Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 13 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Arif Wahyono
Abstrak :
Meningkatnya kasus-kasus kriminalitas dan bencana massal baik yang di akibatkan oleh atas maupun ulah manusia semakin memperkuat pentingnya penerapan ilmu kedokteran forensik. Pemeriksaan autopsi yang dilakukan terhadap korban akan sangat membantu pemecahan masalah tersebut. Korban yang diperiksa secara forensik bisa berupa mayat yang masih segar, sudah membusuk lanjut, hangus terbakar, berupa potongan tubuh atau berupa kerangka yang terkait kasus pembunuhan, kecelakaan maupun bunuh diri. Salah satu pemeriksaan forensik yang perlu dilakukan adalah identifikasi personal. Identifikasi adalah cara untuk mengenali jati diri korban. Prinsip identifikasi personal adalah membandingkan antara data antemortem dan data post mortem. Prinsip identifikasi adalah semakin banyak data yang terkumpul akan memperkuat identifikasi. Sedangkan data yang tidak sesuai akan menyingkirkan ekslusi) Pada identifikasi dikumpulkan beberapa data yang meliputi data mengenai usia, jenis kelamin, tinggi badan, berat badan, ciri tertentu misalnya kelainan khas seperti cacat, patah tulang, penyakit tertentu, tahi lalat, tato, kelainan radiologis tertentu serta sidik jari DNA. Tinggi badan merupakan salah satu data yang perlu dikumpulkan pada identifikasi personal. Perkiraan tinggi badan diperlukan agaar proses penentuan identifikasi menjadi lebih terarah. Proses perkiraan tinggi badan akan lebih sulit apabila mayat ditemukan dalam kondisi yang telah hangus terbakar atau hanya berupa potongan tubuh manusia. Angka kejadiaan ditemukannya mayat tidak utuh pada tahun 2002 - 2003 di Bagian Forensik FKUI adalah sebanyak 12 (dua belas) kasus, sedangkan pada tahun 2004 hanya sebanyak 5 ( lima) kasus. Pada semua kasus tersebut, semua korban berhasil diidentifikasi. Dasar perkiraan tinggi badan pada mayat tidak lengkap adanya korelasi antara panjang bagian tubuh dengan tinggi badan. Perkiraan tinggi badan pada kasus - kasus tersebut dapat dilakukan dengan salah satu metode sebagai berikut : 1.Faktor multipikasi : bilangan yang menyatakan faktor pengali terhadap panjang bagian tubuh sehingga diperoleh tinggi badan. TB= FMXT 2.Ratio porposi : bilangan yang menyatakan panjang bagian tubuh terhadap tinggi badan dalam bentuk prosentasi. TB = 100 X T T = panjang bagian Ratio tubuh 3.Rumus regersi : rumus yang menyatakan hubungan liner antara panjang tubuh dengan tinggi badan, TB=aT +b Berbagai metode perhitungan tinggi badan yang ada pada saat ini umumnya mengkaitkan tinggi badan dengan panjang tulang panjang atau bagian tulang panjang atau tulang vertebra.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T21248
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Johannis Ferdi Mallo
Abstrak :
Tes fosfatase asam adalah suatu tes penyaring untuk mendeteksi adanya cairan atau bercak mani. Pemeriksaan ini didasarkan atas pendeteksian aktifitas enzimatik enzim fosfatase asam yang berasal dari cairan kelenjar prostat, yang merupakan salah satu komponen dari cairan mani. Pada persetubuhan, cairan mani akan dideposit didalam vagina dan akan bercampur dengan cairan vagina. Percampuran tersebut diduga akan mempengaruhi aktifitas enzim FA jika dibandingkan dengan cairan mani sebelum pencampuran tersebut. Selain itu, dengan berlalunya waktu aktifitas enzim akan terus menurun sampai akhirnya akan sama seperti cairan vagina tanpa percampuran dengan cairan mani. Pada penelitian ini ingin diteliti perbandingan antara aktifitas FA dalam cairan/bercak mani dengan aktifitas FA pada cairan vagina dari berbagai interval waktu pasca persetubuhan. Pada penelitian ini didapatkan hal-hal sebagai berikut: 1. Aktifitas FA pada cairan mani dengan pengenceran 1:64 menunjukkan aktifitas yang sama dengan cairan vagina 37 sampai 48 jam pasca persetubuhan, dengan waktu reaksi 29 detik. Aktifitas FA pada cairan mani dengan pengenceran 1:66 sampai 1:34 menunjukkan aktifitas yang sama dengan cairan vagina 49 sampai 72 jam pasca persetubuhan, dengan waktu reaksi 30 sampai 60 detik. Aktifitas FA pada cairan mani dengan