Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 5 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ina Ariani Kirana Masna
Abstrak :
ABSTRAK
Pendahuluan: Faktor lingkungan seperti alergen dan polusi udara dapat memicu ataupun memperberat gejala asma akut serta menyebabkan persitens gejala asma terutama asma alergi. Telah banyak usaha dilakukan untuk mengurangi kadar alergen dalam udara. Salah satu caranya adalah dengan mempertahankan keseimbangan anion-kation sehingga terjadi denaturasi protein tungau debu rumah yang merupakan alergen utama. Kondisi keseimbangan anion-kation dalam udara ini serupa dengan kondisi alamiah hutan. Lingkungan yang serupa dapat dicapai menggunakan filter udara dengan ioniser sehingga tercapai keseimbangan anion-kation dalam udara. Apakah kondisi ini akan mempengaruhi kondisi inflamasi saluran napas dan fungsi paru pasien asma alergi belum pernah dibuktikan sebelumnya.

Metode penelitian: Penelitian ini dilakukan dengan uji klinis silang (cross-over), terbuka, pada pasien-pasien asma alergi. Data subjek diambil secara mandiri oleh pasien dan pemeriksaan berkala di Poli Asma. PPOK RS Persahabatan sejak Desember 2011 sampai September 2012. Pemeriksaan FeNO menggunakan NIOX mino, uji fungsi paru (spirometri), serta penilaian ACT dilakukan setiap bulan di RS Persahabatan.

Hasil Penelitian: Terdapat 36 pasien yang berhasil mengikuti penelitian sampai selesai, selebihnya mengundurkan diri. Terdapat enam subjek laki-laki dan 30 perempuan, rerata usia 42,72 tahun (18-63). Klasifikasi terbanyak adalah asma persisten ringan (19) diikuti dengan asma persisten sedang dan berat (10 dan 7). Perbandingan selisih nilai ACT akhir dengan nilai awal antara kelompok kontrol dengan perlakuan berbeda bermakna secara statistik (p=0,008) maupun secara klinis (rerata kenaikan 3,31 poin). Tidak didapatkan perbedaan yang bermakna secara statistik dalam nilai FeNO dan uji fungsi paru antara kedua kelompok pengamatan.

Kesimpulan: Pada penelitian ini didapatkan peningkatan nilai asthma control test setelah penggunaan filter udara dengan ioniser namun tidak didapatkan perbedaan inflamasi saluran napas dan nilai faal paru. Penggunaan filter udara anion-kation seimbang dapat direkomendasikan pada pasien asma alergi.
ABSTRACT
Introduction: Many attempts have been tried to reduce concentration of allergens which may precipitate acute asthma or cause persistence of symptoms especially in allergic asthma patients. One of the techniques used is air filter and ionizer which creates a balance anion-cation ambiance. Studies have showed that its use can reduce airborne allergen concentration. Indoor ionised air has been proven to cause protein denaturation of house dust mite allergen, one of the most prominent indoor allergen. Ionised air has been proved to cause protein denaturation of mite allergens. This condition is similar to the natural condition existing in uncontaminated natural forests. This condition may be achieved by using a commercially available air purifier and ionizer. Whether this condition affects airway inflammation and lung function test in allergic asthma patients is yet to be proven.

Methods: This is a cross-over, unblinded, clinical trial, conducted in allergic asthma patients. Serial spirometry and FeNO measurements are performed monthly. Subjects are also asked to fill ACT for assement of asthma control. Subjects is observed for two months without using air filter in their bedrooms and two months using air filter in their bedrooms with a two weeks interval in between observation.

Results: There were 50 patients enrolled in the beginning of this study but 14 dropped out while 36 completed the study. There were six male subjects and 30 female, averaging 42,72 (min 18, max 63). Most patients were mild persistent (n=30), followed by moderate ande severe persistent asthma (10 and 7, respectively). The difference between baseline and end of two months observation in control and treatment group was statistically and clinically significant (paired t-test, p=0,008, 3 points ACT increase). Although there was a trend of decreased FeNO and increased FEV1/predicted ratio, time series and multivariate analysis in both was not statistically significant.

