Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 6 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ucca Ratulangi Widitha
"

Latar Belakang: Peningkatan jumlah bakteri Salmonella Typhi dengan resistensi terhadap antibiotik lini pertama menjadi beban ganda bagi negara berkembang di Asia termasuk Indonesia sehingga diperlukan antibiotik alternatif untuk menghadapinya. Daun Carica papaya memiliki komponen-komponen antibiotik sehingga berpotensi menjadi antibiotik alternatif.

Metode: Pada penelitian ini dilakukan uji eksperimental dengan ekstraksi daun C.papaya dengan pengenceran menjadi 4 konsentrasi; 100 mg/ml, 75 mg/ml, 50 mg/ml, dan 25 mg/ml. Tiap konsentrasi diuji aktivitas antibakteri terhadap Salmonella Typhi dengan metode difusi cakram dan uji konfirmasi dengan metode broth dilution. Diameter zona inhibisi pertumbuhan bakteri dengan metode difusi cakram diukur kemudian dianalisis

Hasil: Hasil dari penelitian difusi cakram tidak membuktikan adanya aktivitas antibiotik dari ekstrak daun C.papaya terhadap Salmonella Typhi sementara uji konfirmasi dengan metode broth dilution membuktikan adanya aktivitas antibakteri oleh keempat konsentrasi ekstrak terhadap Salmonella Typhi.

Kesimpulan: Kesimpulan dari penelitian ini adalah ekstrak daun C.papaya memiliki aktivitas antibakteri terhadap Salmonella Typhi


Background: Increasing incidence of resistant Salmonella Typhi strain towards first-line antibiotics has become a high burden in Asia’s developing countries including Indonesia impacting the need of an alternate antibiotic. Carica papaya leaves extract contain antibiotic components making it a potential alternative antibiotic.

Methods: This experimental research uses extraction of the C.papaya leaves with dilution into 4 concentrations; 100 mg/ml, 75 mg/ml, 50 mg/ml, and 25 mg/ml. Each concentration undergo antimicrobial susceptibility testing towards Salmonella Typhi with disc diffusion method and confirmatory test with broth dilution method. Diameter of inhibition zone of Salmonella Typhi bacterial growth in disc diffusion method will be measured and analyzed.

Results: Results show that the disc diffusion method was not able to prove the antibacterial activity of C.papaya leaves extract against Salmonella Typhi while the confirmatory test with broth dilution method has successfully proven antibacterial activity of the four extract concentrations towards Salmonella Typhi.

