Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 19 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Riry Ambarsarie
"Latar Belakang: Model pengembangan staf pengajar akan membantu mengidentifikasiprogram pengembangan yang dapat mengakomodasi keinginan staf pengajar, kebutuhanakademik dan kebutuhan institusi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengeksplorasimodel pengembangan staf pengajar yang dibutuhkan oleh suatu fakultas kedokteranmelalui tinjauan kepustakaan sistematik dan eksplorasi persepsi panel ahli.
Metode: Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologiyang didahului dengan tinjauan kepustakaan sistematik yang menggunakan duapangkalan data, yaitu PubMed dan ERIC, dilanjutkan dengan proses wawancara denganpanel ahli bidang pendidikan kedokteran sebagai informan yang berasal dari beberapafakultas kedokteran yang dipilih berdasarkan keterwakilan wilayah Asosiasi InstitusiPendidikan Kedokteran Indonesia AIPKI dan keterwakilan institusi pendidikan negeridan swasta di Indonesia.
Hasil: Terdapat 10 kepustakaan yang dilibatkan dalam proses tinjauan kepustakaansistematik yang mendasari penyusunan konsep model pengembangan staf pengajar danterdapat 10 wawancara dengan pakar bidang pendidikan kedokteran. Seluruh informanmenyepakati sebagian besar komponen dalam model dan memberikan sejumlahmasukan untuk menyempurnakan model tersebut. Informan menyepakati tigakomponen utama dalam model pengembangan staf, yaitu komponen sistem, proses dankonten. Informan juga mengemukakan gambaran proses pengembangan staf pengajarsaat ini di Indonesia serta tantangan yang akan dihadapi dalam implementasi model.
Diskusi: Tiga komponen utama dalam model menjadi salah satu syarat yang harusdipenuhi institusi pendidikan kedokteran jika ingin meningkatkan kualitas pendidikanmelalui program pengembangan staf yang komprehensif. Komponen konten yang terdiridari pengembangan instruksional, profesional, softskill, kepemimpinan dan spiritualmenjadi panduan penentuan konten atau materi yang diperlukan dalam suatupengembangan staf pengajar. Komponen proses menggambarkan berbagai aspek yangmempengaruhi program pengembangan akan mempermudah institusi dalammempersiapkan program pengembangan secara berkelanjutan. Komponen sistemmerupakan gambaran peran sistem pendidikan yang mempengaruhi pelaksanaanprogram pengembangan, terdiri dari aspek pimpinan, kebijakan institusi danketersediaan tenaga ahli.
Kesimpulan: Model pengembangan staf pengajar yang disusun peneliti merupakanmodel yang ideal dan mampu diterapkan di Indonesia. Selain karena sifatnya yangkomprehensif, model ini juga disusun berdasarkan tinjauan kepustakaan sistematik,yang didukung oleh tinjauan para ahli dari perwakilan berbagai fakultas kedokteran diIndonesia yang membuat model ini sesuai dengan karakteristik pendidikan kedokterandi Indonesia. Melalui model ini, diharapkan institusi dapat mempersiapkan programpengembangan staf pengajar secara lebih komprehensif dan berkelanjutan.

Background: Faculty development model will helping to identify developmentprograms that can accommodate faculty, academic and institutional needs. The purposeof this study is to explore the faculty development model that needed by a medicalschool through systematic literature review and expert panel perception exploration.
Methods: This qualitative study with phenomenology approach is preceded by asystematic literature review that using two database, Pubmed and ERIC followed by aninterview process with panel expert as informant from several medical school thatselected based on representation of region of Association of Indonesian Medical School AIPKI and representation of public and private medical school in Indonesia.
Results: There are 10 literatures involved in systematic literature review that underliesthe drafting of faculty development model and supported by 10 interviews with panelexpert. All informants agree on three main components of the model, that consist ofsystem, process and content components. The informants also presented an overview ofthe current faculty development process in Indonesia as well as the challenges that willbe faced in model implementation.
Discussion: The three main components become one of the condition that medicalschool must be fulfilled if they want to improve their educational quality through acomphrehensive faculty development programs. Content component consist ofinstructional, professional, softskill, leadership and spiritual development, it will helpthe determination of content that needed in faculty development. The processcomponent describe the various aspects that will affecting the development program itwill help the institution to preparing the sustainable development program. The systemcomponent describe the role of education system that influences the implementation offaculty development program, consist of leader aspect, institutional policy and theavailability of experts.
Conclusion: Faculty development model that construct by the author is an ideal modeland can be applied in Indonesia. Beside the comphrehensiveness, developing based on asystematic literature review and supported by a review expert that represented variousmedical school in Indonesia made this model appropriate with Indonesia medical schoolcharacteristics. Through this model, the institutions are expected to prepare the facultydevelopment program more comphrehensive and sustainable.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58567
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Taris Zahratul Afifah
"Pandemi Covid-19 membuat metode pembelajaran bauran berpotensi makin sering digunakan dalam pendidikan kedokteran. Berbagai studi menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kemampuan regulasi diri mahasiswa dengan lingkungan pembelajaran bauran. Blended Learning Questionnaire (BLQ) merupakan instrumen yang dikembangkan di University of Western Sydney, Australia untuk mengukur regulasi diri mahasiswa kedokteran dalam lingkungan pembelajaran bauran. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh BLQ versi bahasa Indonesia untuk digunakan pada mahasiswa kedokteran Indonesia.
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu penerjemahan, telaah ahli, wawancara kognitif, uji pilot, dan pengumpulan data akhir dengan BLQ versi bahasa Indonesia. Validitas isi diukur berdasarkan nilai Content Validity Index (CVI). Validitas konstruksi diukur dengan metode exploratory factor analysis (EFA). Reliabilitas diukur dari konsistensi internal dengan nilai Cronbach’s alpha.
Seluruh butir pernyataan yang menyusun BLQ versi bahasa Indonesia mendapatkan nilai CVI≥0.83. Hasil EFA mengekstraksi 5 faktor. Faktor 4 dan 5 memiliki nilai Cronbach’s alpha≤0,7. Hasil-hasil tersebut menunjukkan bahwa BLQ versi bahasa Indonesia memiliki validitas isi yang baik untuk mengukur tingkat regulasi diri mahasiswa kedokteran Indonesia dalam lingkungan pembelajaran bauran. Namun, instrumen ini belum memiliki validitas konstruksi yang baik sehingga saat ini belum dapat digunakan pada mahasiswa kedokteran Indonesia. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk meningkatkan validitas konstruksi dan konsistensi internal dari instumen ini.

