Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Henny Zidny Robby Rodhiya
Abstrak :
ABSTRAK Penilaian preoperatif dan perioperatif dibutuhkan untuk memprediksi morbiditas dan mortalitas pasien pasca transplantasi ginjal. Oleh karena itu,modalitas yang digunakan dalam menilai risiko pembedahan harus memiliki akurasi dan objektivitas yang baik. Salah satu modalitas yang banyak digunakan di RSCM adalah skor ASA-PS. Namun skor ini sudah banyak ditinggalkan oleh negara maju dan beralih pada skor P-POSSUM yang dinilai lebih superior,objektif dan akurat. Pada penelitian ini, skor P-POSSUM diuji dalam memprediksi lama rawat inap pasien yang merupakan marker morbiditas pascabedan. Penelitian ini menguji kemampuan korelasi dan diskriminasi skor P-POSSUM dalam memprediksi lama rawat inap sekaligus menganalisis hubungan antar variabel skor P-POSSUM dengan lama rawat inap resipien transplantasi ginjal. Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif yang dilakukan pada 225 resipien transplantasi ginjal dari di RSCM Pusat dan Kencana dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Data rekam medis pasien digunakan untuk menelusuri variabel fisiologis dan pembedahan yang tercantum dalam skor P-POSSUM serta lama rawat inap pasien pasca transplantasi ginjal. Selanjutnya data dianalisis menggunakan bivariat dan regresi logistik untuk mendapatkan hubungan antar variabel P-POSSUM dengan lama rawat pasien. Kemampuan korelasi dan diskriminasi skor P-POSSUM dicari menggunakan Hamer-Lameshow dan AUC pada kurva ROC. Hasil analisis bivariat menunjukan terdapat lima variabel yang memiliki hubungan signifikan dengan lama rawat inap yaitu laju nadi, kadar hemoglobin,kadar leukosit,kadar kalium,total perdarahan intraperioperatif dan kontaminasi intraperitoneal. Namun hanya terdapat dua variabel yang signifikan dalam analisis multivariat yaitu kadar hemoglobin dan perdarahan intraoperatif. Kemampuan kalibrasi menggunakan Hosmer-Lameshow dinilai baik (Nilai p= 0.889). Namun kemampuan diskriminasi dinilai lemah karena AUC yang didapat 65.7%. Kesimpulannya, sistem skor P-POSSUM tidak dapat menentukan lama rawat pasien resipien transplantasi ginjal. Namun terdapat dua variabel P-POSSUM yang merupakan faktor prediktif lama rawat inap yaitu kadar hemoglobin dan perdarahan intraoperatif.
ABSTRACT
Preoperative and perioperative assessments are important to predict morbidity and mortality in post kidney transplant patient. Therefore, clinicians should assess operative risks by using accurate and objective modality.The most widely used modality in RSCM is ASA-PS score. Meanwhile, this score is no longer used in developed country and replaced by P-POSSUM score, which is more superior,objective, and accurate. In this study, P-POSSUM Score is assessed in predicting length of hospital stay as a marker of post-operative morbidity. This study examines the correlation and discrimination ability of P-POSSUM score in predicting length of hospital stay as well as analyzing relationship between P-POSSUM score variables and the length of hospita stay of kidney transplant recipients. This retrospective cohort study was conducted on 225 kidney transplant recipients from RSCM and RSCM Kencana who met the inclusion and exclusion criteria. Medical record of patient is used to identify the physiological and surgical variables in P-POSSUM Score and length of hospital stay of patients after kidney transplant. Furthermore, the data were analyzed using bivariate ad logistic regression to identify the relationship between P-POSSUM variables and the length of hospital stay. The correlation and discrimination ability of P-POSSUM score are examined by using Hamer-Lameshow and AUC on the ROC curve. The result of bivariate analysis showed that there are five variables that had a significant relationship with length of stay, namely pulse rate, hemoglobin level,leukocyte level,potassium level, total intraoperative bleedig and intraoperitoneal contamination. However, only two remains significant in the multivariate analysis namely hemoglobin level and intraoperative bleeding. Calibration ability is good based on Hamer-Lameshow analysis (p=0.889). But the ability to discriminate is considered weak because the AUC area only 65.7%. P-POSSUM can not be used to predict the length of hospital stay in kidney transplant recipients . Hemoglobin level and intraoperative bleeding are predictive factors in P-POSSUM for length of hospital stay od kidney transplant recipients.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bona Akhmad Fithrah
