Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Kamrus Angkuna
"Perubahan pemanfaatan lahan di perkotaan yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya lahan-lahan yang digunakan untuk kegiatan perindustrian dan permukiman telah membawa dampak terhadap perubahan rona lingkungan yang mengarah pada degradasi iingkungan. Salah satu tujuan penataan ruang (UU No. 24 /1992 tentang Penataan Ruang) adalah mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan.
Kota Sungai Raya merupakan ibukota Kecamaian Sungai Raya Kabupaten Pontianak, secara administratif terdiri dari 3 (tiga) desa, yaitu: Desa Sungai Raya, Desa Arang Limbung dan Desa Kuala Dua. Luas Kota Sungai Raya sekitar 7.011,7 Ha. Kota Sungai Raya perbatasan langsung dengan Kota Pontianak (ibukota Propinsi Kalimantan Barat). Sepanjang Kota Sungai Raya dibatasi oleh Sungai Kapuas. Kota Sungai Raya merupakan kota industri. Industri dan permukiman penduduk lebih banyak terdapat di sepanjang Sungai Kapuas ruas Kota Sungai Raya.

Land use change in the city, which shows more increasing for area that functions as industrial and housing uses that, already occupy and give impact on the environmental quality. This means environmental degradation ocurred. One of the purposes for spatial planning, is staled law number 24/1992 concerning spatial management in realizing the spatial functions and avoid the adverse effect to environment.
Sungai Raya City as the capital Sungai Raya District, Pontlanak Regency, administratively consists of three villages, namely: Sungai Raya Village, Arang Limbung village and Kuala Dua Village. The area Sungai Raya City is about 7011,7 hectares. Sungai Raya City ls directly neighbourhood or near by Pontianak City (the capital of West Kallmantan Province). Sungai Raya City along Kapuas river. Sungai Raya City ls an industrial city. Industries and housing areas are located along Kapuas river as a part of Sungai Raya City."
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2003
T10850
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agung Usadi H
"Urbanisasi merefleksikan tuntutan penambahan fasilitas kehidupan warga kota, teristimewa pada aspek pemukiman. Naiknya grafik penambahan fasilitas pemukiman ini akan menjumpai kendala pada aspek penyediaan tanah. Hal ini akan menyebabkan invasi oleh masyarakat golongan menengah ke bawah pada tanah-tanah yang relatif murah di tepi kota dan terjangkau oleh sarana transportasi.
Hal tersebut di atas nampaknya telah tercermin dalam data sebaran pemukiman di Jakarta. Sebaran tersebut menunjukkan tingginya kepadatan pemukiman di tepi kota Jakarta pada jalur Jakarta-Tangerang, Jakarta-Bekasi dan jalur Jakarta-Bogor. Bila disingkap lebih lanjut, data ini juga mencerminkan sebaran perubahan dari tanah dengan okupasi untuk persawahan yang dominan menjadi okupasi untuk pemukiman.
Untuk mencermati penyataan tersebut secara tajam, penelitian diarahkan pada data yang ada di Selatan DKI Jaya dan wilayah Selatan DKI Jaya di koridor Kota Administratif Depok serta Kecamatan Bojong Gede sepanjang 26 km. Data akan ditilik melalui peta penggunaan tanah tahun 1912, tahun 1976, tahun 1979 dan tahun 1992.
Dalam kerangka inventarisasi data pertanahan dari waktu ke waktu pada wilayah kajian dikaitkan dalam analisisnya dengan tuntutan kebutuhan pemukiman serta melihat implikasinya pada fungsi sistem irigasi yang telah ada, dapat dikemukakan permasalahan yang terbagi atas Permasalahan Pokok dan Permasalahan Spesifik. Permasalahan pokok menekankan pada inventarisasi pola pemilikan, penguasaan, penggunaan tanah dan inventarisasi kebutuhan air irigasi di wilayah kajian pada rentang waktu pengematan tahun 1912, 1976, 1979 dan tahun 1992. Sedang permasalahan spesifik lebih mengkaji perihal harga tanah, perubahan harga tanah dikaitkan dengan perubahan penguasaan dan penggunaan tanah serta karakteristik wilayah spekulatif dikaitkan dengan perubahan harga tanah.
Hasil analisis menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
1. Keterangan pemilikan tanah dari tahun pengematan ke tahun pengamatan berikutnya didominasi dalam bentuk girik.
2. Penguasaan tanah dalam bentuk kontrak ditemukan mendekati pusat fasilitas kegiatan.
3. Luas jenis penggunaan tanah persawahan ditemukan dalam luas yang lebih sempit dibandingkan untuk bukan persawahan pada wilayah kajian mulai dari ketinggian 50 meter.
4. Arah perubahan penggunaan tanah lebih diorientasi oleh faktor-faktor ekonomi.
5. Harga tanah ditemukan naik menuju pusat fasilitas kegiatan dan turun manakala menjauhi pusat fasilitas kegiatan.
6. Ditemukan bahwa kebutuhan pasokan air irigasi dari tahun pengamatan ke tahun pengamatan berikutnya semakin berkurang.
7. Wilayah spekulatif umumnya ditemukan mendekati pusat fasilitas kegiatan. Luas wilayah spekulatif akan mengikuti intensitas pusat fasilitas kegiatan.

Urbanization reflecting on requirements of additional living facilities for towns people, especially on the aspects of settlement. The rising curve of facility addition for settlements will meet with obstacles regarding the aspect of land supply. This fact will lead to invasion by the middle class and lower on the lands that are relatively cheap at the city periphery and are within the reach of means of transportation.