Covid-19 pandemic has made blended learning as a more common learning environment design in medical education. Many studies have shown that there is a relationship between students' self-regulation and blended learning environment. The Blended Learning Questionnaire (BLQ) is an instrument developed at the University of Western Sydney, Australia to measure self-regulation of medical students in a blended learning environment. This study aims to obtain the Indonesian version of the BLQ to be used in Indonesia’s medical education setting.
This research was conducted in several stages, namely translation, expert review, cognitive interviews, pilot testing, and final data collection using the Indonesian version of the BLQ. Content validity is measured based on the value of the Content Validity Index (CVI). Construct validity was measured by exploratory factor analysis (EFA) method. Reliability is measured from internal consistency with Cronbach's alpha value.
All of the items of Indonesian version of the BLQ get CVI≥0.83. EFA results extract 5 factors. Factors 4 and 5 have a Cronbach's alpha value≤0.7. These results indicate that the Indonesian version of the BLQ has good content validity for measuring the level of self-regulation of Indonesian medical students in a blended learning environment. However, this instrument does not have good construct validity so that currently it cannot be used on Indonesian medical students. Further research is needed to improve the construct validity and internal consistency of this instrument.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chaina Hanum
"

Pendahuluan: Kolaborasi penalaran klinis merupakan salah satu bagian penting dalam kolaborasi interprofesi, yaitu kolaborasi berbagai profesi kesehatan dalam menyusun sebuah kerangka berpikir mengenai masalah pasien dan manajemen tatalaksananya. Salah satu alat bantu yang dapat digunakan sebagai kerangka pengelolaan masalah kesehatan adalah Integrated Care Pathway (ICP). Salah satu metode pembelajaran dalam program pendidikan interprofesi kesehatan (IPE) tahap lanjut yang diselenggarakan Rumpun Ilmu Kesehatan UI adalah case-based discussion, yaitu diskusi dengan menggunakan kasus pemicu dan kerangka ICP untuk menyusun rencana pengelolaan kesehatan pasien. Penelitian ini dilakukan untuk mengeksplorasi proses kolaborasi penalaran klinis dalam diskusi kasus tersebut, menggali berbagai faktor yang memengaruhi proses kolaborasi penalaran klinis, serta pemanfaatan ICP yang digunakan sebagai kerangka pengelolaan masalah. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Pemilihan responden penelitian dilakukan dengan metode maximun variation sampling pada kelompok interprofesi yang mengikuti program IPE RIK UI. Sebanyak empat observasi diskusi dan empat FGD dilakukan untuk mengeksplorasi proses kolaborasi penalaran klinis dan pemanfaatan kerangka ICP. Empat wawancara mendalam terhadap tutor diskusi dan telaah dokumen terhadap empat kerangka ICP yang telah diisi dilakukan untuk triangulasi data. Hasil penelitian: Hasil penelitian menunjukkan bahwa kolaborasi penalaran klinis dilakukan dalam dua tahap, yaitu tahap individu dan tahap kelompok, dengan menerapkan seluruh kompetensi kolaborasi terutama kompetensi terkait peran dan tanggung jawab, serta kerja sama tim. Dalam diskusi kolaborasi penalaran klinis, kerangka ICP dapat digunakan sebagai panduan pengelolaan masalah kesehatan individu, namun kurang optimal digunakan dalam pengelolaan masalah kesehatan komunitas. Proses pembelajaran tersebut didukung oleh beberapa faktor, seperti pengalaman kerja praktik dan kolaborasi, dan usia anggota kelompok interprofesi yang relatif sebaya. Beberapa tantangan pemanfaatan kerangka ICP dalam pembelajaran kolaborasi penalaran klinis antara lain kasus pemicu yang digunakan, prior knowledge mengenai ICP, dominasi profesi dan peran tutor dalam proses diskusi interprofesi. Simpulan: Pembelajaran kolaborasi penalaran klinis dengan menggunakan kerangka ICP bermanfaat utk membantu peserta didik dalam menyusun pengelolaan masalah kesehatan dan meningkatkan pemahaman peserta didik terhadap berbagai kompetensi kolaborasi. Upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi berbagai tantangan penggunaan kerangka ICP dalam pembelajaran kolaborasi penalaran klinis diantaranya perbaikan kasus pemicu dan kerangka pengelolaan masalah kesehatan, yang disusun secara komprehensif dengan mempertimbangkan keilmuan dan cakupan kompetensi seluruh profesi kesehatan yang akan terlibat dalam pembelajaran tersebut. Kata kunci: kolaborasi penalaran klinis, pendidikan interprofesi kesehatan, kompetensi kolaborasi, kerangka Integrated Care Pathway, case-based discussion

 


