Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Shiely Tilie Hartadi
Abstrak :
Latar Belakang: Masalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) dan Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS),merupakan masalah yang memengaruhi semua kelompok usia, termasuk anak dan remaja. Pada tahun 2012, United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) melaporkan 330.000 kasus HIV baru pada kelompok usia ini. Adanya HIV menimbulkan berbagai masalah fisik maupun masalah mental. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan besaran gangguan mental pada anak dan remaja dengan HIV, dan berbagai faktor yang berhubungan. Metode: Penelitian ini menggunakan metode potong lintang dengan jumlah sampel sebanyak 92 anak dan remaja yang berobat ke Poliklinik Divisi Alergi Imunologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara, menggunakan kuesioner SDQ(Strength and Difficulties Questionnaire) dan instrumen MINI KID (Mini-Internatitonal Neuropsychiatric Interview Kid). Hasil: Presentase jumlah subyek berusia 4-9 tahun sebesar 66,3%, sebesar 67,4% subyek saat ini bersekolah. Terdapat 77,2% subyek yang kedua orang tuanya positif HIV dan 72,8% subyek memiliki anggota keluarga yang meninggal karena HIV. Terdapat 18,5% subyek yang memiliki masalah emosi dan 25% memiliki masalah perilaku. Terdapat 23,9% subyek yang memiliki gangguan mental, dengan jenis gangguan berupa gangguan cemas perpisahan (7,6%),gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas/ GPPH (7,6%), gangguan penyesuaian (1,1%), gangguan depresi mayor (4,3%) dan gangguan menentang oposisional (3,3%). Analisis mendapatkan bahwa subyek yang saat ini bersekolah dan yang tidak mengetahui status HIV-nya lebih terlindungi dari terjadinya gangguan mental, walaupun tidak bermakna secara statistik. Simpulan: Prevalensi gangguan mental pada anak dan remaja dengan HIV secara umum lebih besar dibandingkan populasi umum, yaitu sebesar 23,9%. Adanya masalah hiperaktivitas, emosi, perilaku berhubungan dengan gangguan mental. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan alat ukur lain untuk mendapatkan gambaran menyeluruh masalah kesehatan jiwa.
Background: Human Immunodeficiency Virus (HIV) and Acquired Immunodeficiency Syndrome (AIDS) may affect all ages, including children and adolescent. In 2012, United Nations Programme on HIV/AIDS (UNAIDS) reported 330,000 children and adolescent were newly affected by HIV/AIDS. HIV may lead to various physical and mental problems. This study aims to measure the prevalence of mental disorder in children and adolescent infected with HIV and various other factors related. Methods: This cross sectional study included 92 children and adolescent patients in Allergic-Immunology outpatient clinic in Pediatric Department of Cipto Mangunkusumo Hospital. Samples were interviewed to collect personal data, using SDQ (Strength and Difficulties Questionnaire) and MINI KID questionnaires. (Mini-Internatitonal Neuropsychiatric Interview Kid. Results: 66.3% of the samples were children aged 4-9, 67.4% are currently attending school. 77.2% have both parents with HIV, 72.8% of the samples have one or more family member that died as a result of HIV. 18.5% and 25% of the samples have emotional and behavioral problem. 23.9% have mental disorders, with separation anxiety (7.6%), ADHD/ attention deficit and hyperactive disorder (7.6%), adjustment disorder (1.1%), major depression (4.3%), and oppositional defiant disorder (3.3%). Analysis suggest that samples who are currently attending school, and samples that have not disclosed their condition as being HIV+, are more protected from mental problems, though not statistically significant. Conclusion: The prevalence of mental disorders in children and adolescent with HIV are higher than the general population. Emotional, hyperactivity and behavioral problems are related to mental disorder. Further study with psychiatric assessment techniques and other instruments is essential in gaining a more comprehensive mental health profile.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58741
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ketut Tirka Nandaka
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan mengetahui secara deskriptif prevalensi psikopatologi dan secara khusus mengetahui prevalensi psikopatologi terhadap anggota prajurit marinir TNI-AL saat menjelang purna tugas. Penelitian ini merupakan studi cross sectional terhadap 96 sampel anggota marinir TNI-AL saat menjelang purna tugas di wilayah DKI Jakarta periode Agustus 2003 sampai Oktober 2003, dengan menggunakan instrumen SCL-90. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi psikopatologi anggota marinir TNI-AL menjelang pensiun 1 - 3 tahun ke depan sebesar 42.7%. Proporsi kejadian psikopatologi saat 1 tahun menjelang pensiun sebesar 91,3%, 2 tahun menjelang pensiun sebesar 61,3% dan 3 tahun menjelang pensiun sebesar 2,4%. Secara umum dimensi psikopatologi yang timbul pada penelitian ini adalah somatisasi 51,0%, psikotikisme 38,%, fobia 38,5%, ide paranoid 37,5%, ansietas 37,5%, depresi 33,3%, item tambahan 33,3%, obsesi kompulsif 32,3%, hostile 27,1% dan sensitivitas interpersonal 25,0%. Analisis statistik dengan uji Chi square antara lama masa (1 tahun, 2 tahun, 3 tahun) menjelang puma tugas dengan kejadian psikopatologi menunjukkan hasil yang bermakna dengan p = 0,00000. Begitu pula terdapat hubungan yang bermakna antara lama masa (1 tahun, 2 tahun, 3 tahun) menjelang puma tugas dengan kejadian tiap-tiap skala psikopatologi di mana seiuruh skala menunjukkan p <0,05. Lebih dari 60% anggota marinir TNI-AL terdapat psikopatologi secara bermakna yang telah timbui mulai 2 tahun menjelang pensiun.