The above fact seems to be-reflected in the data of settlement spreading in Jakarta. This spreading indicates the density of settlements at the city periphery of Jakarta on the Jakarta - Tangerang, Jakarta - Bekasi and Jakarta - Bogor corridor. If further disclosed, these data also reflect the distribution of changes of land occupied by wet rice fields s dominant factors into occupations for settlements.
In order to pay closer attention to this reality, research must be directed to data available in the South of the DKI Jakarta and the Southern Region on the DKI Jakarta on the corridor of the highway connecting the district of Lenteng Agung and the Administrative Towb of Depok besides the District of Bojong Gede, 26 kilometers long. The data will be checked by using land use maps of 1912, 1976, 1979 and 1992 edition.
In connection with the inventorization of land data from time to time, the analysis of the area study is related with the demands of settlement and viewing its implication in the function of the existing irrigation system. The problem can be presented as being divided into the Main Problem and the Specific Problems. The main problem stresses the inventorization of the pattern of ownership, land tenure, utilization of land and inventorization of the need for irrigation water in the area being studied, during the time of observation from 1912 through 1976 and 1979 until 1992.
Meanwhile the specific problems are more occupied with land prices, changes in land prices connected with changes in land tenure and land use and characteristics of the speculative area connected with changes in land prices.
The result of the analysis indicate the following matters :
1. The data of landownership from one year of observation to the next year are still dominated by "girik".
2. Land tenure in the from of "kontrak" is found in the regions near the center of activity facilities.
3. The extent of the types of utilization of dry rice fields is found in a smaller area compared to non-wet rice fields in the area being studied, beginning from an altitude of 50 meters.
4. Direction of changes in land use is more deter-mined by economic factors.
5. The land prices are found to be rising toward the center of activity facilities and falling as they get more remoe from the center of activity facilities.
6. It is concluded that the need for supply of irrigation water from one observation year to the next keeps decreasing.
7. The speculative area is in general found near to the center of activity facilities. The extent of the speculative area will follow the intensity of the activity facilities.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Mara Oloan
"Salah satu kawasan pulau-pulau kecil di Indonesia yang kegiatan pariwisatanya berkembang cepat adalah wilayah Kecamatan Kepulauan Seribu di Jakarta Utara. Sebanyak 14 dari 110 pulau-pulau kecil di wilayah ini, telah dikembangkan sebagai pulau wisata. Tingkat pertumbuhan jumlah wisatawan relatif besar, mencapai rata-rata 11,21% per tahun. Pada tahun 1993, jumlah wisatawan yang berkunjung mencapai 119.278 orang, dan 27,68% di antaranya wisatawan mancanegara. Wilayah ini khususnya perairan laut bagian utara, memiliki keanekaragaman karang yang tinggi, meliputi 67 genera dan subgenera yang mencakup paling sedikit 123 spesies karang, serta habitat penyu sisik dan hutan mangrove. Sehingga bagian wilayah tersebut yang mencakup 108.000 Ha perairan laut dan 72 pulau, ditetapkan sebagai Taman Nasional Laut (TNL) Kepulauan Seribu, melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian Nomor 527/Kpts/Um/7/1982 dan Surat Pernyataan Menteri Pertanian Nomor 736/Mentan/X/1982. Pembagian zona TNL Kepulauan Seribu ditetapkan kemudian melalui Surat Keputusan Direktur Taman Nasional dan Hutan Wisata Nomor 02/VI/TN-2/SK/1986, serta dipertegas lagi di dalam Rencana Bagian Wilayah Kota (RBWK) Kecamatan Keputauan Seribu Tahun 1985-2005 (Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 3 Tahun 1987). Ekosistem terumbu karang memiliki nilai estetika sangat tinggi, sehingga menjadi atraksi penting bagi jenis pariwisata yang berorientasi kepada 3 S (Sea, Sun, Sand).. Pengembangan pulau sebagai pulau wisata dilakukan dengan pembangunan prasarana, fasilitas peristirahatan dan rekreasi serta fasilitas pendukungnya di pulau tersebut. Pulau-pulau di Kepulauan Seribu sendiri, terbentuk dari pertumbuhan dan perkembangan terumbu karang.
Pulau merupakan sebuah lingkungan khusus yang berbeda dari lingkungan daratan luas apalagi kontinental. Pulau kecil (small island), memiliki sumber daya alam (lahan, air tanah, flora dan fauna) sangat terbatas, rasio yang tinggi antara panjang keliling pantai dan luas tanah, areal tanah relatif sempit, daerah tangkapan air hujan kecil, proporsi air hujan dan material tanah (soil) yang hilang tererosi ke laut umumnya besar, kapasitas air tawar sangat terbatas dan rawan kekeringan, spesies endemik lebih tinggi dibanding daratan luas apalagi kontinental, dan secara terns menerus terbuka terhadap aksi gelombang laut pada semua sisi.
Pulau karang, memiliki ekosistem yang sederhana. Letaknya rendah, tanah dasarnya terdiri atas endapan karang, fertilitas tanah rendah, tidak memiliki air permukaan, air tanah sangat terbatas dan mudah habis. Karena tanahnya banyak pori, perembesan air dari permukaan sangat cepat sehingga cadangan air tanah sangat mudah terkontaminasi. Lingkungannya bersifat mudah luka (vulnerable) dan rapuh (fragile), dan kemudahlukaan serta kerapuhan lingkungan tersebut berkaitan erat dengan kecilnya ukuran pulau. Mudahnya keseimbangan ekologi lingkungan pulau terganggu, membuat pulau terlalu kecil untuk dikembangkan sebagai basis bagi aktivitas berskala besar, serta memerlukan cara pengelolaan yang diserasikan dengan karakteristik lingkungan. Sehingga pulau kecil, merupakan sebuah kasus khusus di dalam pembangunan.
