Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sukara Safril Kusuma Jaya
"Latar belakang: Hubungan antara TB dan DM sudah lama diketahui. Sistem imun rendah pada DM sehingga risiko berkembangnya TB laten menjadi TB aktif lebih tinggi. Penderita DM memiliki 2-3 kali risiko untuk menderita TB dibanding tanpa DM. Sekitar 10% kasus TB secara global berhubungan dengan DM. Prevalensi TB DM berdasarkan penelitian potong lintang oleh Wijayanto di Poli Endokrin RSUP Persahabatan pada pasien DM tipe 2 dari Oktober sampai Nopember 2013 adalah 28,2%. Pablos-Mendez dkk. menemukan bahwa hanya DM yang kurang terkontrol atau tidak terkontrol dikaitkan dengan peningkatan risiko TB.
Tujuan: Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk menentukan sensitivitas dan spesifisitas mikroskop sputum BTA dan Xpert MTB / RIF untuk diagnosis TB pada pasien dengan DM.
Metode: Penelitian ini adalah studi analitik deskriptif potong lintang pada pasien kelompok DM yang masih menjalani pengobatan di RS Persahabatan dari bulan Mei 2014 sampai jumlah sampel tercapai. Penelitian akan dilakukan di poli Paru dan Penyakit Dalam divisi Endokrin dan Metabolik RS Persahabatan. Pasien dengan keluhan tuberklosis baik yang belum pernah minum OAT atau dengan riwayat pengobatan sbelumnya dan didukung dari foto toraks yang menunjukan gambaran kecurigaan TB akan dilakukan pemeriksaan diagnostik mikrobiologis sputum BTA dan Xpert MTB/RIF.
Hasil: Tujuh puluh subjek diskrining dan hanya 55 subjek memenuhi kriteria inklusi. Terdapat 32 laki-laki (58,2%) dan 23 perempuan (41,8%). Umur antara 25-72 tahun. Indeks massa tubuh kurang 11 (20%), normal 31(56,4%) dan lebih 13(23,6%). Gula darah antara 110-481 mg/dl. Lama menderita DM <5 tahun adalah 40 (72,7%), 5-10 tahun adalah 7(12,7 %), 10-15 tahun adalah 6(10,9%) dan >15 tahun adalah 2(3,6%). HbA1c terkontrol 11(20%) dan tidak terkontrol 44(80 %). Riwayat tidak pernah TB 41 (74,5%), TB sembuh 9(16,4%) dan gagal atau putus obat 5 (9,1%). Sputum BTA(+) 29 (52,7%) dan Xpert MTB/RIF(+) 36(65,5%). Tingkat HbA1c tidak terkontrol BTA(+)/Xpert MTB/RIF(+) 30 (54,5%). Uji diagnostik kedua alat memiliki sensitivitas 77,8 % dan spesifisitas 94,7%.
Kesimpulan: Xpert MTB/RIF memiliki nilai kepositifan yang lebih tinggi daripada sputum BTA dalam mendeteksi M.Tb. Tidak ada perbedaan sensitivitas dan spesifisitas pemeriksaan mikroskopik sputum BTA dan Xpert MTB/RIF dalam upaya penegakan diagnosis TB pada pasien DM.

Background: The relationship between Tuberculosis (TB) and Diabetes Mellitus (DM) has long been known. People with DM have 2-3 times the risk of developing TB. The prevalence of TB-DM based on cross sectional study by Wijayanto in Endocrine clinic at Persahabatan Hospital in DM type 2 patients in 2013 was 28.2%. Pablos-Mendez et al. found that only DM poorly controlled or uncontrolled associated with the increased risk of TB.
Purpose: The main purpose of this study is to determine the sensitivity and specificity of Acid Fast Bacilli (AFB) smear and Xpert MTB/RIF for diagnosis of TB in DM.
Methods: This study is a cross-sectional descriptive analytic study in patients with DM group who are still undergoing treatment at Persahabatan Hospital from May 2014. The study is conducted in Pulmonary clinic and Internal Medicine clinic. Patients with DM who have TB complaints that have not been taken either TB drug or with a history of treatment and supported from chest X-ray shows the suspicion of TB will require the microbiological diagnosis of AFB smear and Xpert MTB/RIF.
