Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rahmad Budiaji
"MPR hasil pemilihan umum tahun 1997 dalam sidang umumnya yang diselenggarakan tahun 1998 telah membahas materi tentang HAM untuk ditetapkan menjadi ketetapan MPR tersendiri sebagai usulan dari Fraksi Persatuan Pembangunan (F-PP) dan Fraksi Partai Demokrasi Indonesia (F-PDI). Pada akhirnya, HAM gagal disahkan dalam bentuk ketetapan tersendiri tetapi ada beberapa butir pokok-pokok pemikiran tentang HAM yang masuk menjadi bagian Ketetapan MPR tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), gagasan yang awalnya di dukung oleh tri-fraksi terdiri F-KP, F-ABRI, dan F-UD. Tesis ini mencoba mencari jawaban mengapa HAM tidak dijadikan Ketetapan MPR tersendiri.
Idealnya hak asasi manusia adalah muatan sebuah konstitusi atau Undang-Undang Dasar. Namun, karena ada konsensus politik pada masa Orde Baru yang tidak berkehendak untuk mengubah UUD 1945 maka gagasan untuk memasukkan HAM dalam UUD 1945 dengan jalan mengubah atau mengamandemen menemui jalan buntu. Oleh karena itu, usulan agar HAM ditetapkan dalam satu naskah ketetapan MPR sehingga menjadi semacam bill of rights, menjadi pilihan yang wajar apalagi sejarah menunjukkan pada masa MPRS tahun 1968 telah berhasil menyusun naskah HAM.
Hasil penelitian menunjukkan maksud mengajukan rantap HAM adalah agar secara yuridis konstitusional menjadi pedoman pelaksanaan perlindungan HAM dan kewajiban serta tanggungjawah sosial secara kolektif maupun individu, yang bersifat menyeluruh bukan sekedar kebijaksanaan parsial. Bila HAM hanya ditampung dalam GBHN kurang tepat karena (1) hanya memuat garis-garis besar sehingga materi HAM tak tertampung seluruhnya, (2) hanya berlaku selama lima tahun, (3) selalu terbuka untuk ditinjau kembali dan (4) selalu terbuka diubah sama sekali.
Dari proses usulan dan pembahasan ditemukan bahwa tri-fraksi menilai lahirnya TAP MPR tentang HAM akan menyulitkan pemerintah yang sedang dihadapkan pada kondisi pemulihan krisis ekonomi dan ancaman instabilitas politik. Secara bersamaan, adanya usulan yang gagasannya datang dari Presiden Suharto untuk melahirkan TAP MPR tentang pelimpahan tugas dan wewenang khusus kepada Presiden, menjadi salah satu faktor yang kontradiktif bagi penegakan hak asasi manusia dan usulan TAP MPR tentang HAM. Pada akhirnya sumbangan terbesar penyebab kegagalan TAP MPR tentang HAM adalah konstelasi politik MPR yang lebih merepresentasikan politik Orde Baru yang bercorak birokratik otoritarian dengan korporatisme negara yang terjelma dalam hubungan kekuasaan antara Presiden Suharto dengan tri-fraksi sebagai kekuatan politik dominan. Pada sisi yang lain, F-PP dan F PDI sebagai fraksi pengusul Rantap HAM merupakan kekuatan minoritas yang tak mampu menjalankan fungsi kontrol atau bertindak sebagai kekuatan oposisi.
Perdebatan HAM yang diwarnai isu dalam konteks hubungan internasional menunjukkan adanya kesadaran pengaruh eksternal terhadap tekanan dan tuntutan untuk penegakan HAM, melalui badan kerjasama internasional atau kerjasama bantuan ekonomi. Demikian juga ada kesadaran dari semua fraksi bahwa dinamika internal berupa tuntutan penegakan hak asasi manusia merupakan konsekuensi logis dari hasil pembangunan yang melahirkan kelas terdidik dalam masyarakat yang menginginkan partisipasi politik dalam konteks penegakan hak asasi. Isu HAM pada konteks pemahaman universalitas dan relativisme menunjukkan posisi fraksi yang berbeda, pada sisi tri-fraksi ada kecenderungan kuat menolak paham universalisme. sedang sisi yang lain antara F-PP dan F-PDI tidak mempermasalahkan pandangan universalisme meskipun mengakui relativisme dalam konteks Indonesia. Isu pelanggaran HAM yang muncul dalam perdebatan ditengarai lebih banyak dilakukan oleh unsur negara, karena faktor struktural kuatnya negara dan kebijakan pembangunan yang berasumsi pembangunan ekonomi dengan pengorbanan aspek politik, disisi lain aspek kultural masyarakat yang bersikap menerima."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2001
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Ermiza
"Osteoblas merupakan sel tulang yang berperan dalam formasi tulang, yang mempunyai kemampuan dalam sintesa dan mengatur deposisi dan mineralisasi dari matrik selular tulang. Kerusakan tulang diatasi dengan penempatan material pengganti yang merangsang pembentukan tulang baru dimana osteoblas berperan dalam pembentukan formasi tulang. Transplantasi jaringan telah dikembangkan untuk merekonstruksi kerusakan tulang dengan penempatan bahan tandur tulang. Dosis akhir sterilisasi 25 kGy biasa dipakai untuk bahan tandur tulang tergantung dari bank jaringan. Dosis radiasi tergantung pada tingkat bioburden jumlah organisma yang tertinggal. Laporan terdahulu mengemukakan bahwa dosis radiasi 15 kGy efektif dalam mensterilkan bahan tandur tulang.
