Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Woro Aryandini Sumaryoto
"ABSTRAK
Rangga Lawe pernah dikenal di kalangan rakyat sebagai nama seorang tokoh yang dikagumi. Meskipun ada karya sastra yang menceritakan bahwa ia adalah seorang pemberontak, seperti dalam Kidung Pangga Lawe dan Pararaton, namun rak_yat menganggapnya sebagai tokoh legendaris, simbol dari kepahlawanan dan pengabdian kepada negara. Ia digambarkan sebagai seorang panglima perang yang tangguh dan disegani, penentu dan perumus siasat perang, dan sering mempertaruh_kan jiwanya untuk raja dan negara.
Rangga Lawe menarik perhatian, karena : sebagai nama seorang pemberontak terhadap raja (Wijaya) dari kerajaan Majapahit, justru dilestarikan sebagai nama panglima Majapahit juga, pada jaman Ratu Kencana Wungu. Ketika muncul pemberontakan Urubesma terhadap Ratu Kencanawungu, raja Majapahit, nama Rangga Lawe di_pakai lagi sebagai nama panglima tentara Majapahit yang menumpas pemberontakan itu. Hal ini terjadi setelah le_bih darn. 100 tahun sejak tewasnya Rangga Lawe sebagai seorang pemberontak ( infra halaman 25 ), bahkan dalam perjuangan merebut kemerdekaan Negara Re publik Indonesia pada abad ke-20 ini, nama tokoh Rangga. Lawe diabadikan menjadi nama sebuah divisi Tentara _

"
1984
S11467
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Prapto Yuwono
"ABSTRAK
Skripsi ini mencoba membicarakan dan mengungkapkan nilai-nilai moral apakah dan yang bagaimanakah yang mendasari bangunan karya-karya puisi penyair ini. Moral adalah kewajiban-kewajiban manusia serta yang baik dan yang buruk berkenaan dengan tindakan-tindakan manusia dan tentang unsur-unsur kepribadian manusia. Dengan perkataan lain moral ada_lah pernyataan pandangan-pandangan dan persoalan-persoalan tentang tin_dakan-tindakan kewajiban manusia berdasarkan pertimbangan baik dan buruk.
Moral di dalam karya-karya puisi penyair ini dapat dikatakan me_rupakan dasar dan kerangka pembangunnya. Karenanya di dalam setiap karya-karyanya itu seakan-akan ada keharusan penyair untuk selalu berto_lak dari nilai-nilai yang dianggapnya dapat dijadikan landasan, pedoman atau arah bagi dirinya sendiri dan yang dianggapnya baik untuk menghadapi semua persoalan-persoalan hidupnya.
Pendekatan yang dipergunakan dalam rangka itu adalah pendekatan intrinsik atau pendekatan tekstual, dengan pengutamaan perhatian ter_hadap masalah-masalah moral yang mengutamakan daya tarik dan perhatian kemanusiaan yang dipangku di dalamnya. Dengan demikian analisis dilaku_kan secara formal dan moral. Yang pertama melihat aspek moral atau so_sial sebagai sarana untuk mencapai tujuan formal, yakni aspek-aspek es_tetik karya sastra. Sedangkan yang kedua melihat bentuk sebagai sarana untuk mencapai hasil akhir yang bersifat moral atau sosial.
Hasil analisis membuktikan bahwa dari sejumlah 57 judul puisi karya penyair ini secara keseluruhan dapat dikatakan bertolak dan dil_andasi oleh nilai moral_ Ada beberapa macam nilai moral yang dihasilkan dalam rangka analisis tersebut yakni: 1. Nilai moral falsafah, 2. Nilai moral religius, 3. Nilai moral pendidikan, 4. Nilai moral sosial, 5. Nilai moral kemanusiaan, 6, Nilai moral kepribadian, 7. Nilai moral cinta, 8. Nilai moral kasih, dan 9. Nilai moral Psikologis.

