Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 2 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panjaitan, Lasmaida Tio Evalina
"Tulisan ini menganalisa bagaimana independensi pengadilan pajak dalam penyelesaian sengketa pajak pasca adanya putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 26/PUU-XXI/2023. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode Social-Legal Studies. Suatu lembaga peradilan merupakan bagian dari kekuasaan yudikatif yang harus independen dan terbebas dari pengaruh pihak manapun. Namun, Pengadilan Pajak belum dapat independen dalam penyelesaian sengketa pajak. Kementerian Keuangan mengatur pembinaan organisasi, administrasi dan keuangan sementara Mahkamah Agung mengatur pembinaan teknis pengadilan pajak mengakibatkan Kementerian Keuangan lebih dominan dalam mengelola dan mengatur kelembagaan Pengadilan Pajak. Bahkan dalam hal remunerasi dan pensiun hakim pengadilan pajak diatur berbeda dengan hakim pengadilan tinggi lainnya. Hakim pengadilan pajak juga mendapatkan intervensi dalam pengambilan putusan dikarenakan putusan hakim pengadilan pajak akan menentukan pendapatan negara atau APBN dari sektor pajak. Pasca adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 26/PUU-XXI/2023 yang mengamanatkan pengadilan pajak di bawah Mahkamah Agung, Kementerian Keuangan masih berkoordinasi secara internal perihal tindak lanjut Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut. Hakim Pengadilan Pajak tidak mengharapkan ketika pengadilan pajak dialihkan di bawah Mahkamah Agung, pendapatan hakim pengadilan pajak tidak turun dan masih sama seperti sekarang ketika berada di bawah Kementerian Keuangan. Pemerintah diharapkan mampu memberikan keadilan dan tetap menjaga independensi perihal remunerasi, promosi, jenjang karir dan status kepegawaian ketika pegawai dan hakim pengadilan dialihkan statusnya ke Mahkamah Agung.
......This article analyzes the independence of the tax court in resolving tax disputes after the Constitutional Court decision Number: 26/PUU-XXI/2023. This article was prepared using the method Social-Legal Studies. A judicial institution is part of the judicial power which must be independent and free from influence from any party. However, the Tax Court cannot be independent in resolving tax disputes. The Ministry of Finance regulates organizational, administrative and financial guidance, while the Supreme Court regulates technical guidance for tax courts, resulting in the Ministry of Finance being more dominant in managing and regulating the Tax Court institution. Even in terms of remuneration and pensions, tax court judges are regulated differently from other high court judges. Tax court judges also intervene in decision making because the tax court judge's decision will determine state income or APBN from the tax sector. After the Constitutional Court Decision Number 26/PUU-XXI/2023 which mandated a tax court under the Supreme Court, the Ministry of Finance is still coordinating internally regarding the follow-up to the Constitutional Court Decision. Tax Court Judges do not expect that when the tax court is transferred under the Supreme Court, the tax court judge's income will not fall and will remain the same as now when it is under the Ministry of Finance. The government is expected to be able to provide justice and maintain independence regarding remuneration, promotions, career levels and employment status when court employees and judges are transferred to the Supreme Court."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Christine Roremary Megawe Suwasono
"Penelitian ini akan berperspektif Feminisme Siber, yang mengupayakan pemberdayaan perempuan di ruang digital untuk melawan budaya patriarki dalam pemanfaatan teknologi, Salah satunya Kekerasan Seksual Berbasis Gender yang difasilitasi teknologi yaitu, Deepfake Pornografi sebagai hasil rekayasa terhadap citra seseorang yang digabungkan dengan wajah atau tubuh orang lain untuk menciptakan konten porno berbentuk gambar dan atau video palsu yang baru. Penelitian ini melihat bahwa Deepfake Pornografi dioperasikan oleh mayoritas laki-laki yang memposisikan perempuan sebagai target pengancaman untuk mengontrol dan berkuasa atas korban. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual dan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dalam memposisikan dan memberikan perlindungan terhadap korban. Mengingat, Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual, dirumuskan dengan Pasal-Pasal yang lebih berperspektif pada pengalaman korban dan gender. Penelitian ini juga ingin menunjukkan pada penanganan kasus Deepfake Pornografi, beberapa Aparat Penegak Hukum memilih untuk tetap menggunakan Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dengan alasan belum memahami mekanisme pelaksanaan dan belum mendapat sosialisasi materi Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual. Kurangnya literasi pada Aparat Penegak Hukum menyebabkan pemahaman yang multitafsir, bias gender dan objektivikasi tubuh perempuan pada penanganan kasus Kekerasan Seksual Berbasis Gender Online dapat berpotensi mere-viktimisasi dan mengkriminalisasi korban melalui pengunaan Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Dengan demikian, Feminisme Siber hadir sebagai perjuangan gerakan feminis di ruang digital dalam menyediakan ruang aman bagi perempuan untuk berkembang, berpartisipasi, berkontribusi dan untuk melawan budaya patriarki dan dominasi laki-laki dalam pemanfaatan Teknologi Informasi dengan mengutamakan pengalaman perempuan sebagai korban untuk sistem hukum yang lebih berperspektif gender.
......This research will take the perspective of Cyberfeminism, which seeks to empower women in the digital space to fight patriarchal culture in the use of technology, one of which is Gender-Based Sexual Violence which is facilitated by technology, namely, Deepfake Pornography as a result of engineering a person's image combined with another person's face or body to creating pornographic content in the form of new fake images and/or videos. This research sees that Deepfake Pornography is operated by the majority of men who position women as targets of threats to control and have power over the victims. This research aims to see how Law no. 12 of 2022 concerning Crime of Sexual Violence and Law no. 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions in positioning and providing protection for victims. Bearing in mind, Law no. 12 of 2022 concerning Crimes of Sexual Violence, formulated with articles that have a greater perspective on the victim's experience and gender. This research also wants to show that in handling Deepfake Pornography cases, several Law Enforcement Officials choose to continue using Law no. 19 of 2016 Information and Electronic Transactions on the grounds that they do not understand the implementation mechanism and have not received socialization on the material on the Law no. 12 of 2022. Lack of literacy among Law Enforcement Officials causes multiple interpretations, gender bias and the objectification of women's bodies in handling cases of Online Gender-Based Sexual Violence which can potentially re-victimize and criminalize victims through the use of the Law on Information and Electronic Transactions. Thus, Cyberfeminism is present as the struggle of the feminist movement in the digital space in providing a safe space for women to develop, participate, contribute and to fight patriarchal culture and male domination in the use of Information Technology by prioritizing women's experiences as victims for a legal system that has a more gender perspective. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library