Mengingat Kepulauan Seribu relatif dekat dari Kota Jakarta, pariwisata di kawasan ini akan terns meningkat, yang diimplementasikan dalam bentuk pengembangan pulau-pulau lain menjadi pulau wisata, peningkatan intensitas bangunan pada pulau-pulau wisata yang ada, serta peningkatan aktivitas wisata itu sendiri, yang kesemuanya akan mendorong pengubahan lingkungan pulau yang semakin besar disertai peningkatan tekanan dan dampak terhadap lingkungan pulau. Usaha pariwisata merupakan kegiatan ekonomi yang berorientasi kepada keuntungan, sehingga sangat mementingkan omzet usaha, yang dengan demikian cenderung mengikuti perkembangan permintaan pasar dengan peningkatan kapasitas fasilitas pariwisata. Di lain pihak, kelangsungan usaha pariwisata tersebut sangat dipengaruhi oleh kelestarian lingkungan yang justru menjadi asset pariwisata itu sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penelitian: seberapa besar kegiatan pariwisata yang telah dikembangkan di pulau-pulau wisata di Kepulauan Seribu dikaitkan dengan daya dukung lingkungan pulau, bagaimana pola pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan, serta bagaimana seharusnya pengelolaan lingkungan dilakukan sesuai dengan tuntutan karakteristik lingkungan pulau-pulau wisata tersebut.
Dibanding pulau-pulau wisata di luar kawasan TNL Kepulauan Seribu, pulau-pulau wisata yang berada di dalam kawasan TNL Kepulauan Seribu lebih representatif sebagai kawasan wisata bahari karena memiliki kualitas lingkungan lebih baik (terutama perairan dan biota lautnya) sehingga atraksi wisata bahari yang tersedia lebih lengkap. Di samping itu, sehubungan dengan fungsinya sebagai daerah konservasi, tuntutan terhadap upaya pelestarian lingkungannya lebih tinggi. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan pada pulau-pulau wisata yang berada di dalam Zona Pemanfaatan kawasan TNL. Kepulauan Seribu, yang memang diperuntukkan bagi pengembangan pariwisata secara intensif. Dari 6 pulau yang telah dikembangkan sebagai pulau wisata di zona tersebut, dipilih 3 (tiga) pulau sebagai obyek penelitian, yaitu Pulau-pulau Putri, Petondan Barat, dan Macan Besar.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan berupa penerapan pengertian "Pengelolaan Lingkungan" menurut definisi yang tercantum di dalam Undang Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Yaitu, pengelolaan lingkungan hidup adalah upaya terpadu di dalam pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, pengendalian dan pengembangan lingkungan hidup. Sehingga di dalam penelitian ini, pengelolaan lingkungan pulau wisata disebut di atas ditinjau dari aspek-aspek pemanfaatan, penataan, pemeliharaan, pemulihan, pengawasan, pengendalian, dan pengembangan lingkungan. Pertanyaaan penelitian mengenai besaran kegiatan pariwisata yang telah dikembangkan pada pulau-pulau wisata, dilihat dari segi besaran-besaran pemanfaatan areal daratan pulau, kapasitas fasilitas peristirahatan, dan kepadatan wisatawan.
Penelitian pengelolaan lingkungan pada pulau-pulau wisata ini, dilakukan dengan terlebih dahulu mengidentifikasikan komponen-komponen lingkungan atau aktivitas yang berkenaan dengan setiap aspek pengelolaan lingkungan. Baru kemudian dari setiap komponen lingkungan/aktivitas tersebut, ditetapkan indikator dan variabelnya masing-masing. Dari identifikasi tersebut, ternyata, ketujuh aspek pengelolaan lingkungan, memiliki sebanyak 33 indikator, dan keseluruhannya terdiri atas 92 variabel. Berdasarkan daftar variabel tersebut kemudian diinventarisasi data yang diperlukan untuk setiap variabel.
Penelitian bersifat deskriptif ini tergolong sebagai penelitian survei (nonexprimental). Informasi dan data dikumpulkan secara sistematis dan bertahap, mulai dari studi kepustakaan, survei instansional untuk memperoleh data sekunder, kemudian observasi lapangan, serta dilanjutkan dengan pencarian data primer secara terinci. Data primer diperoleh melalui data kuesioner dari para pengelola pulau, wawancara mendalam dengan para manajer dan staf di pulau, serta penelitian dan pengukuran komponen-komponen panting lingkungan pulau di lapangan. Penelitian lapangan dilakukan pada bulan Juni - Juli 1994.
Data ketiga pulau yang menjadi obyek penelitian, disusun dalam bentuk tabel dan sebagian dilengkapi peta, untuk menggambarkan kondisi dari masing-masing pulau untuk setiap variabel. Analisisnya diungkapkan secara deskriptif, berurutan menurut ketujuh aspek pengelolaan lingkungan, sekaligus untuk ketiga pulau.