Objective: In general this study is to know the description of psychopathology and particularly to know the prevalence of psychopathology of TNI-AL marine's corps before entering the retirement. Method: This is a cross sectional study using 96 samples which taken from DKI Jakarta area in the period August 2003 - October 2003. This study uses SCL-90, for establishing the psychopathology. Results: The results of this study show that the psychopathology prevalence in TN!-AL marine's corps I - 3 years before entering the retirement is 42.7%. Even the proportion of psychopathology 1 year before the retirement is 91.3%. Psychopathology dimension in general are somatisation 51.0%, psychotism 38.5%, phobia 38.5%, paranoid idea 37.5%, anxiety 37.5%, depression 33.3%, additional item 33.3%, obsessive compulsive 32.3%, hostile 27.1% and interpersonal sensitivity 25.0%. There is a significant relationship in Chi square between 1 year, 2 years and 3 years with the frequency of psychopathology (p = 0.00000). There is a significant relationship in Chi square too between 7 year, 2 years and 3 years with the frequency of each psychopathology dimension (p <0.05 for each dimension). Remarks: More than 60% TN/ AL marine's corps has the significant psychopathology which develops within two years before entering the retirement. Therefore it is important to anticipate with the concrete steps before entering the retirement to prevent the psychopathology become worse.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2004
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahusilawane, Elvina Katerin
Abstrak :
Latar Belakang. Penyalahgunaan zat merupakan masalah global yang berkembang dengan angka kekambuhan yang cukup tinggi. Undang undang no 35 tahun 2009 mewajibkan semua penyalahguna zat untuk mengikuti rehabilitasi, namun terdapat perbedaan pendapat terkait efektifitas terapi berdasarkan keinginan untuk mengikuti rehabilitasi. Faktor yang turut berperan dalam keberhasilan rehabilitasi adalah tingkat kesiapan untuk berubah yang terlihat dari motivasinya. Implikasi UU no 35 dapat dilihat melalui perbedaan tingkat motivasi dan hubungannya dengan karakteristik serta mekanisme koping dari individu yang telah menjalani rehabilitasi berdasarkan keinginannya. Metode. Potong lintang melibatkan 100 orang penyalahguna zat yang telah mengikuti rehabilitasi selama periode bulan Juli-September 2014 di Balai Besar Rehabilitasi BNN. Pengukuran tingkat motivasi dengan instrumen University of Rhode Island Change Assessment Scale (URICA) dan mekanisme koping diukur dengan instrumen Brief-Coping Orientation to Problem Experienced (Brief-COPE). Hasil. Tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada tingkat motivasi antara penyalahguna zat yang mengikuti rehabilitasi secara sukarela dengan yang tidak sukarela setelah mengikuti proses terapi rehabilitasi. Terdapat hubungan antara tingkat motivasi dengan mekanisme koping (nilai p 0.001). Mekanisme koping yang digunakan pada subyek dalam penelitian berupa emotion-focus koping dan skor mekanisme koping yang terbanyak pada tingkat sedang. Simpulan. Tidak terdapat perbedaan tingkat motivasi pada penyalahguna zat yang telah menjalani rehabilitasi berdasarkan keinginan. ......Background. Substance abuse is a growing global problem at a fairly high recurrence rate. Indonesia narcotics law no 35 in 2009 requires compulsory treatment for people with drug dependence, nevertheless there are many differences in opinions regarding the effectiveness of therapy based on the willingness to participate. Factors that contribute to the outcomes of rehabilitation s the readiness to change seen by motivation. The implications of the Law No. 35 can be seen through motivational level differences and its relationship with the characteristics and coping mechanisms of substance abusers who have undergone a rehabilitation based on the willingness to be rehabilitated. Method. A crosssectional involving 100 substance abusers who have undergone a rehabilitation program during the period July-September 2014 at BNN rehabilitation center. Motivation level measurement by University of Rhode Island Change Assessment Scale (URICA) instrument and coping mechanism by Brief-Coping Orientation to Problems Experienced (Brief-COPE) instrument. Result. There is no significant differences of motivational level between voluntary and compulsary substance abuser. There is a relationship between the level of motivation with coping mechanisms (p-value 0.001). Coping mechanisms used by the subject is emotionfocused coping with the highest score is at moderate level. Conclusion.There is no difference of motivational level among substance abusers who have undergone a rehabilitation program based on the willingness.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Leonardi Armando Goenawan