pengenceran 1:136 sampai 1:296 menunjukkan aktifitas yang sama dengan cairan vagina 73 sampai 108 jam pasca persetubuhan, sama dengan cairan vagina tanpa persetubuhan, dengan waktu reaksi 62 sampai 134 detik. Aktifitas FA pada cairan vagna yang menjadi negatif pada 50 % sampel (reaksi lebih dari 30 detik) ditemukan pada bahan yang diambil 40 sampai 60 jam setelah persetubuhan. Reaksi FA paling singkat dijumpai cairan vagina tanpa persetubuhan pada minggu ketiga setelah menstruasi. Didapatkan adanya hubungan regresi yang amat lewat antara waktu reaksi awal tes FA dengan interval pasca persetubuhan dengan persamaan regresi: T awal = 0,0002192 T pc - 2,428 (R = 0,805, SE = 18,12) (waktu dalam detik) 7. Didapatkan adanya hubungan regresi yang amat lewat antara waktu reaksi maksimal tes FA dengan interval pasca persetubuhan dengan persamaan regresi: T maksimal = 0,0004286 T pc - 3,261 (R = 0,8355, SE = 31,67) (waktu dalam detik)
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T58985
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kiwah Andanni
Abstrak :
[Torus palatinus merupakan tonjolan tulang pada langit-langit mulut yang bersifat variatif pada manusia. Perbedaan ras diduga merupakan salah satu hal yang memengaruhi keberadaan torus palatinus. Studi ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan karakteristik torus palatinus pada suku-suku dengan ras mongoloid di Indonesia khususnya yang berasal dari pulau Jawa dan luar pulau Jawa, Indonesia pada tahun 2014. Studi ini bersifat deskriptif analitik berdesain potong lintang dengan jumlah sampel sebanyak 274 orang yang terdiri dari 152 laki-laki dan 122 perempuan. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode consecutive sampling melalui pengisian kuesioner dan pemeriksaan torus palatinus menggunakan kaca mulut. Hasil penelitian didapatkan prevalensi torus palatinus pada 212 sampel (77,4%) dengan karakteristik yang paling dominan adalah yang berukuran kecil (<3mm) sejumlah 107 orang (50,5%) dan tunggal sejumlah 192 orang (90,6%). Torus palatinus lebih dominan pada kelompok suku yang berasal dari pulau Jawa dan Sumatera dengan rasio kelompok suku Jawa, Sumatera, dan campuran, yaitu 1,2:1,2:1.Karakteristik torus palatinus yang paling dominan pada ketiga kelompok suku adalah kecil (<3mm) dan tunggal. Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak didapatkan perbedaan karakteristik torus palatinus yang bermakna antara suku-suku dengan ras mongoloid dari pulau Jawa dan luar pulau Jawa, Indonesia;Torus palatinus is a bone exostosis in the hard palate of mouth that is variative in the human. Race differencies is suspected as one of things that influenced the growth of torus palatinus. The aim of this study was to determine the prevalence and characteristics of torus palatinus in mongoloid race tribes in Indonesia, especially the tribes that originate from Java island and outside Java Island 2014. This descriptive analytic cross-sectional study was using 274 samples, consisted of 152 males and 122 females. Data was collected by using consecutive sampling method through questionaire?s filling and checking torus palatinus with oral mirror tools. The result showed that the prevalence of torus palatinus were found in 212 sample (77.4%) with the most dominant characteristics were found in small size (<3mm) in 107 people (50.5%) and single in 192 people (90.6%). Torus palatinus is more dominant in group of Java and Sumatera tribe within ratio between Java, Sumatera, and mix group is 1.2:1.2:1. The dominant characteristics between this three group of tribes are small (<3mm) and single. Based on the result of this study, there?s no significant difference of characteristics of torus palatinus between mongoloid race tribes from Java Island and outside Java Island., Torus palatinus is a bone exostosis in the hard palate of mouth that is variative in the human. Race differencies is suspected as one of things that influenced the growth of torus palatinus. The aim of this study was to determine the prevalence and characteristics of torus palatinus in mongoloid race tribes in Indonesia, especially the tribes that