Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 22 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Salma Nabilah
"Skripsi ini membahas terkait dengan Terapi Physiolates, terapi yang menggabungkan fisioterapi dengan pendekatan Pilates dan sebaliknya. Metode penelitian yang digunakan adalah doktrinal dengan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terapi Physiolates secara konseptual sah dalam lingkup fisioterapi, terutama jika diterapkan dengan fokus pada penggunaan modalitas Pilates sebagai bagian dari upaya rehabilitasi atau peningkatan kesehatan dalam fisioterapi. Perlindungan hukum bagi fisioterapis dan instruktur non-fisioterapis berkaitan erat dengan lisensi dan status profesi, hal tersebut penting untuk instruktur Physiolates perhatikan untuk mengurangi ketidakpastian dan memberikan perlindungan dalam memberikan layanan kesehatan. Penyelenggaraan Terapi Physiolates di lingkungan klinik menuntut kepatuhan pada regulasi kesehatan dan standar pelayanan yang ditingkatkan, memastikan penggunaan yang tepat sesuai standar keilmuan. Ikatan Fisioterapi Indonesia memegang peran penting dalam mengawasi, membimbing, dan memastikan kualifikasi yang sesuai, sambil tetap terbuka terhadap pengembangan ilmiah lebih lanjut. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Terapi Physiolates, yang kini sedang menjadi tren dan populer di masyarakat Indonesia yang membawa dampak positif yang besar, namun memerlukan arahan yang tepat dan kesesuaian dengan regulasi untuk menjaga manfaatnya yang optimal, sehingga penerapannya berada dalam koridor standar keilmuan dan etika profesi yang tepat.

This thesis discusses Physiolates Therapy, a therapy that combines physiotherapy with the Pilates approach and vice versa. The research method used is doctrinal with qualitative method. The results show that Physiolates Therapy is conceptually legitimate within the scope of physiotherapy, especially if applied with a focus on the use of Pilates modalities as part of rehabilitation or health improvement efforts in physiotherapy. Legal protection for physiotherapists and non-physiotherapist instructors is closely related to licensing and professional status, it is important for Physiolates instructors to be aware of it in order to reduce uncertainty and provide protection in providing health services. The implementation of Physiolates Therapy in a clinical environment demands compliance with health regulations and enhanced service standards, ensuring proper use according to scientific standards. Ikatan Fisioterapi Indonesia plays an important role in supervising, guiding and ensuring appropriate qualifications, while remaining open to further scientific development. The results of this study conclude that Physiolates Therapy, which is now trending and popular in Indonesian society that brings great positive impacts, requires proper direction and compliance with regulations to maintain its optimal benefits, so that its application is within the corridors of proper scientific standards and professional ethics."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmadhani Nur Widianto
"Skripsi ini membahas mengenai bentuk-bentuk hubungan untuk melakukan pekerjaan yang terdapat dalam industri kreatif di Indonesia. Meskipun UU Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai perjanjian kerja yang menjadi sebab awal suatu hubungan kerja, dalam praktiknya banyak ditemui bentuk hubungan hukum lainnya di luar rezim UU Ketenagakerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menjelaskan bagaimanakah ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan mengatur terkait hubungan kerja di Indonesia; (2) menjelaskan bagaimana perkembangan pasar ketenagakerjaan pada sektor industri kreatif di Indonesia; dan (3) menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk hubungan untuk melakukan pekerjaan pada industri kreatif di Indonesia. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode doktrinal dan pendekatan konseptual mengenai hubungan untuk melakukan pekerjaan di Industri kreatif. Industri kreatif yang didominasi oleh pekerja bebas diproyeksikan menjadi salah satu tumpuan utama perekonomian nasional. Pengembangan ekonomi kreatif dinilai mampu menyediakan permintaan lapangan kerja dan turut mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, tetapi masih ditemui banyak aspek yang luput dari kepastian hukum sehingga berpotensi merugikan para pelakunya. Skripsi ini menemukan keterbatasan konsep hubungan kerja yang diatur oleh UU Ketenagakerjaan melalui PKWT dan PKWTT. Dalam indsutri kreatif ditemukan bentuk-bentuk hubungan untuk melakukan pekerjaan lainnya seperti hubungan pada freelancer, pekerja vendor, dan kemitraan. Sementara hubungan kerja yang dibentuk melalui PKWT dan PKWTT dalam industri ini memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan karakter perjanjian kerja pada umumnya.