Abstrak :
Kemajuan di bidang kesehatan memberikan dampak yang besar dalam status kesehatan manusia, Hal ini dapat terlihat dengan semakin rnenurunnya angka morbiditas dan rendahnya angka mortalitas, serta usia harapan hidup yang semakin meningkat. Indonesia sebagai negara berpenduduk terbesar ke empat di dunia memiliki jumlah penduduk 207,5 juta jiwa pada tahun 2000. Dengan tingkat pertumbuhan 1,35% per tahun, jumlah penduduk akan menjadi 400 juta jiwa di tahun 2050. Untuk itu, usaha menekan laju pertumbuhan harus terus dilakukan dan memberikan prioritas pada pembinaan potensi dan kualitas penduduk. Di tahun 1991, usia harapan hidup penduduk Indonesia adalah 64,4 tahun. Pada tahun 2000 diproyeksikan umur harapan hidup telah mencapai 67 tahun. Diperkirakan, pada tahun 2020 usia harapan hidup Iansia Indonesia mencapai 71.7 tahun. Dari segi jumlah, lansia Indonesia juga menempati urutan ke empat terbesar di dunia setelah RRC, India dan Amerika Serikat, yaitu 15.4 juta jiwa, atau sekitar 7,4% dari jumlah penduduk Indonesia, menurut data terakhir yang dikemukakan Kepala Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). Terjadi peningkatan yang cukup dramatis bila dibandingkan dengan tahun 1970-an yang hanya 4,5% dari jumlah penduduk, atau 6.6% di tahun 1990. Karenanya diperkirakan, pada tahun 2020 jumlah lansia di Indonesia akan mencapai 11% dari jumlah penduduk. Kenyataan ini membawa Indonesia pada era penduduk berstruktur tua (aging society) dengan potensi dan permasalahannya. Pembinaan potensi dan kualitas penduduk menjadi prioritas pada saat ini agar aging society tersebut tidak menjadi beban masyarakat dan negara. Kebijakan kesehatan masyarakat sudah perlu mengarah kepada memperpanjang "usia kehidupan yang aktif dan produktif ? Kondisi tetap aktif dan produktif ini, tentunya mustahil bila harus bergantung kepada orang lain. Dengan kata lain, lansia harus mampu berfungsi secara otonom dan tetap independen dalam menjalani kehidupannya. Dalam hal ini dikenal istilah kapasitas fungsional atau kompetensi sebagai determinan penting tingkat independensi seseorang. Berbagai usaha antisipatif terhadap kemungkinan-kemungkinan menurunnya kapasitas fungsional atau tingkat kompetensi akibat proses penuaan maupun penyakit degeneratif harus menjadi prioritas. Termasuk di sini adalah perlunya dikembangkan instrumen-instrumen yang dapat mendeteksi secara dini terjadinya penurunan tersebut. Seperti telah kita ketahui, terdapat banyak aspek yang perlu dinilai dalam menentukan kapasitas fungsional atau tingkat kompetensi seseorang. Sejauh ini, telah dikembangkan berbagai instrumen yang mampu menilai kapasitas fungsional berdasarkan aspek tertentu. Sebagai contoh instrumen Activities of Daily Living (ADL/Index Barthel) yang menilai aspek kemampuan pemeliharaan fisik diri sendiri dan Instrumental Activities of Daily Living (IADL) yang menilai aspek kemampuan pemeliharaan diri secara instrumental atau kemampuan pemeliharaan fisik diri sendiri dalam kaitan dengan aplikasinya di komunitas. Karena yang diukur adalah aspek yang relatif mendasar dalam kapasitas fungsional maka penggunaannya lebih tepat pada pengukuran yang berbasis rumah sakit atau pada lansia yang telah mengalami penurunan kapasitas fungsional yang jelas. Sedangkan untuk menilai kapasitas fungsional yang lebih tinggi, tidak akan terdeteksi oleh kedua instrumen tersebut. Untuk itu dibutuhkan instrwnen seperti Tokyo Metropolitan Institute of Gerontology Index of Competence (TMIG IoC) yang mampu mengukur tingkat kapasitas fungsional yang lebih tinggi di samping fungsi lainnya yang lebih mendasar yang terkait dengan kompetensi lansia. Tokyo Metropolitan Institute of Gerontology Index of Competence (TMIG IoC) adalah merupakan suatu instrumen yang sangat praktis dan sederhana sehingga dipertimbangkan agar dapat dipakai sebagai self-rating/self-administrative instrument untuk mengukur indeks kapasitas fungsi luhur dan fungsi-fungsi lainnya yang lebih mendasar. Dengan diketahuinya indeks kapasitas fungsional tersebut maka dapat dilakukan berbagai tindakan antisipatif untuk mencegah ataupun memperlambat kemungkinan terjadinya penurunan indeks tersebut di kemudian hari, yang berarti semakin berkurangnya tingkat independensi seseorang.
