflict is an aftermath of disappointment from inhabitant on attitude of Mega Matra Hotel party. On the one hand, the Hotel is assessed irresponsible in its employee action, but on the other hand, Bearland inhabitant disappointed to a languid apparatus manner to catch the killer of Jerry and the other hand, the Palmeriam inhabitant frequently are disappointed by Bearland boys, whereas military complex, consequently conflicting to the both parties tend to judge them. Nowadays, the horizontal conflict in Matraman increasingly to be in serious condition because brought about a competition at parking area and sidewalk shop area. On the other hand, the act of the apparatus is considered the less for upholding the law, ordinarily the police has no courage to enter to tanksi (military complex). The Arranging of Communication Forum of Brotherhood Matraman Inhabitant is one of the appropriate measures in coping with conflict inter society group (within youths) at Matraman. And involvement the youth personage on every occasion meeting in mentioned institution or umbrella organization expecting able to accomplish each issues especially in relating to conflict within the youth could be minimized.
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T11052
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>