Untuk menafsirkan hasil analisis pengelolaan lingkungan di ketiga pulau, maka kondisi masing-masing pulau untuk setiap variabel dari ke 92 variabel diletakkan dalam kontinum dari setiap variabel tersebut, masing-masing dengan skala yang sesuai, untuk kemudian, dinilai secara kualitatif dan kuantitatif. Skala dari kontinum variabel ditetapkan berdasarkan batasan-batasan dari peraturan yang ada, teori, dan jarak perbedaan kondisi masing-masing ketiga pulau untuk variabel yang bersangkutan. Berdasarkan posisinya di dalam skala kontinum, kondisi masing-masing pulau untuk setiap variabel dinyatakan dalam nilai kualitatif, dengan 2 gradasi nilai (misal "Tidak Sesuai" dan "Sesuai"), 3 gradasi nilai (misaI "Kecil", "Sedang", "Besar"), atau 5 gradasi ("Sangat Kecil", "Kecil", "Sedang", "Besar", "Sangat Besar"). Penggunaan 2, 3 atau 5 gradasi nilai kualitatif, ditentukan berdasarkan jumlah skala dari kontinum masing-masing variabel. Nilai kualitatif tersebut kemudian ditetapkan nilai kuantitatifnya, berupa nilai nominal dari 1 sampai 5. Nilai tertinggi (5) diberikan kepada nilai kualitatif paling sesuai dengan tuntutan karakteristik lingkungan pulau, dan nilai terendah (1) diberikan kepada nilai kualitatif paling tidak sesuai dengan tuntutan karakteristik lingkungan pulau wisata.
Dengan asumsi bahwa bobot nilai dari setiap variabel sama, maka jumlah nilai kuantitatif maupun nilai rata-rata setiap pulau untuk setiap aspek pengelolaan, dapat dihitung. Begitu pula nilai total pengelolaan lingkungan secara keseluruhan pada masing-masing pulau, serta nilai rata-rata dari ketujuh aspek pengelolaan lingkungan. Untuk membedakan status nilai pengelolaan lingkungan dari ketiga pulau, maka terhadap nilai rata-rata dari semua variabel dari setiap aspek pengelolaan maupun nilai rata-rata dari ke 92 variabel pengelolaan lingkungan, dilakukan kategorisasi sebagai berikut:
Nilai rata-rata 1, kategori Sangat Buruk.
Nilai rata-rata 2, kategori Buruk.
Niiai rata-rata 3, kategori Sedang.
Nilai rata-rata 4, kategori Baik.
Nilai rata-rata 5, kategori Sangat Baik.
Berdasarkan nilai kualitatif dan nilai kuantitatif yang diperoleh masing-masing pulau, maka besaran kegiatan pariwisata yang telah dikembangkan di setiap pulau, dapat dinilai secara jelas khususnya dikaitkan dengan ambang batas yang diperkenankan sesuai tuntutan karakteristik lingkungan pulau wisata. Begitu pula kesesuaian dan ketidaksesuaian dari pola pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan pada masing-masing ketiga pulau wisata tersebut, baik menurut ketujuh aspek pengelolaan maupun terperinci menurut variabel pengelolaan lingkungan. Dari hasil identifikasi atas ketidaksesuaian dan kesesuaian pengelolaan lingkungan pulau-pulau tersebut, dapat diketahui bagaimana seharusnya pengelolaan lingkungan pulau wisata dilakukan, sesuai dengan tuntutan karakteristik lingkungan pulau wisata. Selain itu, bertolak dari kondisi masing-masing pulau untuk setiap variabel, dibandingkan dengan kondisi yang seharusnya, dapat dikemukakan saran-saran perbaikan pengelolaan lingkungan, baik pengelolaan lingkungan kawasan taman nasionai laut secara umum, begitu pula pengelolaan lingkungan masing-masing pulau.
Sesuai hasil penilaian dengan tata cara dikemukakan di atas, maka terhadap ketiga pertanyaan penelitian dikemukakan sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan secara ringkas sebagai berikut:
1. Besaran kegiatan pariwisata yang telah dikembangkan pada pulau-pulau wisata. Dari segi intensitas bangunan dan kemampuan suplai air tanah dangkal setempat, pengembangan pariwisata di Pulau-pulau Putri, Petondan Barat dan Macan Besar sudah mencapai Batas maksimum daya dukung lingkungan, walaupun dari segi kepadatan wisatawan masih relatif rendah. OIeh karena itu, peningkatan jumlah wisatawan masih dimungkinkan, namun harus didukung oleh suplai air bersih dari sumber lain;
2. Pola pengelolaan lingkungan pulau-pulau wisata di kawasan TNL Kepulauan Seribu.
Dari penilaian terhadap ke 92 variabel pengelolaan lingkungan pulau wisata, diperoleh kesimpulan bahwa nilai pengelolaan lingkungan PuIau Putri memperoleh kategori Sedang dengan nilai rata-rata 3,62, dan Pulau Petondan Barat memperoleh kategori Sedang dengan nilai rata-rata 3,40, sedangkan Pulau Macan Besar memperoleh kategori Buruk dengan nilai rata-rata 2,46.
Keberhasilan Pulau Putri mencapai nilai rata-rata 3,62, terutama diperoleh dari kategori baik pada aspek penataan lingkungan (dengan nilai rata-rata 4,29) dan aspek pemeliharaan lingkungan (nilai rata-rata 4,09), serta kategori Sedang pada aspek pemanfaatan lingkungan (nilai rata-rata 3,91).
Pulau Petondan Barat memperoleh kategori Baik{ pada aspek pemanfaatan lingkungan (nilai rata-rata 4,27) dan aspek penataan lingkungan (nilai rata-rata 4,00), serta kategori Sedang pada aspek pemeliharaan lingkungan (nilai rata-rata 3,86).
Sedangkan Pulau Macan Besar hanya memperoleh kategori Sedang pada aspek pemanfaatan lingkungan (nilai rata-rata 3,18), aspek pemeliharaan lingkungan (nilai rata-rata 3,04), dan aspek pengawasan lingkungan (nilai rata-rata 3,00). Pada keempat aspek pengelolaan lainnya, memperoleh kategori Buruk.