Jakarta: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Irene Hendrata
Abstrak :
Latar Belakang: Prevalensi Diabetes Melitus (DM) tipe 2 cenderung meningkat di seluruh dunia dan keteraturan pengobatan masih menjadi masalah hingga saat ini. Penelitian terdahulu menemukan bahwa terdapat hubungan antara temperamen dengan kontrol glukosa namun belum banyak penelitian yang membahas hal ini. Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan antara temperamen dengan terkontrol atau tidak terkontrolnya DM tipe 2. Metode: Penelitian ini adalah penelitian analitik potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan dengan consecutive sampling pada 110 penyandang DM tipe 2 di Poliklinik Metabolik Endokrin RSCM selama bulan Agustus-Desember 2015. Responden dikelompokkan menjadi penyandang DM terkontrol atau DM tidak terkontrol berdasarkan hasil laboratorium HbA1c terakhir. Responden mengisi kuesioner Modified-Temperament and Character Inventory versi bahasa Indonesia. Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa skor temperamen harm avoidance, novelty seeking, dan reward dependence tidak berhubungan bermakna dengan terkontrol atau tidak terkontrolnya DM tipe 2. Simpulan: Tidak ada hubungan bermakna antara temperamen dengan pengendalian kadar HbA1c pada penyandang DM tipe 2.
Background: Prevalence on type 2 Diabetes Mellitus (DM) tend to increase across the world and regulating treatment still being one of the matters to be discussed until recently. Previous research had found that there are correlations between temperament with glucose control but with limited study on that area. This research aim to qualify the relationship between temperament to controllable or uncontrollable type 2 DM. Method: This research is a cross sectional sampling method. Sampling conducted with consecutive sampling on 110 respondents with type 2 DM in RSCM Metabolism Endocrine Polyclinic, sampling was done between August to December 2015. Respondents are grouped to two different groups which is controllable DM and uncontrollable DM based on last HbA1c laboratory results. Respondents were requested to fill up Modified-Temperament and Character Inventory questionnaire in Bahasa Indonesia. Results: Result on this research indicates that temperament score in harm avoidance, novelty seeking, and reward dependence are unrelated with whether Type 2 DM being controllable or uncontrollable. Conclusion: Absent of significant relation between temperament and HbA1c level control in type 2 DM patients.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Feri Ikhwan
Abstrak :
Kanker serviks merupakan jenis kanker terbanyak kedua pada wanita setelah kanker payudara namun menjadi penyebab kematian terbanyak pada wanita yang menderita kanker. Pada penderita kanker serviks gangguan psikiatri dapat terjadi karena berbagai faktor penyebab. Dari gangguan psikiatri yang terjadi pada penderita kanker serviks, depresi merupakan gangguan yang paling sering dijumpai. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara stadium klinis dan faktor-faktor sosio-demografi dengan derajat beratnya depresi pada pasien kanker serviks uteri. Metode: Penelitian ini berbentuk studi potong lintang dengan jumlah subjek 232 orang yang merupakan pasien kanker serviks uteri yang berobat ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo) pada bulan November sampai Desember 2012. Seluruh subjek penelitian diminta untuk mengisi lembar kuesioner yang berisi identitas dan data sosio-demografi. Instrumen yang digunakan untuk penilaian depresi menggunakan Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (MINI ICD-10) dan untuk menilai derajat beratnya depresi dengan instrumen Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D). Hasil: Dari hasil analisis bivariat pada penelitian ini didapatkan hubungan yang bermakna antara stadium klinis kanker serviks uteri (p <0,001), umur (p = 0,005), dan lamanya diagnosis kanker serviks uteri ditegakkan (p <0,001) dengan derajat beratnya depresi yang terjadi, dan dari analisis multivariat didapatkan lamanya diagnosis merupakan variabel yang menjadi faktor dominan yang berhubungan secara statistik bermakna terhadap semua tingkatan depresi. Kesimpulan: Penelitian ini menjawab hipotesis penelitian dimana terdapat hubungan antara stadium klinis dan faktor-faktor sosio-demografi dengan derajat beratnya depresi pada pasien kanker serviks uteri. ......Cervical