Abstrak :
Latar belakang angka kejadian mual muntah pascaoperasi 20-30% pada pembedahan umum dan pada pembedahan payudara 50-65%. Salah satu cara nonfarmakologi yang dapat dilakukan untuk menurunkan mual munth pascaoperasi adalah dengan pemberian cairan praoperatif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektifitas pemberian cairan praoperatif Ringer Laktat 2 cc/kg bb/jam puasa untuk menurunkan angka kejadian mual muntah pascaoperasi pada pasien yang menjalani pembedahan mastektomi. Metode Dilakukan pembiusan umum pada 109 pasien ASA 1-2 yang menjalani pembedahan mastektomi. Tujuh pasien dikeluarkan, hidrasi 51, kontrol 51 sampel Pada kelompok perlakukan diberikan cairan praoperatif Ringer laktat 2 cc/kg bb/jam puasa sedangkan pada kelompok kontrol tidak diberikan. Seluruh sampel tidak diberikan antiemetik. Dilakukan pencatatan angka kejadian mual muntah selama 0-1 jam pascaoperasi di ruang pulih dan 1-24 jam di ruang rawat inap. Hasil Angka kekerapan mual 0-1 jam pascaoperasi kelompok hidrasi 19,6% (10), kontrol 39,2% (20) Angka kekerapan muntah 0-1 jam pascaoperasi kelompok hidrasi 13,7% (7), kontrol 11,8% (6). Angka kekerapan mual 1-24 jam pasca operasi kelompok hidrasi 11,8% (6), kontrol 23,5% (12). Angka kekerapan muntah 1-24 jam pasca operasi kelompok hidrasi 5,9% (3) kontrol 5,9% (3). Angka kekerapan mual 0-24 jam pascaoperasi kelompok hidrasi 21,6% (11) kontrol 41,2% (21). Angka kekerapan muntah 0-24 jam pascaoperasi kelompok hidrasi13,7%(7) kontrol 13,7% (7). Risiko relatif untuk terjadinya mual muntah pascaoperasi adalah 0,52 (0,28-0,97) Kesimpulan pemberian cairan praoperatif Ringer laktat 2 cc/kg bb/jam puasa efektif untuk menurunkan angka kejadian mual pascaoperasi mastektomi pada 1 jam pertama pasca operasi. ......Background: The incidence of postoperative nausea and vomiting 20-30% in all general surgery for breast surgery 50-65%. One of non pharmacology approach using preoperative hydration. This research try to find the effectivity of preoperative ringer lactate hydration 2 cc/kg bw/fasting hour to decrease postoperative nausea and vomiting in mastectomy surgery. Method: General anesthesia perform for 109 sample ASA1-2 plan to perform mastectomy surgery. Seven samples exclude, hidration 51, kontrol 51 samples Hydration group given preoperative ringer lactate 2 cc/kg bw/fasting hour and control group none. None antiemetic given. Monitoring and recording the incidence of nausea and vomiting one hour postoperation in the recovery room and one until 24 hours in the ward. Result: The nausea incidence 0-1 hour postoperative 19,6% (hydration group) vs 39,2% (control group). The vomiting incidence 0-1 hours postoperative 13,7% (hydration group) vs 11,8% (control group). The nausea incidence 1-24 hour postoperative 11,8% (hydration group) vs 23,5% (control group). The vomiting incidence 1-24 hours post operative 5,9% (hydration group) vs 5,9% (control group) the nausea incidence 0-24 hours post operative 21,6% (hydration group) vs 41,2% (control group). The vomiting incidence 0-24 hours post operative 13,7% (hydration group) vs 13,7%(control group). Relative risk for post operative nausea and vomiting using preoperative hydration ringer lactate 2 cc/kg bw/fasting hour 0,52. Conclusion: Preoperative ringer lactate 2 cc/kg bw/fasting hour effectively reducing the incidence of post operative nausea one hour post operative.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Marshelli Orlanda
Abstrak :
Latar Belakang: Mual dan muntah adalah salah satu keluhan pascaoperasi yang paling sering ditemukan selain nyeri pada pasien yang menjalani operasi dalam pembiusan umum. Dari banyak penelitian yang telah dilakukan, sebesar 20-30% pasien pascaoperasi mengalami mual muntah dalam waktu 24 jam setelah operasi, dan keluhan ini merupakan salah satu penyebab ketidakpuasan pasien dalam menjalani tindakan pembiusan. PONV (postoperative nausea and vomiting) memiliki faktor-faktor risiko yang multifaktorial seperti jenis kelamin, usia, riwayat PONV sebelumnya, riwayat merokok, penggunaan neostigmin, lama anestesi, anestesi inhalasi, dan penggunaan opioid. Di RSCM belum ada data mengenai gambaran insiden PONV dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhinya. Tujuan studi ini adalah untuk mengetahui insiden PONV pada pasien bedah elektif di IBP RSCM, dan faktor-faktor risiko yang mempengaruhinya. Metode: Penelitian ini adalah penelitian cross-sectional, dilakukan pada 256 pasien yang diambil dengan teknik consecutive sampling. Data