Dari identifikasi terhadap nilai yang diperoleh masing-masing pulau untuk setiap variabel dari ke 92 variabel, maka jumlah variabel yang bernilai masih kurang dari 3 (belum mencapai kategori Sedang) pada masing-masing pulau adalah sebagai berikut:
Pulau Putri, sebanyak 19 variabel;
Pulau Petondan, sebanyak 29 variabel;
Pulau Macan Besar, sebanyak 55 variabel.
3. Pengelolaan lingkungan yang sesuai bagi pulau wisata
Pengelolaan lingkungan pulau wisata, sebagaimana dikemukakan sebelumnya dinilai dari ke 92 variabel. Karena itu, pengelolaan lingkungan yang sesuai bagi pulau wisata, didasarkan kepada rumusan tuntutan karakteristik lingkungan pulau wisata terhadap setiap variabel dari masing-masing ketujuh aspek pengelolaan lingkungan. Berdasarkan rumusan tersebut dikemukakan bagaimana pengelolaan lingkungan yang sesuai bagi pulau wisata, yang dirinci masing-masing untuk aspek pemanfaatan lingkungan, penataan lingkungan, pemeliharaan lingkungan, pemulihan lingkungan, pengawasan lingkungan, pengendalian lingkungan, dan pengembangan lingkungan.
Di dalam penelitian ini juga diperoleh temuan-temuan lain yang menyangkut pengelolaan kawasan taman nasional laut dan komponen-komponen lingkungan pulau bersifat strategis. Berdasarkan temuan-temuan ini, serta hasil penilaian terhadap ke 92 variabel pada masing-masing pulau, dirumuskan implikasinya terhadap kebijaksanaan pengelolaan lingkungan, meliputi:
1. Kebijaksanaan pengelolaan kawasan taman nasional laut dan pembangunan pulau wisata; Kebijaksanaan terhadap pulau-pulau yang telah dikembangkan sebagai pulau wisata;
2. Kebijaksanaan terhadap pulau-pulau yang telah dikembangkan sebagai pulau wisata
3. Pengembangan peraturan yang. sudah ada (Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 11 Tahun 1992 tentang Penataan dan Pengelolaan Kepulauan Seribu, Kotamadya Jakarta Utara).
Selain itu, berdasarkan identifikasi terhadap variabel-variabel yang masih bernilai kurang dari 3 (tiga) pada masing-masing pulau, maka dikemukakan saran-saran perbaikan pengelolaan lingkungan, yang spesifik untuk masing-masing pulau serta saran-saran perbaikan pengelolaan lingkungan yang berlaku untuk ketiga pulau.
Terakhir dikemukakan saran tentang penelitian lanjutan yang perlu dilakukan berkaitan dengan upaya pelestarian lingkungan pulau wisata yang tidak bisa dijangkau oleh penelitian ini, yaitu:
1. Neraca air dan alternative pengembangan sumber air bersih di pulau-pulau wisata, pengolahan air asin, serta persyaratan minimal proses pengolahan air buangannya;
2. Jenis-jenis flora spesies pulau paling sesuai untuk diprioritaskan pengembangannya di pulau-pulau wisata untuk kepentingan pemeliharaan kelestarian lingkungan pulau sekaligus keperluan fungsi pulau sebagai obyek wisata.

One of Indonesian small island areas that have rapid growth in tourism is KepuIauan Seribu area, located in northern Jakarta. At present, 14 of 110 small islands in Kepulauan Seribu area have been developed as resort islands, with the growth of visitors about 11.21% per year. In 1993, the amount of visitors was 119,278 persons, and 27.68% of them are international tourists. This area -- especially the northern area -- has high diversity of coral, consists of 67 genera and subgenera with 123 coral species, turtles habitat, and mangrove ecosystem. The northern area that covered 108,000 Ha marine area and 72 islands, has determined as Kepulauan Seribu Marine National Park by the Decree of Agriculture Minister Number 527IKpts1Um/7/1982, and Statement Letter of Agriculture Minister Number 736IMentan/X11982. Later the zone of this marine national park is determined in the Decree of Director of National Park and Forestry Resort Number 02NIITN-211986, and reconfirmed in the District Plan of Kecamatan Kepulauan Seribu 1985 - 2005 (Regional Regulation of DKI Jakarta Number 311987). Coral reef ecosystems with its high aesthetic value become the most attractive and valuable things in "3S" oriented tourism sector (Sea, Sun, Sand). The development of an island to be a resort island, implemented by construction the infrastructures, provide accommodation and recreation facilities and also supporting facilities for the island. Historically, islands in Kepulauan Seribu, were formed by the growth and development of coral reef.
An island has unique environment, that different from large area and continent. Small island has limited resources such as: land, groundwater, flora and fauna, high ratio between the length of the coast lines and the square of the land, the area is very limited, small catchments area, the proportion of rainfall and eroted soil that bring to the sea is high, endemic species, and continually are opened to the wave action at all sites.
Coral island has a simple ecosystem. Located in low area, the basement consist of coral cays with low fertility level, has no surface water, limited groundwater that wiped out easily and high risk of contamination by pollutant because of porous soil. The environment of coral island is vulnerable and fragile. These conditions are relates directly to the size of the island. The delicate ecological balance, makes small island only has little possibility to be improved as a center for large scale activities. To change ordinary small island to be a resort island with common plan is not possible to be implemented. There for, small island is a special case in development and need special management based on the characteristic of its environment.