Result: Seventy subjects are screening and only 55 subjects meet the inclusion criteria. There are 32 males (58.2%) and 23 females (41.8%). There are ages between 25-72 years old. Their body mass index are less than 11(20%), normal 31(56.4%) and over 13(23.6%). The blood sugar is between 110-481 g/dl. The length of suffer DM <5 years are 40(72.7%), 5-10 years were 7(12.7%), 10-15 years were 6(10.9%) and >15 years are 2(3.6%). The controlled HbA1c is 11(20%) and uncontrolled is 44(80%). By history of TB which has never been suffered are 41(74.5%), treatment cured are 9(16.4%) and failure or withdrawal are 5(9.1%). Smear of AFB(+)ve are 29(52,7%) and Xpert MTB/RIF(+) are 36(65,5%). Uncontrolled HbA1c levels pulmonary TB with AFB smear/Xpert (+)ve are 30(54.5%). Sensitivity and specificity by using both are 77.8% and 94.7%.
Conclusion: The Xpert MTB/RIF has a higher value of positivity that detect M.Tb than AFB smear.There is no difference in the sensitivity and specificity of AFB smear and Xpert MTB/RIF for TB diagnosis in patients with DM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Donatila Mano S.
"Resistensi antimikroba menjadi masalah kesehatan global. Infeksi bakteri resisten dapat meningkatkan biaya perawatan kesehatan, lama perawatan di rumah sakit, morbiditas dan mortalitas baik di negara maju maupun negara berkembang. Penelitian yang menghubungkan antara infeksi oleh bakteri gram negatif resisten antibiotik dengan biaya dan lama perawatan rumah sakit belum banyak dilakukan terutama di Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang melihat perbandingan biaya perawatan dan lama rawat rumah sakit pada pasien dengan infeksi bakteri gram negatif resisten antibiotik dan peka antibiotik. Pengambilan data dilakukan secara konsekutif dengan kriteria inklusi adalah pasien yang berusis ≥18 tahun dan dirawat inap dengan hasil biakan positif terdapat isolat bakteri Gram negatif. Kriteria eksklusi adalah data psien dari laboratorium mikrobiologi yang tidak sesuai dan pasien yang tidak mendapat antibiotik. Dari 359 isolat hasil penelitian didapatkan sebanyak 221 isolat (61.6%) merupakan isolat bakteri gram negatif yang resisten antibiotik. Adapun bakteri tersebut terdiri K. pneumoniae penghasil ESBL sebanyak 97 isolat (27%), E. coli penghasil ESBL sebanyak 85 isolat (23.7%), P. aeruginosa yang resisten meropenem sebanyak 11 isolat (3.1%) dan A. baumannii resisten meropenem sebanyak 28 isolat (7.8%). Hasil perhitungan biaya perawatan pasien yang terinfeksi bakteri resisten memiliki rerata sebesar Rp 26.010.218,- sedangkan pasien yang terinfeksi bakteri peka memiliki rerata biaya perawatan sebesar Rp 18.201.234,- (p<0.05). Pasien yang terinfeksi A. baumannii resisten meropenem memiliki biaya rawat inap yang paling besar, diikuti E. coli penghasil ESBL, K. pneumoniae penghasil ESBL, dan P. aeruginosa resisten meropenem. Jumlah hari rawat pasien yang terkena infeksi bakteri adalah 14 hari, dan pasien yang terkena infeksi bakteri nonresisten adalah 9 hari (p<0.05). Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa infeksi bakteri Gram nehatif resisten mengakibatkan biaya perawatan dan lama rawat rumah sakit meningkat secara bermakna dibandingkan pasien dengan infeksi bakteri peka antibiotik. Pemeriksaan mikrobiologi sangat penting dilakukan, agar pasien mendapatkan antibiotik yang tepat.