This thesis discusses the forms of employment relationships found in the creative industry in Indonesia. Although the Labor Law has regulated the employment agreement which is the initial cause of an employment relationship, in practice there are many other forms of legal relationships outside the Labor Law regime. This research aims to: (1) explain how the provisions in the Labor Law regulate employment relationships in Indonesia; (2) explain how the development of the labor market in the creative industry sector in Indonesia; and (3) explain how the forms of relationships to perform work in the creative industry in Indonesia. This research is conducted using doctrinal methods and conceptual approaches regarding the relationship to perform work in the creative industry. The creative industry, which is dominated by free workers, is projected to become one of the main pillars of the national economy. The development of the creative economy is considered capable of providing employment demand and contributing to the economic growth of a country, but there are still many aspects that escape legal certainty, potentially harming the perpetrators. This thesis finds the limitations of the concept of employment relationship regulated by the Labor Law through PKWT and PKWTT. In the creative industry, there are other forms of employment relationships such as those between freelancers, vendor workers, and partnerships. Meanwhile, the employment relationship formed through PKWT and PKWTT in this industry has its own character that is different from the character of employment agreements in general."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Simamora, Ardiano Lucas
"Indonesia masih mengalami begitu banyak masalah terkait bidang kesehatan, baik secara praktik, hukum, konsep, dan lain macamnya. Seluruh masalah ini pada dasarnya berpusat pada ambigunya prosedur dan hukum yang ada, ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diterima sampai pada tenaga kesehatan yang melanggar kode etik. Salah satu masalah yang sangat krusial untuk dibahas adalah mengenai ahli gizi. Minimnya peraturan perundang-undangan mengenai profesi ahli gizi, serta pengetahuan masyarakat mengenai ahli gizi sangatlah terbatas memperburuk fenomena masalah ini. Masalah ini merupakan penelitian doktrinal hukum yang menelaah secara rinci aturan yang membahas tentang profesi ahli gizi sebagai tenaga kesehatan di Indonesia dan Jerman sebagai pusat analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia, perlindungan hukum terhadap ahli gizi masih menghadapi tantangan signifikan, terutama terkait dengan pengakuan profesi ahli gizi dari masyarakat, hak dan kewajiban yang masih sangat terbatas, serta standar keahlian yang tidak jelas. Peraturan terhadap ahli gizi di Indonesia kerap saling tumpang tindih antara Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pekerjaan dan Praktik Tenaga Gizi dan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Sementara itu, di Jerman, profesi ahli gizi menikmati kerangka hukum yang lebih terstruktur dan jelas, termasuk proses lisensi dan pengawasan profesi yang ketat sebagaimana dimuat dalam Dietitien Law. Tidak terkecuali dalam hal ini fakta bahwa di Jerman, ahli gizi justru menjadi profesi yang dikenal baik oleh masyarakat dan masing-masing ahli gizi melakukan profesinya sesuai keahliannya. Perbedaan dalam perlindungan hukum antara Indonesia dan Jerman sangat mempengaruhi status dan pengakuan ahli gizi sebagai tenaga kesehatan. Studi ini memberikan rekomendasi untuk perbaikan kebijakan di Indonesia agar dapat meningkatkan perlindungan hukum dan pengakuan profesi bagi ahli gizi, sesuai dengan standar internasional yang lebih mapan seperti di Jerman.