pasien kemudian dicatat, berupa data umum pasien, data mengenai teknik anestesi, obat-obatan yang digunakan serta jenis pembedahan. Pasien diamati dua kali dalam 24 jam yaitu dalam dua jam dan dalam 24 jam pascaoperasi tentang apakah pasien mengalami mual dan atau muntah. Data kemudian dianalisis menggunakan perhitungan regresi logistik multivariat untuk menentukan faktor-faktor risiko apa saja yang berpengaruh. Hasil: insiden PONV dalam 24 jam pertama adalah 21,5%. Faktor risiko yang dapat diidentifikasi dari penelitian ini adalah jenis kelamin perempuan, usia di bawah 50 tahun, teknik anestesi umum inhalasi, penggunaan fentanyl di atas 100 mcg, dan riwayat PONV sebelumnya. Faktor risiko yang tidak dapat disimpulkan sebagai faktor risiko PONV dalam penelitian ini adalah status merokok, penggunaan neostigmin, lama anestesi, penggunaan N2O, dan penggunaan morfin pascaoperasi. ......Background:PONV is one of the most frequently found complaints postoperatively beside pain after elective surgery. From many studies it found that 20-30% patients will have PONV in 24 hours after surgery, dan this complain is one of the cause of patient’s discontent after undergoing anesthesia. PONV have multifactorial risk factors, such as sex, age, history of PONV, smoking history, neostigmin usage, duration of anesthesia, inhalational anesthesia technique, and opioid usage.At RSCM there is still no data depicting the incidence and risk factors of PONV. The purpose of this study is to find the PONV incidence at central operating theathre of RSCM and to determine the PONV risk factors that may contribute. Methods: This study is a cross-sectional study, involving 256 patients undergoing elective surgery at central operating room of RSCM by consecutive sampling technique. Data obtained are patient’s general characteristics, anesthesia techniques, drugs used, and types of surgery. Patients were observed two times in 24 hours after surgery, the first observation is within 2 hours and the second is in 24 hours after surgery. Data are then analyzed using mutivariate logistic regression analysis to determine which risk factors that may contribute to PONV. Results: PONV incidence in the first 24 hours is 21,5%. Indentified PONV risk factors are female sex, age under 50 years, inhalational anesthetic technique, usage of fentanyl above 100 mcg, and history of previous PONV. Factors that cannot be concluded as the PONV risk factors are smoking status, neostigmin usage, length of anesthesia, N2O usage, and postoperative morphine usage
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Romi Akbar
Abstrak :
Latar Belakang: Pasien sakit kritis dengan sepsis biasanya menerima volume cairan yang sangat besar menyebabkan balans cairan positif yang sangat signifikan dalam upaya untuk memenuhi kebutuhan kardiak output, tekanan darah sistemik, dan perfusi ke ginjal. Kondisi ini juga ternyata berkaitan dengan angka survival yang buruk. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah rumatan dini norepinefrin dapat mengurangi pemberian cairan dan mencegah overload pada resusitasi pasien syok septik. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian uji klinis acak tidak tersamar dengan subjek penelitian adalah pasien dewasa yang masuk di unit perawatan intensif dan instalasi rawat darurat dari Januari- November 2020 yang didiagnosa dengan syok septik. Terdapat dua kelompok perlakuan, kelompok norepinefrin dini dan kelompok resusitasi cairan 30 ml/kgBB. Dilakukan penilaian terhadap rasio albumin kreatinin urin, peningkatan nilai serum kreatinin, rasio PaO2/FiO2, dan tekanan intraabdominal pada saat diagnosa syok septik ditegakkan, 3 jam dan 24 jam setelah perlakuan diberikan. Data diolah dalam menggunakan perangkat SPSS. Hasil: Berdasarkan analisis didapatkan perbedaan yang bermakna untuk semua variabel penelitian pada kelompok perlakuan resusitasi cairan dibandingkan dengan kelompok norepinefrin. Jumlah pemberian cairan pada kelompok norepinefrin dini rata-rata adalah 2198,63 ml, lebih sedikit dibandingkan pada kelompok resusitasi cairan 30 ml/kgBB dengan rata-rata 3999,30 ml, uji Chi Square p = 0,000. Dengan membandingkan hasil pengukuran terhadap nilai pengukuran awal pada kedua kelompok, overload cairan sangat berisiko terjadi pada kelompok resusitasi cairan 30 ml/kgBB. Didapatkan hubungan yang bermakna pada rasio albumin kreatinin urin, peningkatan nilai serum kreatinin, rendahnya rasio PaO2/FiO2 dan peningkatan tekanan intraabdominal dengan pemberian resusitasi cairan 30 ml/kgBB yang