"
1985
S11481
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Diana Priantini
"Di dalam rangka melestarikan Kebudayaan Nusantara yang diwariskan oleh nenek moyang kita sebagai dokumen budaya baik yang tertulis maupun tidak tertulis agar tidak punah, maka diperlukan wadah untuk menyimpan serta memeliharanya dengan baik. Dokumen budaya dapat diwujudkan dalam bentuk abstrak dan konkrit. Di dalam bentuk konkrit dapat berupa seni sastra misalnya: buku dalam bentuk karya sastra, dluwang, rontal dan lain-lain, bisa pula berupa seni tari, semi suara. Sedangkan dalam bentuk abstrak berupa kepercayaan, tingkah laku, serta adat Istiadat. Semua itu sudah merupakan sebuah wadah untuk melestarikannya. Sebagai bukti untuk ikut meleatarikan dokumen budaya ini, misalnya pada nilai perkawinan di dalam tiga karya sastra ini dilukiskan dengan masih terikat pada konvensi budaya Jawa dan kode budaya Jawa.
Perkawinan merupakan bagian dari siklus kehidupan manusia dan memiliki nilai yang suci. Perkawinan pun menjadi salah satu unsur dari kebudayaan. Kebiasaan di dalam penyelenggaraan perkawinan pada kehidupan orang Jawa khususnya pada tiga Rarya sastra yang menjadi pokok bahasan dalam analisis skripsi inipun merupakan suatu dokumen budaya. Untuk menuju ke arah perkawinan perlu satu kebiasaan memakai cara atau jalan di dalam menentukan teman hidup yang berpegang pada pedoman lama yaitu tiga kriteria nilai bobot, bibit, serta bebet yang merupakan suatu proses sebagai sesuatu yang bernilai. Khususnya di dalam penyusunan skripsi ini penulis berusaha mencoba untuk menggali dan mengungkapkan makna budava yang terkandung di dalam tiga karya sastra yaitu Serat Rijanto, Ngulandara dan Srikuning sabagai pokok bahasan dan usaha ikut melestarikan budaya bangsa."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1989
S13110
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Ghofur
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2000
S11731
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ari Prasetiyo
Depok: Universitas Indonesia, 2000
S11714
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Solichin
"Tunggak-Tunggak Jati (Pustaka Jaya, 1977) karangan Sasmito, adalah sebuah karya sastra Jawa modern yang disajikan dalam bentuk novel. Novel ini mengetengahkan kisah seorang pejabat muda, pemuda pribumi (Jawa) masa kini, dalam kisah cintanya dengan seorang gadis keturunan Cina,maupun dalam kisah konfliknya dengan sebuah komplotan yang dipimpin dan dibiayai oleh seorang pengusaha keturunan Cina, yang kebetulan adalah ayah kandung si gadis tersebut. Di dalam skripsi ini dibicarakan mengenai tema dan amanat yang terkandung dalam novel Tunggak-Tunggak Jati, dalam suatu pengungkapan tema dan amanat melalui analisis latar dan penokohan. Dalam hal ini, tema dan amanat dipahami dan dirumuskan berdasarkan penjabarannya dalam penampilan latar dan penokohannya. Sudah tentu tema dan amanat hanya dipahami serta dirumuskan dalam kerangka struktur novel tersebut."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Pramonowati
"Sebagai karya sastra daerah, roman Supraba Lan Suminten (karya Kamsa, diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka, 1923; diterbitkan ulang oleh Pusat Bahasa, 1980) tergolong ke dalam hasil karya sastra Jawa zaman Balai Pastaka, atau tergolong ke da_lam karya sastra Jawa modern periode 1908-1945. Roman Supraba Lan Suminten, kemunculannya di antara roman-roman lain seperiode, ternyata menampilkan nafas baru, yakni sama sekali tidak mengungkapkan ihwal kalangan bangsawan (baca: istana sentris) sebagaimana tema cerita yang digemari para pengarang sastra lama, dan kemudian masih berpengaruh pada kebanyakan roman-roman sastra Jawa modern periode 1908-1945 itu. Tokoh-tokoh utama dalam roman Supraba Lan Suminten ada_lah, justru para priyayi kecil bernama Supraba dan Suminten yang karena berpe-rilaku nerima, hormat, jujur, dan rendah hati, berhasil meraih cita-citanya sebagai orang berpangkat dan terpandang sehingga hidup berbahagia. Kiprah para tokoh dalam roman ini menarik perhatian, karena suasana pada waktu roman diterbitkan pertama kali (1923), yakni