Ditemukan 18 dokumen yang sesuai dengan query
Salma Nabilah
"Skripsi ini membahas terkait dengan Terapi Physiolates, terapi yang menggabungkan fisioterapi dengan pendekatan Pilates dan sebaliknya. Metode penelitian yang digunakan adalah doktrinal dengan metode kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Terapi Physiolates secara konseptual sah dalam lingkup fisioterapi, terutama jika diterapkan dengan fokus pada penggunaan modalitas Pilates sebagai bagian dari upaya rehabilitasi atau peningkatan kesehatan dalam fisioterapi. Perlindungan hukum bagi fisioterapis dan instruktur non-fisioterapis berkaitan erat dengan lisensi dan status profesi, hal tersebut penting untuk instruktur Physiolates perhatikan untuk mengurangi ketidakpastian dan memberikan perlindungan dalam memberikan layanan kesehatan. Penyelenggaraan Terapi Physiolates di lingkungan klinik menuntut kepatuhan pada regulasi kesehatan dan standar pelayanan yang ditingkatkan, memastikan penggunaan yang tepat sesuai standar keilmuan. Ikatan Fisioterapi Indonesia memegang peran penting dalam mengawasi, membimbing, dan memastikan kualifikasi yang sesuai, sambil tetap terbuka terhadap pengembangan ilmiah lebih lanjut. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa Terapi Physiolates, yang kini sedang menjadi tren dan populer di masyarakat Indonesia yang membawa dampak positif yang besar, namun memerlukan arahan yang tepat dan kesesuaian dengan regulasi untuk menjaga manfaatnya yang optimal, sehingga penerapannya berada dalam koridor standar keilmuan dan etika profesi yang tepat.
This thesis discusses Physiolates Therapy, a therapy that combines physiotherapy with the Pilates approach and vice versa. The research method used is doctrinal with qualitative method. The results show that Physiolates Therapy is conceptually legitimate within the scope of physiotherapy, especially if applied with a focus on the use of Pilates modalities as part of rehabilitation or health improvement efforts in physiotherapy. Legal protection for physiotherapists and non-physiotherapist instructors is closely related to licensing and professional status, it is important for Physiolates instructors to be aware of it in order to reduce uncertainty and provide protection in providing health services. The implementation of Physiolates Therapy in a clinical environment demands compliance with health regulations and enhanced service standards, ensuring proper use according to scientific standards. Ikatan Fisioterapi Indonesia plays an important role in supervising, guiding and ensuring appropriate qualifications, while remaining open to further scientific development. The results of this study conclude that Physiolates Therapy, which is now trending and popular in Indonesian society that brings great positive impacts, requires proper direction and compliance with regulations to maintain its optimal benefits, so that its application is within the corridors of proper scientific standards and professional ethics."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Rahmadhani Nur Widianto
"Skripsi ini membahas mengenai bentuk-bentuk hubungan untuk melakukan pekerjaan yang terdapat dalam industri kreatif di Indonesia. Meskipun UU Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai perjanjian kerja yang menjadi sebab awal suatu hubungan kerja, dalam praktiknya banyak ditemui bentuk hubungan hukum lainnya di luar rezim UU Ketenagakerjaan. Penelitian ini bertujuan untuk: (1) menjelaskan bagaimanakah ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan mengatur terkait hubungan kerja di Indonesia; (2) menjelaskan bagaimana perkembangan pasar ketenagakerjaan pada sektor industri kreatif di Indonesia; dan (3) menjelaskan bagaimana bentuk-bentuk hubungan untuk melakukan pekerjaan pada industri kreatif di Indonesia. Penelitian ini dilakukan menggunakan metode doktrinal dan pendekatan konseptual mengenai hubungan untuk melakukan pekerjaan di Industri kreatif. Industri kreatif yang didominasi oleh pekerja bebas diproyeksikan menjadi salah satu tumpuan utama perekonomian nasional. Pengembangan ekonomi kreatif dinilai mampu menyediakan permintaan lapangan kerja dan turut mendorong pertumbuhan ekonomi suatu negara, tetapi masih ditemui banyak aspek yang luput dari kepastian hukum sehingga berpotensi merugikan para pelakunya. Skripsi ini menemukan keterbatasan konsep hubungan kerja yang diatur oleh UU Ketenagakerjaan melalui PKWT dan PKWTT. Dalam indsutri kreatif ditemukan bentuk-bentuk hubungan untuk melakukan pekerjaan lainnya seperti hubungan pada freelancer, pekerja vendor, dan kemitraan. Sementara hubungan kerja yang dibentuk melalui PKWT dan PKWTT dalam industri ini memiliki karakter tersendiri yang berbeda dengan karakter perjanjian kerja pada umumnya.