menunjukkan risiko terjadi overload cairan (OR 48,273 ; CI 95% = 16,708-139,472, OR = 73,381 ; CI 95% = 19,955-269,849, OR = 12,225 ; CI 95% = 5,290-28,252, dan OR = 32,667 ; CI 95% = 10,490-101,724). Kesimpulan: Pemberian norepinefrin dini dapat mengurangi pemberian cairan dan mencegah overload pada resusitasi pasien syok septik ......Background: Critically ill patients with sepsis usually receive a very large volume of fluids causing a very significant positive fluid balance in an effort to meet the needs of cardiac output, systemic blood pressure, and perfusion to the kidneys. This condition also turns out to be associated with poor survival rates. The aim of this study was to determine whether early maintenance of norepinephrine can reduce fluid administration and prevent overload in the resuscitation of patients with septic shock. Methods: This study is a randomized, non-blind clinical trial with the subject of the study being an adult patient diagnosed with septic shock who were admitted to the intensive care unit and emergency care unit from January to November 2020 who were diagnosed with septic shock. There were two treatment groups, the early norepinephrine group and the 30 ml/kgBW fluid resuscitation group. An assessment of the urinary albumin to creatinine ratio, increased serum creatinine value, PaO2/FiO2 ratio, and intraabdominal pressure at the time of diagnosis of septic shock was established, 3 hours and 24 hours after the treatment was given. The data is processed using the SPSS device. Results: Based on the analysis, it was found that there were significant differences for all study variables in the fluid resuscitation group compared to the norepinephrine group. The amount of fluid administration in the early norepinephrine group averaged 2198.63 ml, less than that in the 30 ml / kgBW fluid resuscitation group with an average of 3999.30 ml, Chi Square test p = 0.000. By comparing the measurement results against the initial measurement values in the two groups, fluid overload was very risky in the 30 ml / kgBW fluid resuscitation group. There is a significant relationship between the urinary albumin to creatinine ratio, the increase in the serum creatinine value, the low PaO2/FiO2 ratio and the increase in intraabdominal pressure with the provision of 30 ml/kgBW fluid resuscitation which indicated the risk of fluid overload (OR 48.273; 95% CI = 16.708-139.472, OR = 73,381; 95% CI = 19,955-269,849, OR = 12,225; 95% CI = 5,290-28,252, and OR = 32,667; 95% CI = 10,490-101,724). Conclusion: Early norepinephrine administration can reduce fluid administration and prevent overload in the resuscitation of patients with septic shock.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Peni Yulia Nastiti
Abstrak :
ABSTRAK
LATAR BELAKANG: Hipoperfusi perioperatif yang diawali oleh hipoperfusi splanknik meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien pascaoperasi risiko tinggi. Parameter kadar laktat, P(cv-a)CO2 dan konsentrasi ScvO2 darah dapat digunakan untuk menilai hipoperfusi global. Peningkatan volume residu lambung dihubungkan dengan terjadinya hipoperfusi regional saluran cerna. Penelitian ini bertujuan mengetahui korelasi parameter hipoperfusi global (laktat, P(cv-a)CO2, ScvO2) dengan volume residu lambung pada pasien pascaoperasi risiko tinggi yang dirawat di ICU RSCM. METODE: Sebanyak 48 subyek penelitian yang dianalisis didapatkan dengan metode consecutive sampling. Subyek penelitian yaitu pasien usia ≥18 tahun yang memenuhi kriteria pascaoperasi risiko tinggi, dapat dipasang pipa oro/nasogastrik, pasien tidak menolak diikutsertakan dalam penelitian, bukan pascaoperasi gastrektomi, tidak ada hematemesis, pasien tidak dengan gastrostomi, tidak diberikan opioid pascabedah, serta dilakukan pemasangan kateter vena sentral pada v. cava superior. Pasien akan dikeluarkan dari penelitian apabila pasien meninggal dan dilakukan resusitasi jantung paru sebelum 24 jam pascaoperasi, diberikan opioid. Pasien dirawat di ICU pascaoperasi dan dicatat volume residu lambung, kadar laktat, P(cv-a)CO2, konsentrasi ScvO2 pada jam ke-0, ke-8 dan 24. HASIL: Terdapat korelasi lemah antara kadar laktat dengan volume residu lambung pada jam ke-0 (r=0,301 p<0,05), jam ke-8 (r=0,374 p<0,01) dan jam ke-24 (r=0,314 p<0,05). Tidak terdapat korelasi antara kadar P(cv-a)CO2 dan ScvO2 dengan volume residu lambung pada jam ke-0,8 dan 24. KESIMPULAN: Tidak terdapat korelasi antara parameter hipoperfusi global (laktat, P(cv-a)CO2, ScvO2) dengan volume residu lambung.
