Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 31 dokumen yang sesuai dengan query
cover
M. Kristi Levania
"Infeksi HIV merupakan masalah kesehatan di dunia yang terus meningkat kejadiannya di Indonesia. Semenjak adanya terapi antiretroviral, usia harapan hidup anak terinfeksi HIV meningkat sehingga fokus pengobatan berubah menjadi kualitas hidup anak. Salah satu tahapan yang harus dilakukan pada anak adalah pembukaan status HIV disclosure . Disclosure dapat meningkatkan kepatuhan anak terhadap terapi HIV. Pada negara maju, kurangnya pedoman yang tepat menyebabkan variasi angka pelaksanaan disclosure antara 18-77 . DI negara berkembang seperti Indonesia, disclosure hanya dilakukan pada 9 anak terinfeksi HIV. Hal ini belum mendapat perhatian dari pemerintah, terutama mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi pelaksanaan disclosure. Studi cross-sectional dilakukan terhadap 101 pasien anak terinfeksi HIV di RSCM, Jakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2016 dengan menggunakan kuesioner yang ditanyakan kepada pengasuh pasien anak terinfeksi HIV. Dari 101 anak terinfeksi HIV, hanya sebanyak 31 30,7 pasien sudah mengetahui status HIV-nya. Pada penelitian ini didapatkan hanya keikutsertaan ke dalam kelompok dukungan sebaya KDS yang berhubungan dengan waktu pembukaan status HIV p=0,002 . Sedangkan latar belakang pendidikan, pendapatan, dan pengetahuan tentang disclosure tidak berhubungan bermakna dengan waktu pembukaan status p=0,733; p=0,283; p=0,745 . Sebanyak 30,7 anak terinfeksi HIV pada penelitian ini telah mengetahui status HIV. Dari seluruh latar belakang pengasuh yang diteliti, hanya keikutsertaan ke dalam KDS yang mempunyai hubungan bermakna dengan waktu pembukaan status. Kata kunci: latar belakang, pengasuh, pembukaan status, anak terinfeksi HIV, Jakarta.

HIV infection is a global health issue with increasing prevalence in Indonesia. Since the era of antiretroviral therapy, life expectancy of children with HIV has increased and the focus of therapy shifts into the children s life qualities. One of the crucial process is HIV disclosure. Disclosure is considered beneficial in increasing children s adherence to HIV therapy. A cross sectional study was counducted on 101 HIV patients in RSCM, Jakarta. This research was conducted on February 2015 using questionnaire answered by caregivers of children with HIV. In developed countries, the lack of accurate guideline causes the variation of HIV disclosure between 18 77 . In developing countries such as Indonesia, disclosure was only performed in 9 children with HIV. The government has not paid attention on this, especially on factors contributed to HIV disclosure. From the 101 patients who participated in this research, only 31 30,7 have been disclosed. In this research, only caregivers participation in peer support group is statistically significant to time of HIV disclosure p 0.002 . Meanwhile, caregiver s education, income, knowledge of disclosure and relation to child are not significant to time of HIV disclosure p 0,733 p 0,283 p 0,745 . In children with HIV, 30,7 have known their HIV status. From all caregivers background that have been studied, only participation in peer support group is found significant to time of HIV disclosure.. Keywords background, caregiver, disclosure, HIV infected pediatric."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70344
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winona Andrari Mardhitiyani
"Infeksi Human Immunodeficiency Virus HIV yang menyebabkan AIDS sampai saat ini masih menjadi salah satu penyebab kematian tertinggi di dunia. Pengobatan infeksi HIV kemudian menjadi sangat penting untuk meningkatkan kualitas hidup dari penderita. Pengobatan infeksi HIV pada anak-anak khususnya sering menemui hambatan dalam hal kepatuhan, baik dari anak itu sendiri maupun dari pengasuh. Dalam penelitian ini dianalisis mengenai hubungan latar belakang pengasuh terhadap kepatuhan minum obat anak terinfeksi HIV di RSCM. Desain penelitian yang digunakan adalah cross-sectional dengan jumlah sampel sebesar 94. Pengambilan data menggunakan kuesioner kepatuhan minum obat yang diambil dari Development of Multi-Method Tool to Measure ART Adherence in Resource-Constrained Settings: The South Africa Experience yang diterbitkan oleh Center for Pharmaceutical Management, Management Sciences for Health pada tahun 2007 yang dikembangkan di Afrika Selatan. Hasil yang ditemukan adalah tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan, tingkat pendapatan, status pengasuh, dan keterlibatan pada Kelompok Dukungan Sebaya KDS dengan kepatuhan minum obat p >0,05.

