Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 38 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Eka Nurfitri
"Nutrisi merupakan salah satu faktor lingkungan hidup sebagai kebutuhan dasar yang sangat panting untuk anak. Nutrisi dibutuhkan setiap hari tanpa dapat ditangguhkan ke hari esok untuk kelangsungan hidup maupun tumbuh kembang anak.
Selama ini pengetahuan tentang nutrisi sebagian besar membicarakan komponen diet, penyakit yang berhubungan dengan kekurangan gizi dan jumlah yang diperlukan untuk mencegahnya. Pada dekade terakhir timbul pemikiran bahwa nutrisi dapat berlaku sebagai "pengobatan". Diet tertentu bukan hanya merupakan obat bagi beberapa kelainan inborn error of metabolism seperti fenilketonuria, homosistinuria, dan galaktosemia, tetapi juga sebagai terapi penyakit lain. Salah satunya adalah diet ketogenik sebagai terapi epilepsi intraktabel.
Angka kejadian epilepsi pada anak dan remaja berkisar antara 50 - 100 per 100.000 penduduk pertahun. Di Inggris, 20 - 70 kasus per 100.000 populasi pertahun dengan prevalensi 4 - 10 kasus per 1000 populasi. Di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI - RSCM. terjadi peningkatan cukup berarti, darn 65 kasus barn dan 343 kasus epilepsi lama pada tahun 2000 menjadi 116 kasus epilepsi baru dan 356 kasus epilepsi lama pada tahun 2001.
Obat anti epilepsi (OAF) merupakan pilihan terapi pertama dan berhasil bank pada sebagian besar penderita anak, tempi lebih darn 25% diantaranya menderita epilepsi intraktabel atau kejang tidak terkontrol. Di Indonesia angka kejadian epilepsi intraktabel belum tercatat, diperkirakan tidak berbeda jauh dengan penelitian di luar negeri. Diet ketogenik dapat menjadi alternatif terapi epilepsi intraktabel. Variabel lama diet ketogenik adalah rasio ketogen dan non ketogen, yaitu rasio lemak dengan protein ditambah karbohidrat."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Purnamawati
"Latar belakang: Prevalens obesitas terus meningkat dan telah menjadi masalah kesehatan global mengingat komplikasinya yang serius. Obesitas pada anak juga berpotensi menjadi obesitas pada dewasa, tetapi belum ada data mengenai prevalens obesitas pada anak TK di DKI Jakarta. Menurut berbagai literatur dikatakan melewatkan makan pagi berhubungan dengan kejadian obesitas. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalens obesitas pada anak Taman Kanak-kanak di Kelurahan Cikini, Kecamatan Menteng, DKI Jakarta dan hubungannya dengan melewatkan makan pagi.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi cross-sectional yang melibatkan semua siswa TK di Kelurahan Cikini, Kecamatan Menteng, DKI Jakarta. Pengukuran antropometri dilakukan di sekolah, kemudian dibagikan kuesioner untuk menilai faktor risiko melewatkan makan pagi.
Hasil: Dari 210 responden didapatkan 28,1% obes, dimana laki-laki (34,8%) lebih banyak daripada perempuan (20%). Dari 158 responden didapatkan 15,8% anak melewatkan makan pagi dan tidak ditemukan perbedaan bermakna antara anak obes yang melewatkan makan pagi (24%) dengan yang makan pagi (27,8%); p>0,05, odds ratio 0,819; 0,30-2,21.
Kesimpulan: Angka prevalens obesitas yang didapatkan cukup tinggi sehingga perlu dilakukan edukasi kepada orang tua dan sekolah mengenai bahaya obesitas dan bagaimana pencegahannya. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan hubungan antara anak obes dengan melewatkan makan pagi.

Background: Obesity prevalence is keep changing in an ascending rate and has become a global health burden for its serious complications. Despite children obesity tends to become adulthood obesity, there is no data for obesity prevalence among kindergarten children in DKI Jakarta. According to some literatures, skipping breakfast is associated with obesity. This research was conducted to discover the obesity prevalence among kindergarten children in Cikini, Menteng, DKI Jakarta and its relation with skipping breakfast.
Methods: This is a cross-sectional study which includes all kindergarten children in Cikini, Menteng, DKI Jakarta as sample. Anthropometric measurement was done at school. Questionnaires were given to evaluate skipping breakfast as risk factor of obesity afterwards.
Results: The obesity prevalence from 210 respondents is 28.1%, which male (34.8%) is greater than female respondents (20%). Among 158 respondents, there were 15.8% children who skipped breakfast and no significant difference is found in obese children who skipped breakfast (24%) and who were breakfast-eaters (27.8%); p>0.05, odds ratio 0.819; 0.30-2.21.