Indonesia is still experiencing so many problems related to the health sector, both in practice, law, concepts and so on. All of these problems basically center on the ambiguity of existing procedures and laws, public dissatisfaction with the services they receive and even health workers who violate the code of ethics. One of the most crucial issues to discuss is nutritionists. The lack of legal regulations regarding the nutritionist profession, as well as the public's very limited knowledge of nutritionists, exacerbates this problematic phenomenon. This issue is a legal doctrinal research that examines in detail the regulations that discuss the profession of nutritionists as health workers in Indonesia and Germany as the center of analysis. The research results show that in Indonesia, legal protection for nutritionists still faces significant challenges, especially related to recognition of the nutritionist profession from the public, very limited rights and obligations, and unclear standards of expertise. Regulations on nutritionists in Indonesia often overlap between Minister of Health Regulation Number 26 of 2013 concerning the Implementation of Work and Practices of Nutritionists and Law Number 17 of 2023 concerning Health. Meanwhile, in Germany, the nutritionist profession enjoys a more structured and clear legal framework, including a licensing process and strict professional supervision as contained in the Dietitian Law. This is no exception to the fact that in Germany, nutritionists have become a profession that is well known to the public and each nutritionist carries out their profession according to their expertise. The difference in legal protection between Indonesia and Germany greatly influences the status and recognition of nutritionists as health workers. This study provides recommendations for improving policies in Indonesia in order to increase legal protection and professional recognition for nutritionists, in accordance with more established international standards such as in Germany."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alya Zahra Jamboree
"Kesehatan jiwa merupakan keadaan di mana seseorang perkembangan emosional dan intelektual yang mencakup kapasitas untuk belajar dan petumbuhan kognitif. Apabila kesehatan jiwa tidak dijaga dengan baik, seseorang dapat menjadi rentan terhadap gangguan jiwa yang berpotensi menghambat kemampuan mereka dalam melaksanakan kegiatan mereka sehari-hari dan mempengaruhi kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Gangguan jiwa yang paling umum dialami seseorang adalah depresi dan gangguan kecemasan yang dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya lingkungan kerja. Sebagai upaya dalam mencegah permasalahan ini dari mempengaruhi kesehatan jiwa seorang pekerja atau setidaknya membantu mereka mengatasinya, perusahaan dapat menyediakan layanan konseling berupa Employee Assistance Program (“EAP”), yakni suatu layanan konseling dan konsultasi yang berfokus pada pencegahan dan/atau penyelesaian masalah pribadi yang dialami oleh pekerja. Layanan inti yang ditawarkan oleh EAP umumnya meliputi penilaian profesional, rujukan, dan konseling jangka pendek. Proses implementasi ini memicu pertanyaan terkait bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja dengan depresi dan/atau gangguan kecemasan di Indonesia, bagaimana pelayanan kesehatan terhadap pekerja dengan depresi dan/atau gangguan kecemasan di Indonesia, serta cara EAP dapat membantu meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap pekerja dengan depresi dan/atau gangguan kecemasan di Indonesia. Dengan EAP, pekerja menjadi lebih mudah dalam mengakses langkah pertama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan untuk kesehatan jiwanya. 

Mental health is the state in which a person’s emotional and intellectual development includes the capacity for learning and cognitive growth. If mental health is not well maintained, a person can become vulnerable to mental disorders which have the potential to hamper their ability to carry out their daily activities and affect their overall quality of life. The most common mental disorders a person can suffer from are depression and anxiety that can be caused by many factors, including the person’swork environment. As a way to prevent these issues from affecting a worker’s mental health or help them manage it, companies can provide counseling services in the form of an Employee Assistance Program (“EAP”), a counseling and consultation service that focuses on preventing and resolving personal problems experienced by workers. The core services offered by EAP are professional assessments, referrals, and short-term counseling. The implementation process of this program brings forward the question of how the legal protection for workers with depression and/or anxiety is in Indonesia, how healthcare for workers with depression and/or anxiety is in Indonesia, and how EAP can assist in improving the healthcare provided for workers with depression and/or anxiety in Indonesia. With EAP, it becomes easier for workers to access the first step in getting healthcare for their mental health."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tania Daniela
"Dalam beberapa tahun terakhir, perawatan yang ditawarkan oleh klinik estetika seperti injeksi DNA salmon semakin populer. Bahan DNA salmon diklaim memiliki fungsi anti-aging dengan membuat kulit lebih kencang dan mengatasi hiperpigmentasi di kulit. Dokter dalam hal ini berperan penting sebagai pihak pemberi layanan di klinik estetika. Injeksi DNA salmon yang merupakan pelayanan estetika medis awamnya dinilai hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis dermatologi dan venereologi. Sebab, dokter spesialis dermatologi dan venereologi menempuh pendidikan spesialis tambahan. Kurikulum pendidikannya juga mencakup metode seperti subsisi, elevasi, microneedling yang biasa digunakan dalam estetika medis. Meskipun begitu, dokter umum juga dapat menangani permasalahan kulit. Ketika menempuh pendidikan dokter, dokter umum juga diwajibkan menguasai kurikulum kulit. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, tidak terdapat batasan bagi dokter umum dalam konteks pelayanan injeksi DNA salmon. Sedangkan bagi dokter spesialis dermatologi dan venereologi, terdapat Standar Kompetensi Dokter Dermatologi dan Venereologi Indonesia dengan area kompetensi yang lebih rinci yang berpengaruh ke kewenangan dokter spesialis dermatologi dan venereologi sebagai pemilik sertifikat kompetensi spesialis. Dalam peraturan perundang- undangan belum diatur secara jelas mengenai batasan kewenangan antara dokter umum dan dokter spesialis dalam pelayanan estetika medis. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, penelitian ini akan membahas mengenai kompetensi dan kewenangan yang dimiliki dokter dalam pelayanan injeksi DNA salmon. Dari penelitian ini ditemukan bahwa kewenangan dokter umum dan spesialis masih bersinggungan ketika dihadapkan pada pelayanan estetika medis seperti injeksi DNA salmon. Batasan kompetensi dan kewenangan dokter dalam pelayanan estetika medis yang buram ini dapat dihindari dengan diaturnya mengenai estetika medis secara khusus.