ABSTRACT
Perioperative hypoperfusion preceded by splanchnic hypoperfusion increased morbidity and mortality in high risk surgical patients. Parameter levels of blood lactate, P(cv-a)CO2 and concentration ScvO2 can be used to assess global hypoperfusion. Increased gastric residual volume associated with the occurrence of gastrointestinal regional hypoperfusion. This study aims to determine the correlation parameter global hypoperfusion (lactate, P(cv-a)CO2, ScvO2) with gastric residual volume in high risk surgical patients admitted to the ICU RSCM. METHODS: A total of 48 subjects analyzed were obtained by consecutive sampling method. The subjects are patients aged ≥ 18 years who meet the criteria of high risk surgical patients, can be mounted oro/ nasogastric tube, patients did not refuse to be included in this study, not postoperative gastrectomy, no hematemesis, without gastrostomy, not given opioid postoperatively, do the insersion of central venous catheter in v. cava superior. Patient will be excluded from the study if the patient died and performed CPR before 24 hours, administered opioid. Patients admitted to the ICU postoperatively and recorded gastric residual volume, levels of lactate, P(cv-a)CO2 , ScvO2 concentration at 0, 8th and 24th hour. RESULTS: There is a weak correlation between lactate level with gastric residual volume at 0 hour(r=0.301, p<0.05), 8th hour(r=0.374, p<0.01) and 24th hour (r=0.314, p<0.05). There is no correlation between P(cv-a)CO2 level and ScvO2 concentration with gastric residual volume at 0, 8th and 24th hour. CONCLUSION: There was no correlation between the parameters of global hypoperfusion (lactate, P(cv-a)CO2, ScvO2) with gastric residual volume.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Robby Susanto
Abstrak :
Latar Belakang. Saturasi oksigen merupakan pengukuran rutin pada pasien dengan pipa endotrakea ataupun dengan masalah pernafasan / oksigenasi dan merupakan standar pemantauan oksigenasi dari ASA dan WHO. Oksimeter denyut jari menjadi pilihan utama karena mudah digunakan. Pemantauan saturasi oksigen sering bermasalah karena lokasi di perifer terdapat kelainan , misalnya karena luka bakar, hipoperfusi. Diperlukan alternatif pemantauan saturasi antara lain dengan modifikasi oksimeter denyut orofaring. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan kesesuaian hasil pengukuran antara modifikasi oksimeter denyut orofaring dan oksimeter denyut jari. Metode. Penelitian analitik observasional dengan rancangan potong lintang terhadap pasien ASA 1 dan ASA 2 terintubasi yang menjalani pembedahan di RSCM Jakarta periode Agustus-September 2017. Sebanyak 26 pasien diambil secara konsekutif, setiap pasien dilakukan dua pengukuran saturasi dengan oksimeter denyut jari dan modifikasi oksimeter denyut orofaring, pencatatan dilakukan setiap 5 menit selama 30 menit . Analisis data menggunakan uji kesesuain Bland-Altman. Hasil. Rerata hasil pengukuran oksimeter jari sebesar 98,53 SD 0,896 , dan rerata hasil pengukuran modifikasi oksimeter denyut orofaring sebesar 98,35 SD 1,238 . Analisa uji Bland Altman pada semua waktu pengukuran mendapatkan rerata selisih antara oksimeter denyut jari dan modifikasi oksimeter denyut orofaring sebesar 0,19 , dengan interval kepercayaan 95 sebesar 0.07-1,79 dan dengan limit of agreement sebesar -1,42 ndash; 1,79. Simpulan. Pengukuran dengan metode modifikasi oksimeter denyut orofaring memiliki kesesuaian yang sangat baik dengan oksimeter denyut jari.
Background. Oxygen saturation is an important routine measurement in patients with endotracheal tubes or with respiratory oxygenation problems and standard oxygenation monitoring from ASA and WHO. Finger pulse oxymeter is the first choice because of its easy use. Oxygen saturation monitoring often has problems if the peripheral site has abnormalities due to several things, because. Alternative saturation monitoring is required, modification oropharyngeal pulse oxymeter is one choice. This study aims to compare the agreement of the measurement results between the modification of the oropharynx pulse oximeter and the finger pulse oximeter. Method. An observational analytic study with cross sectional design which observe ASA 1 and ASA 2 patients who were intubated and undergo surgery at RSCM Jakarta period August September 2017. Total 26 patients were taken consecutively, each patient were performed finger pulse oximeter and modification oropharyngeal pulse oxymeter, recorded every 5 minutes for 30 minutes. Analysis using agreement test Bland Altman. Results. The mean of measurement with finger oximeter was 98,53 SD 0,896 , and mean of measurement result with modification oropharyngeal pulse oximeter was 98,35 SD 1,238 . Analysis with Bland Altman test at all measurement time got mean difference between finger pulse oximeter and modification oropharyngeal pulse oximeter of 0.19, with 95 confidence interval equal to 0.07 1,79 and with limit of agreement equal to 1,42 1,79. Conclusion. Measurements with the modification oropharyngeal pulse oximeter method have good agreement with finger pulse oximeter.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Wahyudi Soamole