Considering the location of the area that relatively closed to the city of Jakarta, the development of tourism sector in Kepulauan Seribu will continue to increase. The increasing of tourism will be implemented on the development the other islands to be resort island, increasing the intensity of the building construction on existing resort island, and also improve tourist activities. These will encourage rapid changing of the island environmental and followed by increasing of pressures and impacts to the environment of island. Basically, tourism sector is a commercial activity with profit orientation, by enlarging tourism activity, so that tend to fulfill the demand on tourism sector by extending capacity of the facilities in the resort island. In the contrary, the sustainability of this business is very much affected by the conservation of natural environment, which has role as the tourism asset itself.
The objective of this research is to answer the following questions: how far the tourism activities have been developed in the resort island of Kepulauan Seribu Area, how is the existing environmental management on each island resort, and how is the management of the island environment should be implemented that suitable to the characteristic of the island environment.
Resort islands in the boundary of Kepulauan Seribu National Marine Park, are more representative as marine tourism than those islands resorts out of boundary, due to better environmental quality (especially for their seas and coral reef ecosystems). Therefore they able to provide more attractive and complete activities. Relate to its function as the conservation area, the requirement on the effort for the conservation of Kepulauan Seribu Marine National Park area is high. Therefore, this research was focussed in the resort island located in Tourism Development Zone of Kepulauan Seribu Marine National Park, which planned for intensive use for tourism. From 6 islands which have developed as resort island in that zone, 3 islands were chosen as the object of this research, i.e.: Putri Island, Petondan Barat Island, and Macan Besar Island.
This research was done with an approach on the application of the concept on environmental management based on the definition of Act Number 411982 about The Basics Provision for Environmental Management (Undang Undang Nomor 4 Tahun 1982 tentang Pokok-pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup). That Act defined that Environmental Management is an integrated effort on the utilization, planning, preservation, restoration, controlling, provision, and enhancement of the environment. So in this research, the environmental management of Resort Island will be focused only on the seven aspects of environmental management.
This research was started by indentifying environmental elements or activities that were exposured to each aspect of the enviromental management started this research. Then, indicators and variables from each environmental elements or activities were defined one by one. Actually, seven aspects of environmental management consist of 33 indicators, and as the whole there are 92 variables. As the next step is listing needed data based on the variables.
This descriptive research is classified as a survey research (non - experimental). All information and data were collected systematically and gradually, started from library studies, institutional surveys to get secondary data, and field observation. Then looking for primary data followed it. Primary data were gained from questionnaires, depth interview with managers and staffs in Resort Island, surveys and measurement of many important elements of island environmental in the fields. Field surveys were doing in June through July 1994.
The data of three islands that have been collected was compiled and written to tables and many of them also completed by maps to explain the present condition of each island for each variable. The analysis was elaborated descriptively based on the sequence of the seven aspects of environmental management of the three islands.
To interpret the results of the environmental management analysis of these three islands, the condition of 92 variables for each island, was placed in the continuum of each variable with appropriate scale, and then was measured by qualitative and quantitative value. The determination on the scale of each variables continuum is based on the restriction of the existing regulation, theory, and differences of existing condition for each variable for each island. Based on the position in the continuum scale, the condition of the variable for each island was stated in qualitative value, in 2 grade values (example: "Unsuitable" and "Suitable"), 3 grade values (example: small, medium, large), or 5 grade values (example: very small, small, medium, large, very large). The use of 2, 3, or 5 grade of qualitative value is counted based on the total scale of the continuum of each variable. That qualitative value, then, was transferred to quantitative value, with nominal value, from 1 to 5. The highest score (5) was given to qualitative value that most suitable to the characteristics requirement of island environment, and the lowest score (1) was given to qualitative value that most unsuitable to the characteristics requirement of island environment.
By assuming that each variable has equal weight, the total of quantitative value and the average of these scores for each island in each aspect of environmental management, was counted. And for the average and total scores of seven aspects of environmental management for each island.
To distinguish the status of the value of environmental management of those three island resorts, the average score of variables included in each aspect of environmental management and average score of the 92 variables of environmental management, are categorized as follows:
- Average score 1, categorized as Very Bad; - Average score 2, categorized as Bad;
- Average score 3, categorized as Moderate; - Average score 4 categorized as Good;
- Average score 5, categorized as Very Good;
Based on qualitative and quantitative value that obtained for each island, the quantity of tourist activities that have developed in each island, could be remarked clearly, especially thing that related with the maximum limit available to the characteristic requirements of island environment. By the same way, the suitable and unsuitable of environmental management that has been carried out in each island, either to the seven aspects of environmental management or to the detailed variables of environmental management could be remarked. Resorts Island based on the characteristic requirements of island environment, could be settled up. Beside that, with reference to existing condition of each island according to each variable, compared to the desired condition, recommendations for the improvement of environmental management, can be highlighted, either environmental management to national marine park area in generally or environmental management to each resort island.
Based on the assessment using the procedure written previously, for three research question stated in beginning of this report, could be concluded as follows:
1. The quantity of tourism activities that have been developed in the resort islands of Kepulauan Seribu especially in Kepulauan Seribu National Marine Park: In the side of building intensity and the ability of groundwater supply, the development of tourism in the three islands have reached to the maximum of the environmental carrying capacity. But in the side of tourist density, is still low. Therefore, increasing the amount of tourists is still available, but must be supported by supply of fresh water from the other sources.
2. Existing environmental management in resort islands of KepuIauan Seribu National Marine Park. By assessing to 92 variables of environmental management in resort island, it can be concluded that the score of environmental management in Putri Island reach the moderate category with average score of 3.62. The same category reached by Petodan Barat Island with average score of 3.40. Macan Besar Island only gets bad category with average score of 2.46.