originate from Java island and outside Java Island 2014. This descriptive analytic cross-sectional study was using 274 samples, consisted of 152 males and 122 females. Data was collected by using consecutive sampling method through questionaire’s filling and checking torus palatinus with oral mirror tools. The result showed that the prevalence of torus palatinus were found in 212 sample (77.4%) with the most dominant characteristics were found in small size (<3mm) in 107 people (50.5%) and single in 192 people (90.6%). Torus palatinus is more dominant in group of Java and Sumatera tribe within ratio between Java, Sumatera, and mix group is 1.2:1.2:1. The dominant characteristics between this three group of tribes are small (<3mm) and single. Based on the result of this study, there’s no significant difference of characteristics of torus palatinus between mongoloid race tribes from Java Island and outside Java Island.]
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raka Aldy Nugraha
Abstrak :
[Studi ini dilakukan untuk mengetahui prevalensi dan distribusi karakteristik torus palatinus pada laki-laki dan perempuan pada populasi Indonesia Barat. Penelitian dilakukan pada 274 orang mahasiswa baru Universitas Indonesia tahun 2014. Presentasi torus palatinus dilihat melalui inspeksi dan palpasi. Pada penelitian ini didapatkan prevalensi torus palatinus sebanyak 77,4% dengan prevalensi lebih tinggi pada perempuan (86,9% vs. 69,7%, P = 0,001). Pada laki-laki, torus palatinus berukuran kecil (<3 mm) ditemukan paling banyak (67,9%), sementara pada perempuan, torus palatinus berukuran sedang (3-6 mm) mendominasi (50,9%) dengan nilai P <0,001. Berdasarkan jumlahnya, torus palatinus paling banyak ditemukan berjumlah satu buah pada laki-laki dan perempuan dengan persentase yang sedikit berbeda (92,5% dan 88,7% secara berurutan, P = 0,002). Berdasarkan hasil tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat perbedaan prevalensi dan distribusi karakteristik torus palatinus pada laki-laki dan perempuan pada populasi Indonesia Barat.;The objective of this study was to investigate the prevalence and characteristics distribution of torus palatinus in males and females among Western Indonesian population. This study was conducted in 274 new students of Universitas Indonesia batch 2014. The presence of torus palatinus was observed through inspection and palpation. The results showed the prevalence of torus palatinus in this sample was 77.4% and it was significantly higher in females than in males (86.9% vs. 69.7%, P = 0.001). According to its size, with the P value of <0.001, the small torus palatinus (<3 mm) dominated its prevalence in males (67.9%), while in females the medium size torus palatinus has the highest occurence among all (50.9%). Most of torus palatinus were found as a single tori in both males and females with slightly different percentage (92.5% and 88.7% respectively, P = 0.002). This study showed significant difference of prevalence and characteristics distribution of torus palatinus in males and females among Western Indonesian population., The objective of this study was to investigate the prevalence and characteristics distribution of torus palatinus in males and females among Western Indonesian population. This study was conducted in 274 new students of Universitas Indonesia batch 2014. The presence of torus palatinus was observed through inspection and palpation. The results showed the prevalence of torus palatinus in this sample was 77.4% and it was significantly higher in females than in males (86.9% vs. 69.7%, P = 0.001). According to its size, with the P value of <0.001, the small torus palatinus (<3 mm) dominated its prevalence in males (67.9%), while in females the medium size torus palatinus has the highest occurence among all (50.9%). Most of torus palatinus were found as a single tori in both males and females with slightly different percentage (92.5% and 88.7% respectively, P = 0.002). This study showed significant difference of prevalence and characteristics distribution of torus palatinus in males and females among Western Indonesian population.]
[, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Indra Pratama
Abstrak :
[ABSTRACT
Torus palatinus dan torus mandibularis merupakan eksositosis yang umum ditemukan pada ras Mongoloid, ras dominan di suku Indonesia barat, yang dapat dijadikan bahan identifikasi forensik. Pada beberapa studi, torus palatinus dan torus mandibularis memiliki hubungan bermakna, dimana hubungan ini dapat menjadi data tambahan untuk identifikasi forensik. Penelitian ini bertujuan menilai prevalensi torus palatinus dan torus mandibularis serta hubungan keduanya pada populasi Indonesia bagian barat. Penelitian ini dilakukan pada 274 Mahasiswa Baru Universitas Indonesia tahun ajaran 2014. Hasil penelitian prevalensi torus palatinus 77,4%, prevalensi torus mandibuaris 13,9%, dan ditemukannya torus palatinus dan torus mandibularis secara bersamaan sebesar 12,4% . Pada penelitian ini torus palatinus dan torus mandibularis tidak memiliki hubungan yang bermakna.
ABSTRACT
Torus palatinus and torus mandibularis are common exocytosis found in Mongoloid race, the dominant inhibitant in west Indonesian tribes, that can be used as forensic identification subject. In numerous study, torus palatinus and torus mandibularis were found as significantly correlated, where as the correlation can be used as another forensic subject.. This study aim to investigate prevalence of torus palatinus, prevalence of torus mandibularis, and correlation between prevalence of torus palatinus and torus mandibularis in west Indonesian population. Sample of the study is 274 student of batch 2014 Univesitas Indonesia students. Result of the study found that prevalence of torus palatinus 77.4%, prevalence of torus mandibularis 13.9%, and prevalence of torus palatinus and torus mandibularis found simultanously is 12.4%. In this study torus palatinus and torus mandibularis shows unsignificant correlation;Torus palatinus and torus mandibularis are common exocytosis found in Mongoloid race, the dominant inhibitant in west Indonesian tribes, that can be used as forensic identification subject. In numerous study, torus palatinus and torus mandibularis were found as significantly correlated, where as the correlation can be used as another forensic subject.. This study aim to investigate prevalence of torus palatinus, prevalence of torus mandibularis, and correlation between prevalence of torus palatinus and torus mandibularis in west Indonesian population. Sample of the study is 274 student of batch 2014 Univesitas Indonesia students. Result of the study found that prevalence of torus palatinus 77.4%, prevalence of torus mandibularis 13.9%, and prevalence of torus palatinus and torus mandibularis found simultanously is 12.4%. In this study torus palatinus and torus mandibularis shows unsignificant correlation;Torus palatinus and torus mandibularis are common exocytosis found in Mongoloid race, the dominant inhibitant in west Indonesian tribes, that can be used as forensic identification subject. In numerous study, torus palatinus and torus mandibularis were found as significantly correlated, where as the correlation can be used as another forensic subject.. This study aim to investigate prevalence of torus palatinus, prevalence of torus mandibularis, and correlation between prevalence of torus palatinus and torus mandibularis in west Indonesian population. Sample of the study is 274 student of batch 2014 Univesitas Indonesia students. Result of the study found that prevalence of torus palatinus 77.4%, prevalence of torus mandibularis 13.9%, and prevalence of torus palatinus and torus mandibularis found simultanously is 12.4%. In this study torus palatinus and torus mandibularis shows unsignificant correlation, Torus palatinus and torus mandibularis are common exocytosis found in Mongoloid race, the dominant inhibitant in west Indonesian tribes, that can be used as forensic identification subject. In numerous study, torus palatinus and torus mandibularis were found as significantly correlated, where as the correlation can be used as another forensic subject.. This study aim to investigate prevalence of torus palatinus, prevalence of torus mandibularis, and correlation between prevalence of torus palatinus and torus mandibularis in west Indonesian population. Sample of the study is 274 student of batch 2014 Univesitas Indonesia students. Result of the study found that prevalence of torus palatinus 77.4%, prevalence of torus mandibularis 13.9%, and prevalence of torus palatinus and torus mandibularis found simultanously is 12.4%. In this study torus palatinus and torus mandibularis shows unsignificant correlation]