In recent years, treatments offered by aesthetic clinics such as salmon DNA injections have become increasingly popular. The salmon DNA ingredient is claimed to have an anti-aging function by making the skin firmer and overcoming hyperpigmentation in the skin. The doctor in this case plays an important role as the service provider at the aesthetic clinic. Salmon DNA injection, which is a lay medical aesthetic service, is considered to only be performed by dermatologists. This is because dermatologists undergo additional specialist education. The education curriculum also includes methods such as subsection, elevation, microneedling which are commonly used in medical aesthetics. However, general practitioners can also treat skin problems. During their medical education, general practitioners are also required to master the skin curriculum. Based on the Indonesian Doctors Competency Standards, there are no restrictions for general practitioners in the context of salmon DNA injection services. As for dermatologists, there are Indonesian Dermatology and Venereology Physician Competency Standards with more detailed competency areas that affect the authority of dermatology and venereology specialists as owners of specialist competency certificates. The legislation has not clearly regulated the limits of authority between general practitioners and specialists in medical aesthetic services. By using the normative juridical research method, this research will discuss the competence and authority of doctors in salmon DNA injection services. From this research, it is found that the authority of general practitioners and dermatologists still intersect when faced with medical aesthetic services such as salmon DNA injection. The blurred boundaries of competence and authority of doctors in medical aesthetics services can be avoided by regulating medical aesthetics specifically."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sinurat, Maria Ekklesia
"Kompensasi merupakan hak yang wajib diterima oleh pekerja saat terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun, hal tersebut sering kali diabaikan oleh pemberi kerja dengan berbagai alasan, salah satunya PHK dengan alasan efisiensi yang diakibatkan menurunnya stabilitas keuangan perusahaan. Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa PHK dengan alasan efisiensi hanya dapat dilakukan apabila perusahaan akan tutup secara permanen,namun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 pengaturan tentang efisiensi telah berubah, dimana bertujuan untuk memberikan fleksibilitas lebih kepada pengusaha dalam mengelola PHK dengan alasan efisiensi. Pasca perubahan, tekananan ekonomi dan perubahan strategis sering menjadi justifikasi untuk melakukan PHK dan mengakibatkan ketidaksetaraan kedudukan pengusaha dan pekerja. Akan tetapi, penting untuk diperhatikan tindakan PHK dengan alasan efisiensi harus melalui pembuktian yang transparan dan objektif. Hal tersebut berimplikasi pada dilanggarnya hak pekerja yang salah satunya dalam hal kompensasi. Atas dasar tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal dengan menganalisis menggunakan data hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini berfokus untuk menganalisis dan menelaah regulasi ketenagakerjaan terkait PHK secara khusus dengan alasan efisiensi.Simpulan dari penelitian ini, PHK dengan alasan efisiensi karena kerugian menjadi alasan yang tidak dilarang. Penelitian bertujuan untuk memahami perubahan regulasi dan dampaknya terhadap hak-hak pekerja, serta menganalisis bagaimana pengaturan kompensasi terhadap kepentingan pekerja yang terkena PHK. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk perbaikan regulasi dan pelaksanaan yang lebih adil bagi kedua belah pihak. Dengan demikian, penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi pekerja di Indonesia yang di PHK dengan alasan efisiensi.