Introduction: Collaborative clinical reasoning is an important part of interprofessional collaborative practice, in negotiating patients problem and its management. Integrated Care Pathway (ICP) can be used as a framework in developing comprehensive patient care. Interprofessional education program held by Health Science Cluster Universitas Indonesia implemented case-based discussion as one of the learning methods, to discuss a clinical problem within an interprofessional team using ICP framework. This study aims to explore the collaborative clinical reasoning process in undergraduate interprofessional team, and the use of integrated care pathway framework as a guidance in discussing patient problem and its comprehensive management. Method: This research is a qualitative study with phenomenology design. The selection of respondents was conducted using maximum variety sampling method. A total of four observations and four focus group discussions were conducted to explore the collaborative clinical reasoning process using the ICP framework. In-depth interviews with the tutors of the discussions and document analysis were also conducted as triangulation processes. Result: This study shows that the collaborative clinical reasoning was held in two stages, individual and group stages. All of the collaboration competency domains were applied during the interprofessional discussion, especially roles and responsibilities and teams and teamwork. ICP framework could be used as a guidance in collaborative clinical reasoning process to discuss the patients management and discharge plan. The influencing factors were experience in clinical clerkship and previous exposure to IPE, and the similarities of the team members age. This study also shows few challenges in this learning process, including the clinical case used in the discussion, the need of prior knowledge about the framework, domination during the discussion, and the role of tutor. Conclusion: The interprofessional education on collaborative clinical reasoning using ICP framework could help students discussing clinical problem and developing comprehensive and collaborative care plan. To optimize the process of the discussion and the interaction among interprofessional team members, clinical case used in the discussion should be prepared thoroughly and consider the competency and scope of knowledge of all health profession involved in the IPE program. 

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anak Agung Sagung Ayu Santhi Sueningrum
"

Pendahuluan: Tahap pendidikan klinik adalah fondasi penting dalam pendidikan kedokteran karena pada tahap ini pengembangan identitas profesional peserta didik terjadi. Peran pengajar klinis pun menjadi salah satu determinan penting dalam menentukan kualitas pembelajaran di tahap pendidikan klinik. Oleh karena itu, kualitas pengajar klinis harus dijaga dan ditingkatkan. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk menjaga kualitas pengajar klinis adalah memahami pengembangan identitas profesional sebagai pengajar klinis. Integrasi identitas profesional pengajar klinis ke dalam identitas profesional klinisi dianggap penting dalam menjaga well-being dan resistensi dalam menjalankan peran sebagai pengajar klinis. Metode: Penelitian ini menggunakan desain penelitian kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Responden penelitian adalah pengajar klinis yang dipilih menggunakan strategi maximum variety sampling dengan mempertimbangkan lama menjadi pengajar klinis, jenis kelamin, peran sebagai koordinator, dan rotasi pendidikan klinik.Terdapat tiga focus group discussion dengan jumlah peserta 5-6 orang pengajar klinis untuk setiap kelompok dan tiga belas wawancara mendalam terhadap tiga belas orang pengajar klinis untuk mengeksplorasi proses pengembangan identitas profesional pengajar klinis. Hasil penelitian: Dalam penelitian ini teridentifikasi faktor-faktor yang berkaitan dengan self, situation, support, dan strategy sebagai faktor yang berpotensi mempengaruhi pengembangan identitas profesional. Diketahui bahwa kemampuan reflektif dan peran community of practice merupakan faktor esensial dalam menjalani masa transisi dan pengembangan identitas profesional. Ditemukan tiga narasi integrasi identitas profesional oleh responden, yaitu koalisi I-position pengajar klinis dan klinisi, bertahan pada I-position klinisi, serta metaposisi antara I-position profesional dan personal. Simpulan: Faktor-faktor yang terkait dengan self, situation, support, dan strategy berpotensi mendukung atau pun menghambat pengajar klinis dalam masa transisi. Selain itu gambaran proses integrasi identitas profesional pengajar klinis mencerminkan refleksi responden terhadap pengalaman dan peran mengajar.

 