[, ], 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aswin Guntara Nataprawira
Abstrak :
[Torus Palatinus merupakan eksostosis tulang pada os palatinus yang dapat digunakan untuk keperluan identifikasi forensik khususnya untuk perkiraan ras. Pengukuran Torus Palatinus dapat dilakukan dengan metode inspeksi maupun palpasi. Kenyataannya hasil kedua pengukuran tersebut tidak konsisten sehingga dalam penelitian ini akan diuji prevalens pada kedua metode tersebut. Penelitian dilakukan pada 127 mahasiswa baru Universitas Indonesia tahun ajaran 2014/2015 di Pusat Kesehatan Mahasiswa Universitas Indonesia pada Agustus 2014. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross-sectional. Data primer didapatkan dari pengisian kuesioner dan pemeriksaan langsung keberadaan Torus Palatinus dalam rongga mulut dengan metode inspeksi maupun metode palpasi. Pada penelitian ini diperiksa 127 orang yang terdiri atas 69 orang laki - laki dan 58 orang perempuan. Dengan metode palpasi didapatkan temuan Torus Palatinus sebesar 92,13% sedangkan dengan metode inspeksi didapatkan temuan 77,17% (p < 0,001). Pemeriksaan Torus Palatinus sebaiknya dilakukan dengan metode palpasi karena dapat menghilangkan pengaruh faktor ketebalan mukosa yang dapat menyebabkan hasil false negative.;Torus Palatinus is bone exostosis on os palatinus that can be used to determine race in forensic identification. The assesment can be done by direct inspection and palpation. The result of both assessment methods do not have consistent results, the purpose of this study is to find better prevalens of Torus Palatinus. This study was done in 127 freshmen of Universitas Indonesia batch 2014 in Pusat Kesehatan Mahasiswa Universitas Indonesia on August 2014. The study design is crosssectional. The data was taken from questionnaire and direct inspection and direct palpation. There were 127 subjects, 69 subjects were male and 58 subjects were female. Palpation method shows 92.13% finding of Torus Palatinus and inspection method shows 77.17% finding of Torus Palatinus (p < 0.001). Palpation method shows better results. Palpation methods is more eligible to identify Torus Palatinus and this method can reduce false negative of mucous, Torus Palatinus is bone exostosis on os palatinus that can be used to determine race in forensic identification. The assesment can be done by direct inspection and palpation. The result of both assessment methods do not have consistent results, the purpose of this study is to find better prevalens of Torus Palatinus. This study was done in 127 freshmen of Universitas Indonesia batch 2014 in Pusat Kesehatan Mahasiswa Universitas Indonesia on August 2014. The study design is crosssectional. The data was taken from questionnaire and direct inspection and direct palpation. There were 127 subjects, 69 subjects were male and 58 subjects were female. Palpation method shows 92.13% finding of Torus Palatinus and inspection method shows 77.17% finding of Torus Palatinus (p < 0.001). Palpation method shows better results. Palpation methods is more eligible to identify Torus Palatinus and this method can reduce false negative of mucous]
2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elza Ibrahim
Abstrak :