Human Immunodeficiency Virus HIV infection causes AIDS, and is still one of the most frequent cause of death in the world. HIV medication then becomes highly important to improve the patients'quality of life, and to expand their life expectancies. HIV medication in children, however, is especially problematic in terms of adherence, whether the problems are from the children themselves or from the caregivers. This research was meant to analyze the correlation between caregiver's background and HIV infected children's adherence in RSCM, a hospital in Jakarta, Indonesia. This research used cross sectional method with 94 caregivers as the sample. The data was collected using an adherence questionnaire that was adapted from Development of Multi Method Tool to Measure ART Adherence in Resource Constrained Settings The South Africa Experience which was published by Center for Pharmaceutical Management, Management Sciences for Health in 2007. This questionnaire was developed in Southern Africa. After collection, the data was analyzed statistically using chi square or Kolmogorov Smirnov if using chi square was not possible. The results reveal that there is no correlation between caregiver's background educational background, income per month, caregiver's relation with the child, and caregiver's involvement in an HIV related support groups and HIV infected children's adherence to antiretroviral therapy p 0,05."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70386
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tiroy Junita
"Pembukaan status merupakan faktor penting yang diketahui mempengaruhi kepatuhan minum obat antiretroviral dan telah banyak diteliti di negara-negara dengan beban infeksi HIV tinggi. Penelitian ini bertujuan menganalisis hubungan pembukaan status dengan kepatuhan minum obat pada pasien anak terinfeksi HIV di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Penelitian menggunakan desain potong lintang dengan sampel sebanyak 94 pengasuh dari 101 pasien anak terinfeksi HIV. Pengumpulan data pembukaan status dilakukan melalui kuesioner yang dibuat oleh peneliti, sedangkan data kepatuhan minum obat diambil menggunakan kuesioner yang diadaptasi dari instrumen multimetode yang dikembangkan oleh Gavin Steel, dkk. Penelitian ini menunjukkan sebagian besar pengasuh berjenis kelamin perempuan 89,4 , memiliki pendidikan terakhir SMP-SMA 64,9 , memiliki pendapatan di bawah upah minimum provinsi UMP Jakarta 75,5 , tergabung ke dalam kelompok dukungan sebaya 55,3 , dan bukan orangtua kandung dari pasien anak terinfeksi HIV 51,1 . Sebagian besar pasien anak terinfeksi HIV berusia 7 hingga di bawah 12 tahun 69,3 , berjenis kelamin perempuan 50,5 , menjalani terapi ARV lini 1 66,3 , belum mengalami pembukaan status HIV 71,3 , dan memiliki kepatuhan minum obat sedang 50,5 . Dari uji Chi-square diperoleh bahwa tidak terdapat perbedaan proporsi kepatuhan minum obat antara pasien anak terinfeksi HIV yang telah mengalami pembukaan status dengan yang belum mengalami pembukaan status p 0,367.