Conclusion: This research concluded that Carica papaya leaves extract has antibacterial activity towards Salmonella Typhi.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadhira Najma Azizah
"Salmonella typhi adalah bakteri penyebab demam tifoid, yaitu penyakit yang dapat menyebabkan demam tifoid penyakit yang mengancam jiwa yang sering ditemukan di negara berkembang. Penampilan Salmonella typhi yang kebal antibiotik telah mengganggu efektivitas antibiotik digunakan sebagai obat demam tifoid. Syzygium aromaticum adalah rempah-rempah yang dikenal sebagai salah satu obat tradisional dan terbukti khasiatnya antibakteri terhadap bakteri yang menyebar melalui makanan, salah satunya adalah Salmonella typhi. Bunga cengkeh diekstraksi dengan etanol menggunakan metode kelelahan. Selanjutnya, ekstrak diencerkan menjadi empat konsentrasi yang berbeda (200 mg/ml, 100 mg/ml, 50 mg/ml, 25 mg/ml) untuk diuji terhadap bakteri
Salmonella typhi menggunakan metode difusi cakram. Diameter zona
hambatan kemudian diukur. Data dianalisis menggunakan One-Way ANOVA dan Uji Post-Hoc Tamhane. Uji konfirmasi dilakukan dengan menggunakan metode pengenceran cair. Dari percobaan ini, tidak ada zona hambat dari empat konsentrasi ekstrak yang berbeda terhadap pertumbuhan Salmonella typhi. Kesimpulannya, ekstrak bunga cengkeh tidak menghasilkan zona hambat pada kultur Salmonella typhi menggunakan metode difusi cakram. Hal ini dapat disebabkan oleh
pengaruh sifat ekstrak dan jenis/kondisi kertas cakram yang digunakan
digunakan untuk proses difusi senyawa antibakteri dalam ekstrak ke dalam medium yang seperti itu.
Salmonella typhi is the bacteria that causes typhoid fever, a disease that can cause typhoid fever, a life-threatening disease that is often found in developing countries. The appearance of antibiotic-resistant Salmonella typhi has interfered with the effectiveness of antibiotics used as typhoid fever drugs. Syzygium aromaticum is a spice that is known as a traditional medicine and has proven antibacterial properties against bacteria that spread through food, one of which is Salmonella typhi. Clove flowers were extracted with ethanol using the fatigue method. Next, the extract was diluted into four different concentrations (200 mg/ml, 100 mg/ml, 50 mg/ml, 25 mg/ml) to be tested against bacteria.
Salmonella typhi using disc diffusion method. Zone diameter
resistance is then measured. Data were analyzed using One-Way ANOVA and Tamhane Post-Hoc Test. Confirmation test was carried out using the liquid dilution method. From this experiment, there was no inhibition zone of four different extract concentrations on the growth of Salmonella typhi. In conclusion, clove flower extract did not produce a zone of inhibition in Salmonella typhi culture using the disc diffusion method. This can be caused by
the effect of the nature of the extract and the type/condition of the disc paper used
used for the process of diffusion of antibacterial compounds in the extract into such a medium."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Evinia Listiania
"ABSTRAK
Latar Belakang: Demam tifoid disebabkan oleh infeksi bakteri gram negatif Salmonella typhii. Gejala dari demam tifoid adalah demam, nyeri abdomen, sakit kepala, dan menurunnya nafsu makan. Penggunaan antibiotik yang berlebihan telah memunculkan permasalahan dalam pengobatan demam tifoid, yaitu resistensi Salmonella typhii terhadap beberapa antibiotik standar. Daun Annona muricata atau sirsak sering digunakan sebagai pengobatan tradisional dan terbukti memiliki sifat antimikrobial terhadap S.typhii. Maka, penggunaan ekstrak daun Annona muricata diharapkan dapat menghambat pertumbuhan S.typhii.
Metode: Daun sirsak diekstraksi dengan metode maserasi dan menggunakan pelarut metanol. Kemudian ekstrak diencerkan menjadi 4 konsentrasi (400 mg/ml, 200 mg/ml, 100 mg/ml, 50 mg/ml) dan diuji efek antibakterinya terhadap isolat bakteri Salmonella typhii melalui metode difusi cakram. Lalu, diameter zona hambat dari setiap cakram diukur dan diinterpretasikan.
Hasil: Pada penelitian ini, tidak terdapat zona inhibisi pada kertas cakram yang mengandung ekstrak daun Annona muricata.
Konklusi: Oleh karena itu, efek antibakteri ekstrak daun Annona muricata terhadap pertumbuhan bakteri S.typhii tidak dapat diamati dengan metode difusi cakram dikarenakan metode difusi cakram dapat mengurangi difusi molekul ekstrak ke dalam agar. Namun, metode dilusi cair, dapat menunjukkan efek antibakteri ekstrak daun Annona muricata."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anggy Puspasari
"Latar belakang: Sterilisasi merupakan proses menghancurkan mikroba yang dapat dilakukan melalui proses fisik atau kimia. Vaporized hydrogen peroxide (VHP) merupakan teknologi sterilisasi cepat dengan menggunakan hidrogen peroxida (H2O2) yang bersifat antimikroba berspektrum luas. Alat ini tidak menghasilkan produk sampingan berbahaya, relatif murah, tersedia secara luas dan mudah digunakan.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas VHP Departemen THT-KL RSCM-FKUI untuk sterilisasi instrumen medis pemeriksaan fisik THT-KL.
Metode: Penelitian eksperimental ini dilakukan di Departemen THT-KL, Departemen Mikrobiologi, dan RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Sampel pada penelitian ini adalah corong telinga, spekulum hidung, dan spatel lidah yang telah digunakan di unit rawat jalan dan belum disterilisasi. Instrumen medis yang telah berkontak dengan pasien ditempelkan pada media kontak agar dan kemudian disterilisasi dengan VHP dengan durasi 30 menit, 60 menit, dan 90 menit. Selanjutnya, dilakukan penilaian terhadap jumlah mikroorganisme pada pasca sterilisasi. Uji statistik dilakukan untuk melihat perbandingan rerata jumlah koloni pra- dan pasca-sterilisasi, serta hubungan antara durasi sterilisasi dengan efektivitas sterilisasi
Hasil: Terdapat total 27 sampel yang dilibatkan dalam penelitian ini. Pada durasi sterilisasi 30 menit, 3 dari 9 sampel (33,3%) memiliki sisa mikroorganisme pasca sterilisasi. Pada durasi sterilisasi 60 menit dan 90 menit, seluruh sampel pasca sterilisasi ditemukan steril. Dari hasil analisis statistik, ditemukan perbedaan rerata jumlah koloni yang bermakna antara sebelum dan sesudah sterilisasi pada durasi 30 menit (p=0,000), 60 menit (p=0,008) dan 90 menit (p=0,008). Sementara itu, tidak terdapat hubungan bermakna antara durasi sterilisasi dengan efektivitas sterilisasi.
Kesimpulan: Metode sterilisasi instrumen medis dengan VHP terbukti efektif pada durasi 30 menit, 60 menit, maupun 90 menit. Jenis mikroorganisme yang belum mati pada sebagian sampel durasi sterilisasi 30 menit adalah Staphylococcus epidermidis dan Bacillus sp.