Ruang lingkup dan cara penelitian : Penelitian ini bertujuan mencari derajat ketepatan penentuan golongan darah ABO dari material gigi yang diambil dari 145 subyek. Determinasi golongan darah dilakukan pada bahan email, dentin dan pulpa serta dari darah pasta pencabutan sebagai kontrol. Sampel dibagi menjadi 4 kelompok : 54 gigi non-karies yang dibelah dua, sebagian segera dilakukan penentuan golongan darah, sebagian lagi dibiarkan dalam suhu kamar (29±4°C) selama satu bulan sebelum ditentukan golongan darahnya. Sebagai perbandingan 36 gigi non-karies dikubur dalam tanah selama satu bulan sebelum dilakukan penentuan golongan darah dan 55 gigi karies yang langsung ditentukan golongan darahnya. Penentuan golongan darah dilakukan dengan metode absorpsi elusi. Hasil dan Kesimpulan : Hasil menunjukkan pada kelompok non-karies, frekuensi ketepatan pada sampel email lebih kecil secara signifikan dibanding dentin, pulpa dan darah (p<0,01), sedangkan antara dentin, pulpa dan darah tidak ada perbedaan yang bermakna. Dan email, hanya 37-59 % yang terdeteksi bertar, diduga disebabkan karena rendahnya fraksi organik gigi dibagian ini. Sampel dentin dan pulpa tidak menunjukkan adanya perbedaan yang bermakna baik pada paparan tanah maupun suhu kamar selama satu bulan. Secara keseluruhan untuk dentin dan pulpa persentase ketepatan penentuan golongan darah pada gigi non-karies berkisar antara 94-100 %, sedangkan untuk gigi karies 65-87 %. Disini terlihat bahwa frekuensi ketepatan penentuan golongan darah dan dentin dan pulpa pada karies pulpa lebih kecil secara signifikan dibandingkan non-karies (p<0,01). Ketepatan penentuan golongan darah antara gigi karies dentin dan karies pulpa tidak terdapat perbedaan yang bermakna. Dapat disimpulkan bahwa materi email tidak dianjurkan untuk digunakan dalam penentuan golongan darah dari material gigi. Sedangkan dentin, pulpa dan kemungkinan gigi utuh secara keseluruhan dapat dipercaya untuk penentuan golongan darah waupun proporsi ketepatan agak lebih rendah dibandingkan darah secara langsung, materi dari suatu gigi utuh cukup memenuhi persyaratan dalam penentuan golongan darah. Efek kontaminasi mikro-organisme karies secara signifikan juga terlihat dalam hasil penelitian ini, yang berarti membatasi relabilitas ketepatan penentuan golongan darah dalam identifikasi forensik. Bila dimungkinkan sebaiknya digunakan gigi non-karies dan dalam keadaan terpaksa dipilih seminimal mungkin gigi karies. ......Determination of ABO Blood Grouping Using Tooth Material: Supporting Information for Forensic IdentificationScope and methods of research: To study the efficiency and robustness of ABO blood grouping from tooth material, extracted tooth samples from 145 people were ABO blood grouped torn enamel, dentine and pulp, with direct blood grouping at the time of extraction as control. Of the 145 tooth samples, a half of 54 teeth without caries and 55 whole teeth with caries were blood grouped immediately (within few days). The other half of the 54 teeth without caries were stored at room temperature (29±4°C) for one month. For all cases, straightforward absorption elution technique was used br ABO blood grouping from tooth material. Results and Conclusions: From enamel, the proportion of correctly ABO blood grouped tooth samples without caries was only 37 to 59 % and significantly smaller (p<0,01) than from dentine, pulp or control (blood). In comparison, for dentine and pulp 94 to 100 % of the results were correct for teeth without caries, and there was no significant difference between dentine, pulp and control immediately after extraction. With the exception of relatively unreliable blood grouping from enamel, storing non-caries teeth for one month at room temperature appears to exert no significant influence in comparison with immediate blood grouping after extraction. However, one month underground made it significantly less likely (p<0,01 for dentine and pulp) to achieve correct blood grouping from non-caries tooth material in comparison with immediate blood grouping after extraction or one month storage at room temperature. For dentine and pulp, only 65 to 87 % of blood grouping results were correct for teeth with caries. Particularly caries pulpa appears to make correct blood grouping from tooth material (dentine and pulp) significantly less likely (p<0,01) than torn non-caries teeth. Similar tendency for teeth with caries dentine was weaker, but there was no significant difference in correct blood grouping