Abstrak :
Latar Belakang: Tatalaksana nyeri pascabedah pada pasien pascalaparoskopi nefrektomi merupakan salah satu kunci pemulihan dini pasien. Di RSUPN Cipto Mangunkusomo, hampir semua pasien donor ginjal pascabedah laparoskopi nefrektomi mendapatkan analgesia epidural kontinyu. Masih tingginya persentase pasien dengan derajat nyeri berat, serta terdapatnya efek samping retensi urin pascaanalgesia epidural kontinyu, membuka kemungkinan untuk digunakannya teknik analgesia berbasis anestesia regional lain yang lebih baik. Blok tranversus abdominis plane dapat digunakan sebagai analgesia pascabedah abdomen, aman digunakan pada pasien dengan gangguan fungsi koagulasi dan tidak menyebabkan terjadinya retensi urin dibandingkan dengan teknik blok neuraksial. Metode: Penelitian ini bersifat uji klinis terkendali tidak tersamar tunggal, dengan populasi semua pasien donor ginjal yang menjalani laparoskopi nefrektomi pada bulan Mei-Oktober 2017 di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Sebanyak 25 subyek pada dua kelompok diambil dengan metode consecutive sampling. Analisa statistik dilakukan untuk mengetahui efek analgesia penambahan deksametason 8 mg pada blok TAP tiga titik, rata-rata derajat nyeri gerak dan kebutuhan morfin pascabedah pada kedua kelompok dengan menggunakan uji Mann-Whitney dan uji Friedman dan post hoc Wilcoxon.Hasil: Uji Mann-Whitney rata-rata nyeri diam tidak berbeda signifikan p 0,066-0,716 . Uji Mann-Whitney Kebutuhan PCA morfin pada 24 jam pascabedah tidak berbeda signifikan p 0,072-0,200 . Perubahan derajat nyeri pada blok TAP dengan uji Friedman dan post hoc Wilcoxon bermakna signifikan p 0,002 dan 0,020 . Kebutuhan morfin pada blok TAP dengan uji Friedman dan post hoc Wilcoxon bermakna signifikan p 0,023 . Saat pertama menggunakan tambahan morfin dan awal mobilisasi pascabedah tidak ada perbedaan pada kedua kelompok. Kekerapan retensi urin pascabedah lebih tinggi pada epidural kontinyu 58.01 .Simpulan: Penambahan deksametason 8 mg tidak memberikan efek analgesia yang lebih baik pada blok TAP tiga titik dibanding epidural kontinyu. Jumlah penggunaan morfin, saat pertama membutuhkan tambahan morfin, rata-rata derajat nyeri gerak dan awal mobilisasi pascabedah tidak berbeda signifikan pada blok TAP tiga titik dengan epidural kontinyu. Kekerapan retensi urin pascabedah lebih tinggi pada epidural kontinyu.
Abstract Background Postoperative pain management in laparoscopic nephrectomy is one key to early recovery. At RSUPN Cipto Mangunkusomo, almost all postoperative laparoscopic donor nephrectomy patients acquire continuous epidural analgesia. High percentage of patients with severe degree of pain and presence of postoperative urinary retention related to continuous epidural opens the possibility of better use of other regional anesthesia analgesia techniques. Tranversus abdominis plane block can be used as postoperative analgesia in abdominal surgery, safe in patients with impaired coagulation function and does not cause urinary retention compared with neuraxial block technique. Methods Randomized control trial in all kidney donor patients undergoing laparoscopic donor nephrectomy in RSUPN Cipto Mangunkusomo during May October 2017. Consecutive sampling and random allocation was done to put 25 patients in each TAP block and Continuous Epidural group. Statistical analysis was performed to determine the effect of adding 8 mg of dexamethasone in three point TAP block on degree of pain at rest and with movement and postoperative morphine requirements using Mann Whitney, Friedman and post hoc Wilcoxon test. Results Mann Whitney test showed no significant difference in pain at rest p 0,066 0,716 and 24 hours postoperative morphine requirements p 0,072 0,200 between two groups. Friedman and post hoc Wilcoxon test showed a significant difference in degree of pain p 0,002 and 0,020 and morphine requirement p 0,023 in TAP block group. There is no difference in time to first dose of morphine rescue and early postoperative mobilization. There is higher incidence of postoperative urinary retention in continuous epidural group 58.01 .Conclusion The addition of dexamethasone 8 mg on three point TAP block did not provide better analgesia than continuous epidural. The amount of morphine requirement, time to first dose of morphine rescue, degree of pain at rest and with movement and early postoperative mobilization did not differ significantly between two groups. The frequency of postoperative urinary retention is higher with continuous epidural.