suasana pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, setidaknya me_nyiratkan berbagai hal, antara lain: (1) pengarang harus tunduk kepada peraturan Ba_lai Pustaka, sehingga setuju tidak setuju, harus mengungkapkan kebaikan hati pejabat Belanda; (2) pengarang harus berhati-hati apabila berniat mendidik pembacanya dalam hal moral dan etik, dan (5) pengarang, diam-diam, merasa sudah saatnya harus menam_pilkan tokoh dari golongan priyayi cilik 'priyayi kecil', yang kemudian diformulasi_kan dalam wujud yang tetap bersifat politik : priyayi kecil itu adalah pegawai seorang pembesar Belanda (yang kebetulan) baik hati. Meskipun tidak berasal dari golongan bangsawan, ternyata perilaku dan sikap hidup tokoh Supraba dan tokoh Suminten dapat diandalkan sebagaimana layaknya orang terpelajar yang tabu adat. Mereka dapat menjunjung nilai-nilai moral dan etik : patuh terhadap atasan, rajin, memiliki loyalitas, sederhana, dan kreatif."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gati Gayatri
"Disertasi yang berjudul: "Konstruksi Realitas Kepemimpinan Presiden Soeharto dalam Berita Suratkabar -- Analisis Kritis terhadap Makna Pesan Politik yang Disampaikan dengan Menggunakan Konsep Ajaran Kepemimpinan Jawa" ini mencoba menjawab masalah teks dan makna teks. Untuk menjawab masalah tersebut dalam penelitian ini digunakan perspektif konstruktivisme (Peter L. Berger & Thomas Luckmann, 1966), yang dititikberatkan pada produksi makna oleh pelaku sosial pada tahap-tahap eksternalisasi dan obyektivikasi. Untuk menjelaskan fenomena eksternalisasi realitas oleh pelaku sosial konsep-konsep teori yang digunakan sebagai acuan dalam penelitian ini antara lain teori fungsi bahasa (Gilian Brown & George Yule, 1996), teori speech-act (J.L. Austin, 1962), dan teori communicative action (Jurgen Habenmas, 1984). Untuk menjelaskan fenomena obyektivikasi realitas oleh praktisi media konsep-konsep teori yang digunakan sebagai acuan antara lain konsep citra realitas atau picture in our heads (Waiter Lippman, 1936, 1965), cultivation theory (George Gerbner, 1970), konsep berita sebagai konstruksi realitas (Gaye Tuchman, 1980), teori pola hubungan institusi media dan kekuasaan (Jay Blamer & Michael Gurevitch, 1975), teori fungsi isi media (Switzer, McNamara & Ryan, 1999), teori fungsi bahasa dalam penyusunan teks (Giles & Wieman, 1987; Antonio Gramsci, 1971). Sedangkan untuk menjelaskan fenomena obyektivikasi realitas oleh pembaca konsep-konsep teori yang digunakan sebagai acuan antara lain konsep kekuasaan budaya (James Lull, 1998), teori semiotika budaya (Roland Barflies, 1957; Charles Morris, 1964), dan teori kriteria penilaian wacana (Jurgen Habermas, 1984).
Teks yang dianalisis adalah berita surat kabar, dan surat kabar yang diteliti dipilih secara purposive berdasarkan usia dan kredibilitasnya sebagai media berita, terdiri dari dua surat kabar yang diterbitkan di daerah Ibukota Jakarta yakni Kompas (surat kabar pagi), dan Suara Pembaruan (surat kabar sore), dan satu surat kabar yang diterbitkan di daerah pusat budaya Jawa Yogyakarta yakni Kedaulalan Rakyat (surat kabar pagi). Berita yang dianalisis mencakup seluruh berita yang menunjukkan adanya pernyataan atau pesan-pesan politik Presiden Soeharto yang disajikan dalam tiga surat kabar itu selama era kepemimpinan Presiden Soeharto, sejak 27 Maret 1968 sampai dengan 21 Mei 1998.
Teks dan makna teks dianalisis dengan menggunakan kerangka analisis dua tahap signifikasi (Roland Barthes, 1957), dan didukung dengan kerangka analisis hubungan tanda, nilai dan tindakan (Charles Morris, 1964). Untuk tujuan mendukung hasil analisis kualitatif tersebut di sini juga dilakukan prosedur triangulasi berupa content analysis secara kuantitatif. Secara keseluruhan analisis dilakukan dengan membagi periodesasi kepemimpinan Presiden Soeharto menurut perspektif budaya Jawa, menurut tahap-tahap dalam proses ngelmu untuk mewujudkan visi dan nisi hidupnya lnanggayuh kasampurnaning hoerip, yaitu periode awal (masa jabatan I), periode pengamalan dan pematangan (masa jabatan II, III, IV dan V), dan periode puncak dan akhir (mass jabatan VI dan VII).
