Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Indri Aulia
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Prosedur untuk menutup luka laserasi bervariasi. Paradigma baru dalam menggunakan plester luka menimbulkan pertanyaan dalam hal efikasi dan perananannya pada penyembuhan luka. Kulit babi memiliki kesamaan terhadap kulit manusia. Metode: Tujuh babi jenis York Pork digunakan dalam penelitian yang dilaksanakan pada laboratorium Rumah Sakit Hewan Pendidikan, Institut Pertanian Bogor pada Agustus - September 2016. Tiga luka laserasi dibuat pada punggung babi yang ditutup menggunakan jahitan kulit kelompok 1 , plester luka yang direkomendasikan kelompok 2 dan plester luka modifikasi kelompok 3 . Evaluasi histopatologi dibuat pada hari ke-7 dan ke-30 dengan cara biopsi. Pemeriksaan kekuatan regangan dilakukan pada minggu ke-6. Hasil: Deposisi kolagen pada hari ke-7 menunjukkan perbedaan bermakna antara kelompok 3 dan 2, tetapi tidak berbeda bermakna terhadap kelompok 1. Berdasarkan evaluasi fibroblas dan fibrosit pada lapisan subkutan pada ketiga group tidak berbeda bermakna. Pada pemeriksaan kekuatan regangan tidak ada perbedaan bermakna di antara ketiga kelompok. Kekuatan maksimum sebelum kulit terobek adalah 380 68.12 Newton. Kesimpulan: Plester luka dengan cara modifikasi membuat deposisi kolagen dan adaptasi tepi luka lebih baik dibandingkan dengan cara rekomendasi, namun tidak memiliki perbedaan bermakna secara statistik bila dibandingkan dengan luka dengan jahitan kulit. Jahitan intradermal memiliki peranan penting dalam memberikan kekuatan regangan.
ABSTRACT
Background The procedure closing a laceration wound might be varies. The new paradigm of using adhesive skin tape makes questionable efficacy and its role in wound healing. The porcine skin astonishingly has close similarity to human rsquo s. Methods Seven York Pork porcine underwent study on Laboratory Veterinary Teaching Hospital, Institut Pertanian Bogor from August September 2016. Three laceration wounds were made on the porcine back and closed using skin suture group 1 , recommended application group 2 , and modified application group 3 . The histopathological evaluation was done on day 7 and 30 by biopsy. The tensile strength is also evaluated after 6 weeks of the treatment. Results The collagen deposition in day 7 shows significant difference between group 2 and 3, but no significant difference to group 1. Based on fibroblast and fibrocytes evaluation on subcutaneous layer, those three groups have no significant difference, same as the tensile strength evaluation. The maximum force at break is 380 68.12 Newton. Conclusion The modified application of adhesive skin tapes gives better collagen deposition and wound edge adaptation than the recommended. However, it shows no significant difference compared to the wound that used skin suture. The intradermal suture has major role in giving the tensile strength.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T58923
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Supit, Laureen
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan. Studi ini dilaksanakan untuk membuat prototipe alat mirror stand yang dapat dimanfaatkan untuk standardisasi pengambilan foto wajah. Alat ini dapat mewakili suasana studio dengan memadukan elemen-eleman dasar fotografi.

Metode. Sebuah prototipe alat mirror stand dibangun untuk pengambilan foto klinis wajah. Empat-puluh subjek diambil foto wajahnya dengan posisi standar yang diharapkan. Ukuran antropometri wajah sebenarnya diukur pada tiap subjek, dan pada foto yang dihasilkan dengan referensi ukuran yang ikut terdokumentasi dalam foto. Kedua hasil pengukuran dibandingkan untuk memperoleh perhitungan konversi antar pengukuran tersebut.

Hasil. Hasil pengukuran yang didapat dari wajah sebenarnya hampir sama dengan yang didapat dari pengukuran pada foto yang dihasilkan dari mirror stand. Didapatkan sebuah rumus konstanta yang dapat menterjemahkan ukuran pada foto menjadi ikuran antropometrik sebenarnya.

Kesimpulan. Mirror stand dapat menghasilkan foto yang konsisten dengan standar yang sama. Ukuran pada foto dapat dikonvernsi menjadi ukuran wajah sebenarnya. Alat ini dapat digunakan dalam keseharian klinis sebagai dokumentasi foto wajah yang terstandardisasi.
ABSTRACT
Introduction. Photodocumentation in plastic surgery is vital as a part of clinical, communicational, educaitonal, legal, and research aid. To obtain an ideally conditioned photographs it is necessary to set-up a studio or purchase a designated three-dimensonal anatomic scanner, which may be costly. This study propose a simplified photo standardization for use in random clinical settings using a device called the mirror stand. This model device aims to mimic a studio environment by incorporating the basic elements of producing consistent photographs.