Antimicrobial resistance is a global health problems. Resistant bacterial infection increases hospital costs, length of hospital stay, morbidity and mortality in both developed and developing countries. A few research has been found linking infection with antibiotic resistant Gram-negative bacteria with the hospital costs in Indonesia. This study is a cross-sectional study, analyze the comparison of hospital costs in patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial infections and antibiotic sensitive infections. The sample method is consecutive non-random sampling, with inclusion criteria were patients who were aged ≥18 years and hospitalized with Gram negative bacterial positive culture. Exclusion criteria were inappropriate patient data and patients not receiving antibiotics. From 359 isolates, 221 isolates (61.6%) were antibiotic resistant Gram negative bacteria. The bacteria consisted of 97 isolates (27%) of ESBL-producing K. pneumoniae, 85 isolates (23.7%) were ESBL-producing E. coli, 28 isolates (7.8%) were meropenem-resistant A. baumannii, and 11 isolates (3.1%) were meropenem-resistant P. aeruginosa. The average hospital cost of patients with antibiotic resistant Gram-negative bacteria was Rp. 26,010,218, whereas patients with antibiotic sensitive infection was Rp. 18,201,234, - (p<0.05). Patients with meropenem resistant A. baumannii have the highest hospital costs, followed by ESBL-producing E. coli, ESBL-producing K. pneumoniae, and meropenem-resistant P. aeruginosa. The average length of hospital stay in patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial infections was 14 days, whereas patients with antibiotic sensitive infection was 9 days (p<0.05). The results showed that resistant Gram-negative bacterial infection is significantly higher hospital costs and hospital stay compared to patients with antibiotic-sensitive bacterial infections. Microbiological culture is important to do, so the patients will get the right antibiotics."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Donatila Mano S.
"Resistensi antimikroba menjadi masalah kesehatan global. Infeksi bakteri resisten dapat
meningkatkan biaya perawatan kesehatan, lama perawatan di rumah sakit, morbiditas
dan mortalitas baik di negara maju maupun negara berkembang. Penelitian yang
menghubungkan antara infeksi oleh bakteri gram negatif resisten antibiotik dengan
biaya dan lama perawatan rumah sakit belum banyak dilakukan terutama di Indonesia.
Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang melihat perbandingan biaya
perawatan dan lama rawat rumah sakit pada pasien dengan infeksi bakteri gram negatif
resisten antibiotik dan peka antibiotik. Pengambilan data dilakukan secara konsekutif
dengan kriteria inklusi adalah pasien yang berusis ≥18 tahun dan dirawat inap dengan
hasil biakan positif terdapat isolat bakteri Gram negatif. Kriteria eksklusi adalah data
psien dari laboratorium mikrobiologi yang tidak sesuai dan pasien yang tidak mendapat
antibiotik. Dari 359 isolat hasil penelitian didapatkan sebanyak 221 isolat (61.6%)
merupakan isolat bakteri gram negatif yang resisten antibiotik. Adapun bakteri tersebut
terdiri K. pneumoniae penghasil ESBL sebanyak 97 isolat (27%), E. coli penghasil
ESBL sebanyak 85 isolat (23.7%), P. aeruginosa yang resisten meropenem sebanyak 11
isolat (3.1%) dan A. baumannii resisten meropenem sebanyak 28 isolat (7.8%). Hasil
perhitungan biaya perawatan pasien yang terinfeksi bakteri resisten memiliki rerata
sebesar Rp 26.010.218,- sedangkan pasien yang terinfeksi bakteri peka memiliki rerata
biaya perawatan sebesar Rp 18.201.234,- (p<0.05). Pasien yang terinfeksi A. baumannii
resisten meropenem memiliki biaya rawat inap yang paling besar, diikuti E. coli
penghasil ESBL, K. pneumoniae penghasil ESBL, dan P. aeruginosa resisten
meropenem. Jumlah hari rawat pasien yang terkena infeksi bakteri adalah 14 hari, dan
pasien yang terkena infeksi bakteri nonresisten adalah 9 hari (p<0.05). Hasil penelitian
ini memperlihatkan bahwa infeksi bakteri Gram nehatif resisten mengakibatkan biaya
perawatan dan lama rawat rumah sakit meningkat secara bermakna dibandingkan pasien
dengan infeksi bakteri peka antibiotik. Pemeriksaan mikrobiologi sangat penting
dilakukan, agar pasien mendapatkan antibiotik yang tepat.