Compensation is a right that workers must receive when a Termination of Employment (PHK) occurs. However, this is often ignored by employers for various reasons, one of which is efficiency due to the decline in the company's financial stability. Previously, the Employment Law stated that layoffs for efficiency reasons could only be carried out if the company was about to close permanently. However, through Government Regulation Number 35 of 2021, regulations regarding efficiency have changed, which aims to provide more flexibility to employers in managing layoffs. After change, economic pressure, market competition, or strategic changes often become justifications for layoffs and result in unequal positions of employers and workers. This has implications for violating workers' rights, one of which is in terms of compensation. On this basis, this research uses a doctrinal approach by analyzing primary, secondary and tertiary legal sources. This research focuses on analyzing and reviewing labor regulations related to layoffs specifically for efficiency reasons due to company losses. The research aims to understand regulatory changes and their impact on workers' rights, as well as analyze how compensation arrangements affect the interests of workers affected by layoffs. It is hoped that this research can provide recommendations for improving regulations and fairer implementation for both parties. Thus, this research makes an important contribution in efforts to improve welfare and justice for workers in Indonesia who are laid off for efficiency reasons."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisa Nashwa Syafiqa
"Skripsi ini menganalisis mengenai penerapan layanan psikologi klinis daring berdasarkan hukum kesehatan, khususnya mengenai kedudukan dan pelindungan hukum bagi klien, serta pertanggungjawaban etika, disiplin, dan hukum bagi psikolog klinis. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dan tipe penelitian deskriptif. Pada mulanya, perhatian hukum kesehatan lebih dominan pada aspek fisik. Namun, seiring berjalannya waktu, kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa telah berkembang secara signifikan. Maka dari itu, terbentuklah layanan psikologi klinis daring sebagai salah satu upaya pemerataan kesehatan jiwa di berbagai daerah. Munculnya layanan psikologi klinis daring memiliki potensi yang cukup menjanjikan untuk menangani masalah kesehatan jiwa di negara berkembang. Namun, penting juga untuk memastikan bahwa perkembangan ini tetap tidak mengabaikan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada klien serta ketaatan psikolog klinis terhadap kode etik dan peraturan hukum yang berlaku. Dalam praktiknya, layanan psikologi klinis daring telah terbukti efektif untuk mengatasi ketidakmerataan jumlah psikolog klinis di berbagai daerah. Namun, masih terdapat tantangan dan celah hukum yang harus dibenahi, terutama dari segi regulasi dan pengawasan oleh lembaga yang berwenang. Hal tersebut perlu dikaji kembali guna mewujudkan kepastian hukum serta progresivitas jumlah jiwa yang sehat di negara Indonesia secara merata. Maka dari itu, masyarakat perlu untuk mencari tahu mengenai kompetensi dan kewenangan psikolog klinis daring yang dipilihnya agar tidak terjadi sengketa di masa mendatang. Selain itu, Kementerian Kesehatan dan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia dapat berkolaborasi untuk membuat regulasi dan pedoman khusus mengenai layanan psikologi klinis daring serta bersinergi dengan pihak-pihak jejaring internet untuk dapat memperluas pengawasannya terhadap layanan psikologi klinis daring.

This thesis explores the legal framework governing online clinical psychology services in Indonesia, with a particular focus on the legal standing and protection of clients and the ethical, disciplinary, and legal responsibilities of clinical psychologists. With doctrinal research methodology and a descriptive-analytical approach, this thesis underscores the paradigm shift in health law from an emphasis on physical health to a growing acknowledgment of the importance of mental health. The advent of online clinical psychology services represents a significant effort to address disparities in access to mental health care across Indonesia. These services demonstrate considerable potential to mitigate mental health challenges in developing countries by bridging regional disparities in the distribution of clinical psychologists. Ensuring these developments safeguard clients’ rights is imperative while guaranteeing clinical psychologists’ adherence to established ethical standards and legal regulations. While online clinical psychology services have proven effective in alleviating the unequal distribution of clinical psychologists, they remain fraught with challenges, including regulatory deficiencies and a lack of adequate oversight by competent authorities. Resolving these gaps is essential to achieving legal certainty and advancing the equitable realization of mental health improvements across Indonesia. Public awareness regarding the qualifications and authority of clinical psychologists is crucial to prevent future legal disputes. To this end, a collaboration between the Ministry of Health and the Indonesian Clinical Psychologists Association to promulgate specific regulations governing online clinical psychology services and to foster teamwork with internet service providers to ensure effective implementation. This thesis advocates for establishing a robust legal framework to support the equitable and legally sound delivery of online clinical psychology services in Indonesia, thereby advancing mental health law and policy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Retha Soraya Athirah