Tujuan : Mengevaluasi perilaku osteoblas manusia galur MG63 dalam proses regenerasi tulang setelah ditransplantasi dengan Demineralized freeeze-dried bone, DFDB (Batan, Jakarta, Indonesia) dengan dosis sterilisasi 15 kGy dibandingkan dengan DFDB yang disterilisasi dengan dosis 25 kGy.
Metoda : Sel osteoblas manusia dibiakkan dan dibagi dalam 3 kelompok, pertama ditransplantasi dengan DFDB yang disterilisasi dengan dosis 15 kGy, kedua ditransplantasi dengan DFDB dosis sterilisasi 25 kGy, dan grup ketiga tanpa transplantasi sebagai kontrol. Proliferasi of osteoblasdianalisa 24 jam setelah transplantasi dengan test MTT assay. Ekspresi fosfatase alkali dan deposisi ion Ca++ dianalisis setelah 7, 14 dan 21 harai setelah transplantasi.
Hasil : Proliferasi sel osteoblas manusia setelah ditransplantasi dengan DFDB yang disterilisasi 15 kGy tidak berbeda bermakna dibandingkan dengan yang ditransplantasi dengan DFDB dosis sterilisasi 25 kGy setelah 24 jam transplantasi. Dan proses remineralisasi antara kedua kelompok relatif sama antara kelompok DFDB 15 kGy dan dengan kelompok DFDB 25 kGy.

Osteoblasts are the skeletal cells responsible for bone formation, meaning that they synthesize and regulate the deposition and mineralization of the extracellular matrix of bone. Bone defect treated with placement a preparation material to promote new bone formation and osteoblasts play a major role in bone formation. Tissue transplantation were developed to reconstruc bone defect with the placement of bone graft material. A 25 kGy dose is the most commonly used radiation dose for sterilization of bone graft material, but tissue bankers can decide the dosage used to sterillized their tissues. The dose can be selected depending on the bioburden or microbial count on the tissue prior to sterillization and had ben reported a low dose radiation 15 kGy is effective to sterillization a bone graft materials.
Objective : The objective of this study was to evaluate behavior of human osteoblast cell line (MG63) in bone regeneration process, after transplantation of Demineralized freeeze-dried bone, DFDB (Batan, Jakarta, Indonesia) with radiation dose sterilization 15 kGy compare with DFDB with radiation sterilization 25 kGy.
Method : Human osteoblast cell line culture was divided into 3 groups, first group transplanted with dose radiation DFDB 15 kGy, second group transplanted with dose radiation 25 kGy DFDB and and the third group without bone graft as control. After 24 hours, proliperation of osteoblast cell area are analysed with MTT assay test. Expression of alkali phosphatase and deposition of Ca++ are analysed after 7, 14 and 21 days after transplantation.
Results : Proliferation of osteoblast cell in DFDB 15 kGy showed not signifivcantly difference with DFDB 25 kGy after 24 hours and remineralization process between DFDB 15 kGy group transplantation equal with DFDB 25 kGy group.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T31905
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Aini
"Magnesium merupakan pilihan material yang dapat digunakan sebagai material implan tulang dengan karakteristik yang mirip dengan tulang, merupakan elektrolit normal dalam tubuh, memiliki harga yang ekonomis, dan bersifat dapat terdegradasi. Namun magnesium memiliki keterbatasan yaitu memiliki tingkat korosi yang tinggi. Untuk meningkatkan resistensi korosi dan memperbaiki sifat mekanis dikembangkan berbagai metode, salah satunya adalah proses Equal Channel Angular Pressing (ECAP). Persyaratan utama sebagai material implan tulang adalah bersifat biokompatibel. Tujuan: Mengevaluasi karakteristik biokompatibilitas magnesium yang telah melalui proses ECAP secara in vitro. Metode: Karakteristik biokompatibilitas magnesium ECAP dievaluasi melalui uji toksisitas terhadap sel osteoblas menggunakan MTT Assay, analisis logam berat yang terkandung di dalamnya dengan perhitungan paparan akumulatif logam berat berdasarkan provisional tolerable daily intake (PTDI),
serta uji sterilitas setelah melalui proses sterilisasi menggunakan autoclave. Hasil:
Tingkat proliferasi sel osteoblas dengan pemberian ekstrak magnesium ECAP lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Logam berat yang dihitung paparan akumulatifnya adalah aluminium, arsen, timbal, kadmium, dan merkuri. Paparan akumulatif logam berat 100% pada penggunaan magnesium ECAP 11,8297 g. Pada uji steriitas tidak ditemukan adanya pertumbuhan bakteri pada tiap tahapan pengujian. Kesimpulan: Magnesium ECAP bersifat tidak toksik, dan dapat merangsang pertumbuhan sel osteoblas dengan batas penggunaan maksimum
11,8297 g, serta steril.