Methods. A pilot mirror stand model is designed for facial photography. Facial images of 40 random subjects were obtained using the device. Real anthropometric measurements of each subject are collected, and then compared to the photographic measurements. The photograpic versus real measurements are calculated.

Results. The actual facial measurements are comparable to the photogrammetric measurements obtained from photos taken on the mirror stand. A constant formula is derived, which allows the conversion of photographic values into the real anthropometric values.

Conclusion. The mirror stand produces consistent photographs in regards to standards.. The pictures obtained can be reliably translated into their real-size anthropometric measurements. The mirror stand can be applied in the daily practice, providing an efficient and cost effective alternative for obtaining a standard justifiable photographs.
2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadia Kusumastuti
Abstrak :
ABSTRAK
The use of epinephrine contained tumescent solution in hand surgery, which avoid the use of tourniquet, has been widely popular, with the lowest epinephrine concentration being “one-per-mil” or 1:1,000,000. The purpose of the study is to know the characteristics of “one-per-mil” tumescent solution regarding the time delay needed to get optimal visualization of the operation field in the hand digits.

Methods This study is a prospective, randomized, double-blind study where 12 healthy volunteers are injected simultaneously in each ring finger with either saline added with 1:1,000,000 epinephrine (study group) in one hand, or plain saline (control group) in the contralateral hand. The relative hemoglobin concentration of the underlying skin and soft tissue, which is reflected by oxygen saturation in the fingertip, was then measured over time using pulse oximetry.

Results The lowest point of oxygen saturation in the epinephrine group was obtained at the average time of 21.7 minutes after injection. (range, 02.00 minutes to 45.37 minutes). Epinephrine injection produced significant decrease in oxygen saturation (delta = 5 points) compared to saline only. Temperature decrease in epinephrine group was also significant. Fingertip sensibility did not change significantly in both group. No side effects or complication was found.

Discussion The optimal time delay to produce maximal vasoconstriction depicted by the lowest oxygen saturation was 21.7 minutes in average. Epinephrine in “one-per-mil” tumescent solution was effective to produce finger vasoconstriction compared to saline injection, with the same safety as the saline only injection.
ABSTRACT
Penggunaan larutan tumesen yang mengandung epinefrin untuk bedah tangan tanpa torniket telah banyak dikenal, dengan konsentrasi epinefrin terendah yang dilaporkan adalah “one-per-mil” atau 1:1,000,000. Tujuan studi ini adalah mengetahui karakteristik larutan epinefrin “one-per-mil” tersebut terutama mengenai waktu tunggu optimal untuk mendapatkan lapangan operasi yang bebas perdarahan pada jari tangan.

Metode Penelitian ini merupakan studi prospektif, acak, tersamar ganda dimana 12 sukarelawan sehat diinjeksi pada kedua jari manisnya dengan larutan saline yang ditambah epinefrin 1:1,000,000 (kelompok studi) atau larutan saline saja (kelompok kontrol). Vasokonstriksi optimal, yang dicerminkan oleh saturasi oksigen ujung jari yang terendah, diukur kontinyu terhadap waktu dengan pulse oximeter. Hasil

Saturasi oksigen terendah pada grup epinefrin tercatat pada rata-rata menit ke 21.7 (rentang: 02.00 menit hingga 45.37 menit). Injeksi epinefrin menghasilkan penurunan saturasi oksigen yang signifikan (delta = 5 poin) dibanding larutan saline saja. Penurunan suhu jari setelah penyuntikan epinefrin (delta = 1.3oC) juga signifikan.Tidak ditemukan perubahan sensibilitas ujung jari yang signifikan pada kedua grup. Tidak ditemukan efek samping maupun komplikasi apapun pada semua subjek.