Conclusions: The obesity prevalence is quite high so parents` education about obesity complication and prevention is needed. A further study is required to ensure the relationship between obese children and skipping breakfast.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
hapus3
"Latar Belakang : Obesitas memiliki dampak terhadap tumbuh kembang anak, dan obesitas masa anak berisiko tinggi menjadi obesitas pada masa dewasa serta potensi komplikasi akibat obesitas. Hingga saat ini, belum terdapat data baik mengenai prevalens obesitas pada murid TK maupun faktor-faktor yang mempengaruhinya, antara lain tingkat pendidikan orangtua. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui prevalens obesitas pada anak taman kanak-kanak dan mengetahui hubungannya dengan tingkat pendidikan orangtua.
Metode: Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang. Sampel diambil secara all sampling. Pada subyek dilakukan pengukuran tinggi dan berat badan, dan diberikan kuesioner untuk menilai faktor risiko.
Hasil : Prevalens obesitas pada murid taman kanak-kanak didapatkan sebesar 28,1%, dan terdapat hubungan yang bermakna secara statistik (p=0,01; RO: 9,435 (1,198-74,290)) antara obesitas anak dengan tingkat pendidikan ibu.
Kesimpulan: Prevalens obesitas pada penelitian ini meningkat bila dibandingkan dengan angka pada SUSENAS 1995. Terdapat hubungan antara tingkat pendidikan ibu dengan prevalens obesitas.

Backgrounds: Obesity has an impact on children?s growth and development and childhood obesity has a high risk of becoming adulthood obesity and its complications. There hasn?t been any data published that reported either on the prevalence of obesity among kindergarten students nor factors contributing to it (e.g. parental education). This research was conducted to figure out the prevalence of obesity among kindergarten students and its relation to parental education.
Methods: This research is a cross-sectional study. Height and weight measurements were performed to subjects, and then questionnaires were given to asses the risk factors.
Results: Prevalence of obesity among kindergarten students is 28,1% and there is statistically significant relation (p=0,01; RO: 9,435 (1,198-74,290)) between childhood obesity and maternal education.
Conclusions: In this study, prevalence of obesity is greater than that of 1995 SUSENAS. There is a relation between obesity and maternal education.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S09052fk
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Bobby Pambudi
"Latar Belakang : Neuronal ceroid lipofuscinoses (NCL) tipe 2 adalah kelompok penyakit langka yang diturunkan, bersifat autosomal resesif, dan progresif neurodegeneratif. Penyakit NCL tipe 2 disebabkan oleh mutasi pada gen TPP1 dengan prognosis buruk. Penyakit ini dapat diterapi dengan terapi sulih enzim yang mahal. Dengan melakukan carrier testing kita dapat melihat pembawa sifat dalam keluarga. Informasi tersebut berguna dalam mencegah keturunan berikut menjadi sakit dengan preimplantation genetic diagnosis (PGD). Salah satu teknik PGD adalah preimplantation genetic testing for monogenic disorder (PGT-M) dengan validasi analisis linkage dari short tandem repeat (STR). Tujuan penelitian ini untuk mendapatkan profil STR pada keluarga pasien NCL tipe 2 di Indonesia untuk persiapan PGD.
Metode : Penelitian ini merupakan suatu studi observasional analitik pada keluarga pasien dengan NCL tipe 2 yang sudah terkonfirmasi secara enzimatik dan genetik. Carrier testing dilakukan pada kedua orang tua dan saudara kandung subjek, dilanjutkan pencarian STR pada area  ± 1 Mb dari gen TPP1. Pada setiap kandidat STR dilakukan fragment analysis pada subjek, kedua orang tua dan saudara kandung, serta dilakukan linkage analysis untuk menilai penanda STR bersegregasi dalam keluarga dan dapat digunakan sebagai kandidat dalam PGT.
Hasil Penelitian : Terdapat 4 pasien dari 4 kota di Indonesia. Terdiri dari satu lelaki dan tiga perempuan. Keempat subjek menunjukkan gejala NCL tipe 2 klasik dengan awitan gejala usia 31-42 bulan. Ditemukan 3 varian patologis yaitu 1 varian frame-shift (c.583_584insTACA), 1 varian in-frame (c.1222_1224delAGT), dan 1 varian missense (c.679T>C). Hasil carrier testing menunjukkan semua orang tua sebagai carrier varian patogenik. Hasil fragment analysis dari dua buah STR D11S1996 dan D11S1338 menunjukkan segregasi dalam linkage analysis dalam keluarga subjek.