Conclusion: There was an increase of ACT score after air filter with ionizer usage but the change in FeNO and lung function test was not statistically significant. Air purifier can be recommended in allergic asthma patients to increase asthma control.
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Sutera Insani
Abstrak :
ABSTRAK
Metode : Penelitian ini menggunakan studi kasus kontrol berpasangan, dilakukan di ruang rawat inap RSUP Persahabatan pada bulan November 2018-Maret 2019. Kriteria kasus semua pasien yang terdiagnosis HAP saat perawatan, kriteria kontrol berpasangan adalah, jenis kelamin sama dengan kasus, usia ± 10 tahun dengan kasus dan dirawat di ruang perawatan yang sama dengan kasus. Pada kelompok kasus dan kontrol dilakukan pemeriksaan foto toraks untuk melihat infiltrat baru dibandingkan dengan foto lama. Pada kelompok kasus dilakukan pemeriksaan biakan sputum dan darah sebagai data pola mikroorganisme HAP. Hasil : Didapatkan 25 kasus HAP dan faktor risiko HAP dinilai dari 23 pasang subjek penelitia. Faktor risiko intrinsik yang paling berperan pada HAP adalah hipoalbuminemia (OR 5 [IK 95% 3,34-6,63], p=0,039). Faktor ekstrinsik HAP yang paling berperan adalah penggunaan obat lambung dengan (p=0,016). Pola mikroorganisme pasien HAP dari 25 pasien HAP biakan yang tumbuh 19 (78,7% dahak dan 21,3% darah). Lima belas sampel (78,9%) adalah Gram negatif, dan 5 (26,3%) diantaranaya adalah Acinetobacter baumanii. Dari 19 mikroorganisme yang tumbuh terdapat 63,5% MDRO. Kesimpulan: Hipoalbuminemia adalah faktor risiko yang paling berperan dalam terjadinya HAP serta mikroorganisme terbanyak adalah Acinetobacter baumanii.
ABSTRACT
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nancy Sovira
Abstrak :
ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui kadar 1,25-dihydroxyvitamin D serum dan hubungannya dengan interferon gamma, cathelicidin dan bacterial load pada penderita TB paru BTA positif serta hubungan cathelicidin dengan bacterial load. Rerata kadar IFN-γ adalah 10,8 ± 6,5 pg/mL, rerata kadar 1,25(OH)2D serum adalah 121,5 ± 38,6 pmol/L dan rerata kada cathelicidin plasma adalan 90,4 ± 21,5 ng/mL. Pada penelitian ini tidak didapatkan hubungan kadar 1,25(OH)2D serum dengan IFN-γ serum begitu juga dengan cathelicidin plasma. Kadar cathelicidin plasma tidak berhubungan bermakna dengan bacterial load. Rerata kadar IFN-γ serum dan cathelicidin plasma pada lesi kavitas lebih rendah daripada lesi tanpa kavitas (masing-masing p = 0,031 dan p = 0,025). Rerata kadar cathelicidin plasma subjek dengan riwayat pengobatan TB sebelumnya lebih rendah daripada subjek kelompok kasus baru (p = 0,004). Pada penelitian ini didapatkan juga hubungan bermakna kekuatan sedang antara kadar IFN-γ serum dengan cathelicidin plasma (r = 0,540; p < 0,05).
ABSTRACT
The aim of study was to investigate levels of 1,25-dihydroxyvitamin D and its relationshio with IFN-γ or cathelicidin in active pulmonary tuberculosis patients and relation of cathelicidin with bacterial load. The mean of serum 1,25(OH)2D, IFN-γ, and cathelicidin were 121,5 ± 38,6 pmol/L, 10,8 ± 6,5 pg/mL, 90,4 ± 21,5 ng/mL, respectively. The was no relation 1,25(OH)2D to IFN-γ and cathelicidin either. The mean of serum IFN-γ and plasma cathelicidin in cavitary lession was less than non cavitary lession. We also found that plasma cathelicidin level in subject with prior treatment was less than new cases. There was relation of serum IFN-γ to plasma cathelicidin (r = 0,540; p < 0,05).