Disclosure is an important factor known affecting adherence to antiretroviral therapy that has been extensively studied in high burden countries. This research aims to determine relationship between disclosure and adherence among HIV infeceted children in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, Indonesia. This research is a cross sectional study with samples of 94 caregivers from 101 HIV infected children. Disclosure data was collected using questionnaire reproduced by researcher, while adherence data was collected using questionnaire adapted from a multi method instrument developed by Gavin Steel, et.al. in West Africa. Demographic data shows that most caregivers are women 89.4 , have middle school education 64.9 , have income less than minimum regional wage of Jakarta 75.5 , join peer group 55.3 , and are not the biological parents of infected children 51.1 . Most children are girls 50.5 , currently in 1st line antiretroviral therapy 66.3 , have not been disclosed 71.3 , dan have moderate level of adherence 50.5 . Statistical analysis using Chi Square shows no relationship between disclosure and adherence among HIV infected children in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital p 0.367."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70345
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamid Faqih Umam
"Lupus Eritematosus Sistemik LES merupakan penyakit autoimun kronik yang ditandai dengan adanya autoantibodi yang menyerang antigen sendiri. Kasus LES setiap tahunnya mengalami peningkatan. LES pada anak berkontribusi sebesar 15-20 dari keseluruhan penderita. Penyakit ini dapat menyerang berbagai sistem organ. Komplikasi endokrinopati berupa gangguan pubertas yang cukup sering terjadi pada anak. Hingga saat ini belum ada penelitian mengenai gangguan pubertas pada anak LES di Indonesia.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi dan faktor-faktor yang berhubungan dengan terjadinya amenore pada anak LES. Penelitian dilakukan menggunakan desain potong lintang pada pasien anak perempuan usia 11-18 tahun di Poliklinik Alergi dan Imunologi dan Poliklinik Endokrinologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara. Terdapat 25 subjek yang diikutsertakan.
Hasil penelitian dilakukan analisis statistik menggunakan uji Chi-square dan uji Fisher. Prevalensi pubertas terlambat terjadi pada satu subjek 4 ; IK95 = -0,04-0,12 dan amenore terjadi pada dua belas subjek 48 ; IK95 = 0,27-0,69. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara amenore dengan durasi penyakit p=1,000; PR=1,05, aktivitas penyakit p=1,000; PR=0,86, durasi kortikosteroid p=0,673; PR=1,23, dan jenis terapi p=0,198; PR=0,55.
Hasil penelitian tidak bermakna karena besar sampel tidak memenuhi jumlah minimal. Dari hasil tersebut, belum dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat hubungan antara amenore terhadap durasi penyakit, aktivitas penyakit, durasi kortikosteroid, dan jenis terapi.