Temuan dan analisis yang telah dilakukan dalam penelitian ini secara umum menghasilkan kesimpulan bahwa: Pertama, konstruksi realitas kepemimpinan yang dibuat oleh Presiden Soeharto melalui ucapan-ucapan tidak selalu sama dengan konstruksi realitas yang dibuatnya melalui tindakan-tindakan. Meskipun ucapanucapan yang dikemukakanya menunjukkan bahwa ia mengucapkan konsep-konsep kepemimpinan Jawa, tindakan-tindakan yang dilakukannya tidak selalu mencerminkan nilai-nilai budaya kepemimpinan Jawa. Kedua, konstruksi realitas kepemimpinan Presiden Soeharto yang dibuat dalam media surat kabar menunjukkan perbedaan dengan konstruksi yang dibuat oleh Presiden Soeharto sendiri.
Konstruksi realitas yang dibuat dalam media surat kabar tidak selalu merefleksikan realitas eksternal kepemimpinan Presiden Soeharto, baik yang berupa realitas politik obyektif maupun realitas subyektif yang dibuat oleh Presiden Soeharto melalui ucapan dan tindakan-tindakan pada setiap periode. Selain itu, selama masa kepemimpinan Presiden Soeharto, sejak 27 Maret 1968 sampai dengan 21 Mei 1998, media surat kabar telah mengkonstruksi realitas kepemimpinan Presiden Soeharto dengan cara-cara yang tidak sepenuhnya memenuhi standard kualitas teknik jurnalistik, hanya sekedar menyajikan ucapan atau pemyataan-pernyataan Presiden Soeharto tanpa menjelaskan keterkaitannya dengan realitas eksternal termasuk tindakan-tindakan yang dilakukan dan peristiwa-peristiwa sebelumnya yang berfungsi sebagai konteks pemaknaan realitas.
Ketiga, isi dan cara penyajian berita berbeda diantara satu surat kabar dan surat kabar lainnya, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Secara kualitatif, perbedaan diantara konstruksi realitas kepemimpinan Presiden Soeharto yang dibuat oleh masing-masing surat kabar mencakup aspek-aspek waktu penyajian dan fokus ajaran kepemimpinan Jawa yang disajikan di dalam berita. Keempat, oleh karena menunjukkan adanya konsep-konsep ajaran kepemimpinan Jawa maka konstruksi realitas kepemimpinan Presiden Soeharto dalam berita surat kabar menimbulkan mitos-mitos bahwa kepemimpinan Presiden Soeharto merupakan kepemimpinan Jawa. Meskipun demikian, khususnya pada periode pengamalan dan pematangan serta periode puncak dan akhir, karena isinya tidak sesuai dengan realitas eksternal yang menunjukkan tindakan-tindakan Presiden Soeharto bertentangan dengan nilai-nilai budaya kepemimpinan Jawa maka berita surat kabar menimbulkan makna konotatif bahwa kepemimpinan Presiden Soeharto bukan merupakan kepemimpinan Jawa. Selain itu, simbol kepemimpinan Presiden Soeharto juga mengalami perubahan dan perkembangan dari satu periode ke periode selanjutnya. Kelima, media suratkabar bukan merupakan alat hegemoni kepemimpinan Jawa.
Apabila menyajikan kutipan konsep-konsep ajaran kepemimpinan Jawa, berita surat kabar hanya sekedar memberikan informasi bahwa Presiden Soeharto telah mengucapkan kata/istilah dan ungkapan-ungkapan bahasa Jawa tertentu, tanpa memberikan penjelasan mendalam yang bisa membantu pembaca dalam memaknai bentuk-bentuk bahasa tersebut. Secara kuantitatif, berita surat kabar yang menunjukkan teks kepemimpinan Jawa khususnya dan teks budaya Jawa umumnya jumlahnya relatif kecil, bahkan terlalu sedikit apabila dibandingkan dengan jumlah berita-berita lainnya.
Media surat kabar bukan merupakan penyebab terjadinya hegemoni budaya kepemimpinan Jawa karena nilai-nilai budaya tersebut sudah sejak lama tertanam dalam sebagian besar pelaku sosial."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2002
D135
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library