Depok: Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Avy Retno Handayani
Abstrak :
Latar belakang: Patensi jalan napas merupakan hal paling penting dalam manajemen pasien di dalam kamar operasi maupun di luar kamar operasi. Kegagalan ataupun keterlambatan dalam manajemen jalan napas akan membawa dampak yang buruk terhadap morbiditas maupun mortalitas pasien. Prediksi kesulitan jalan napas dapat dilakukan dengan penilaian klinis maupun pemeriksaan penunjang. Cormack-Lehane grading telah lama digunakan sebagai prediksi kesulitan laringoskopi melalui visualisasi laring. Menurut penelitian yang sudah dilakukan oleh W Yao dan Bin Wang, dikatakan ukuran lebar lidah diatas 6.0 cm dapat menjadi prediksi terjadinya kesulitan intubasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kesulitan intubasi adalah kesulitan laringoskopi yang ditandai dengan Cormack Lehane Grading ≥ 3. Penelitian ini bertujuan untuk mencari apakah terdapat hubungan ukuran lebar lidah dengan kesulitan laringoskopi yang ditandai dengan Cormack Lehane Grading. Metode: Penelitian observasional prospektif dengan desain cross sectional ini dilakukan di Instalasi Bedah Pusat, CCC, dan Kirana RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli sampai September 2022. Populasi subjek adalah pasien yang akan menjalani pembedahan dengan pembiusan total dan menggunakan ETT. Ketebalan lidah diukur dengan menggunakan ultrasonografi. Penilaian Cormack Lehane Grading dilakukan melalui visualisasi laring pada saat laringoskopi dan sebelum dilakukan intubasi endotrakeal. Hasil: Kelompok subjek dengan karakteristik sulit intubasi berdasarkan Cormack Lehane Grading (≥3) terbukti memiliki rerata ketebalan lidah yang lebih tebal dibandingkan kelompok mudah intubasi. Kelompok sulit intubasi juga terbukti memiliki Modified Mallampati Score yang lebih tinggi. Kesimpulan: Ketebalan lidah dan Modified Mallampati Score berhubungan dengan sulit intubasi berdasarkan Cormack Lehane grading, sehingga dapat digunakan sebagai prediktor kesulitan jalan napas. ......Background: Airway patency is a critical variable to maintain, either in perioperative or emergency setting. Failure or delay in airway management is associated with life-threatening complications. Prediction of difficult airway management can be done through bedside clinical examination and/or further investigations. Cormack Lehane grading has long been known as a parameter to assess difficult airway by visualization of the larynx. According to W Yao and Bin Wang, tongue thickness > 6.0 cm may be a predictor of difficult airway. One of the factors associated with difficult-to-intubate patients is difficult laryngoscopy as indicated by Cormack Lehane grading ≥ 3. This study aimed to investigate the correlation between tongue thickness and difficult laryngoscopy assessed through Cormack Lehane Grading. Methods: This prospective observational study was conducted in Central Surgery Unit, CCC, and Kirana Unit of Cipto Mangunkusumo General Hospital in the period of July to September 2022. This study involved patients undergoing surgical interventions with general anesthesia and endotracheal intubation. Tongue thickness of each subject was assessed by ultrasonography. The assessment of Cormack Lehane grading in each subject was conducted through visualization of the larynx during laryngoscopy and prior to tracheal intubation. Results: Difficult-to-intubate group characterized by Cormack Lehane grading ≥3 was associated with thicker tongue and higher Modified Mallampati score. Conclusion: Tongue thickness and modified Mallampati score were associated with difficult laryngoscopy and endotracheal intubation based on Cormack Lehane grading. Therefore, tongue thickness may serve as a potential predictor of difficult airway.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hutahaean, Amelya
Abstrak :
Latar Belakang: N-asetilsistein (NAS) memiliki banyak manfaat, salah satunya sebagai antikoksidan dan antiinflamasi. Belum banyak penelitian pemberian NAS pada pasien COVID-19. Pemberian NAS pada pasien COVID-19 derajat berat memiliki hasil luaran yang bervariasi, salah satunya diduga disebabkan lama terapi yang hanya beberapa jamhari. Tujuan: Rancangan penelitian ini adalah kohort retrospektif di ICU RS PELNI, Jakarta. Penelitian ini dimulai setelah mendapat sertifikat etik dan ijin lokasi yang dimulai pada bulan Februari-April 2023. Pengambilan sampel secara consecutive sampling. Kriteria penerimaan meliputi pasien COVID-19 derajat berat dengan usia ≥18 tahun. Kriteria penolakan meliputi pasien sedang hamil/menyusui. Kriteria pengeluaran meliputi pasien meninggal sebelum pemberian NAS mencapai 14 hari. Luaran yang diamati adalah kejadian intubasi, mortalitas, nilai rasio netrofil limfosit, kadar D-dimer, dan CRP. Data penelitian merupakan data sekunder dari rekam medis. Data dianalisis dengan uji statistik yang sesuai menggunakan program SPSS versi 27. Hasil: Didapatkan total 112 pasien dengan 55 pasien tidak mendapatkan terapi NAS dan 57 pasien mendapatkan terapi NAS. Dari hasil analisis bivariat didapatkan pasien dengan terapi NAS memiliki kemungkinan untuk diintubasi sebesar 2,7 kali dan tidak berhubugan dengan mortalitas. Dari hasil analisis multivariat, didapatkan hanya variabel kejadian intubasi yang bermakna terhadap mortalitas. Simpulan: Terapi ajuvan NAS tidak menurunkan kejadian