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rineta Apgarani
Abstrak :
ABSTRAK
Latar belakang: Semakin tingginya angka kejadian Tuberkulosis Multi Drug Regimen TB MDR pada pasien TB dengan riwayat OAT kategori II dan hasil pengobatan yang tidak memuaskan menimbulkan pertanyaan mengenai efektivitas dan faktor yang mempengaruhi efektivitas regimen ini. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas OAT kategori II dan faktor-faktor yang mempengaruhinya karakteristik demografi, komorbiditas, pola resistensi, bacterial load, konversi dan TB ekstra paru pada pasien TB paru dengan riwayat pengobatan sebelumnya di RSUP Persahabatan. Metode: Penelitian dengan metode consecutive sampling dilakukan pada pasien yang diberikan pengobatan kategori II di Poli Paru RS Persahabatan tahun 2014.Hasil: Sebanyak 68 subjek yang mendapat pengobatan OAT kategori II diikutsertakan dalam penelitian ini. Karakteristik terbanyak yaitu subjek berusia 21-40 tahun 50,7 , laki-laki 64,8 , kasus kambuh 67,6 , komorbid DM 15,5 , pleuritis 8,5 , resistensi RHES 5,6 , kemasan KDT 94,4 , konversi 69,6 , dan bacterial load negatif 35,2 . Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya didapatkan frekuensi pengobatan kategori II 1 kali sebanyak 73,2 dengan lama pengobatan 8-12 bulan sebesar64,8 . Hasil pengobatan kategori II sembuh sebanyak 54,4 . Faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan keberhasilan pengobatan yaitu lama pengobatan p=0,000 .Kesimpulan: Efektivitas rejimen pengobatan kategori II pada penelitian ini cukup baik. Faktor yang memiliki hubungan bermakna dengan keberhasilan pengobatan adalah lama pengobatan dan TB ekstraparu.
ABSTRACT
Background The high incidence of MDR TB patients with history of category II anti tuberculosis treatment and the unsatisfactory results of the outcome raise questions on the effectiveness and the influencing factors of this regimen.Objective This study aimed to asses the effectivity of category II anti tuberculosis and the influencing factors demographic characteristics, comorbidities, resistance patterns, bacterial load, sputum conversion and extra pulmonary TB in pulmonary TB patients with a history of previous treatment at RSUP Persahabatan.Methods Study was conducted with consecutive sampling in patients given treatment of category II in RSUP Persahabatan Lung Clinics in 2014.Results The study sample was 68 subjects who received category II anti tuberculosis. The most characteristic found was the age of 21 40 year 50.7 , male 64.8 , relapse cases 67.6 , DM comorbid 15.5 , TB pleurisy 8.5 , RHES resistance 5.6 , FDC drug packaging 94.4 , sputum conversion 69.6 and negative bacterial load 35.2 . History of the category II anti tuberculosis treatment 1 times was 73.2 with a duration of 8 12 months 64.8 . Most of the treatment outcomes were cured 54.4 . Factors which had significant correlation were the length of treatment p 0.00 .Conclusion Effectiveness of category II treatment regimens is quite satisfactory. Factors which have a significant correlation are the duration of treatment.