The successful of Putri Island gets average score 3.62, because the island has good category in environmental planning (average score 4.29), environmental preservation (average score 4.09), and moderate category in environmental utilization (average score3.91).
Petondan Barat Island gets good category in environmental utilization (average score 4.27), environmental planning (average score 4.00), and medium category in environmental preservation (average score 3.86).
Macan Besar Island gets medium category in environmental utilization (average score 3.18), environmental preservation (average score 3.04), and environmental controlling (average score 3.00). For another four aspects, gets only bad category.
From the identification on the score for each island on the 92 variables, the amount of variables that have score less than 3 (have not reached moderate category) in each island, were as follows:
Putri Island, in 19 variables;
Petondan Barat Island, in 29 variables;
Macan Besar Island, in 55 variables.
3. The Appropriate Environmental Management in Resort Island.
Environmental management in Resort Island as explained formerly, was assessed from the 92 variables. Therefore, the appropriate environmental management in resort islands is based on the formulation of characteristic requirements of resort island environment due to each variable of the seven aspects of environmental management. Based on that formulation, the environmental management that appropriate to be carried out in resort islands can be elaborated individually' for the utilization, planning, preservation, restoration, controlling, provision, and the enhancement of environment.
The research also gets the other findings related to the management of national marine park area and strategic component of environmental island. Based on these findings, and the results of the assessment on 92 variables in each island, the implication to the policy for environmental management can be formulated, that covered:
1. Policy on the management of national marine park area and resort island development;
2. Improving existing regulation (DKI Jakarta Regulation Number 111 1992). Based on identification for variables that get score less than 3 in each island, improvement of environmental management can be stated, either specific for each island or for the three islands.
At last, it was proposed the recommendation to do further research related to the effort for environmental sustainability of resort island that can not be touched in this research.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yennel S. Suzia
"Sebagaimana diketahui bahwa untuk kesejahteraan dan martabat bangsa perlu pembangunan yang terus-menerus, tetapi hal ini dapat pula menyebabkan kerusakan alam yang akhirnya merugikan manusia pula. Oleh karena itu perlu adanya koreksian yang lebih holistik dan interaktif berupa pandangan kedepan yang jauh dari kepentingan sendiri, oleh karenanya kita perlu realistik dan punya kemampuan melihat kenyataan yang sebenarnya dalam kehidupan.
Secara mikro, Gelora Senayan merupakan Kawasan Hijau paru-paru kota, daerah resapan air, tempat hidupnya satwa burung dan elemen lunak dari bangunan kota; sedangkan serara makro, Gelora Senayan merupakan Landmark kebanggaan bangsa dan pusat kegiatan olahraga skala Nasional dan Internasional; namun, Gelora Senayan dengan berbagai alasan berkembang tanpa terkendali.
Konsep awal Gelora Senayan tahun 1958 selain berfungsi sebagai Landmark Kota Jakarta, Ruang Terbuka Hijau di daerah selatan dapat pula dimanfaatkan sebagai tempat upacara Negara, dan merupakan salah satu dari 4 (empat) simpul pengikat lingkar luar Kota Jakarta, yaitu Grogol, Tanjung Priok, Cawang dan Semanggi. Berdasarkan konsep di atas, Gelora Senayan dengan Focal View Stadion Utama dapat dilihat dengan indah dan baik sebagai obyek Monumental dari arah Jembatan Semanggi, Jalan Jenderal Sudirman, Jalan Pintu Delapan dan Jalan Asia Afrika Untuk meliput dan menjaga keamanan segala kegiatan yang dilakukan di ,Gelora Senayan, dibangun dua bangunan penunjang penting yaitu Menara TVRI di seberang Jalan Pintu Delapan dan Komdak Metro Jaya di seberang sudut jalan Jenderal Gatot Subroto; sedang di sepanjang Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Jenderal Gatot Subroto dipertahankan sebagai ruang terbuka hijau kecuali setiap simpul perempatan jalan sebagai pandan.
Jelas sekali disini jika kita lihat konsep awal Gelora Senayan tahun 1958 dirancang dengan memikirkan kota Jakarta secara keseluruhan dengan memakai konsep jaring laba-laba. Seiring dengan perjalanan waktu keadaan pemaafaatan ruang yang ada sudah berubah dari rencana pemanfaatan ruang semula. Hal ini ada yang disebabkan kebutuhan Gelora Senayan itu sendiri untuk melengkapi fasilitas dan pembiayaannya atau kepentingan lain, dan Ruang Terbuka Hijau Lepas yang berada di samping Jembatan Semanggi tempat masyarakat dapat menikmati keindaran obyek Utama Gelora Senayan atau Upacara Kenegaraan itu, sudah berdiri Hotel Hilton lengkap dengan Apartemennya yang menjulang tinggi, sehingga Gelora Senayan yang awalnya didisain secara Kota Jakarta sudah kehilangan maknanya, dan dia sekarang tidak lagi bagian dari Jembatan Semanggi. Kehadiran Kodak Metro Jaya sebagai penunjang keamanan di Plaza yang menghadap Jembatan Semanggi jika berlangsung upacara tidak lagi berfungsi, karena sudah terhalang Apartemen tinggi. Demikian juga disepanjang Jalan Jenderal Sudirman, Jalur Hijau disepanjang jalan itu sudah berubah fungsi, dan di areal Gelora Senayan sudah berdiri Ratu Plaza serta Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Perubahan ini dikarenakan pada setiap jalur hijau tidak ada penangkal, sehingga demikian mudahnya orang umtuk menguasainya.. Kekhawatiran perkembangan Gelora Senayan tanpa kendali terus berlanjut. Maka pada tahun 1989 Gelora Senayan dibenahi sesuai RBWK Kecamatan Tanah Abang sampai dengan tahun 2005, dengan mempertimbangkan Jaya dukung lingkungan yang ada, di mana lahan terbangun tidak boleh lebih dari 20%. Walaupun keberadaan Gelora Senayan sebagai skala kota Jakarta dengan focal view Stadion Utama sudah kekurangan makna, tetapi setidak-tidaknya sebagai paru-paru kota dan pusat keolahragaan masih tetap jadi tumpuan. Pada redisain ini peruntukan setiap blok sudah jelas sehingga kemungkinan penguasaannya sudah sangat kecil, kecuali kalau dipaksakan.