torn teeth with caries dentine and caries pulpa. The results confirm that enamel alone is unreliable material for ABO blood grouping. However, dentine, pulp and probably whole teeth without caries can be used hr blood grouping with reasonable confidence. The material torn a single tooth appears sufficient for blood grouping in such cases. The results also imply adverse effects of microbial contamination by caries and soil contact, which can limit the reliability of correct blood grouping from teeth in forensic applications. When the choice is possible, tooth material with as little caries as possible should be used.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tuti Nuraini
Abstrak :
Ruang Lingkup dan Cara Penelitian : Salah satu penyebab infertilitas pada pria adalah rendahnya motilitas sperma (asthenozoospermia). Motilitas yang rendah ini dapat disebabkan oleh beberapa hal antara Iain adanya gangguan pada fungsi mitokondria. Porin atau voltage dependent anion channel (VDAC) merupakan kanal ion dengan berat molekul 30-35 kDa yang terdapat di membran luar mitokondria sel eukariota. Sampai saat ini telah berhasil diidentifikasi 3 tipe porin dengan tingkat homologi yang tinggi. Sebagai kanal ion, porin bertanggung jawab atas keluar masuknya metabolit di dalam sel, termasuk ATP. Porin tidak hanya memperantarai transport ATP dari dalam mitokondria bahkan juga mengatur proses keluarnya ATP. Hasil penelitian Sampson et al. (2001) dengan teknik knock-out mouse yang mendelesikan 4 exon terakhir gen VDAC3 mencit menyebabkan mencit jantan mutan sehat tapi infertil asthenozoospermia (jumlah sperma normal tapi motilitas menurun). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis exon 6 gen VDAC3 manusia pada sperma motilitas rendah dari pasien infertilitas asthenozoospermia dibandingkan dengan sperma motilitas lurus dan cepat (normal). Sperma pasien asthenozoospermia diswim-up dan diambil sperma yang gerakannya lemah. Sedangkan sperma yang normal diswim-up dan diambil sperma yang berenang ke atas (gerakannya baik). Setelah itu dilakukan isolasi DNA dari sperma yang didapat. Jumlah sampel sperma asthenozoosperrnia adalah 30 sampel, sedangkan sperma normal sebanyak 20 sampel. DNA genom yang sudah didapatkan kemudian di amplifikasi dengan primer yang spesifik untuk exon 6 gen VDAC3. Hasil PCR dielektroforesis dengan gel agarose 2%. Setelah dilakukan sekuensing terhadap produk PCR dari sampel yang ada dengan menggunakan Big Dye Terminator Mix menggunakan mesin sekuensing the ABI 377A. Hasil dan Kesimpulan: Dan 30 sampel sperma pasien asthenozoospermia, 28 sampel menunjukkan adanya hasil amplifikasi fragmen exon 6 gen hVDAC3 berukuran + 225 pb dan dan hasil sekuensing ditemukan adanya 4 mutasi substitusi nukleotida yang menyebabkan perubahan asam amino penyusun exon 6 gen hVDAC3 pada 9 sampel, yaitu perubahan asam amino posisi 131 dan isoleusin menjadi leusin sebanyak 8 sampel (26,67%), posisi 174 dari lisin menjadi asam glutamat sebanyak 1 sampel (3,33%), posisi 143 dari valin menjadi glisin sebanyak 1 sampel (3,33%), dan posisi 164 dan leusin menjadi triptofan sebanyak 1 sampel (3,33%). Mutasi ini mungkin dapat menyebabkan gangguan fungsi mitokondria sperma dalam mengeluarkan ATP.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21206
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Suhendar
Abstrak :
Kondom yang telah digunakan dalam suatu tindak kejahatan seksual berupa persetubuhan dapat memberikan barang bukti pada kasus kejahatan seksual. Kondom tersebut dapat mengandung bukti biologis yang berasal dari pelaku dan korban yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pelaku dan mengkaitkannya dengan korban yang mengindikasikan kemungkinan telah terjadi persetubuhan. Pada bagian luar kondom dapat menempel epitel vagina, sekret vagina, darah korban atau rambut pubis yang dapat berasal dari pelaku atau korban, sedangkan di bagian dalam kondom dapat ditemukan cairan mani dan epitel penis yang berasal dari pelaku. Sebagai bahan biologis, barang bukti tersebut tidak akan terhindarkan dapat mengalami degradasi seiring dengan perubahan