Kesimpulan : Pada keempat pasien NCL tipe 2 di Indonesia ditemukan 3 varian patogenik. Carrier testing menunjukkan semua orang tua adalah pembawa sifat. Kedua STR D11S1996 dan D11S1338 dapat dipakai dalam program PGD pada pasien NCL tipe 2 di Indonesia.

Background : Type 2 Neuronal Ceroid Lipofuscinoses (NCL) is a type of autosomal recessively inherited and progressive neurogenerative rare disease. This disease is due to TPP1 gene mutation, which have poor prognosis. Enzyme replacement therapy is available but with high cost. Carrier trait individual can be detected by carrier testing procedure, such as pre-implantation genetic diagnosis (PGD). These information can be useful to prevent disease occurence on subsequent generation. One PGD technique currently used is pre-implantation genetic testing for monogenic disorder (PGT-M) with linkage validation analysis of short tandem repeat (STR). The aim of this study was to search for STR marker in the type 2 NCL family in Indonesia for the preparation of PGD.
Methods : This is an analytical observational study on patient's family with enzymatic and genetically confirmed case of type 2 NCL. Carrier testing were done on both parents and sibling of case patients. STR sequence testing were done on ± 1 Mb area of TPP1 gene, with fragment analysis on each STR candidate. Linkage analysis were also performed to look for segregated STR pattern on the family, which can be used as a candidate in PGD.
Result : There were four case patients from 4 cities in Indonesia, 1 male and 3 female cases. These four cases manifested classic symptoms of type 2 NCL with onset age ranging from 31-42 months. Three pathological variants were found: 1 frame-shift variant (c.583_584insTACA), 1 in-frame variant (c.1222_1224delAGT), and 1 missense variant (c.679T>C). Carrier testing results showed all parents as pathogenic variant carrier. Fragment analysis from 2 STR (D11S1996 and D11S1338) showed segregation in linkage analysis on subject's family.
Conclusion : From 4 type 2 NCL cases in Indonesia, 3 pathogenic variants were found, with carrier testing showed both of their parents as carriers. Both D11S1996 and D11S1338 STR can be utilized as PGD diagnostic of type 2 NCL patients in Indonesia.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Klara Yuliarti
"ABSTRAK
Latar belakang.Masa pemberian makanan pendamping air susu ibu (MPASI), yaitu usia 6 sampai 24 bulan, merupakan salah satu periode kritis untuk mencegah malnutrisi. Growth faltering banyak terjadi pada fase ini, disebabkan kandungan nutrisi MPASI yang tidak lengkap dan tidak seimbang serta tingginya angka infeksi.Prevalensi defisiensi seng pada usia 6-24 bulan tinggi, baik di negara berkembang maupun negara maju. Mayoritas MPASI pertama yang diberikan di Indonesia berupa produk nabati, yaitu beras, beras merah, kacang-kacangan, buah, dan sayur yang memiliki kandungan seng yang rendah dan fitat yang tinggi sehingga merupakan faktor risiko defisiensi seng. Hati ayam merupakan sumber seng, protein, dan zat besi yang baik. Perlu dilakukan evaluasi pemberian hati ayam sebagai MPASI pertamadalam hal akseptabilitas, toleransi, serta efektivitas terhadap status seng.
Tujuan. Mengevaluasi MPASI buatan rumah berbahan dasar hati ayam dalam hal akseptabilitas, toleransi, dan efektivitas terhadap status seng.
Metode. Uji klinis acak dengan pembanding MPASI tepung beras fortifikasi dilakukan di Puskesmas Kecamatan Jatinegara, Koja, dan Kramat selama Februari sampai Juni 2014. Terdapat tiga kelompok intervensi, yaitu kelompok MPASI hati ayam, MPASI bubur susu (tepung beras fortifikasi, mengandung susu), dan MPASI single grain (tepung beras fortifikasi tanpa susu). Intervensi dilakukan selama 30 hari. Sebelum dan sesudah intervensi dilakukan pengukuran antropometri dan pemeriksaan seng plasma. Setiap hari dilakukan pencatatan volume MPASI yang dihabiskan dan efek samping. Analisis Anova dan Bonferroni dilakukan untuk menilai perbedaan antar kelompok. Korelasi Pearson dan regresi linear digunakan untuk menilai faktor-faktor yang memengaruhi status seng plasma.
Hasil. Sebanyak 90 bayi diikutsertakan dalam penelitian, namun terdapat 7 subjek drop-out dan 17 sampel darah lisis sehingga data yang dapat dianalisis adalah 66 bayi. Akseptabilitas ketiga jenis MPASI setara. Tidak didapatkan efek simpang pada semua kelompok. Ketiga jenis MPASI dapat memenuhi kebutuhan harian seng sebesar 3 mg/hari. Efektivitas terhadap status seng ditunjukkan dari selisih seng plasma pra-intervensi dan pasca-intervensi. Perbedaan selisih sengplasma (μg/dL) hati ayam dan bubur susu adalah 12,0 (IK 95% 0,6;23,4), hati ayam dan single grain adalah 12,0 (-23,4;-0,6), serta bubur susu dan single grain 8,5 (-2,3;19,3). Pertambahan berat badan dan panjang badan berbeda bermakna antara ketiga kelompok.