cancer is the second most types of cancer in women after the breast cancer, but it is the most frequent cause of cancer mortality in women. Patients with cervical cancer can occur psychiatric disorders due to various causes. Depression is the most common psychiatric disorder in cervical cancer patients. This study aims to determine the relationship between clinical stage and the factors of socio-demographic with the severity of depression in patients with cervical cancer. Methods: This study was cross-sectional studies form 232 cervical cancer patients who went to the National Center Public Hospital Dr. Cipto Mangunkusumo (RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo) in November to December 2012. The whole subjects of the study were asked to fill out a questionnaire that contains the identity and socio-demographic data. The instrument used for the assessment of depression using the Mini International Neuropsychiatric Interview ICD-10 (ICD-10 MINI) and to assess the degree of severity of depression by the instrument Hamilton Rating Scale for Depression (HRS-D). Results: From the results of the bivariate analysis in this study found a significant association between clinical stage of cervical cancer (p <0.001), age (p = 0.005), and duration of cervical cancer diagnosis is established (p <0.001) with the degree of severity of depression that occurs, and from the multivariate analysis found that the length of diagnosis is a dominant factor which is statistically significant related to all levels of depression. Conclusion: This study answers the research hypothesis that there is a relationship between clinical stage and the factors of socio-demographic with the severity of depression in patients with cervical cancer.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Willy Steven
Abstrak :
Latar Belakang: Penilaian pola kelekatan adalah hal yang penting dalam proses psikoterapi. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan instrumen untuk menilai pola kelekatan, yaitu ECR-R versi Bahasa Indonesia dan melakukan uji validitas dan reliabilitas instrumen tersebut. Penelitian ini dilakukan di Unit Rawat Jalan Psikiatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada Februari hingga April 2017 N= 360, usia 18 hingga 59 tahun. Uji validitas isi memperoleh koefisien 1,00 yang menunjukkan bahwa seluruh butir pertanyaan dalam instrumen sesuai dengan teori. Uji validitas konstruksi membuktkan bahwa butir-butir pertanyaan dalam instrumen mewakili konstruksi teoritis dan konseptual. Uji reliabilitas dengan penghitungan koefisien Cronbach's Alpha memperoleh hasil 0,887 yang menunjukkan konsistensi internal instrumen adalah baik. Penelitian ini menghasilkan instrumen ECR-R versi Bahasa Indonesia yang sahih dan andal dalam menilai pola kelekatan. ...... Background: Assessment of attachment pattern is important in the process of psychotherapy. This research aimed to obtain a valid and reliable Indonesian version of Experiences in Close Relationships Revised ECR R , an instrument to assess attachment pattern. The study was conducted at a psychiatric outpatient clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia on February until April 2017. There were 360 subjects participated in the study, aged between 18 to 59 years. Validity score for ECR R was 1,00. All items in Indonesian version of ECR R were suited the theory of attachment. The construction validity test showed that all items in ECR R represent both theoretical and conceptual construction. Cronbach rsquo s Alpha for ECR R was 0,887 which showed good internal consistency. Therefore, Indonesian version of ECR R is a valid and reliable instrument to assess attachment pattern.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rudy Wijono
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan Efek samping ekstrapiramidal (EPS) pada pengobatan pasien psikotik merupakan sumber ketidakpatuhan minum obat yang berakibat munculnya kekambuhan. Pemberian obat triheksifenidil berguna untuk mencegah dan mengatasi EPS akibat penggunaan obat antipsikotika. Prosentase pasien psikotik yang diberikan obat triheksifenidil di poliklinik jiwa dewasa RSCM (PJD RSCM) tahun 2010 mencapai 51%. Namun tidak diketahui gambaran pola penggunaan triheksifenidil pada pasien yang mendapat terapi antipsikotika di PJDRSCM.Maka penelitian gambaran dan karakteristik penggunaan triheksifenidil pada pasien yang mendapat terapi obat antipsikotika di PJD RSCM ini perlu untuk dilakukan.