Background: Sterilization is a process of destroying microbes which can be done through physical or chemical means. Vaporized hydrogen peroxide (VHP) is a rapid sterilization method which involves the use of hydrogen peroxide (H2O2) with its broad-spectrum antimicrobial property. This method does not produce harmful side products, is relatively cheap, widely available and easy to use.
Objective: This study was conducted to evaluate the effectivity of VHP for the sterilization of medical instruments in Department of ENT-HNS RSCM-FKUI.
Method: This experimental study was conducted in Department of ENT-HNS and Department of Microbiology RSCM-FKUI. Sample included ear speculum, nose speculum and tongue spatula which have been used in the outpatient clinic and have not been sterilized. Medical instruments that have been in contact with patients were affixed to agar contact medium and were sterilized with VHP in 30 minutes, 60 minutes and 90 minutes. The number of microorganisms post-sterilization was also calculated. Statistical analysis was done with the aim of finding the difference between the number of colonies before and after sterilization and the association between sterilization duration and effectivity.
Results: A total of 27 samples were involved in this research. With sterilization duration of 30 minutes, 3 out of 9 samples (33,3%) had remaining microorganisms after sterilization. With sterilization duration of 60 minutes and 90 minutes, all post-sterilization samples were sterile. From statistical analysis, there were significant differences between the number of colonies after and before sterilization in 30 minutes (p=0,000), 60 minutes (p=0,008) and 90 minutes (p=0,008) duration. Meanwhile, there was no significant association between duration of sterilization and its effectivity.
Conclusion: VHP sterilization method of medical instruments were effective in 30 minutes, 60 minutes and 90 minutes duration. The types of microorganisms remaining in several samples post 30 minutes sterilization were Staphylococcus epidermidis dan Bacillus sp.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Lina Herliyana
"Latar Belakang : Siprofloksasin adalah salah satu antibiotik yang paling banyak digunakan untuk mengobati ISK yang paling sering disebabkan oleh Escherichia coli. Nilai konsentrasi hambat minimum (KHM)/ minimal inhibitory concentration (MIC) digunakan sebagai uji kepekaan kuantitatif yang rutin dilakukan di laboratorium mikrobiologi. Sehubungan dengan meningkatnya resistensi siprofloksasin pada pasien ISK, perlu dilakukan evaluasi batas ambang uji KHM/MIC sebagai dasar penentuan dosis siprofloksasin sesuai farmakokinetik dan farmakodinamiknya. Dilihat juga riwayat ISK berulang dan penggunaan antibiotika 3 bulan terakhir sebagai faktor risiko yang mempengaruhi terjadinya peningkatan nilai KHM/MIC.
Metode : Studi potong lintang dengan eksperimental laboratorium dilakukan pada tahun 2019-2020. Isolasi uropatogen dilakukan pada 106 sampel urin pasien dengan diagnosis klinis ISK yang berobat ke Puskesmas dan RSUD di kota Tangerang Selatan, serta beberapa RS di Jakarta. Uji kepekaan dilakukan dengan melihat nilai KHM/MIC beberapa antibiotik untuk ISK. Selanjutnya dilakukan uji Mutant Prevention Concentration (MPC) siprofloksasin terhadap E. coli, dengan cara menilai konsentrasi siprofloksasin terendah yang mampu membunuh 1010 koloni E. coli yang ditumbuhkan pada agar Mueller-Hinton, yang diinkubasi pada suhu 370C sampai dengan 96 jam. Nilai MPC dibandingkan dengan peningkatan nilai KHM/MIC dan faktor risiko yang mempengaruhinya.
Hasil : Hasil kultur urin ≥100.000 CFU/ml ditemukan pada 95 (89,6%) dari 106 pasien dewasa dengan diagnosis klinis ISK, yang terdiri dari 67,4% perempuan dan 32,6% laki-laki. E. coli merupakan penyebab terbanyak ISK yaitu 58,6%, dengan 36,2% isolat terdeteksi sebagai ESBL. Pola kepekaan siprofloksasin pada E. coli kurang dari 50%, dan lebih rendah lagi pada bakteri ESBL. Mutan E. coli ditemukan di semua isolat yang sensitif, terutama pada nilai KHM/MIC yang berada di batas ambang yang sensitif. Riwayat penggunaan antibiotik 3 bulan terakhir lebih tinggi risikonya dibandingkan riwayat ISK berulang untuk peningkatan nilai KHM/MIC pada mutan E. coli resisten siprofloksasin.
Kesimpulan : Penggunaan siprofloksasin untuk pengobatan ISK harus digunakan secara bijak. Nilai batas ambang sensitif KHM/MIC perlu diturunkan untuk mencegah kegagalan terapi disebabkan keberadaan mutan E. coli resisten siprofloksasin. Riwayat penggunaan antibiotik 3 bulan terakhir dan ISK berulang berisiko untuk peningkatan nilai KHM/MIC pada mutan E. coli resisten siprofloksasin