intubasi dan mortalitas. ......Background: N-acetylcysteine (NAS) has many benefits, one of which is as an antioxidant and anti-inflammatory. There have not been many studies of giving NAS to COVID-19 patients. Giving NAS to patients with severe degrees of COVID-19 has varied outcomes, one of which is thought to be caused by the duration of therapy which is only a few hours-days. Purpose: This retrospective cohort study was conducted in the ICU of PELNI Hospital, Jakarta. This research was started after obtaining an ethical certificate and location permit which began in February-April 2023. The samples were taken using consecutive sampling. Inclusion criteria was patients with severe degree of COVID-19 aged ≥18 years. Exclusion criteria was patients who are pregnant/breastfeeding. Drop out criteria was patients who died before 14 days of NAS administration. The observed outcomes were intubation events, mortality, neutrophil lymphocyte ratio D-dimer and CRP levels. The research data is secondary data from medical records. Data were analyzed with appropriate statistical tests using the SPSS version 27 program. Results: There were a total of 112 patients with 55 patients not receiving NAS therapy and 57 patients receiving NAS therapy. From the results of bivariate analysis, it was found that patients with NAS therapy had a 2.7 times the likelihood of being intubated and had no association with mortality. From the results of the multivariate analysis, it was found that only the intubation event variable had a significant effect on mortality. Conclusion: Adjuvant therapy for NAS does not reduce the incidence of intubation and mortality.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bambang Novianto Putro
Abstrak :
Latar belakang. Iskemia miokard sering terjadi karena efek klem silang aorta selama bedah jantung terbuka dengan pemakaian mesin pintas jantung paru. Kardioplegia sebagai metode kardioproteksi, dapat berupa kardioplegia darah maupun kristaloid. Telaah sistematik ini bertujuan mengidentifikasi semua uji acak yang membandingkan tingkat cedera miokard, kejadian fibrilasi atrial, infark miokard, penggunaan inotropik, lama perawatan intensif dan mortalitas pascabedah. Metodologi. Telaah sistematik dilakukan dengan melakukan pencarian literatur melalui database pada COCHRANE, PubMed, PMC, dan Google Scholar untuk mengidentifikasi semua uji acak yang membandingkan tingkat cedera miokard, kejadian fibrilasi atrial, infark miokard, penggunaan inotropik, lama perawatan intensif dan mortalitas pascabedah antara kardioplegia darah dan kristaloid pada seluruh prosedur operasi bedah jantung terbuka dewasa dengan mesin pintas jantung paru yang dipublikasikan dalam bahasa Inggris. Artikel sekunder yang bukan merupakan jurnal dan research article akan dieksklusi. Cochrane Risk of Bias digunakan untuk menilai potensi bias. Hasil penelitian. Kami mengidentifikasi 6 uji acak yang dengan total 796 pasien yang menjalani bedah jantung terbuka (CABG, bedah katup, transplantasi), 431 mendapatkan perlakuan kardioplegia darah, 365 lain mendapat perlakuan kardioplegi kristaloid. Subyek berkisar antara 60 hingga 297 pasien. Mayoritas membahas perbandingan kardioplegia darah dan kristaloid pada bedah jantung revaskularisasi koroner (CABG). Keseluruhan studi memiliki risiko bias rendah. Kesimpulan. Kardioplegia darah menunjukkan luaran yang lebih baik dibandingkan kardioplegia kristaloid. Namun, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terkait analisis dari hasil perlindungan miokard masing-masing larutan kardioplegia. ......Background. Myocardial ischemia is commonly occured due to aortic cross-clamping during open-heart surgery using a cardiopulmonary bypass (CPB) machine. Cardioplegia, as cardioprotective method, can be divided into blood or crystalloid base. This systematic review aims to describe the effectiveness of two types of cardioplegic solutions in adult open-heart surgery procedures by focusing on their effects on cardiac enzyme, atrial fibrillation incidence, myocardial infarction, inotropic use, length of stay in ICU, and postoperative mortality Methodology. We searched on several databases, including COCHRANE, PubMed, PMC, and Google Scholar to identify all randomized controlled trials published in English that compared levels of myocardial injury, atrial fibrillation incidence, myocardial infarction, inotropic use, intensive care length of stay, and mortality postsurgery between adults underwent CPB who received blood cardiolegia and crystalloid cardioplegia. Secondary publications were excluded. Cochrane Risk of Bias tool was used to assess for potential biases. Outcome. We identified 6 randomized trials with a total of 796 patients underwent open heart surgery (CABG, valve surgery, transplantation), 431 receiving blood cardioplegia, another 365 receiving crystalloid cardioplegia. Subjects ranged from 60 to 297 patients. Most studies discussed the comparison of blood cardioplegia and crystalloids in CABG. The entire study had a low risk of bias. Conclusion. Blood cardioplegia provided better outcome compared to crystalloid cardioplegia. However, further analysis should be developed to facilitate the conduct of high quality trials. Keywords. Cardiac surgery, cardiac enzyme, blood cardioplegia, crystalloid cardioplegia.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>