Simpulan. Akseptabilitas MPASI hati ayam setara dengan tepung beras fortifikasi. Tidak didapatkan efek samping selama pemberian MPASI hati ayam dan tepung beras fortifikasi. Efektivitas MPASI hati ayam terhadap status seng plasma lebih baik dibandingkan tepung beras fortifikasi. Faktor yang memengaruhi efektivitas MPASI terhadap status seng plasma adalah jenis MPASI, yang mungkin berkaitan dengan rasio molar fitat/seng, dan asupan kalsium.

ABSTRACT
Background.High prevalence of zinc deficiency and growth faltering were observed during the complementary feeding perioddue to low quality complementary food and high prevalence of infection. Most of first complementary food given to Indonesian infants were plants sources which contain low zinc and high phytate, thus put Indonesian babies into high risk of zinc deficiency. Chicken liver is a good source of zinc, protein, and iron, making it a good option for complementary food.
Objective. To evaluate chicken liver based complementary food in terms of acceptability and effectivity on zinc status.
Method. Randomized clinical trial comparing three groups of complementary food:chicken liver, fortified rice cereal containing milk, and fortified rice cereal without milk given to predominantly breastfed infant aged around 6 month old. This study took place in primary health care of Jatinegara, Koja, and Kramat District during February to June 2014. Intervention was given for 30 days. Anthropometric measurement and plasma zinc investigation were performed before and after intervention. Amount of consumed complementary food was recorded daily. Anova and Bonferroni test were used to evaluate difference between groups. Factors influencing plasma zinc status were evaluated with Pearson correlation and linear regression.
Results. Ninety babies were enrolled, 7 subjects refused to continue study and 17 blood samples were hemolyzed thus only 66 subjects were analyzed. The three groups shown similar acceptability and were able to met daily requirement of zinc of 3 mg/day. No adverse effect was observed during study period. The increment of pra-intervention and pasca-intervention plasma zinc was used as an indicator of effectivity on zinc status. Mean difference of zinc increment (μg/dL) between two groups were 12,0 (95% CI 0,6;23,4) for chicken liver and rice cereal containing milk, 12,0 (-23,4;-0,6) for chicken liver and rice cereal without milk, and 8,5 (-2,3;19,3) for rice cereal containing milk and without milk. Weight and length increment showed significant difference between three groups.
Conclusions. The three groups showed no difference in acceptability and were able to met daily requirement of zinc of 3 mg/day. Chicken liver group demonstrated better effectivity on zinc status compared to fortified rice cereal groups. Dietary factors influencing plasma zinc status were type of complementary food, which probably correlated with molar ratio of phytate/zinc, and calcium intake."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Demy Faheem Dasril
"Konteks Penelitian : Trend obesitas mengalami peningkatan tiap tahunnya. Selama ini obesitas menjadi permasalahan global, baik di negara maju maupun negara berkembang. Di Indonesia sendiri, telah dilakukan berbagai penelitian untuk mengetahui angka prevalens obesitas dan faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya obesitas tersebut. Merujuk dari penelitian-penelitian sebelumnya, belum ada satupun data obesitas pada anak Taman Kanak-kanak (TK), padahal obesitas dapat berkembang mulai dari usia dini. Peneliti ingin mengetahui besar prevalens obesitas anak TK serta kaitannya dengan beberapa faktor risiko yang diteliti.
Tujuan Penelitian : Mengetahui prevalens obesitas pada anak TK di Jakarta Pusat dan hubungannya dengan faktor risiko sedentary life.
Desain Penelitian : Cross-sectional (deskriptif-analitik)
Lokasi Penelitian : Taman Kanak-kanak di Kecamatan Menteng, kelurahan Cikini, Jakarta Pusat. Masing-masing di TK Mini, TK Al-Ma'mur, TK Perguruan Cikini, dan TK As-Syukur.
Subyek Penelitian : Anak-anak TK yang bersekolah di keempat TK tersebut yang telah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Jumlah sampel ditentukan dengan cara all-sampling dan memenuhi syarat minimum jumlah sampel berdasarkan rumus penghitungan besar sampel.