Background : Ciprofloxacin is one of the most widely used antibiotics to treat the UTIs commonly caused by Escherichia coli. Minimum inhibitory concentration (MIC) value is used as a quantitative susceptibility test, routinely carried out in the microbiology laboratory. Due to the increasing resistance of ciprofloxacin in UTI patients, it is necessary to evaluate the MIC threshold as a basis for determining the dose of ciprofloxacin accordingly to pharmacokinetics and pharmacodynamics. Assessment of recurrent UTI and antibiotic used in the last 3 months is also conducted as risk factors affecting the increase of MIC value.
Methods : A cross-sectional study and laboratory experiments were conducted in 2019-2020. Isolation of uropathogen was conducted on 106 urine samples from patients with a clinical diagnosis of UTI who went to the community health centre and regional hospital in South Tangerang, as well as several hospitals in Jakarta. Susceptibility testing was performed to detect the MIC value of several antibiotics for UTIs. After that, the Mutant Prevention Concentration (MPC) test of ciprofloxacin was carried out against E. coli, by assessing the lowest ciprofloxacin concentration which was able to kill 1010 E. coli colonies grown on Mueller-Hinton agar, incubated at 370C for up to 96 hours. The MPC value is compared with the increasing MIC value and the risk factors that influence it.
Results : Urine culture results of ≥100,000 CFU/ ml were found in 95 (89.6%) of 106 adult patients with a clinical diagnosis of UTI, consisting of 67.4% female and 32.6% male. E. coli was the most common cause of UTI, i.e. 58.6%, including 36.2% of the isolates detected as ESBL. The sensitivity pattern of ciprofloxacin against E. coli was less than 50%, and lower in ESBL bacteria. E. coli mutants were found in all sensitive isolates, especially in isolates with MIC value on the sensitivity threshold. Antibiotics used in the last 3 months had a higher risk than recurrent UTIs for increasing MIC values in E. coli mutants resistant to ciprofloxacin.
Conclusion : The use of ciprofloxacin for the treatment of UTIs must be used wisely. The sensitivity threshold of MIC value should be reduced to prevent treatment failure due to the presence of E. coli mutants resistant to ciprofloxacin. Antibiotics used for the last 3 months and recurrent UTIs are at risk for increasing of MIC values in E. coli mutants resistant to ciprofloxacin.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Livya Holiwono
"Latar Belakang: Terdapat peningkatan angka kejadian sepsis pada populasi pediatrik. Bakteri batang Gram negatif merupakan mikroorganisme penyebab terbanyak sepsis pada pediatrik. Studi dari berbagai negara melaporkan terdapat peningkatan angka resistansi bakteri batang Gram negatif namun laporan dari negara berpenghasilan rendah seperti Indonesia masih kurang. Penelitian ini melakukan pemeriksaan fenotipik dan genotipik untuk mengetahui prevalensi bakteri batang Gram negatif resistan multiobat pada pasien pediatrik dengan diagnosis sepsis di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada tahun 2020.
Metode: Studi cross-sectional ini dilakukan Februari hingga Oktober 2020 dengan subjek penelitian pasien pediatrik dengan diagnosis kerja sepsis yang dirawat di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo tahun 2020 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Masing-masing subjek dilakukan pengambilan spesimen darah 2 lokasi. Organisme diidentifikasi dan uji kepekaan dengan mesin VITEK-2 dan pemeriksaan molekular dengan Hybridspot-12. Data rekam medis pasien dikumpulkan untuk mencari faktor yang memengaruhi sepsis akibat bakteri batang Gram negatif resistan multiobat.
Hasil Penelitian: Didapatkan 94 spesimen darah dari 47 subjek penelitian dengan prevalensi bakteri batang Gram negatif resistan multiobat sebesar 14,9% (7/47). Patogen Gram negatif yang ditemukan adalah Klebsiella pneumonia sebesar 12,8% (6/47) dan Enterobacter cloaceae 2,13% (1/47). Studi ini mendeteksi gen ESBL yang terdiri dari 13 CTX-M dan 8 SHV serta gen karbapenemase yang terdiri dari 12 NDM dan 1 GES. Dari delapan faktor yang dianalisis bivariat didapatkan lama hari rawat sebelum pengambilan spesimen (p= 0,02) dan asal ruang perawatan pasien (p= 0,04) sebagai faktor yang berhubungan dengan infeksi bakteri batang Gram negatif resistan multiobat.
Kesimpulan: Pada studi ini, bakteri batang Gram negatif resistan multiobat merupakan patogen penyebab sepsis terbanyak pada pediatrik. Program pengendalian infeksi dan pengendalian resistansi antibiotik perlu digalakkan untuk membatasi transmisi dan kejadian mikroba resistan multiobat.