"Penelitian ini menganalisis kewajiban dokter dalam menjaga rahasia medis pasien dan konsekuensi hukum atas pelanggaran tersebut di media sosial, dengan fokus pada kasus dokter di Indonesia. Latar belakang menunjukkan bahwa fenomena ini meningkat seiring dengan penggunaan media sosial dalam komunikasi kesehatan. Pembukaan rahasia medis melanggar Pasal 177 dan Pasal 274 UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan serta Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI). Penelitian menggunakan bentuk penelitian doktrinal dan menemukan bahwa pembukaan rahasia medis dapat dibenarkan dalam kondisi tertentu, seperti izin pasien atau ketentuan hukum. Kasus dr. J, yang membagikan informasi pasien Covid-19 tanpa izin, mencerminkan pelanggaran serius terhadap KODEKI dan UU Kesehatan, berpotensi mengakibatkan sanksi administratif atau pencabutan izin praktik. Kasus dr. S yang melakukan siaran langsung persalinan tanpa persetujuan juga menunjukkan lemahnya penegakan sanksi di Indonesia. Di sisi lain, dr. R di USA menghadapi konsekuensi berat setelah menyiarkan prosedur bedah tanpa izin pasien, termasuk denda dan pencabutan izin praktik. Perbandingan kasus ini menyoroti perbedaan penegakan hukum antara Indonesia dan USA, dimana USA menerapkan sanksi lebih ketat. Penelitian merekomendasikan pembaruan aturan terkait pembukaan rekam medis dalam situasi darurat, peningkatan program pelatihan etika bagi SDM kesehatan, dan penegakan sanksi yang lebih transparan untuk melindungi hak privasi pasien. Dalam era media sosial, pemahaman dan kepatuhan terhadap kewajiban menjaga kerahasiaan informasi medis menjadi kunci dalam praktik kedokteran yang etis dan profesional.

This research analyzes doctors' obligations to maintain patient medical confidentiality and the legal consequences of breaching it on social media, focusing on cases involving doctors in Indonesia. The background highlights that this phenomenon has increased alongside the use of social media in healthcare communication. Disclosing medical secrets violates Articles 177 and 274 of Law No. 17 of 2023 on Health, as well as the principles in the Indonesian Medical Code of Ethics (KODEKI). The research uses doctrinal research and found that disclosing medical information can be justified under certain conditions, such as patient consent or legal provisions. The case of dr. J, who shared Covid-19 patient information without permission, represents a serious violation of KODEKI and the Health Law, potentially resulting administrative sanctions or license revocation. Also, the case of dr. S, who live-streamed a childbirth without consent, highlights weak enforcement of sanctions in Indonesia. By contrast, dr. R in the United States of America faced severe consequences, including fines and license revocation, after broadcasting a surgical procedure without patient consent. This comparison highlights differences in legal enforcement between Indonesia and the U.S.A, where U.S.A imposing stricter penalties. This research recommends update of regulations related to the disclosure of medical records in emergency situations, enhancing ethics training programs for healthcare workers, and implementing more transparent enforcement of sanctions to protect patients' privacy rights. In this social media era, understanding and adhering obligations regarding medical confidentiality are the key to maintain ethical and professional medical practices. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Talita Daniella
"Tenaga kesehatan di Indonesia menghadapi berbagai tantangan berat, termasuk tingginya beban kerja, risiko kesehatan yang besar, dan minimnya perlindungan hukum, terutama di wilayah terpencil. Regulasi yang ada belum sepenuhnya mengakomodasi kebutuhan spesifik mereka, sehingga banyak tenaga kesehatan bekerja dalam kondisi yang tidak ideal disertai dengan perselisihan hak. Untuk meningkatkan kesejahteraan dan melindungi hak-hak mereka sebagai pekerja, diperlukan mekanisme hubungan industrial, seperti pembentukan serikat pekerja. Di Indonesia, serikat pekerja diatur melalui Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh dan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Meski regulasi tersebut telah ada, permasalahan ketenagakerjaan di sektor kesehatan masih sering terjadi. Dengan menggunakan metode penelitian pendekatan doktrinal, hasil penelitian menunjukkan bahwa masih banyak pelanggaran hak yang dilakukan oleh pengusaha pada pekerja di sektor kesehatan. Serikat pekerja di sektor lain telah memainkan peran penting dalam melindungi hak pekerja di berbagai sektor melalui berbagai pendekatan. Namun, di sektor kesehatan, serikat pekerja masih jarang ditemukan karena tenaga medis dan kesehatan sering dipandang sebagai profesional independen dengan otonomi yang berbeda dari pekerja konvensional. Adanya perubahan sosial dan ekonomi telah mendorong tenaga medis untuk bergeser dari paradigma independen menuju pengakuan sebagai bagian dari masyarakat pekerja yang membutuhkan perlindungan hukum dan kesejahteraan. Oleh karena itu, tulisan ini menganalisis bagaimana Konfederasi Serikat Pekerja Tenaga Medis dan Kesehatan Indonesia (KSPTMKI), sebagai serikat pekerja di luar perusahaan pada sektor kesehatan, meningkatkan kesejahteraan tenaga medis dan tenaga kesehatan melalui wawancara dengan menganalisis peranan KSPTMKI dalam kasus-kasus yang telah mereka tangani serta efektivitas dan tantangannya sebagai serikat pekerja di luar perusahaan dalam sektor kesehatan.