Introduction: Clinical clerkship is an important foundation in medical education because at this stage the development of students professional identity occurs. Clinical teachers play an important role in determine the quality of learning in clinical rotation. Therefore, the quality of clinical teachers should be maintained and improved. One of the strategies to maintain and improve the quality of clinical teachers is to understand the clinical teachers professional identity development. The integration of clinical teachers professional identity into clinicians identity is considered important to maintain the well-being and resistance in carry on the role as clinical teacher. Method: This is a qualitative study with phenomenological approach. Respondents were clinical teachers who were selected using maximum variety sampling strategy by considering the length of time being clinical teacher, gender, role as coordinator, and clinical rotation. There were three focus group discussion in which each group consists of 5-6 clinical teachers and thirteen in-depth interviews with thirteen clinical teachers to explore the development of clinical teachers professional identity. Result: This study identified factors related to self, situation, support, and strategy that could influence the development of clinical teachers professional identity. It was found that reflective abilities and community of practice were essential factors in undergoing a period of transition and the development of professional identity. Three narratives of integration of professional identity by respondents were found, namely the coalition of I-position as clinical teachers and clinicians, holding on to the clinicians I-position, and meta-position between professional and personal I-positions. Conclusion: Factors related to self, situation, support and strategy were identified as potential factors to support or hinder clinical teacher in transition. In addition, the narration of the integration process reflects the clinical teachers reflection upon their teaching roles and experiences.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwita Oktaria
"[ABSTRAK
Latar Belakang: Umpan balik memiliki peran penting pada proses pembelajaran
seseorang. Konsep mengenai perilaku mencari umpan balik telah banyak diteliti
tetapi masih terdapat gambaran yang belum lengkap mengenai berbagai aspek
terkait perilaku mencari umpan balik tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk
mengeksplorasi perilaku mencari umpan balik mahasiswa kedokteran di Fakultas
Kedokteran Universitas Lampung (FK Unila) secara mendalam.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan
fenomenologi. Pengumpulan data dilakukan melalui FGD (focus group
discussion) dengan mahasiswa FK Unila Angkatan 2012, 2013 dan 2014.
Triangulasi data dilakukan melalui FGD dengan staf pengajar, wawancara dengan
ketua tim Medical Education Unit dan studi dokumen yang dilakukan selama
bulan April sampai dengan Mei 2015. Hasil FGD dan wawancara dituliskan
dalam bentuk transkrip verbatim lalu dilakukan analisis tematik dan koding.
Selanjutnya dilakukan reduksi dan penyajian data.
Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemahaman mahasiswa dan staf
pengajar mengenai umpan balik masih belum tepat. Motivasi mahasiswa untuk
mencari umpan balik disebabkan oleh keinginan untuk mendapatkan informasi
yang berguna bagi dirinya dan mengontrol kesan orang lain. Faktor penghambat
tersering mahasiswa dalam mencari umpan balik kepada staf pengajar adalah rasa
segan dan takut untuk mendapatkan komentar negatif mengenai dirinya.
Mahasiswa akan mencari umpan balik kepada orang yang memiliki hubungan
kedekatan dan kredibilitas yang baik dalam konteks lingkungan yang privat.
Kesimpulan: Belum adanya pemahaman yang sama mengenai pengertian umpan
balik menyebabkan proses pencarian dan pemberian umpan balik di FK Unila
belum berjalan secara efektif. Sistem pendidikan kedokteran yang hirarkis, faktor
budaya dan kesibukan staf pengajar merupakan beberapa faktor penghambat.
Institusi perlu membuat suatu kebijakan yang bertujuan untuk menumbuhkan
kesadaran dan menciptakan atmosfer bagi mahasiswa dan staf pengajar akan arti
penting umpan balik.

ABSTRACT
Background: Feedback has many important roles in an individual learning
process. The concept of feedback-seeking behaviour has been widely studied but
there is still lack of information on the aspects related to it. This study is aimed to
explore feedback-seeking behaviour of undergraduate medical students at Faculty
of Medicine University of Lampung.
Method: This study used qualitative research methods with phenomenological
approach. Data was collected through focus group discussion (FGD) with students
in Faculty of Medicine University of Lampung class of 2012, 2013 and 2014.
Similar method was used with faculty members to triangulate the data, and also an
in-depth interview with the head of Medical Education Unit and document
analysis. The result of FGD and interview were transcribed verbatim, analysed
thematically and coded, to reduce and present the data.
Result: The results obtained in this study indicate that the understanding of
students and lecturers of feedback is still incorrect. Students are motivated to seek
feedback because they want useful information and have the desire to control the
impressions of others. One of the biggest factors that inhibit students to seek
feedback from the lecturer is their fear in getting negative comments. Students
will look for feedback from people who have close relationships with them and
good credibility in the context of a private environment.
Conclusion: The absence of a common understanding of the meaning of feedback
causes the feedback-seeking and feedback-giving process on FK Unila not run
effectively. Hierarchical system of medical education, cultural factors and
lecturers? busy schedule are some factors that hinder feedback-seeking process.
Institutions need to make a policy to raise awareness and create an atmosphere for
students and faculty members on the importance of feedback, Background: Feedback has many important roles in an individual learning
process. The concept of feedback-seeking behaviour has been widely studied but
there is still lack of information on the aspects related to it. This study is aimed to
explore feedback-seeking behaviour of undergraduate medical students at Faculty
of Medicine University of Lampung.
Method: This study used qualitative research methods with phenomenological
approach. Data was collected through focus group discussion (FGD) with students
in Faculty of Medicine University of Lampung class of 2012, 2013 and 2014.
Similar method was used with faculty members to triangulate the data, and also an
in-depth interview with the head of Medical Education Unit and document
analysis. The result of FGD and interview were transcribed verbatim, analysed
thematically and coded, to reduce and present the data.
Result: The results obtained in this study indicate that the understanding of
students and lecturers of feedback is still incorrect. Students are motivated to seek
feedback because they want useful information and have the desire to control the
impressions of others. One of the biggest factors that inhibit students to seek
feedback from the lecturer is their fear in getting negative comments. Students
will look for feedback from people who have close relationships with them and
good credibility in the context of a private environment.
Conclusion: The absence of a common understanding of the meaning of feedback
causes the feedback-seeking and feedback-giving process on FK Unila not run
effectively. Hierarchical system of medical education, cultural factors and
lecturers’ busy schedule are some factors that hinder feedback-seeking process.
Institutions need to make a policy to raise awareness and create an atmosphere for
students and faculty members on the importance of feedback]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yoanita Widjaja
"Latar Belakang: Umpan balik merupakan komponen penting dalam pendidikan kedokteran yang dapat meningkatkan pembelajaran. Umpan balik pada tahap akademik memegang peran penting dalam pembelajaran konsep dasar untuk persiapan tahap klinik. Banyak faktor yang mempengaruhi efektivitas proses umpan balik ini, salah satu di antaranya yaitu aspek budaya. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi aspek budaya dalam proses umpan balik pada peserta didik dan staf pengajar di pendidikan kedokteran tahap akademik.
Metode: Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan etnografi. Pengumpulan data dilakukan selama bulan Februari sampai Maret 2016 melalui Focus Group Discussion (FGD) peserta didik angkatan 2009 hingga 2014, observasi latihan KKD dan wawancara mendalam staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara (FK UNTAR). Hasil FGD dan wawancara dituliskan dalam bentuk transkrip verbatim, kemudian dilanjutkan dengan analisis tematik dan koding. Analisis hasil observasi dilakukan dengan analisis tematik. Selanjutnya dilakukan reduksi dan penyajian data.
Hasil: Hasil penelitian ini menunjukkan banyaknya faktor yang berperan dalam proses umpan balik, baik pada saat pencarian maupun pada saat penerimaan dan pemberian umpan balik yang selanjutnya akan menentukan efektivitasnya. Aspek budaya berperan dalam beberapa hal. Budaya collectivism, high power distance dan sopan santun berperan dalam perilaku mencari umpan balik. Budaya femininity, masculinity pada peserta didik, serta terdapatnya kompetensi budaya pada staf pengajar dan dipegangnya prinsip pendidikan nasional Indonesia, Tut Wuri Handayani, berkontribusi dalam efektivitas umpan balik.
Kesimpulan: Aspek budaya memegang peran penting dalam proses umpan balik. Peran budaya tampak pada perilaku mencari umpan balik dan merupakan faktor penting untuk meningkatkan efektivitas umpan balik. Institusi perlu meningkatkan kemampuan staf pengajar dan peserta didik dalam memaknai proses umpan balik yang sadar budaya. Kompetensi budaya merupakan salah satu kemampuan yang dapat mendukung hal tersebut. Selain itu, institusi perlu menyusun kebijakan untuk membudayakan umpan balik pada lingkungan pendidikan kedokteran.