2016
T55578
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lidia Giritri
Abstrak :
Latar Belakang : Berdasarkan onset gejala, efek jangka panjang dari pascaCOVID-19 disebut long COVID. Long COVID berlangsung dari pekan keempat sampai lebih dari dua belas pekan paascaonset gejala. Selain gejala sisa COVID-19, hal yang harus dievaluasi adalah gambaran lesi paru sebagai sekuele pascaCOVID-19. Sekuele paru pascaCOVID-19 dievaluasi dengan high resolution computed tomography (HRCT). Sekuele paru pascaCOVID-19 yang dapat timbul adalah ground glass opacity dan gambaran fibrosis. Selain derajat berat COVID-19, banyak faktor yang memengaruhi terjadinya sekuele paru pascaCOVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kekerapan terjadinya sekuele paru pascaCOVID-19 dan faktor-faktor yang memengaruhinya. Metode : Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan kohort yang dilakukan bulan Juni 2020 hingga Juli 2021. Subjek penelitian adalah pasien pascaCOVID-19 yang melakukan HRCT toraks pada pekan keempat hingga keduabelas dari onset gejala dengan hasil PCR usap tenggorok minimal satu kali negatif. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data melalui data sekunder berupa data rekam medis dan hasil HRCT pasien yang kontrol di poli pascaCOVID RSUP Persabahatan. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan total 81 subjek dengan pasien yang memiliki sekuele pascaCOVID-19 ada sebanyak 64 pasien dan yang tidak mengalami sekuele sebanyak 17 orang. Kelompok pasien yang mengalami sekuele paru pascaCOVID-19 paling banyak ada pada kelompok 40-59 tahun sebanyak 34 dari 41 pasien. Pada penelitian ini pasien laki-laki memiliki hubungan dengan terjadinya sekuele pascaCOVID-19 (p=0,002). Komorbid paling banyak dijumpai pada penelitian ini adalah hipertensi (54,3) dan DM tipe II (23,4%). Derajat COVID-19 berat kritis berhubungan terhadap terjadinya sekuele paru pascaCOVID-19 (nilai p 0,003). Kejadian ARDS juga memiliki hubungan dengan terjadinya sekuele paru pascaCOVID-19 (p=0,007). Pemakaian oksigen (O2) meliputi fraksi (p= 0,005) dan durasi (p= 0,006) juga memiliki hubungan yang bermakna dengan terjadinya sekuele paru pascaCOVID-19. Hasil analisis multivariat mendapatkan jenis kelamin dan derajat berat merupakan faktor-faktor yang memengaruhi sekuele paru pasca-COVID-19. ...... Background: The long-term effects of post-COVID-19 are known as long COVID based on the onset of symptoms. Long COVID lasts from the fourth week to more than twelve weeks after the onset of symptoms. In addition to the sequelae of COVID-19, what must be evaluated is the appearance of lung lesions as a sequelae after COVID-19. Post-COVID19 pulmonay sequelae was evaluated by high-resolution computed tomography (HRCT) as ground glass opacity and fibrosis. Beside COVID-19 severity, a variety of other factors have a role in the development of post-COVID-19 pulmonary sequelae. The purpose of this study is to determine the frequency of post-COVID-19 pulmonary sequelae and their influencing factors. Methods: This study was an analytic observational study with a cohort approach that was conducted from June 2020 to July 2021. The subjects were post-COVID-19 patients who underwent thoracic HRCT in the fourth to twelfth week of symptom onset with a negative throat swab PCR result at least once. The inclusion and exclusion criteria were used to determine which subjects will be included in the study. Data collection through secondary data form medical record and HRCT results of patients controlled at the post-COVID polyclinic at Persahabatan Hospital. Results: In this study, there were 64 patients who had post-COVID-19 sequelae and 17 patients who did not. There was a total of 81 subjects. The group of patients who experienced post-COVID-19 pulmonary sequelae was mostly in the 40-59 years group with 34 out of 41 patients. In this study, male patients had an association with post-COVID-19 sequelae (p=0.002). The most common comorbidities found in this study were hypertension (54.3) and type II DM (23.4%). The degree of critically severe COVID-19 is related to the occurrence of post-COVID-19 pulmonary sequelae (p 0.003). The incidence of ARDS also has a relationship with the occurrence of post-COVID-19 pulmonary sequelae (p=0.007). Oxygen consumption including fraction of inspired oxygen (p= 0.005) and duration (p= 0.006) also has a significant relationship with the occurrence of post-COVID-19 pulmonary sequelae. The results of the multivariate analysis found that gender and severity were factors that influenced post-COVID-19 pulmonary sequelae.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library