Healthcare workers in Indonesia face significant challenges, including heavy workloads, high health risks, and minimal legal protection, particularly in remote areas. Existing regulations have yet to fully accommodate their specific needs, resulting in many healthcare workers operating under less than ideal conditions accompanied by disputes over rights. To improve their welfare and protect their rights as workers, industrial relations mechanisms, such as the establishment of labor unions, are needed. In Indonesia, labor unions are governed by Law of the Republic Indonesia Number 21 of 2000 concerning Trade Union and Law of the Republic Indonesia Number 13 of 2003 concerning Manpower. Despite these regulations, labor issues in the healthcare sector are still prevalent. Using a doctrinal research approach, findings show that numerous rights violations are still perpetrated by employers against workers in the healthcare sector. Labor unions in other sectors have played a crucial role in protecting workers' rights through various approaches. However, in the healthcare sector, labor unions remain rare due to the perception of medical and healthcare professionals as independent professionals with autonomy distinct from conventional workers. Social and economic changes have driven medical professionals to shift from an independent paradigm towards recognition as part of the workforce needing legal protection and welfare. Therefore, this study analyzes how the Konfederasi Serikat Pekerja Tenaga Medis dan Kesehatan Indonesia (KSPTMKI), as a trade union outside of the enterprise in the healthcare sector, enhances the welfare of medical and health workers through interviews, analyzing KSPTMKI’s role in cases they have handled, as well as its effectiveness and challenges as an external labor union in the healthcare sector. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kezia Ascencio Widayat
"Skripsi ini memuat pembahasan mengenai peraturan terkait tanggung jawab hukum pelayanan kesehatan primer dalam memberikan pelayanan gawat darurat. Bentuk penelitian skripsi ini adalah yuridis normatif dengan metode analisis data kualitatif. Penelitian ini dikaitkan dengan pengaturan mengenai pelayanan gawat darurat dan pelayanan kesehatan primer yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No. 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan, dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa pelayanan gawat darurat menjadi suatu kewajiban yang tidak boleh ditolak oleh pelayanan kesehatan primer di Indonesia sebagai bentuk perlindungan hak atas pemeliharaan kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Bupati/Wali Kota bertanggung jawab atas kelalaian atau penyimpangan dalam pelayanan kegawatdaruratan yang menyebabkan kerugian pada pasien sebagai bentuk penerapan vicarious liability dan doktrin “respondent superior”. Hasil penelitian ini menyarankan agar pemerintah daerah dan instansi-instansi terkait melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelayanan kesehatan primer secara rutin untuk mencegah penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan kegawatdaruratan.

This thesis discusses regulations related to the legal liability of primary health care in providing emergency care. The form of this thesis research is normative juridical with qualitative data analysis methods. This thesis is based on laws and regulations regarding emergency care and primary health care found in Law No. 36 of 2009 about Health, Ministerial Regulation of the Health Ministry No. 47 of 2018 about Emergency Care and Ministerial Regulation of the Health Ministry No. 19 of 2016 on Integrated Emergency Response System. The study shows that emergency services are an obligation that cannot be denied by primary health care in Indonesia as a form of protection of the right to health care. Heads of District/City Health Offices and Regents/Mayors are responsible for the negligence or irregularities in emergency care that cause harm to patients as the implementation of vicarious liability and the "respondent superior" doctrine. This study suggests that local governments and related agencies carry out supervision and guidance on primary health care on a regular basis to prevent irregularities in the implementation of emergency services."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>