Background: Feedback is an important element in medical education since it can improve learning. Feedback has a significant role in learning in basic concepts during undergraduate medical program as a preparation for learning in the clinical years. A lot of factors influencing feedback process effectiveness, one of them is cultural aspect. This research was aimed at exploring cultural aspect related to feedback process within medical students and faculty in undergraduate medical education program.
Method: A qualitative study using an ethnography approach was applied as a research method. Data collection was conducted between February and March 2016 through Focus Group Discussion (FGD) with 2009-2014 batch of medical, direct observation of skills teaching in clinical skills laboratory and in-depth interview with the faculty members of Faculty of Medicine Tarumanagara University. Thematic analysis and coding were used to analyze FGD and in-depth interview transcripts and also observational data. Data reduction and presentation were then conducted.
Results: The themes emerged are related to influencing factors in feedback-seeking behaviour, feedback process and feedback effectiveness. Cultural aspects play an important role at some points within the feedback process. Collectivism, high power distance and politeness are cultural aspects found in feedback-seeking behaviour. Femininity-masculinity in medical students along with cultural competence of faculty members and also the principle of ?Tut Wuri Handayani? (the identity of Indonesian national education) are contributing factors in feedback effectiveness.
Conclusion: Cultural aspects are the key to understand the influencing factors in feedback-seeking behaviour and feedback effectiveness. There is a need for medical education institution to encourage faculty and medical students‟ cultural awareness within the feedback process. Cultural competence is an important component fit for that purpose. Moreover, institution needs to set a policy in order to establish feedback culture in medical education.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55671
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rukman Abdullah
"Latar belakang: Selama proses pendidikan, mahasiswa pendidikan dokter diharapkan mampu mengembangkan kemampuan critical thinking berpikir kritis , clinical reasoning penalaran klinis dan problem solving penyelesaian masalah . Perangkat kognitif tersebut ditopang oleh kemampuan metakognisi. Mahasiswa dengan metakognisi yang baik mampu mensinergikan pengetahuan yang dimiliki saat ini dengan strategi refleksi diri agar mencapai target belajar yang dikehendaki. Salah satu cara untuk mengetahui tingkat metakognisi mahasiswa adalah dengan Metacognition Awareness Inventory MAI . Sebelum menggunakan MAI dalam konteks pendidikan dokter, instrumen tersebut perlu divalidasi terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah untuk melakukan uji validitas dan reliabilitas MAI hasil adaptasi Bahasa Indonesia.
Metode: Penelitian potong lintang untuk menilai gambaran MAI adaptasi Bahasa Indonesia pada mahasiswa pendidikan dokter tahap akademik. Penelitian ini melalui 3 tahap yaitu adaptasi bahasa, uji coba, dan penelitian utama. Penelitian melibatkan seluruh mahasiswa FK Universitas Malahayati Bandar Lampung pada semester 2, 4, dan 6. Data diperoleh dengan menyebarkan 1200 kuesioner MAI hasil adaptasi Bahasa Indonesia selama bulan Mei 2014. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan SPSS dengan exploratory factor analysis EFA untuk mengetahui jumlah subskala baru sekaligus uji validitas dan reliabilitas.
Hasil: Kuesioner yang memenuhi syarat analisis sebanyak 757 eksemplar. Hasil uji validitas konstruk bernilai bagus, dengan hanya 1 butir kuesioner yang drop out dari 52 butir. Nilai koefisien korelasi ke 51 butir berada pada rentang 0,158 s/d 0,561 diatas nilai ambang >0,074 df-2: 755 dengan taraf signifikansi 5 . Ekstraksi 5 komponen kognitif persiapan, pengawasan, pengelolaan, strategi, dan penilaian menggunakan analisis point of inflexion pada scree plots dengan metode ekstraksi principal component analysis PCA dan rotasi promax. Hasil koefisien alfa kuesioner MAI hasil adaptasi Bahasa Indonesia bernilai sangat baik pada 0.904.
Kesimpulan: MAI hasil adaptasi Bahasa Indonesia memenuhi: 1 kriteria validitas konstruk, baik dari segi isi, proses respon, konsistensi internal, hubungan antar variabel, dan konsekuensi, 2 kriteria reliabilitas baik secara keseluruhan maupun persubskala. MAI hasil adaptasi Bahasa Indonesia valid dan reliabel untuk digunakan sebagai instrumen penilaian metakognisi dalam konteks pendidikan kedokteran tahap akademik.