Antimicrobial resistance is a global health problems. Resistant bacterial infection
increases hospital costs, length of hospital stay, morbidity and mortality in both
developed and developing countries. A few research has been found linking infection
with antibiotic resistant Gram-negative bacteria with the hospital costs in Indonesia.
This study is a cross-sectional study, analyze the comparison of hospital costs in
patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial infections and antibiotic
sensitive infections. The sample method is consecutive non-random sampling, with
inclusion criteria were patients who were aged ≥18 years and hospitalized with Gram
negative bacterial positive culture. Exclusion criteria were inappropriate patient data
and patients not receiving antibiotics. From 359 isolates, 221 isolates (61.6%) were
antibiotic resistant Gram negative bacteria. The bacteria consisted of 97 isolates (27%)
of ESBL-producing K. pneumoniae, 85 isolates (23.7%) were ESBL-producing E. coli,
28 isolates (7.8%) were meropenem-resistant A. baumannii, and 11 isolates (3.1%) were
meropenem-resistant P. aeruginosa. The average hospital cost of patients with antibiotic
resistant Gram-negative bacteria was Rp. 26,010,218, whereas patients with antibiotic
sensitive infection was Rp. 18,201,234, - (p<0.05). Patients with meropenem resistant
A. baumannii have the highest hospital costs, followed by ESBL-producing E. coli,
ESBL-producing K. pneumoniae, and meropenem-resistant P. aeruginosa. The average
length of hospital stay in patients with antibiotic-resistant Gram-negative bacterial
infections was 14 days, whereas patients with antibiotic sensitive infection was 9 days
(p<0.05). The results showed that resistant Gram-negative bacterial infection is
significantly higher hospital costs and hospital stay compared to patients with antibioticsensitive
bacterial infections. Microbiological culture is important to do, so the patients
will get the right antibiotics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maelanti Norma
"Latar Belakang: Infeksi MRSA merupakan salah satu penyebab infeksi didapat di rumah sakit dan berhubungan dengan mortalitas, morbiditas, lama rawat dan biaya perawatan yang tinggi. Prevalens infeksi MRSA pasien ICU di RSUP Persahabatan mengalami kenaikan pada semester 2 tahun 2022 sebanyak 25,27% (naik 68,46%) dibandingkan semester 1 tahun. Penyebaran MRSA di ruang perawatan intensif/intensive care unit (ICU) sebagai tolak ukur infeksi di rumah sakit. Tenaga kesehatan berisiko tinggi tertular dan menularkan MRSA di rumah sakit sehingga diperlukan skrining kolonisasi MRSA. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi dan faktor-faktor yang memengaruhi kolonisasi MRSA pada tenaga kesehatan di ICU RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong lintang yang di lakukan di ICU RSUP Persahabatan pada bulan Mei 2023. Subjek penelitian yang memiliki kriteria inklusi dan tidak ada kriteria eksklusi mengisi kuesioner mengenai faktor risiko individu, pekerjaan dan demografi. Pemeriksaan usap hidung dilakukan pada 150 subjek penelitian terdiri dari dokter dan perawat di ICU. Deteksi MRSA dengan pemeriksaan PCR menggunakan XPERT® MRSA NXG untuk mendeteksi gen SCCMecA atau MecC. Selanjutnya karakteristik subjek, proporsi MRSA pada dokter dan perawat serta faktor-faktor yang memengaruhi dievaluasi.
Hasil: Penelitian ini diikuti 150 subjek penelitian. Proporsi kolonisasi MRSA pada dokter dan perawat sebesar 4%. Proporsi kolonisasi MRSA pada dokter sebesar 1(0,66%), pada perawat sebesar 5(3,3%). Variabel – variabel independen pada penelitian ini tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kolonisasi MRSA (p>0.05). Namun dalam penelitian ini terdapat proporsi kolonisasi MRSA yang besar di ruang ICU Tulip yaitu sebesar 4(18,2%) dari 21 subjek penelitian.