Systemic Lupus Erythematosus SLE is a chronic autoimmune disease characterized by autoantibodies that attack self antigen. The case of SLE each year has increased. SLE in children contributes 15 20 of all patients. This disease can attack various organ systems. Complications of endocrinopathy in the form of pubertal disorders are quite common in children. Until now, there has been no research on pubertal disorders in children with SLE in Indonesia.
This study aims to determine the prevalence and associated factors of amenorrhea in children with SLE. This study was a cross sectional study in girls aged 11 18 years at Allergy and Immunology Polyclinic and Endocrinology Polyclinic of Cipto Mangunkusumo Kiara Hospital. There are 25 subjects included.
The result of the research was statistical analysis using Chi square test and Fisher test. The prevalence of delayed puberty occurs in one subject 4 IK95 0,04 0,12 and amenorrhea occurs in twelve subjects 48 IK95 0,27 0,69. There was no significant association between amenorrhea with disease duration p 1,000 PR 1,05, disease activity p 1,000 PR 0,86, corticosteroid duration p 0,673 PR 1,23, and type of therapy p 0,198 PR 0,55.
The results were not significant because the sample size did not meet the minimum amount. From these results, it can not be concluded yet that there is no association between delayed puberty and amenorrhea with disease duration, disease activity, corticosteroid duration, and type of therapy.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizta Aulia Widyana
"Infeksi HIV dapat dikontrol oleh obat antiretroviral yang diminum seumur
hidup untuk menekan jumlah virus dengan keadaan bahwa keberhasilan
terapi dapat menentukan prognosis pasien. Salah satu aspek yang
memengaruhi keberhasilan terapi adalah kepatuhan minum obat. Pacia anak,
kepatuhan dapat dipengaruhi oleh sediaan karena berpotensi menimbulkan
keluhan seperti sulit menelan atau rasa. Penelitian ini menganalisis
hubungan antara jenis sediaan obat dengan kepatuhan minum obat pada
anak terinfeksi IllV di Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta.
Data dikumpulkan dari 94 pengasuh dari 101 anak terinfeksi HIV
menggunakan kuesioner dari Center for Pharmaceutical Management yang
telah digunakan di Afrika Selatan. Sebanyak 85 anak yang mengonsumsi
tablet atau kapsul memiliki tingkat kepatuhan rendah 60% dan tinggi 40%.
Sebanyak 16 anak yang mengonsumsi puyer atau sediaan campuran
memiliki kepatuhan rendah 62,5% dan tinggi 37,5%. Analisis chi-square
dengan komponen 2x2 yaitu sediaan tablet/kapsul dan puyer/campuran serta
kepatuhan rendah dan tinggi menghaislkan p=0.851 sehingga tidak
ditemukan hubungan bermakna. HasH ini berbeda dengan peneiitian serupa
di Afrika yang menunjukkan hubungan bermakna. Sebagai kesimpulan,
pada penelitian ini tidak ditemukan hubungan antara bentuk sediaan obat
antiretroviral dengan kepatuhan minum obat."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
S70353
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anton Dharma Saputra
"Latar belakang: Immune thrombocytopenia (ITP) didiagnosis dengan mengekslusi penyebab lain trombositopenia. Mekanisme trombositopenia terjadi melalui 2 mekanisme, yaitu destruksi trombosit seperti pada pasien ITP dan penurunan produksi trombosit pada pasien leukemia. Aspirasi sumsum tulang merupakan metode yang dapat membedakan mekanisme trombositopenia yang terjadi, tetapi karena invasif tidak rutin dilakukan untuk diagnosis. Seiring dengan perkembangan zaman, dapat dilakukan pemeriksaan trombosit muda dengan teknik flouresensi untuk menilai kadar immature platelet fraction (IPF). Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan kadar IPF pada pasien ITP dibandingkan dengan leukemia.
Metode: Studi potong-lintang kadar IPF pasien anak dengan ITP dan leukemia, yang dilaksanakan dari 2017-2020 di RSUPN Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Sampel penelitian adalah pasien anak umur kurang dari 18 tahun, yang menderita ITP dan leukemia, yang belum mendapatkan kemoterapi ataupun imunosupresan. Data penelitian diambil dari rekam medis atau pemeriksaan darah rutin.
Hasil: Dari 42 pasien, didapatkan 21 pasien ITP dan 21 pasien leukemia. Terdapat perbedaan bermakna (16,6 poin) dari rerata kadar IPF pasien ITP dibandingkan pasien leukemia (P<0,001). Pasien ITP memiliki kadar rerata IPF sebesar 18,6%(SB 12,1%). Pasien leukemia memiliki kadar IPF 2%(SB 1,31%).
Kesimpulan: Terdapat perbedaan bermakna kadar IPF pada pasien ITP dibandingkan pasien leukemia akut.