Background During educational process, medical students are expected to develop critical thinking, clinical reasoning, and problem solving. These cognitive attributes are supported by student rsquo s metacognition. Students with good metacognition are able to synergize the knowledge possessed today with a strategy of self reflection in order to achieve the desired learning targets. There are several ways to measure student rsquo s metacognition, one of which is Metacognition Awareness Inventory MAI . Before conducting research using MAI in the context of medical education, the instrument needs to be validated first. The purpose of this study was to test the validity and reliability of Indonesian version of MAI.
Method A cross sectional study was conducted to assess Indonesian version of MAI in academic phase of medical student. This research divided into three stages language adaptation, pilot study, and main research. The study involved all students of the Faculty of Medicine University of Malahayati Bandar Lampung from semester 2, 4, and 6. Data obtained by distributing 1200 questionnaires May of 2014. The data were analyzed using SPSS with exploratory factor analysis EFA to know the number of factor extraction new subscale and at the same time to test the validity and reliability of the questionnaire.
Result Remaining 757 questionnaires were eligible for analysis. Construct validity of the questionnaire are good. Only one item of the questionnaire was drop out. The correlation coefficient of the remaining 51 items are in the range of 0.158 to 0.561 which is beyond threshold value of 0.074 df 2 755 , significance level of 5 . A point of inflexion analysis on scree plots were used to decide the number of component to be extracted. Extraction method is principal component analysis PCA with promax rotation. The 5 extracted components are preparation, monitoring, regulation, strategy, and assessment of cognitive. Chronbach of the Indonesian version of MAI is very good at level of 0,904.
Conclusion Indonesian version of MAI not only meet the criteria for selected construct validity content and internal structure but also the criteria for reliable questionnaire as a whole set and some subscales. Indonesian version of MAI is valid and reliable to be used as an instrument for metacognition assessment in the context of medical education at academic phase.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteraan Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rezki Yeti Yusra
"Latar Belakang : Penilaian praktik kolaborasi interprofesi tenaga kesehatan penting dilakukan untuk memberikan gambaran mengenai praktik kolaborasi interprofesi bagi praktisi kesehatan dan bagi institusi pendidikan yang merencanakan pengalaman pembelajaran bagi mahasiswa profesi kesehatan. Berdasarkan telaah literatur penilaian praktik kolaborasi interprofesi dapat menggunakan Collaborative Practice Assessment Tool CPAT . Instrumen CPAT belum pernah digunakan di Indonesia sehingga perlu dilakukan validasi terlebih dahulu. Tujuan penelitian ini adalah melakukan uji validitas dan reliabilitas CPAT adaptasi Bahasa Indonesia.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain potong lintang untuk menilai validitas kuesioner CPAT adaptasi Bahasa Indonesia pada tenaga kesehatan. Penelitian melibatkan 304 responden tenaga medis dan kesehatan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan dilaksanakan bulan Maret hingga Juni 2017. Penelitian ini melalui 3 tahap yaitu adaptasi bahasa, uji coba dan pengumpulan data untuk validasi. Data yang diperoleh kemudian dianalisis menggunakan perangkat SPSS 20.0 dengan exploratory factor analysis EFA untuk mengetahui jumlah subskala sekaligus menguji validitas dan reliabilitas kuesioner.
Hasil : Sejumlah 304 kuesioner memenuhi untuk syarat analisis lebih lanjut. Hasil uji validitas konstruk ,menunjukkan hasil baik dan terdapat 3 butir pernyataan yang dihilangkan. Nilai koefisien korelasi 53 butir pernyataan > 0,3 dengan tingkat signifikansi 5 . Ektraksi dengan metode principal component analysis dan rotasi oblimin memperoleh 8 komponen hubungan antar anggota tim; hambatan dalam tim; hubungan tim dengan masyarakat; koordinasi dan pembagian peran dalam tim; pembuatan keputusan dan manajemen konflik; kepemimpinan; misi, tujuan, sasaran; keterlibatan pasien, tanggung jawab dan otonomi . Nilai koefisien alfa kuesioner CPAT adaptasi Bahasa Indonesia sangat baik yaitu 0,916.
Kesimpulan : CPAT adaptasi Bahasa Indonesia valid dan reliabel untuk digunakan sebagai instrumen penilaian praktik kolaborasi interprofesi. Terdapat perubahan distribusi butir kuesioner pada komponen dan perbedaan komponen CPAT versi asli dan CPAT adaptasi Bahasa Indonesia. Instrumen CPAT adaptasi Bahasa Indonesia memenuhi kriteria validitas konstruk dan kriteria reliabilitas yang baik secara keseluruhan maupun setiap komponen. Kuesioner CPAT dapat digunakan lebih lanjut untuk menilai praktik kolaborasi interprofesi tenaga kesehatandi Indonesia.