Kesimpulan: Terdapat proporsi kolonisasi MRSA pada tenaga kesehatan yang rendah di ICU, namun didapatkan peningkatan proporsi kolonisasi MRSA pada tenaga kesehatan di ruang ICU Tulip. Perawat dan laki-laki menunjukkan risiko kolonisasi MRSA yang lebih tinggi.

Background: MRSA infection is one of the causes of hospital-acquired infections and is associated with mortality, morbidity, long length of stay, and high treatment costs. The prevalence of MRSA infection in ICU patients at Persahabatan Hospital increased within the second six month of 2022 by 25.27% (up 68.46%) compared to the first six month of 2022. The disseminated of MRSA in intensive care units (ICU) as a measure of infection in hospitals. Health care workers are at high risk of colonizing and transmitting MRSA in hospitals, screening of carriers is required for prevention of MRSA infection. The aims of this study are to determine the proportion and factors asscociated with MRSA colonization in health care workers in the ICU at Persahabatan Hospital.
Method: This study used a cross-sectional design and was carried out in the ICU at Persahabatan Hospital in May 2023. Respondens who had inclusion criteria and no exclusion criteria filled out a questionnaire regarding individual, occupational, and demographic risk factors. Nasal swab were collected from 150 respondens who followed by doctors and nurses in the ICU. MRSA detection by PCR examination using XPERT® MRSA NXG to detect the SCCMecA or MecC gene. Furthermore, subject characteristics, the proportion of MRSA in doctors and nurses and associated factors were evaluated.
Results: There were 150 respondents in this study. The proportion of MRSA colonization among doctors and nurses was 4%. The proportion of MRSA colonization in doctors were 1 (0.66%), and the proportion of MRSA in nurses were 5 (3.3%). There were no independent variables that significantly associated MRSA colonization (p > 0.05). However, there was a large proportion of MRSA colonization found in the Tulip ICU, 4 (18.2%) of the 21 respondents. Conclusion: There was a low proportion of MRSA colonization among health care workers in the ICU, but there was an increase in the proportion of MRSA colonization among health care workers in the Tulip ICU. Nurses and men showed a higher risk of MRSA colonization.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Febriadi Rosmanato
"Latar Belakang: Melihat potensi tingginya jumlah virus didalam rongga mulut, dengan bukti bahwa SARS-CoV-2 ditemukan pada reseptor ACE2, perlu upaya untuk mencegah penularan dari pasien ke praktisi melalui saliva yang terkontaminasi. Virus ini menyebar lebih cepat karena SARS-CoV-2 bereplikasi disaluran pernapasan bagian atas dengan melepaskan patogen yang berpindah dari satu orang ke orang lain saat bersin dan batuk melalui penyebaran pernapasan. Diperkirakan waktu penularan bisa terjadi sebelum gejala muncul (sekitar 2,5 hari lebih awal dari munculnya gejala). Berkumur dengan hidrogen peroksida dapat menghilangkan lapisan permukaan epitel pada mukosa mulut yang diketahui terdapat reseptor ACE2 tempat terikatnya SARS- CoV-2 dan dapat menginaktivasi virus tersebut. Pedoman sementara American Dental Association (ADA) menyarankan penggunaan 1,5% Hidrogen peroksida sebagai pilihan untuk pembilasan mulut preoperatif sebagai obat kumur antiseptik. Nilai cycle threshold yang diperoleh RT – PCR bersifat semi-kuantitatif dan mampu membedakan antara viral load tinggi dan rendah.
Tujuan Penelitian: Mengevaluasi perbedaan pengaruh penggunaan obat kumur diantara berkumur hidrogen peroksida 1,5% dan hidrogen peroksida 3% terhadap nilai cycle threshold RT-PCR pada pasien COVID - 19.