Magnesium is the choice of material for bone implant with characteristic similiar to the bone, one of the normal elctrolytes in the body, have economical price, and degradable. However magnesium has limitation which is
high corosity rate. To improve corosion resistance and mechanical properties, many methods proposed, one of them is the Equal Channel Angular Pressing (ECAP). The important requirement for bone implant material is biocompatible. Purpose: To evaluate the biocompatibility of magnesium through Equal Channel Angular Pressing (ECAP) process in vitro. Method: Biocompatibility characteristics of magnesium ECAP was evaluated by toxicity test using MTT assay, analysis of heavy metals in magnesium ECAP by accumulative heavy metal exposure based on provisional tolerable daily intake (PTDI), also sterility test after sterilized using autoclave. Results: Cell proliferation rate in magnesium extract treatment group was higher than the control group. The heavy metals count for accumulative exposure were aluminium, arsenic, lead, cadmium, and mercury. Hundred percent of accumulative exposure was on the use of 11.8297 g magnesium ECAP. In sterility test there was no evidence of bacterial growth in every part of the test. Conclusion: Magnesium ECAP is not toxic and able to induce proliferation of osteoblast with maximum dose is 11.8297 g, and also proved sterile after sterilization using autoclave.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
T33058
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachmitha Anne
"ABSTRAK
Latar Belakang: Ameloblastoma merupakan tumor odontogenik yang paling sering ditemukan pada tulang rahang. Berdasarkan histopatologisnya, ameloblastoma dapat dikelompokkan menjadi 6 tipe, yaitu tipe folikular, pleksiformis, akantomatosa, desmoplastik, granular, dan basal. Ameloblastoma dapat terjadi pada usia berapa saja, tetapi paling sering pada dekade3-6. MMP-9 (92-kD gelatinase/type IV collagenase = gelatinase B) mempunyai peranan dalam resorpsi tulang melalui degradasi matriks organik tulang dan perekrutan osteoklas. Beberapa penelitian menyatakan bahwa MMP-9 diekspresikanoleh ameloblastoma dan mempunyai peranan dalam sifat invasi ameloblastoma. Tujuan: Untuk menganalisa ekspresi MMP-9 di antara berbagai tipe histopatologis ameloblastoma dan kelompok usia. Metode penelitian: 40 blok parafin ameloblastoma didapatkan secara consecutive sampling. Seluruh sampel dipulas imunohistokimia menggunakan antibodi MMP-9. Hasil: Semua sampel mempunyai sel-sel yang imunopositif dengan intensitas yang beragam. 82,4% tipe pleksiformis dan 83,3% tipe campuran mempunyai ekpresi MMP-9 positif kuat, hal ini berbeda bermakna dengan tipe folikuler yang hanya 36,4% (p < 0,05). Pada usia 30 tahun ke bawah, 93,3% sampel mempunyai sel-sel imunopositif >50%, berbeda bermakna dengan usia di atas 30 tahun yang hanya 60% (p < 0,05). Kesimpulan: Ameloblastoma tipe pleksiformis dan campuran memiliki ekpresi MMP-9 yang lebih besar dibanding ameloblastoma tipe folikuler. Ameloblastoma pada usia 30 tahun ke bawah mempunyai ekspresi MMP-9 yang lebih besar dibanding ameloblastoma pada usia 30 tahun ke atas.

ABSTRACT
Background: Ameloblastoma is a common benign odontogenic tumor of the jaw. Ameloblastoma can be divided into six histopathological types, follicular, plexiform, acanthomatous, desmoplastic, granular, and basal cell. Ameloblastoma can develop in any age, with peak prevalence in 3rd - 6th decade. MMP-9 {92-kD gelatinase type IV collagenase = gelatinase B) involves in bone resorption by degradation of extracellular matrix and osteoclasts recruitment. Recent studies have found that MMP-9 is expressed by ameloblastoma and has a role in ameloblastoma local invasiveness. Objective: To analyze MMP-9 expression between different histopathological types of ameloblastoma and in different age groups. Material and method: 40 paraffin blocks were collected through consecutive sampling and the MMP-9 expression were detected using immunohistochemistry. Result: All samples showed immunopositive cells with vary intensity. 82,4% plexiform type and 83,3% mixed type have strong immunoexpression, significantly different with follicular type with only 36,4% (p < 0,05). 93,3% samples with age <30 years have >50% immunopositive cells, significantly different with those that age >30 years which only 60% (p < 0,05). Conclusion: Ameloblastoma plexiform and mixed type have higher MMP-9 expression than ameloblastoma follicular type. Ameloblastoma in age <30 years have higher MMP-9 expression than in age >30 years."
2012
T43919
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library