Background Assessment of interprofessional collaborative practice of healthcare practitioners is important to provide an overview of current practices. The assessment is also strategic for educational institutions that plan to prepare learning experiences for medical and health professions rsquo students. A thorough literature review suggested that the Collaborative Practice Assessment Tool CPAT can be used to assess the practice of interprofessional collaboration in health setting. This instrument has not been used in Indonesia hence,it must be validated first. The purpose of this study was to provide evidence on the validity and reliability of Indonesian adaptation of CPAT.
Method This study used cross sectional design to provide evidence on the validity and reliability of Indonesian version of CPAT questionnaire. The study involved 304 medical and healthcare practitioners at Cipto Mangunkusumo Hospital from March to June 2017. The study was conducted through 3 stages language adaptation, pilot study and validation study. The data was analyzed using SPSS 20.0 with exploratory factor analysis EFA to identify the number of subscales and to provide evidence of the validity and reliability of the questionnaire.Result A total of 304 completed questionnaires were eligible for analysis.
The results of the construct validity test was good and a total of 3 items were removed from 56 item of an original CPAT. The correlation coefficient of 53 items was 0.3 with significance level of 5 . Extraction using principal component analysis and oblimin rotation method resulted in 8 components relationships among members team barriers team relationships with community coordination and role sharing decision making and conflict management leadership, missions, meaningful purpose, goals patient involvement responsibilty and autonomy . Cronbach alpha of Indonesian version of CPAT was very good 0,916.
Conclusion The Indonesian version of CPAT was valid and reliable to be used as an instrument to assess interprofessional collaborative practice of health professionals. There were some changes in the total number of items, the distribution of items to the subscales and identified subcales in Indonesian CPAT compared to the original CPAT. The Indonesian version of CPAT fulfills the criteria of construct validity and reliability of a questionnaire both as a whole set and in each subscale. The questionnaire can be used further to assess interprofessional collaboration practiceof health professionals in Indonesia."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Celly Anantaria Atmadikoesoemah
"Latar Belakang: Proses pendidikan kedokteran berawal dari seleksi calon peserta didik. Faktor nonakademik, yang meliputi kualitas dan nilai-nilai yang dianut seseorang ternyata dapat mempengaruhi tingkat keberhasilan seseorang, sehingga perlu dinilai sejak awal. Salah satu instrumen uji potensi/ psikometrik yang mampu mengukur hal tersebut adalah situational judgement test SJT . Hingga saat ini belum ada studi mengenai penggunaan SJT sebagai bagian uji seleksi masuk program pendidikan spesialis di Indonesia.
Metode: Penelitian ini merupakan suatu studi validasi butir soal SJT yang mengukur kemampuan nonakademik calon peserta didik pada Prodi IPJPD FKUI. Atribut uji meliputi profesionalisme, komunikasi efektif, dan kepemimpinan. Penelitian bersifat kuantitatif dengan rancangan potong lintang dengan melakukan uji coba terhadap seluruh PPDS Prodi IPJPD FKUI. Analisis dilakukan antara lain dengan mengevaluasi tingkat kesulitan item difficulty dan konsistensi internal internal consistency.
Hasil: Validitas isi dilakukan melalui penyelenggaraan rapat ahli dan pemilihan soal untuk diujicobakan terhadap seluruh PPDS Prodi IPJPD FKUI. Sepuluh dari enam puluh soal yang dirapatkan oleh para ahli gagal mencapai kesepakatan sehingga digugurkan. Nilai 50 soal SJT yang diujicobakan terhadap PPDS berdistribusi normal. Indeks kesulitan soal antara 56-88 . Terdapat 22 dari total soal dengan indeks kesulitan melebihi 80 . Rerata capaian PPDS pada atribut profesionalisme sebesar 716,89 3,60 dengan nilai maksimal yang ditargetkan adalah 968, rerata capaian pada atribut komunikasi efektif adalah 302,24 15,41 dengan nilai maksimal yang ditargetkan adalah 408, dan rerata capaian PPDS pada atribut kepemimpinan adalah 644,82 30,71 dengan nilai maksimal yang ditargetkan adalah 868. Rerata nilai SJT PPDS laki-laki lebih tinggi daripada rerata nilai SJT PPDS perempuan 720,57 35,38 vs 711,62 32,14, p > 0,05 . Tidak ditemukan pengaruh usia dan tahap pendidikan terhadap nilai total SJT PPDS. Terdapat 17 soal yang tidak berkorelasi signifikan dengan skor total sehingga dinyatakan tidak valid. Tiga puluh tiga soal 66 dinyakan valid dengan nilai reabilitas Cronbach Alpha sebesar 0,809.
Kesimpulan:Tidak adanya perbedaan bermakna pada nilai SJT berdasarkan usia, jenis kelamin, dan tahap pendidikan menunjukkan bahwa SJT bersifat netral fair . Hal ini penting bagi uji seleksi yang bersifat high stakes. Nilai SJT yang didapat calon peserta didik sebaiknya tidak digunakan sebagai penapis peserta didik tersebut untuk mengikuti pendidikan pada prodi; pertimbangan layak tidaknya seseorang diterima sebagai calon peserta didik memerlukan penilaian ataupun uji lainnya, dengan pertimbangan adanya soal-soal SJT yang tidak bersifat diskriminatif karena memiliki indeks kesulitan melebihi 80.