.Background and aim: Immune thrombocytopenia (ITP) is diagnosed by excluding other causes of thrombocytopenia. The thrombocytopenia itself could occur through 2 mechanisms, which were platelet destruction as in ITP, and decrease platelet production as in leukemia. Bone marrow aspiration used to be done to distinguish the mechanism of thrombocytopenia, but it has not been routinely done due to its invasiveness. Examination of young platelets with fluorescence technique are currently done to assess the level of Immature Platelet Fraction (IPF). This study was conducted to evaluate the differences in IPF levels in ITP patients compared with leukemia patients.
Methods: A cross-sectional study was carried out on the IPF levels on patients with ITP and leukemia, from 2017-2020 at Cipto Mangunkusumo General Hospital, Jakarta. The study sample was pediatric patients, less than 18 years old, diagnosed with ITP and acute leukemia, whom had not received any chemotherapy or immunosuppressants. Research data were taken from medical records and/or routine blood tests.
Results: Total of 42 patients, 21 ITP patients and 21 leukemia patients were found. There was a significant difference (16,6 poin) in the mean of IPF levels of ITP patients compared with leukemia patients (P <0.001). ITP patients had an average IPF level of 18,6% (SB 12,1). Leukemia patients have 2% IPF levels (SB 1,31).
Conclusions: There is a subtantial different in IPF in ITP patient compared to acute leukemia patients.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yuniasti Evitasari
"Latar belakang: Hemofilia merupakan gangguan perdarahan yang bersifat herediter yang disebabkan oleh kekurangan faktor VIII. Pada kadar faktor koagulasi yang sama dapat menunjukkan karakteristik klinis yang berbeda.
Tujuan: Mengidentifikasi karakteristik klinis, penggunaan faktor VIII, dan komplikasi pada anak hemofilia A.
Metode: Penelitian kohort retrospektif pada anak le;18 tahun. Data diambil dari rekam medis Januari 2014 ndash; Juni 2016 meliputi data usia awitan perdarahan sendi, usia saat didiagnosis, kekerapan perdarahan, lokasi perdarahan, penggunaan faktor VIII, dan komplikasi yang dialami.
Hasil: Terdapat 109 subjek anak lelaki terdiri dari 2,8 subjek hemofilia A ringan, 27,5 hemofilia A sedang, dan 69,7 hemofilia A berat. Perdarahan paling sering ditemukan pada sendi 60,6 terutama pada lutut 37,2 . Anak hemofilia A berat menunjukkan usia awitan perdarahan sendi yang lebih dini median 12,5 4 - 120 bulan , kekerapan perdarahan sendi yang lebih sering median 8 1-44 kali/tahun , menggunakan konsentrat faktor VIII yang lebih banyak median 712 131 - 1913 IU/kg/tahun . Komplikasi yang ditemukan adalah hemofilik artropati dan sinovitis 46,8 , terbentuknya inhibitor faktor VIII 7,3 , anemia akibat perdarahan 2,6 , pseudotumor 0,9 , dan fraktur 0,9 . Terdapat 15,5 subjek hemofilia A berat yang menunjukkan karakteristik klinis yang lebih ringan.
Simpulan: Usia awitan perdarahan sendi berhubungan dengan kekerapan perdarahan sendi, kebutuhan faktor VIII, dan artropati. Artropati dan sinovitis merupakan komplikasi yang paling banyak ditemukan.