Studi ini bersifat diskriptif eksploratif yakni, merupakan pemaparan basil studi literatur, survey visual dan konsep pengembangan fungsi Gelora Senayan untuk mencapai standar Iternasional sesuai daya dukung lingkungannya dengan tetap mempertahankan ciri Gelora Senayan sebagai Landmark Kota dan Jalur Hijau paru-paru kota serta daerah resapan air.
Dari hasil studi Redisain Gelora Senayan, keadaannya dianggap masih memenuhi syarat lingkungan, dengan kawasan terbangun kurang dari 20% dan Ruang Terbuka Hijau lebih dari 60%, tetapi tentu hal ini sudah merupakan peringatan karena keadaannya hanya sedikit di atas persyaratan minimum.

Redesigning Gelora Senayan Complex and Its Environmental CapacityFor the welfare and national pride of a nation, there is need for a never-ending development. However, this in turn may harm nature and eventually man as well Therefore, there is need for correction which is more holistic and interactive in the form of farsightedness, away from self-interest. This means that we have to be realistic and possess the ability to see the real life as it is.
From the micro aspect, Gelora Senayan is a green belt, the lungs of the city, an area of water absorption, place here birds and soft elements of city buildings. Whereas, from the macro aspect, Gelora Senayan is a Landmark of pride of a Nation, the center of sports,activities on a National and International scale. However, Gelora Senayan with its various reasons developed uncontrolled.
The initial concept of- Gelora Senayan in 1958 was in addition to its function as a Landmark of Jakarta, the Green Belt in the Southern area can also be utilized as State Ceremonial Functions site and it constitutes as one of the four tie knots of the outer road of Jakarta, namely Grogol, Tanjung Priok, Cawang and Semanggi. Based on such a concept, Gelora Senayan with Stadion Utama fain Stadium as Focal View, its appearance can be seen as beautiful and proper as a Monumental Object from the Semanggi/Clover leaf bridge, General Sudirman Road, Pintu Delapan Road and Asia Afrika Road To cover and guard security of all activities conducted in Gelora Senayan, two important supporting buildings were constructed, namely TVRI Tower across Pintu Delapan Road and Metro Jaya Regional Police Command Head-Quarters across the corner of General Gatot Subroto Road; whereas, alongside General Sudirman Road and General Gatot Subroto Road are kept as open green space except at each inter-section knot which is used as mile stone guidance.
Thus, it is clear that if we see the initial concept of Gelora Senayan in 1958, the site was planned by taking into consideration Jakarta City in its totality by using the spin-web network concept In line with the pace of time, the situation of space utilization available has changed from the initial spatial planning. This is due to the need of Gelora Senayan itself in order to complete the facilities and funding or other interests. The open Green Space next to The Clover Leaf Bridge where people can enjoy the sight of a beautiful object The Main Stadium of Gelora Senayan or State Ceremonies, at present, there emerged the Tilton Hotel complete with its apartments. Thus, Gelora Senayan, which initially was designed as Jakarta City has lost its meanings and became not as a part of The Clover Leaf Bridge anymore. The presence of Metro Jaya Police Head-Quarters as security support at the Plaza facing The Clover Leaf Bridge should a ceremony take place, it does not function anymore as such because High Rise Apartments intervened, hence, hindered such a purpose. The same is true along General Sudirman Road, the green stretch of land along the road has changed function and in the Gelora Senayan area the Ratu Plaza and the Department of Education and Culture buildings has been erected.
This change was brought about because on every green stretch of land there is no deterrent, so that it became easy to lay claim to that land. The anxiety of uncontrolled development of Gelora Senayan continue. Therefore, in 1989, Gelora Senayan underwent rectification in accordance with RBWK of Tomah Abang sub-district up to the year 2005. By considering the supporting capacity and the environment available as well as the observance that the constricted space must not exceed 20%. Although the existence of Gelora Senayan as Jakarta City scale with the focal view the Main Stadium has reduced significance, however, at least, as the lungs of the city and center for sports it will remain to be the savior. In this redesign, the allocation for each block is already clear, so that the possibility of being claimed is very much insignificant, unless it is forced to surrender.
This study is descriptive in nature and constitutes an elaboration of literature study, visual survey of the formational development concept of Gelora Senayan to reach International Standard in accordance with the supporting capacity of its environment by maintaining and defending as ever the nature of Gelora Senayan as the City's Landmark and green belt, the lungs of the city as well as an area for water absorbtion. The results of Redesigning Gelora Senayan study disclosed that, its condition is still regarded as meeting the environmental criteria, with a constructed area which is less than 20% and an open green space of more than 80%. However, this fact should constitute a warning since the situation is only a little above the minimal requirements.
"
Depok: Program Pascasarjana. Universitas Indonesia, 1995
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library