Diskusi Waktu tunggu yang optimal hingga mencapai vasokonstriksi maksimal yang dicerminkan oleh saturasi oksigen terendah, adalah rata-rata 21.7 menit. Epinefrin dalam larutan tumesen “one-per-mil” efektif menghasilkan vasokonstriksi jari dibandingkan injeksi saline saja; dengan kemanan yang sama dengan suntikan saline.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T59139
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Wardhana
Abstrak :
Konversi luka bakar merupakan perubahan zona kedalaman dari dangkal menjadi dalam pada 3–7 hari pasca luka bakar. Saat ini, proses autofagi, inflamasi, iskemia, infeksi, dan reactive oxygen species dianggap berperan dalam patogenesis konversi luka bakar. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor risiko terjadinya konversi luka bakar pada pasien dewasa dan mengembangkan sistem skor untuk memprediksi kejadian konversi luka bakar sebagai acuan tatalaksana konservatif dan operatif. Penelitian dilaksanakan dengan metode nested case control pada pasien luka bakar dewasa yang dirawat di Unit Luka Bakar RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo dan RS Islam Jakarta Cempaka Putih. Subjek direkrut dengan metode consecutive sampling pada Februari 2019–Agustus 2020. Faktor risiko yang diteliti adalah karakteristik klinis, pemeriksaan klinis lokal, dan pemeriksaan klinis sistemik. Faktor risiko dianalisis secara bivariat dan multivariat regresi logistik. Terdapat 40 subjek kelompok kasus dan 20 subjek kelompok kontrol. Luka bakar di regio trunkus (OR = 3,67; p = 0,028), regio tungkai (OR = 6,93; p = 0,001), luas luka bakar yang dihitung dengan ImageJ ³ 9,49 %TBSA (OR = 32,11 p < 0,001), suhu permukaan luka yang diukur dengan termografi FLIR ONE® ≤ -1,55 oC (OR = 13,78; p < 0,001), kadar prokalsitonin ≥ 0,075 ng/mL (OR = 12; p < 0,001), dan kadar laktat darah ≥ 1,75 mmol/L (OR = 7; p = 0,001) memiliki hubungan bermakna dengan konversi luka bakar. Dikembangkan 3 model konversi luka bakar dari variabel bermakna. Model 1 diterapkan di fasilitas kesehatan tersier dengan sensitivitas dan spesifisitas sebesar 92,5% dan 85% (IK95% 0,835–1,00; p < 0,001). Model 2 dan 3 dapat diterapkan di fasilitas kesehatan primer dan sekunder dengan model 2 memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 95% dan 70% (IK95% 0,830– 1,00; p < 0,001) dan model 3 memiliki sensitivitas dan spesifisitas sebesar 92,5% dan 85% (IK95% 0,832–1,00; p < 0,001). Model skor yang dibuat dapat dipertimbangkan digunakan dalam praktek seharihari terutama sebagai acuan tatalaksana konservatif dan operatif. ......Burns are a global public health problem with high morbidity and mortality rates. Burn wound conversion describes the process by which superficial-partial thickness burns convert into deeper burns within 3–7 days after the burn. Currently, autophagy, inflammation, ischemia, infection, and reactive oxygen species are thought to play a role in the pathogenesis of burn wound conversion. This study aims to assess risk factors for burn wound conversion and develop a scoring system to predict burn conversion as a reference for burn wound management. The study was conducted using the nested case control method, in adult burn patients who were treated at Dr. Cipto Mangunkusumo and Jakarta Islamic Hospital Cempaka Putih. Subjects were recruited by consecutive sampling method in February 2019–August 2020. The role of clinical characteristics, local clinical examination, and systemic examination as predictors of burn wound conversion were assessed. The risk factors were analyzed using bivariate and logistic regression multivariate analysis. There were 40 subjects in case group and 20 subjects in control group. Involvement of trunk (OR = 3.67; p = 0.028), limbs (OR = 6.93; p = 0.001), burn extent measured using ImageJ ³ 9.49 %TBSA (OR = 32.11 p < 0.001), wound surface temperature measured using FLIR ONE® thermography ≤ -1.55 oC (OR = 13.78; p < 0.001), procalsitonin level ≥ 0.075 ng/mL (OR = 12; p < 0.001), dan blood lactate level ≥ 1.75 mmol/L (OR = 7; p = 0.001) had significant relationship with burn wound conversion. Three scoring models were developed based on the significant variables with model 1 to be applied in tertiary health facilities and model 2 and 3 to be applied in primary and secondary health facilities with sensitivity and specificity of 92.5% and 85% (95% CI 0.835–1,00; p < 0.001)), 95% and 70% (95% CI 0.830–1.00; p < 0.001) and 92,5% and 85% (95% CI 0.832–1.00; p < 0.001), respectively). The scoring models can be considered to be used in daily practice, especially as a reference for conservative and operative management.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rr. Prasetyanugraheni Kreshanti
Abstrak :