Tujuan Mengetahui gambaran dan karakteristik penggunaan triheksifenidil pada pasien yang mendapat terapi obat antipsikotika di PJD RSCM pada bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juli 2011.

Metode Penelitian ini merupakan studi potong lintang. Pengambilan sampel ditetapkan secara random sampling. Subyek adalah semua pasien yang mendapat terapi antipsikotika serta obat triheksifenidil di PJD RSCM pada bulan Agustus 2010 sampai dengan Juli 2011 sebanyak 97. Data demografi dan data sampel diperoleh dari data sekunder catatan medis pasien.

Hasil Pola pemberian triheksifenidil pada pasien yang mendapat antipsikotika di PJD RSCM pada bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juli 2011, yang terbanyak digunakan adalah pemberian obat triheksifenidil langsung bersama dengan obat antipsikotika sejak awal pengobatan atau sebelum muncul EPS yaitu sebesar 91,8%.

Kesimpulan Pada penelitian ini menunjukkan pola pemberian triheksifenidil pada pasien yang mendapatkan obat antipsikotika di PJD RSCM pada bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juli 2011, pasien langsung diberikan obat triheksifenidil tanpa pemeriksaan EPS terlebih dulu dan tidak dilakukan evaluasi ulang tiap tiga bulan. Sehingga pemberian obat triheksifenidil tidak sesuai dengan panduan pelayanan medis Departemen Psikiatri RSCM tahun 2007 serta dalam konsensus WHO tentang penatalaksanaan EPS.
ABSTRACT
Background Extrapyramidal side effects (EPS) in the treatment of psychotic patients contributes to poor compliance and exacerbation of psychiatric symptoms. The use of trihexyphenidyl is beneficial in preventing and treating neuroleptic-induced EPS. In 2010, percentage of psychotic patients who were given trihexyphenidyl at Poliklinik Jiwa Dewasa RSCM (PJD RSCM) have reached up to 51%. However, the pattern of trihexyphenidyl usage in patients receiving antipsychotic therapy at PJD RSCM has not been known. Therefore, a research is needed in finding the pattern and characteristic of trihexyphenidyl usage in patients recieving antipsychotic therapy at PJD RSCM.

Aim To find the pattern and characteristic of trihexyphenidyl usage in patients recieving antipsychotic therapy at PJD RSCM during August 2010 until July 2011.

Method This research is a cross sectional study. Samples in this research were taken randomly. Subjects recruited were 97 patients receiving antipsychotic therapy with trihexyphenidyl at PJD RSCM during August 2010 until July 2011. Demographic and sample data were obtain from patients? medical records.

Result The most widely used pattern of trihexyphenidyl usage in patients receiving antipsychotic therapy at PJD RSCM during August 2010 until July 2011 was simultaneous use of trihexyphenidyl together with antipychotic since the beginning of treatment or prior to appearance of EPS at approximately 91.8%.

Conclusion Pada penelitian ini menunjukkan pola pemberian triheksifenidil pada pasien yang mendapatkan obat antipsikotika di PJD RSCM pada bulan Agustus 2010 sampai dengan bulan Juli 2011, pasien langsung diberikan obat triheksifenidil tanpa pemeriksaan EPS terlebih dulu dan tidak dilakukan evaluasi ulang tiap tiga bulan. Sehingga pemberian obat triheksifenidil tidak sesuai dengan panduan pelayanan medis Departemen Psikiatri RSCM tahun 2007 serta dalam konsensus WHO tentang penatalaksanaan EPS.

This research have shown pattern of trihexyphenidyl use which was given directly to patients without EPS examination and without evaluation every three months. In consequent, the use of trihexyphenidyl was not in accordance with 2007 medical operational standart of Psychiatric Department RSCM and WHO consensus on the management of EPS.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
T32683
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library