Hasil Penelitian : Pada penelitian ini, secara proporsi, angka obesitas pada subyek yang menjalani sedentary life (30,0%) lebih besar daripada subyek yang non-sedentary life (22,7%). Obesitas ditemukan 1,462 kali lebih banyak pada subyek yang sedentary life dibandingkan dengan subyek yang non-sedentary life {IK95%; RO=1,462 (0,711-3,009)}. Namun, secara statistik hal ini tidak bermakna (p=0,301). Penyebab dari hasil penelitian ini mungkin disebabkan oleh tidak detailnya pertanyaan dalam kuesioner, serta desain penelitian yang potong lintang sehingga tidak dilakukan pengukuran keluaran energi dalam METS. Selain itu, masih ada anggapan orang tua bahwa anak yang kurus jika berolah raga akan bertambah kurus dan ketidaktahuan orang tua mengenai makanan apa yang sebaiknya boleh dikonsumsi oleh anak.

Context : The trend of obesity is increasing annually. In the past decades, obesity has been a major global issue, especially in the United States and several other countries including Asia Pacific. In Indonesia, there was some study undergone to describe the prevalence of obesity and its risk factors. If we looked back into the past studies, there is no single study taken in the settings of Kindergarten children in spite that obesity is developing early in life. We wanted to know the prevalence of obesity in Kindergarten children and the determined risk factors in our research. Objective : Determine the prevalence of obesity in Kindergarten children at Jakarta Pusat and its correlation with sedentary life.
Research Design : Cross-sectional (descriptive-analytic)
Settings : Four Kindergarten at Kecamatan Menteng, kelurahan Cikini, Jakarta Pusat. The Kindergarten consists of TK Mini, TK Al-Ma'mur, TK Perguruan Cikini, and TK Assyukur.
Subject : The students at the abovementioned Kindergarten which fulfills the inclusion and exclusion criteria. Total sample for this research is carried out by all-sampling method to anticipate drop-outs. The total amount of sample taken in this study has been verified through the sample formulations.
Outcome : Proportionally, the number of obese child by sedentarian (30,0%) is bigger than the non-sedentarian child (22,7%). Obesity was found to be 1,462 higher for sedentarian subject compared to the non-sedentarian {CI95%; OR=1,462 (0,711-3,009)}. But statistically, this founding is not valid (p=0,301). In other words, this study alone can't. The possible cause for this result is the lack of detail in the quessionaire, and also the design of study only serves descriptive data and little correlation meaning. Likewise, there are still urban myth that skinny child will get skinnier if they do sports and parents ignorancy of their childs adequate food intake, by which the composition and frequency of eating.
Conclusion : The prevalence of obesity in Kindergarten children at Cikini, Menteng, DKI Jakarta is 28,1%, which has a correlation with sedentarian.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Anita Suryani
"Latar belakang: Obesitas telah menjadi masalah kesehatan global yang mempunyai korelasi yang kuat dengan morbiditas dan mortalitas. Hingga saat ini, belum terdapat data mengenai prevalens obesitas pada anak Taman Kanak-kanak di Jakarta. Obesitas pada anak dipengaruhi oleh berbagai faktor, salah satunya konsumsi ASI. Tujuan penelitian ini adalah diketahuinya prevalens obesitas pada anak Taman Kanak-kanak di Kelurahan Cikini, Kecamatan Menteng, DKI Jakarta dan hubungannya dengan konsumsi ASI.
Metode: Penelitian ini menggunakan desain potong-lintang yang melibatkan semua anak empat TK, di Kelurahan Cikini, Kecamatan Menteng, DKI Jakarta. Pengukuran antropometri dilakukan di sekolah lalu dibagikan kuesioner untuk mengetahui konsumsi ASI.
Hasil: Prevalens obesitas dari 210 responden adalah 28,1%. Dari 157 responden yang datanya lengkap, didapatkan persentase obesitas pada anak dengan konsumsi ASI eksklusif sebesar 19,1%, meningkat menjadi 29,1% (p=0,196, OR 1,735; 0,748-4,026) pada anak dengan konsumsi ASI tidak eksklusif, dan menjadi 42,9% (p=0,159, OR 3,167; 0,600-16,721) pada anak yang tidak mengonsumsi ASI. Terdapat hubungan yang tidak bermakna antara obesitas dengan konsumsi ASI.
Kesimpulan: Angka prevalens obesitas yang didapatkan cukup tinggi sehingga perlu dilakukan edukasi kepada orang tua dan sekolah mengenai penyebab, bahaya, dan pencegahan obesitas. Perlu dilakukan juga penelitian lebih lanjut untuk memastikan hubungan antara obesitas anak dengan konsumsi ASI.

Background: Obesity has become a global health burden which has strong correlation with morbidity and mortality. There is no data of prevalence of obesity among kindergarten students in Jakarta published. Childhood obesity is influenced by various risk factors, one of which is breastmilk consumption.