Background: There is an increasing incidence of sepsis in the pediatric population. Gram-negative rods are the most common cause of pediatric sepsis. Studies from various countries report an increase in the resistance rate of Gram-negative rods but reports from low-income countries such as Indonesia are still lacking. This study carried out phenotypic and genotypic examinations to determine the prevalence of multidrug-resistant Gram-negative bacteria in pediatric patients with a diagnosis of sepsis at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in 2020.
Method: This cross-sectional study was conducted from February to October 2020. Each subject took blood specimens at 2 locations. Organisms were identified and susceptibility assayed with the VITEK-2 machine and molecular assay with Hybridspot-12. Data from pediatric patients with a working diagnosis of sepsis who met the inclusion and exclusion criteria were assessed for factors that influence sepsis due to multidrug-resistant Gram-negative bacteria.
Results: Among 47 patients, 94 blood specimens were obtained. Prevalence of multidrug-resistant Gram-negative bacteria was 14.9% (7/47). The pathogen found were Klebsiella pneumonia by 12.8% (6/47) and Enterobacter cloacae 2,13% (1/47). This study detected an ESBL genes consisting of 13 CTX-M and 8 SHV and carbapenemase genes consisting of 12 NDM and 1 GES. Of the eight factors analyzed, the length of hospitalization before specimen collection (p = 0.02) and the patient’s ward (p = 0.04) were factors associated with multidrug-resistant Gram-negative bacterial infection.
Conclusion: In this study, multidrug-resistant Gram-negative rods were the most common pathogen causing sepsis in pediatrics. Infection control and antibiotic resistance control programs need to be promoted to limit the transmission and development of multidrug-resistant organisms.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library