Background: Hemophilia A is a congenital bleeding disorder caused by deficiency of factor VIII. Phenotypic differences between patients with hemophilia is well known from clinical practice.
Aim: To identify clinical characteristics, factor VIII usage for on demand therapy, and complications of children with hemophilia A.
Method: A retrospective cohort study on children aged le 18 years. Data was obtained from medical record January 2014 ndash June 2016 including age of diagnosis, age of first joint bleed, number of bleeding, site of bleeding, treatment requirement, and complications.
Result: We found a total of 109 boys with hemophilia A consisted of 2.8 mild, 27.5 moderate, and 69.7 severe hemophilia. The most common bleeding was hemarthrosis 60.6 of the knee 37.2 . Severe hemophilia children showed earlier age of first joint bleed median 12,5 4 to 120 months , higher number of joint bleeds median 8 1 44 times year , and higher consumptions of clotting factor median 712 131 to 1913 IU kg year compared to mild and moderate hemophilia. Complications commonly found in severe hemophilia were haemophilic arthropathy and sinovitis 46.8 , followed by factor VIII inhibitors 7.3 , anaemia due to bleeding 2.6 , pseudotumour 0.9 , and fracture 0.9 . This study showed that 15.5 of patients with severe hemophilia A have mild clinical characteristics.
Conclusion: The onset of joint bleeding is related with number of joint bleeds, treatment requirement, and arthropathy and may serve as an indicator of clinical phenotype.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T55602
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Freddy Guntur Mangapul
"Latar belakang : Pembedahan abdomen secara laparotomi menyebabkan penurunan kadar albumin. Kadar albumin di bawah 3,00 g/dL berperan dalam terjadinya mortalitas dan morbiditas pasca-operasi.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar albumin pre-operasi dan pasca-operasi terhadap luaran klinis pasca-operasi laparotomi.
Metode : Penelitian ini dengan desain kohort retrospektif menggunakan data rekam medis Departemen Ilmu Kesehatan Anak tahun 2015-2017. Total sampling pada pasien pasca-laparotomi di PICU dengan rentang usia 1 bulan hingga 18 tahun, dikelompokan ke dalam dua kategori, yaitu: albumin ≤ 3,0 g/dL dan > 3,00 g/dL. Subyek diambil data luaran klinis pasca-operasi seperti sepsis pasca-operasi, infeksi luka operasi, dehisens, relaparotomi, dan lama rawat di PICU.
Hasil : Dua ratus satu subyek pasca-laparotomi diikutsertakan dalam penelitian ini. Kadar albumin pre-operasi ≤ 3,0 g/dL meningkatkan risiko terjadinya sepsis pasca-operasi (RR 3,40(95%IK: 1,54-7,51), relaparotomi (RR 3,84(95%IK: 1,28-11,49), dan lama rawat PICU 2 kali lebih lama daripada normoalbuminemia. Kadar albumin pasca-operasi ≤ 3,0 g/dL meningkatkan risiko terjadinya sepsis pasca-operasi (RR 2,55(95%IK: 1,40-4,63) dan lama rawat PICU 1 hari lebih lama daripada normoalbuminemia. Mortalitas pada kelompok hipoalbuminemia sebesar 19,2% dengan RR 3,44(95%IK: 1,07-11,07).
Simpulan : Hipoalbuminemia pre-operatif atau pasca-operatif meningkatkan risiko kejadian sepsis pasca-operatif. Hipoalbuminemia pre-operatif atau pasca-operatif tidak berhubungan dengan infeksi luka operasi. Hipoalbuminemia pre-operatif atau pasca-operatif tidak berhubungan dengan risiko kejadian dehisens. Hipoalbuminemia pre-operatif meningkatkan risiko untuk menjalani relaparotomi. Hipoalbuminemia pre-operatif atau pasca-operatif memperpanjang lama rawat di PICU. Hipoalbuminemia pre-operatif meningkatkan angka mortalitas.