Objectives: To discover the prevalence of obesity among kindergarten students in Cikini, Menteng, DKI Jakarta, and its relation to breastmilk consumption.
Methods: This is a cross-sectional study which includes all kindergarten children in Cikini, Menteng, DKI Jakarta. Anthropometric measurement was done at school. Questionnaires were given to evaluate breastmilk consumption.
Results: The prevalence of obesity from 210 respondents is 28.1%. Among 157 respondents who completely answered the questionnare, prevalence of obesity in children with exclusive breastfeeding is 19,1 %, increases to 29,1% (p=0,196, OR 1,735; 0,748-4,026)) in children with non-exclusive breastfeeding and 42,9% (p=0,159; OR 3,167; 0,600-16,721)) in children without breastfeeding. There is no statistically significant relation between obesity and breastmilk consumption.
Conclusions: The prevalens of obesity is high so that education to parents and school about obesity causes, complications and preventions is needed. A further study is also needed to ensure the relationship between obese children and breastmilk consumption.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
S-pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Nitish Basant Adnani
"Latar belakang: Sekitar 10,6% persalinan di seluruh dunia adalah persalinan prematur. Pemantauan pertumbuhan yang adekuat dalam perawatan bayi prematur penting untuk mencegah kelebihan atau kekurangan asupan nutrisi, yang saat ini dapat dilakukan menggunakan kurva Fenton 2013 atau kurva INTERGROWTH-21st. Karena perbedaan metodologi dan populasi yang terlibat pada proses penyusunan kedua kurva, hasil yang didapatkan dapat berbeda. Oleh karena itu, dibutuhkan penelitian untuk membandingkan penggunaan kedua kurva tersebut pada populasi bayi prematur di Indonesia.
Metode: Penelitian kohort prospektif ini melibatkan subjek bayi prematur dengan usia gestasi lahir 28–36 minggu di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo selama Juni–September 2022. Seluruh subjek dipantau dengan kurva Fenton dan kurva INTERGROWTH-21st selama 2 minggu, dan dievaluasi perbedaan persentil berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala, proporsi SGA, AGA, dan LGA, dan perbandingan proporsi subjek dengan EUGR pada usia 2 minggu.
Hasil: Dari 131 subjek yang memenuhi kriteria inklusi, didapatkan persentil berat badan, panjang badan, dan lingkar kepala lebih tinggi secara bermakna pada kurva INTERGROWTH-21st dibandingkan kurva Fenton. Sebanyak 17 dari 36 (47,2%) subjek yang tergolong SGA berdasarkan kurva Fenton pada saat lahir didapatkan lebih sesuai dengan AGA berdasarkan kurva INTERGROWTH-21st, dan 30 dari 89 (33,7%) subjek yang tergolong AGA berdasarkan kurva Fenton saat lahir didapatkan lebih sesuai dengan LGA berdasarkan kurva INTERGROWTH-21st. Subjek yang lahir sesuai AGA tetapi mengalami EUGR pada usia 2 minggu didapatkan lebih tinggi secara bermakna pada kurva Fenton (14,7%) dibandingkan kurva INTERGROWTH-21st (8,9%, p <0,001).
Kesimpulan: Insidens SGA didapatkan lebih tinggi pada kurva Fenton dibandingkan INTERGROWTH-21st, sedangkan LGA lebih tinggi pada kurva INTERGROWTH-21st dibandingkan kurva Fenton. Pada usia kronologis 2 minggu, insidens subjek dengan EUGR lebih tinggi secara bermakna dengan kurva Fenton dibandingkan kurva INTERGROWTH-21st.

Background: Approximately 10.6% of all deliveries worldwide are premature. Adequate growth monitoring is essential in the care of preterm infants to prevent excessive or undernutrition, which can currently be performed using the Fenton 2013 curve or the INTERGROWTH-21st curve. Due to differences in the methods and study population involved in the development of these two curves, there is a high possibility of obtaining different results. Therefore, a study is warranted to compare the two curves in the Indonesian premature infant population.
Methods: This prospective cohort study involves premature neonates with gestational age of 28–36 weeks born in Cipto Mangunkusumo Hospital during June–September 2022. The growth of all subjects were plotted on the Fenton and INTERGROWTH-21st curves for 2 weeks, and differences in weight, height, and head circumference percentiles, proportion of SGA, AGA, and LGA, and proportion of infants with weight below the 10th percentile between the two curves at 2 weeks were also compared.