Metode Penelitian: 42 subjek penelitian diambil dari pasien RSUP Persahabatan yang terinfeksi SARS-CoV-2 sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi. Setelah dilakukan informed consent, subjek penelitian dibagi menjadi 3 kelompok, yaitu kelompok hidrogen peroksida 1,5%, kelompok hidrogen peroksida 3% dan kelompok kontrol. Subjek penelitian berkumur 30 detik di rongga mulut dan 30 detik di tenggorokan belakang dengan 15 ml sebanyak 3 kali sehari selama 5 hari. Analisis menggunakan nilai cycle threshold pada pemeriksaan RT-PCR pada hari ke-1, hari ke-3 dan hari ke-5 setelah berkumur.
Hasil: Terdapat perbedaan bermakna pada hasil uji Friedman dan peningkatan nilai cycle threshold RT-PCR dari awal, hari ke-1, hari ke-3 dan hari ke-5 di keseluruhan kelompok dan masing – masing kelompok perlakuan. Peningkatan tertinggi nilai cycle threshold RT-PCR awal hingga hari ke-1 ditemukan pada kelompok hidrogen peroksida 3%, kemudian antara hari ke-1 hingga ke-3 dan hari ke-3 hingga hari ke-5 ditemukan pada kelompok hidrogen peroksida 1,5%.
Kesimpulan: Berkumur hidrogen peroksida 1,5% dan hidrogen peroksida 3% berpengaruh terhadap peningkatan nilai cycle threshold RT-PCR SARS-CoV-2. Kedua konsentrasi hidrogen peroksida 1,5% dan hidrogen peroksida 3% memberikan pengaruh positif dalam menurunkan jumlah virus di rongga mulut, sehingga pilihan penggunaan konsentrasi hidrogen peroksida yang lebih kecil bisa menjadi pilihan untuk digunakan untuk berkumur.

Background: Given the potential high number of viruses in the oral cavity, with evidence that SARS-CoV-2 is found at the ACE2 receptor, efforts are needed to prevent transmission from patient to practitioner through contaminated saliva. This virus spreads faster because SARS-CoV-2 replicates in the upper respiratory tract by releasing pathogens that are passed from one person to another when sneezing and coughing through respiratory spread. It is estimated that the time of transmission can occur before symptoms appear (about 2.5 days earlier than the onset of symptoms). Mouth rinse and gargling with hydrogen peroxide can remove the epithelial surface layer on the oral mucosa which is known to have ACE2 receptors where SARS-CoV-2 binds and can inactivate the virus. Interim guidelines of the American Dental Association (ADA) recommend the use of 1.5% hydrogen peroxide as an option for preoperative oral rinse as an antiseptic mouth rinse. The cycle threshold value obtained by RT-PCR is semi-quantitative and able to distinguish between high and low viral loads.
Objective: To evaluate the difference in the effect of using mouth rinse between 1.5% hydrogen peroxide and 3% hydrogen peroxide mouth rinse and gargling on the RT-PCR cycle threshold value in COVID-19 patients.
Methods: 42 subjects were patients recruited from Persahabatan General Hospital infected with SARS-CoV-2 according to the inclusion and exclusion criteria. Following informed consent procedure, the research subjects were divided into 3 groups, namely the 1.5% hydrogen peroxide group, the 3% hydrogen peroxide group and the control group. The subjects were instructed to rinse their mouths for 30 seconds and gargle for 30 seconds at the back of the throat with 15 ml of the mouth rinse 3 times a day for 5 days. Analysis of cycle threshold values was carried out using RT-PCR on day 1, day 3 and day 5 after mouth rinse and gargling.
Results: There were significant differences in the results of the Friedman test and an increase in the RT-PCR cycle threshold value starting from the beginning, day 1, day 3 and day 5 in the whole group and each treatment group. The highest increase RT-PCR cycle threshold value at day 1 was found in the 3% hydrogen peroxide group, while the increase between day 1 to 3 and day 3 to day 5 was found in the 1.5% hydrogen peroxide group.
Conclusion: Mouth rinse and gargling with 1.5% hydrogen peroxide and 3% hydrogen peroxide has an effect on increasing the cycle threshold value of the SARS-CoV-2 RT-PCR. Both 1.5% and 3% hydrogen peroxide concentration have a positive effect in reducing the number of viruses in the oral cavity, so the choice of using a lower hydrogen peroxide concentration can be an option to use for mouth rinse and gargling.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library