Backgrounds : Laparotomy abdominal surgery decreasing serum albumin. Serum albumin concentration below 3,00 g/dL associated with postoperative morbidity and mortality.
Aim: To determine the relationship between serum albumin (preoperative and postoperative) and postoperative clinical course.
Methods : Retrospesctive observational study in pediatric patients undergoing laparotomy and hospitalized in Pediatric Intensive Care Unit during January 2015- December 2017. Post-laparotomy patients over the age range 1 month to 18 years, classified according to serum albumin concentration: ≤ 3,0 g/dL and > 3,00 g/dL. Postoperative outcome measured by postoperative sepsis, surgical site infection, dehiscence, relaparotomy, PICU length of stay, and mortality.
Results : Two hundred and one subjects undergone laparotomy participated. Preoperative serum albumin ≤ 3,0 g/dL increase risk of postoperative sepsis (RR 3,40 (95%CI: 1,54-7,51)), relaparotomy (RR 3,84 (95%CI: 1,28-11,49)), and twice longer in Pediatric Intensive Care Unit length of stay. Postoperative albumin ≤ 3,0 g/dL increase risk of postoperative sepsis (RR 2,55(95%CI: 1,40-4,63)) and Pediatric Intensive Care Unit length of stay. Mortality rate in hypoalbuminemic group is 19,2% with RR 3,44(95%CI: 1,07-11,07).
Conclusions : Preoperative and postoperative hypoalbuminemia increase risk of postoperative sepsis. Preoperative and postoperative hypoalbuminemia not associated with risk of surgical site infection and wound dehiscense. Preoperative hypoalbuminemia increase risk of relaparotomy. Preoperative and postoperative albumin concentration inversely related with Pediatric Intensive Care Unit length of stay. Preoperative hypoalbuminemia increase mortality rate.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58705
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Iman Nilam Sari
"Latar belakang: Artritis idiopatik juvenil (AIJ) adalah penyakit autoimun yang ditandai dengan peradangan sendi kronis. Anak dengan AIJ akan mengalami hambatan pertumbuhan tulang yang disebabkan beberapa mekanisme langsung maupun tidak langsung. Sebanyak 40-50 % pasien AIJ memiliki densitas mineral tulang yang rendah pada tulang belakang lumbal dan panggul. Densitas mineral tulang yang rendah dipengaruhi beberapa faktor yaitu klasifikasi penyakit, lama sakit, indeks masa tubuh, status pubertas, aktivitas penyakit, aktivitas fisik, kadar 25(OH)D, dosis kumulatif kortikosteroid, dan dosis metotreksat.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui densitas mineral tulang pada pasien AIJ dan faktor-faktor yang berhubungan.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan melibatkan 32 pasien AIJ. Pemilihan subjek dilakukan berdasarkan data registri pasien AIJ di poliklinik Alergi-Imunologi RSCM dan RSAB Harapan Kita tahun 2014-2019. Densitas mineral tulang diperiksa dengan Dual X-ray Absorbtiometry (DEXA) dengan melihat skor Z. Dilakukan analisis bivariat untuk mencari hubungan antara variabel terhadap densitas mineral tulang.
Hasil: Densitas mineral tulang total rerata adalah 0,86 g/cm2. Sebanyak 22 subjek mempunyai densitas mineral tulang rendah (osteopenia) dengan nilai skor-Z L1-L4 ≤-2 sedangkan 10 subjek menunjukkan hasil normal. Tidak ditemukan fraktur tulang belakang pada seluruh subjek. Osteopenia banyak ditemukan pada anak dengan dosis kumulatif metotreksat yang lebih banyak (p=0,016). Faktor-faktor lainnya tidak terbukti berhubungan dengan densitas mineral tulang yang rendah.
Simpulan: Sebagian besar pasien AIJ mengalami gangguan densitas mineral tulang. Dosis metotreksat yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit merupakan faktor yang berperan untuk terjadinya osteopenia.