Results: Among 131 subjects meeting the inclusion criteria, the weight, height, and head circumference percentiles were significantly higher on the INTERGROWTH-21st curve compared to the Fenton curve. As many as 17 of 36 (47.2%) subjects classified as SGA on the Fenton curve were AGA on the INTERGROWTH-21st curve, and 30 of 89 (33.7%) subjects classified as AGA on the Fenton curve were LGA on the INTERGROWTH-21st curve. The prevalence of infants without SGA at birth but classified as EUGR at 2 weeks was significantly higher on the Fenton curve (14.7%) than the INTERGROWTH-21st curve (8.9%, p <0.001).
Conclusion: The incidence of SGA was significantly higher with the Fenton curve, whereas LGA was significantly higher with the INTERGROWTH-21st curve. At 2 weeks, the proportion of subjects with EUGR was significantly higher with the Fenton curve compared to the INTERGROWTH-21st curve.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rivaldi Ardiansyah
"Latar belakang. Profil hormon tiroid belum banyak dipelajari pada anak dengan sindrom nefrotik idiopatik (SNI). Prevalens disfungsi tiroid pada anak dengan SNI di Indonesia belum jelas. Beberapa studi mempunyai hipotesis bahwa hipotiroidisme pada SNI dapat terjadi akibat peningkatan ekskresi protein pengikat hormon tiroid dan hormon tiroid. Terapi steroid merupakan salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya hipotiroidisme.
Tujuan. Mengetahui angka kejadian hipotiroidisme pada anak dengan SNI aktif dan remisi.
Metode. Penelitian potong lintang yang dilakukan pada 103 pasien sindrom nefrotik idiopatik berusia 1-18 tahun di RSCM. Prevalens abnormalitas hormon tiroid adalah sebanyak 15,5% mengalami hipotiroidisme overt, 1,9% mengalami hipotiroidisme sekunder, 1,9% mengalami hipotiroidisme subklinis, 47,6% mengalami low-T3 syndrome, 10,7% mengalami low-T3 dan low-T4 syndrome dan sebanyak 22,3% subjek dengan status eutiroid. Sebanyak 16/103 subjek pada penelitian ini mengalami hipotiroidisme overt. Pada penelitian ini, seluruh subjek yang mengalami hipotiroidisme overt tersebut berasal dari kelompok SNI aktif. Secara statistik terdapat hubungan bermakna antara status SNI aktif dengan kejadian hipotiroidisme overt dengan nilai p <0,001. Pada penelitian ini, 13/16 subjek yang mengalami hipotiroidisme overt tersebut mengalami hipoalbuminemia Secara statistik terdapat hubungan bermakna antara hipoalbuminemia pada SNI dengan kejadian hipotiroidisme overt dengan nilai p <0,001. Rasio protein/kreatinin urin sewaktu berkorelasi negatif dengan kadar T3, T4, dan T4 bebas serum (r=-0,563, p=<0,001; r=-0,586, p=<0,001; r=-0,405, p=<0,001), secara berturut-turut. Rasio protein/kreatinin urin sewaktu berkorelasi positif dengan kadar TSH serum (r=0,618, p=<0,001).
Kesimpulan. Prevalens abnormalitas hormon tiroid pada anak dengan SNI adalah sebanyak 15,5% mengalami hipotiroidisme overt. Proteinuria masif dan hipoalbuminemia merupakan salah satu faktor risiko terjadinya hipotiroidisme pada pasien anak dengan SNI. Pemeriksaan penapisan hipotiroidisme overt (TSH dan T4 bebas) dapat dilakukan pada kelompok SNI fase aktif dan/atau kelompok SNI yang mengalami hipoalbuminemia.

Background. Thyroid hormone profiles in Indonesian pediatric idiopathic nephrotic syndrome (INS) patient has not been fully studied. The prevalence of hypothyroidism in INS has not been established. Nephrotic syndrome is a common kidney disease among children which is characterized by proteinuria, hypercholesterolemia, hypoproteinemia, and edema. The urinary losses of proteins including albumin, thyroid hormone and thyroid-binding globulin might affect the thyroid hormone levels in those children. Glucocorticoid might also affect the occurrence of hypothyroidism in INS patients.
Objectives. To evaluate the prevalence of hypothyroidism in active and remission pediatric INS patients.
Methods. In this cross-sectional study included 103 pediatric INS patients. The thyroid hormone profiles included serum levels of triiodothyronine (T3), thyroxine (T4), thyroid-stimulating hormone (TSH), and free T4.