waktu dan kondisi lingkungan dimana kondom itu berada. Telah dilakukan penelitian mengenai pengaruh waktu dan lingkungan terhadap bukti biologis berupa epitel vagina dan cairan mani pada kondom pasca senggama. Pemeriksaan terhadap cairan mani menggunakan pemeriksaan fosfatase asam, Florence, Berberio dan dilakukan pemeriksaan terhadap sel sperma yang berada di bagian dalam kondom. Pemeriksaan terhadap barang bukti dari bagian luar kondom untuk pembuktian adanya epitel vagina dilakukan Hasil penelitian pemeriksaan cara lugol dan pemeriksaan Barr body. menunjukkan bahwa sampai hari ke sepuluh pemeriksaan ini, cairan mani dan epitel vagina masih dapat ditemukan serta tidak terdapat perbedaan antara hasil temuan kondom yang dilakukan di tempat terbuka, tempat tertutup dan di dalam air.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T57261
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Farah Primadani Kaurow
Abstrak :
Sinus maksilaris merupakan struktur kraniofasial yang dapat digunakan untuk perkiraan jenis kelamin berdasarkan pengukuran morfometriknya dari gambaran CT-scan. Pada penelitian-penelitian sebelumnya didapakan ukuran morfometrik berbeda-beda pada setiap populasi, karena dipengaruhi oleh faktor ras. Tujuan penelitian ini adalah mencari nilai diagnostik dari ukuran morfometrik panjang, lebar, tinggi dan volume sinus maksilaris terhadap perkiraan jenis kelamin berdasarkan gambaran CT-Scan Maksilofasial pada suatu populasi dewasa di Indonesia. Penelitian ini menggunakan desain potong lintang terhadap 420 sinus maksilaris yang didapatkan dari hasil randomisasi data CT-Scan Maksilofasial pada populasi usia 20-50 tahun di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Analisis bivariat menggunakan uji t tidak berpasangan dan analisis multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil penelitian ini didapatkan nilai rerata masing-masing laki-laki dan perempuan sebesar 3,90 ± 0,3 cm dan 3.74 ± 0,3 cm pada panjang; 3.42 ± 0,6 cm dan 3.32 ± 0.5 cm pada lebar; 4.29 ± 0,6 cm dan 3.78 ± 0,4 pada tinggi; dan 7.02 ± 1.8 cc dan 6.52 ± 1.3 cc pada volume. Berdasarkan ukuran panjang, lebar, dan tinggi, didapatkan rumus y = -10,760 + 1,319*(P) – 1,647*(L) + 2,796*(T); dengan nilai cut-off sebesar 0,0606 poin, yang memberikan nilai akurasi 79,2%. Berdasarkan ukuran volume didapatkan rumus y = -1,444 + 0,213*(Volume); dengan nilai cut-off sebesar 0,2845 poin, yang memberikan nilai akurasi 58,3%. Dari penelitian ini didapatkan pengukuran morfometrik panjang, lebar, tinggi, dan volume sinus maksilaris dari gambaran CT-Scan maksilofasial dapat digunakan untuk perkiraan jenis kelamin. ......Maxillary sinus is one of maxillofacial structure which can be used in sex estimation based on its morphometric measurement from CT image. Based on the previous studies, the morphometric of maxillary sinus were different in each population, because it was influenced by race. The aim of this study is to find diagnostic value from the morphometric of length, width, height and volume of maxillary sinus from maxillofacial CT image in Indonesian adult population to estimate sex. This study uses a cross-sectional design of 420 maxillary sinus obtained from randomized CT images data in population aged 20-50 years at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Bivariate analysis using independent T-test and multivariate analysis using logistic regression test. In this study, mean score for men and women is (3.90 ± 0.3) cm and (3.74 ± 0.3) cm on length; (3.42 ± 0.6) cm and (3.32 ± 0.5) cm on width; (4.29 ± 0.6) cm and (3.78 ± 0.4) on height; and (7.02 ± 1.8) cc and (6.52 ± 1.3) cc on volume, respectively. Based on length, width and height, estimation formula is y = -10.760 + 1.319*(L) – 1.647*(W) + 2.796*(H); with cut-off 0,0606 point, given accuracy score of 79,2%. Based on volume, estimation formula is y = -1.444 + 0.213*(volume); with cut-off point 0,2845 point, given accuracy score of 58,3%. The study showed that the morphometric measurement of maxillary sinus from CT image can be used to estimate sex.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>