Background: Selection is the first assessment in the medical education and training pathway. In addition to the academic ability, the non academic attributes are also important to be assessed. Situational judgement tests SJT provides a reliable method for measuring important non academic attributes that are important for education and training. To the best of our knowledge, no previous study has explored the use of SJT in postgraduate training selection system in any medical school in Indonesia.
Methods: This cross sectional study was to validate the SJT that measure the non academic attributes in candidates of Cardiology and Vascular Medicine Study Program Postgraduate Training. Specifically, we addressed three non academic attributes, i.e professionalism, effective communication, and leadership. Pilot testing was done on all current residents of the study program. The SJT item difficulty and internal consistency were analyzed.
Results: Content validity was conducted by performing expert review, releasing fifty out of sixty SJT scenarios to be piloted on the residents. SJT scores were relatively normally distributed. The difficulty index was in the expected range 56 88 . 22 SJT scenarios had difficulty index value above 80 . The mean score on professionalism was 716.89 3.60 maximal targeted score was 968 the mean score on effective communication was 302.24 15.41 maximal targeted score was 408 the mean score on leadership was 644.82 30.71 maximal targeted score was 868 . Males outperformed females on the mean SJT score 720.57 35.38 vs 711.62 32.14, p 0.05 . There are no significant differences on SJT scores with respect to residents rsquo age and their three level of cardiology training. Seventeen out of 50 piloted SJT scenarios had no significant correlation, and thus considered non valid the rest of the scenarios 66 were valid with good realibility Cronbach rsquo s Alpha 0.809.
Conclusion: No statistically significant group differences in performance on SJT based on gender, age, and level of cardiology training showed that SJT was fair. Fairness was essential in any high stakes tests. Concerning that there were some SJT rsquo s scenarios with difficulty index above 80 , we suggested that the SJT not be used as a single instrument in sifting candidates out of the postgraduate training.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Feni Fitriani Taufik
"ABSTRAK Latar belakang :Pendidikan dokter spesialis merupakan pendidikan orang dewasa adult learner untuk mencapai kompetensi klinis yang diharapkan Lingkungan pendidikan merupakan salah satu aktor yang perlu dipertimbangkan dalam pengembangan kurikulum dan proses pendidikan Lingkungan pendidikan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang dirasakan oleh peserta didik yang dapat mempengaruhi proses pendidikan. Perlu lingkungan pendidikan yang mendukung untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran peserta didik. Penelitian ini bertujuan mengetahui persepsi peserta didik, pengelola program dan staf pengajar terhadap lingkungan pendidikan pada Program Pendidikan DokterSpesialis PPDS Paru, FKUI. Metode :Jenis penelitian yang digunakan adalah mixed methods dengan setting sequential explanatory design. Tahap pertama dilakukan penelitian kuantitatif dengan menggunakan kuesioner Postgraduate Hospital Educational Enviroment Measure PHEEM yang diisi oleh peserta PPDS Paru pada bulan Maret-Juni 2014.Hasil PHEEM ini dielaborasi lebih lanjut melalui penelitian kualitatif berupa Focus Group Discussion pada peserta PPDS Paru dan wawancara mendalam dengan pengelola program dan staf pengajar di Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi, FKUI.Hasil :Sebanyak 87 89,7 peserta PPDS Paru periode Maret-Juni 2014 telah mengisi kuesioner PHEEM dan didapatkan sebanyak 74,7 peserta menilai lingkungan pendidikan lebih banyak positif dari pada negative dan memerlukan perbaikan 100,85; rentang nilai 81-120 . Peran otonomi dinilai positif oleh 79,3 peserta 36,93; rentang nilai 29-42 , pengajaran dianggap sudah bergerak kearah yang benar oleh 62,1 peserta 36,56; rentang nilai 31-45 dan 70,1 berpendapat bahwa dukungan social lebih banyak pro dari pada kontra 27,36; rentang nilai 23-33 .Pada penelitian kualitatif diperoleh hasil bahwa peran otonomi yang perlu diperbaiki adalah tersedianya panduan pengajaran dan protokol klinis yang informatif, diperlukan perbaikan system supervise dan pemberian umpan balik pada peran pengajaran, dan perbaikan budaya menyalahkan dan meningkatkan peran penasehat akademik dalam bimbingan dan konseling pada dukungan sosial. Kesimpulan :Lingkungan pendidikan pada PPDS Paru dinilai cukup baik dan kondusif. Perbaikan yang diperlukan untuk menjadikan lingkungan pendidikan lebih optimal adalah pembuatan Buku Rancangan Pengajaran yang informatif, optimalisasi logbook sebagai salah satu instrument evaluasi, peningkatan supervise oleh staf pengajar, keterampilan pemberian umpan balik dan peran pembimbing akademik dalam evaluasi peserta PPDS. Kata kunci :Lingkunganpendidikan, PHEEM, Mixed methods

ABSTRACT
Background Educational environment is one of the most important factor should be considered in curriculum development. Educational environment is the condition that may affect education process in student. Specialty in medicine is adult learning process to gain define clinical competence. Process ofeducationcan be accelerated with proper educational environment. This study aims to Perception of resident, clinical teacher and study program manager to educational environment in Pulmonology dan Respiratory Medicine Residency Program, Faculty of MedicineUniversitasIndonesia. Methods This study using mixed methods with sequential explanatory design.Preliminary of this study is a quantitative study using Postgraduate Hospital Educational Environment Measure PHEEM questionnaire to Pulmonology residentsonMarch until June 2014. The results of the questionnaire will be elaborated with qualitative study based on Focus Group Discussionamong Pulmonology residents and deep interview to the study program manager and clinical teachers at the Department of Pulmonology and Respiratory Medicine FMUI. Result Eighty seven 89,7 pulmonology residents on March until June 2014 had filled in PHEEM questionnaire resulting in mean of perception of the educational environment total PHEEM mostly 74,7 positive and need to be improved score 100,85 81 120 . Positive perception of the autonomy role is 79,3 score 36,93 29 42 , perception that the teaching role performed in the correct way62,1 score 36,56 31 45 and 70,1 of perception stated pro to social support rather than cons score 27,36 22 33 . The qualitative study resulting an autonomy role which is need to be improved availability of teaching guideline and informative clinical protocols. Based on several aspect of teaching role, we need toimproved the supervision system and feedback giving. The blamming culture, supervision and counseling are the factors that need toimproved on social supporting role. ConclusionEducational environment in Pulmonology and Respiratory Medicine Residency Program is positive and condusive. Theimprovement need of the informative ldquo BukuRancanganPengajaran rdquo and optimalizationof logbook as one of the evaluation instrument.Role of staffs in supervising resident skills, feedback and the role of the academic mentor in evaluating residents still need improvement foroptimalization educational environment that may lead to support the adult learning process in students.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>