Results. In this study we recruited 103 children aged 1-18 years with active and remission phase INS. Of the 103 patients, 15.5% had overt hypothyroidism, 1.9% had subclinical hypothyroidism, and had 47.6% low-T3 syndrome and 10.7% had low-T3 and low-T4 syndrome. Of the 16/103 patients, 16 had overt hypothyroidism. All subjects with overt hypothyroidism are active INS patients. There was significant relationship between active INS and overt hypothyroidism. There was also significant relationship between hypoalbuminemia and overt hypothyroidism. The urinary protein/ creatinine ratio was significantly negatively correlated with serum T3, T4, and free T4 levels (r=-0.563, P=<0.001; r=-0.586, P=<0.001; r=-0.405, P=<0.001, respectively) as well as it positively correlated with TSH levels (r=0.618, P=<0.001).
Conclusion. Overt hypothyroidisms was observed in 15.5% pediatric patients with active INS. Massive proteinuria and hypoalbuminemia are risk factors of overt hypothyroidism in INS patients. Thyroid profile should be evaluated routinely in active and/or hypoalbuminemia subset of patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Yuniar
"Defisiensi enzim glukosa-6-fosfat dehidrogenase (G-6-PD) adalah kelainan metabolisme bawaan pada sel darah merah akibat defisiensi enzim yang paling sering ditemui. Defisiensi enzim ini diperkirakan mengenai kurang Iebih 400 juta orang di dunia dengan prevalensi tertinggi terdapat di daerah tropis Afrika, Timur Tengah, daerah tropis dan subtropis Asia, beberapa daerah di Mediteranea dan Papua Nugini. Insiden defisiensi G-6-PD berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tertinggi pada bangsa Yahudi yaitu 70%, diikuti daerah Afrika 26%, China 1,9-16% dan Italia 0-7%.2.
Manifestasi klinis yang sering dijumpai pada defisiensi enzim G-6-PD berupa anemia hemolitik akut dan ikterus yang menetap pada neonatus. Terdapatnya anemia ringan, morfologi sel darah merah yang abnormal dan peningkatan kadar retikulosit sangat mungkin disebabkan oleh proses hemolitik yang dapat terjadi balk pada bayi prematur atau cukup bulan dengan defisiensi enzim G-6-PD. Antara bulan September 1975 sampai dengan bulan Oktober 1976, Suradi telah memeriksa adanya defisiensi enzim G-6-PD, menggunakan uji tapis dengan metode Bernstein pada 3200 neonatus yang lahir di RSCM. Pada penelitian ini didapatkan 85 neonatus (2,66%) menderita defisiensi enzim tersebut dan 35 neonatus diantaranya menjadi ikterus. Pada beberapa kasus, ikterus neonatorum dapat sangat berat sehingga menyebabkan kerusakan otak permanent bahkan sampai meninggal. Munculnya manifestasi klinik pada anemia hemolitik dapat dicetuskan oleh obat-obatan, infeksi atau favism.
Ikterus neonatorum yang disebabkan oleh defisiensi G-6-PD mempunyai banyak variasi pada berbagai populasi baik mengenai frekuensi maupun beratnya penyakit. Secara biokimia ditemukan kurang lebih 400 varian yang berbeda. Pada daerah Afrika Banat dan Asia Tenggara, defisiensi enzim G-6-PD ditemukan pada 30% ikterus neonatorum. Penyebab variasi ini tidak sepenuhnya diketahui, yang jelas berperan adalah faktor genetik dan lingkungan.
Faktor genetik yang mendasari variasi ini diduga karena terdapat mutasi pada gen G-6-PD. Analisis molekular untuk melihat adanya mutasi ini telah dilakukan dan didapatkan kurang lebih 122 varian. WHO membagi varian-varian ini menjadi 5 kelas dengan manifestasi klinis yang berbeda-beda.
Di Indonesia defisiensi enzim G-6-PD secara biokimia pertama kali diteliti oleh Kirkman dan Lie Injo pada tahun 1969, kemudian diikuti oleh beberapa penelitian lain. Secara analisis molekuler juga telah dilakukan penelitian pada orang dewasa normal dengan hasil mutasi terbanyak terdapat pada ekson 5,6,11 dan 12. Sumantri dkk pada tahun 1995 melakukan penelitian defisiensi enzim G-6-PD dengan subyek orang dewasa normal dan melaporkan bahwa varian G-6-PD Mahidol (ekson 5), Taipe Hakka (ekson 5), Mediteranean (ekson 6), dan Kaiping (ekson 12) terdapat pada suku Jawa. Iwai dkk pada tahun 2001 melakukan skrining pemeriksaan enzim G-6-PD pada berbagai negara di Asia Tenggara termasuk Indonesia dengan subyek laki-laki dewasa yang dirawat di rumah sakit dengan diagnosis anemia hemolitik akut. Pada penelitian ini ditemukan varian Vanua Lava (ekson 5) terdapat pada suku Ambon, dan varian Coimbran (ekson 6) pada suku Jawa."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18026
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>