Fraktur mandibula merupakan fraktur kraniomaksilofasial yang paling umum dan seringkali menyebabkan gangguan mengunyah. Tata laksana definitif fraktur mandibula adalah reduksi terbuka dan fiksasi interna menggunakan plat dan sekrup sistem 2.0, seperti plat tiga dimensi (3D). Namun, desain plat 3D konvensional memiliki keterbatasan karena bentuknya yang tidak dapat diubah, sehingga sulit menghindari garis fraktur atau struktur anatomi penting seperti akar gigi dan saraf saat melakukan pemasangan sekrup. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan desain plat 3D yang dapat diubah konfigurasinya. Oleh karena itu, dikembangkanlah desain plat 3D interlocking. Berbeda dengan plat 3D yang sudah ada selama ini, plat 3D interlocking memiliki kebaruan yaitu plat ini dapat dirangkai dari beberapa jenis plat dengan menumpuk 2 buah plat menjadi 1 kesatuan plat. Sambungan kedua buah plat ini tidak menambah ketebalan plat dan dapat diubah konfigurasinya dengan menyesuaikan sudut antara plat horizontal dan plat vertikal. Finite Element Analysis (FEA) dilakukan untuk menentukan kelayakan desain plat 3D interlocking. Setelah FEA memastikan kelayakan desain, purwarupa yang diproduksi dilakukan pengujian biomekanik menggunakan sepuluh mandibula kambing untuk menilai kekuatan mekanik dan stabilitas plat 3D interlocking. Biokompatibilitas dan penyembuhan tulang dievaluasi dalam uji hewan coba yang melibatkan 28 kambing. Biokompatibilitas dinilai dengan mengevaluasi respons inflamasi dari uji radiologik dan histopatologik (pewarnaan Hematoxylin-Eosin). Penyembuhan tulang dinilai melalui berbagai metode, termasuk uji radiologik yang mengukur kepadatan tulang, uji histopatologik menggunakan pewarnaan Mason Trichome, dan analisis penanda tulang melalui imunohistokimia dan ELISA. Selain itu, uji kemudahan penggunaan dilakukan dengan sembilan Spesialis Bedah Plastik Rekonstruksi dan Estetik untuk menilai tingkat kenyamanan dan durasi yang diperlukan untuk mengaplikasikan plat pada model mandibula sintetik. Uji biomekanik juga dilakukan pada uji kemudahan penggunaan sebagai komponen evaluasi objektif. Dalam uji biomekanik, plat 3D interlocking menunjukkan kemampuan yang lebih baik dalam mempertahankan stabilitas fraktur yang memungkinkan gerakan mikro yang terkendali. Selanjutnya, uji biokompatibilitas menunjukkan bahwa kelompok plat 3D interlocking menghasilkan reaksi jaringan dan respons inflamasi yang lebih rendah dibandingkan plat tolok ukur pada uji hewan coba. Selain itu, plat 3D interlocking juga mempercepat proses penyembuhan tulang, terbukti dari peningkatan bermakna dalam pembentukan dan kepadatan tulang pada uji hewan coba. Hasil uji kemudahan penggunaan menunjukkan bahwa plat 3D interlocking dapat digunakan dengan mudah seperti halnya plat tolok ukur. Secara keseluruhan, plat 3D interlocking menunjukkan potensi sebagai alternatif yang layak untuk tata laksana fraktur mandibula. ......Mandibular fractures are the most common craniomaxillofacial fractures, often resulting in mastication disturbances. Mandibular fracture management typically involves the use of 2.0 system plates and screws, such as three-dimensional (3D) plates. However, the conventional 3D plate designs for mandibular fracture management have limitations. Their fixed shape makes it challenging to avoid fracture lines or vital anatomical structures, such as dental roots and nerves when placing screws. A 3D plate design that allows for configuration changes is needed to address this issue. Therefore the interlocking 3D plate was developed. This novel design features components that can be adjusted to avoid critical anatomical structures and fracture lines while still offering the stability of a 3D plate, enhancing its utility in mandibular fracture management. Finite element analysis was performed to establish the feasibility of the interlocking 3D plate design. Once that was established, biomechanical evaluation was conducted using ten goat mandibles to assess the mechanical strength and stability of the interlocking 3D plate. Biocompatibility and bone healing properties were evaluated in an animal study involving 28 goats. Biocompatibility was assessed by evaluating inflammatory responses from radiological and histopathological (Hematoxylin-Eosin staining) study. Bone healing properties were assessed through various methods, including radiological study measuring bone density, histopathological study using Mason Trichome staining, and analyzing bone markers through immunohistochemistry and ELISA. Additionally, usability study were conducted with nine plastic surgeons to assess the level of comfort and the duration required to apply the plate on a synthetic mandibular model. These findings were correlated with biomechanical test results. The biomechanical evaluation revealed that the interlocking 3D plate design better-maintained fracture stability while allowing controlled micro-movement. Regarding biocompatibility, the interlocking 3D plate exhibited better results than the standard plate, as indicated by lower tissue reaction and inflammatory response in animal study. The interlocking 3D plate also facilitated faster bone healing, with significant bone formation and bone density improvements in animal study. Usability study demonstrated that the interlocking 3D plate was as easy to use as the standard plate, with no significant differences in application time. Overall, the interlocking 3D plate demonstrates significant potential as a viable alternative for managing mandibular fractures.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library