Background: Juvenile Idiopathic Arthritis (JIA) is an autoimmune disease characterized by chronic inflammatory arthritis. The disease will affect bone development in children with JIA through direct and indirect mechanisms. About 40-50 % patient with JIA have low bone mineral density in the spine. The low bone mineral density is associated with disease classification, disease duration, body mass index, puberty status, disease activity, physical activity, 25(OH)D level, cumulative doses of corticosteroid and methotrexate.
Objective: This study aimed to investigate bone mineral density in children with JIA and its associated factors.
Method: A cross-sectional study involving 32 children with JIA. Patients were selected based on registry data in the outpatient clinic, subdivision of Allergy and Immunology, Department of Child Health, Dr. Cipto Mangunkusumo General Hospital and Harapan Kita Women and Children Hospital between 2014-2019. Bone mineral density was measured using Dual X-ray Absorbtiometry (DEXA) and reported using Z score. Bivariate analysis was used to identify factors associated with bone mineral density.
Result: The mean bone mineral density was 0,86 g/cm2. Low bone mineral density (osteopenia) occurred among 22 patients (Z score ≤-2 at L1-L4). 10 patients have normal bone mineral density. No vertebral fracture was seen on x-ray. Osteopenia was mainly found in patients with higher cumulative doses of methotrexate (p=0,016). The other factors were not associated with low bone mineral density.
Conclusion: Most patients with JIA have low bone mineral density. Low bone mineral density tends to occur among patients with higher cumulative doses of methotrexate treatment.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58641
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Steven Mattarungan
"Latar belakang: Tuberkulosis (TBC) merupakan penyebab utama kematian akibat penyakit infeksi untuk anak dan remaja dari segala usia di seluruh dunia. TBC pada remaja menunjukkan angka kematian lebih tinggi dibandingkan kelompok usia yang lebih muda. Penyebab yang sering menyebabkan hal ini adalah keterlambatan diagnosis, gaya hidup dan masalah psikososial. Hingga saat ini data mengenai angka kejadian dan prediktor mortalitas TBC pada remaja masih sangat terbatas, terutama di Indonesia yang menjadi salah satu negara dengan prevalens TBC yang tinggi.

Metode: Studi ini merupakan penelitian kohort retrospektif yang melibatkan pasien usia 10-18 tahun dengan penyakit TBC di RSUPN Dr.  Cipto Mangunkusumo. Data berasal dari penelusuran rekam medis dan sistem pencatatan khsusus pasien TBC nasional (SITB) yang memenuhi kriteria inklusi dan tidak memenuhi kriteria eksklusi pada periode 1 Januari 2019 hingga 1 Juni 2023

Hasil: Total jumlah subjek penelitian yang diikutsertakan adalah 319 pasien, dengan 50 pasien (15,6%) meninggal dan 269 (84,3%) pasien hidup. Prediktor mortalitas yang bermakna pada penelitian ini adalah status gizi buruk (HR 4,5; P<0,001) dan kepatuhan berobat (HR 4,8; P<0,001). Kesintasan pasien remaja TBC sensitif obat sebesar 92% pada bulan pertama dan 87% pada bulan kedua kemudian menurun hingga akhir pemantauan menjadi 83% pada bulan kelima belas.

Kesimpulan : Angka mortalitas pada remaja dengan TBC cukup tinggi terutama pada dua bulan pertama pengobatan dan dipengaruhi oleh berbagai prediktor. Intervensi perlu berfokus pada peningkatan status gizi dan kepatuhan berobat yang dapat membantu mengurangi risiko kematian.


Background: Tuberculosis (TBC) is the leading cause of death from infectious diseases for children and adolescents of all ages worldwide. TBC in adolescents shows a higher mortality rate compared to younger age groups.Common causes include delayed diagnosis, lifestyle factors, and psychosocial issues. Currently, data on TB mortality predictors in adolescents is limited especially in Indonesia, one of the countries with a high TBC prevalence.

Methods: This retrospective cohort study involved patients aged 10-18 years with TBC at Cipto Mangunkusumo National General Hospital. Data were derived from medical records, interviews, and the national specialized TB patient recording system that met inclusion and exclusion criteria for the period from January 1st, 2019 to January 1st, 2023.

Results:  Total of 319 patients were included in the study, with 50 patients (14.7%) died and 269 (84,3%) survived. Significant mortality predictors factors in this study were poor nutritional status (HR 4.5; P<0.001) and medication adherence (HR 4,8; P<0.001). The survival rate of adolescent patients with drug-sensitive TB was 92% in the first month and 87% in the second month, then decreased to 83% by the end of the monitoring period in the fifteenth month.

Conclusion: The mortality rate among adolescents with TB is relatively high, especially in the first two months of treatment, and is influenced by various risk factors. Interventions need to focus on improving nutritional status and medication adherence, which may help in reducing the risk of death."

Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>