This thesis discusses the forms of employment relationships found in the creative industry in Indonesia. Although the Labor Law has regulated the employment agreement which is the initial cause of an employment relationship, in practice there are many other forms of legal relationships outside the Labor Law regime. This research aims to: (1) explain how the provisions in the Labor Law regulate employment relationships in Indonesia; (2) explain how the development of the labor market in the creative industry sector in Indonesia; and (3) explain how the forms of relationships to perform work in the creative industry in Indonesia. This research is conducted using doctrinal methods and conceptual approaches regarding the relationship to perform work in the creative industry. The creative industry, which is dominated by free workers, is projected to become one of the main pillars of the national economy. The development of the creative economy is considered capable of providing employment demand and contributing to the economic growth of a country, but there are still many aspects that escape legal certainty, potentially harming the perpetrators. This thesis finds the limitations of the concept of employment relationship regulated by the Labor Law through PKWT and PKWTT. In the creative industry, there are other forms of employment relationships such as those between freelancers, vendor workers, and partnerships. Meanwhile, the employment relationship formed through PKWT and PKWTT in this industry has its own character that is different from the character of employment agreements in general."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Simamora, Ardiano Lucas
"Indonesia masih mengalami begitu banyak masalah terkait bidang kesehatan, baik secara praktik, hukum, konsep, dan lain macamnya. Seluruh masalah ini pada dasarnya berpusat pada ambigunya prosedur dan hukum yang ada, ketidakpuasan masyarakat terhadap pelayanan yang diterima sampai pada tenaga kesehatan yang melanggar kode etik. Salah satu masalah yang sangat krusial untuk dibahas adalah mengenai ahli gizi. Minimnya peraturan perundang-undangan mengenai profesi ahli gizi, serta pengetahuan masyarakat mengenai ahli gizi sangatlah terbatas memperburuk fenomena masalah ini. Masalah ini merupakan penelitian doktrinal hukum yang menelaah secara rinci aturan yang membahas tentang profesi ahli gizi sebagai tenaga kesehatan di Indonesia dan Jerman sebagai pusat analisis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa di Indonesia, perlindungan hukum terhadap ahli gizi masih menghadapi tantangan signifikan, terutama terkait dengan pengakuan profesi ahli gizi dari masyarakat, hak dan kewajiban yang masih sangat terbatas, serta standar keahlian yang tidak jelas. Peraturan terhadap ahli gizi di Indonesia kerap saling tumpang tindih antara Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 26 Tahun 2013 Tentang Penyelenggaraan Pekerjaan dan Praktik Tenaga Gizi dan Undang- Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan. Sementara itu, di Jerman, profesi ahli gizi menikmati kerangka hukum yang lebih terstruktur dan jelas, termasuk proses lisensi dan pengawasan profesi yang ketat sebagaimana dimuat dalam Dietitien Law. Tidak terkecuali dalam hal ini fakta bahwa di Jerman, ahli gizi justru menjadi profesi yang dikenal baik oleh masyarakat dan masing-masing ahli gizi melakukan profesinya sesuai keahliannya. Perbedaan dalam perlindungan hukum antara Indonesia dan Jerman sangat mempengaruhi status dan pengakuan ahli gizi sebagai tenaga kesehatan. Studi ini memberikan rekomendasi untuk perbaikan kebijakan di Indonesia agar dapat meningkatkan perlindungan hukum dan pengakuan profesi bagi ahli gizi, sesuai dengan standar internasional yang lebih mapan seperti di Jerman.
Indonesia is still experiencing so many problems related to the health sector, both in practice, law, concepts and so on. All of these problems basically center on the ambiguity of existing procedures and laws, public dissatisfaction with the services they receive and even health workers who violate the code of ethics. One of the most crucial issues to discuss is nutritionists. The lack of legal regulations regarding the nutritionist profession, as well as the public's very limited knowledge of nutritionists, exacerbates this problematic phenomenon. This issue is a legal doctrinal research that examines in detail the regulations that discuss the profession of nutritionists as health workers in Indonesia and Germany as the center of analysis. The research results show that in Indonesia, legal protection for nutritionists still faces significant challenges, especially related to recognition of the nutritionist profession from the public, very limited rights and obligations, and unclear standards of expertise. Regulations on nutritionists in Indonesia often overlap between Minister of Health Regulation Number 26 of 2013 concerning the Implementation of Work and Practices of Nutritionists and Law Number 17 of 2023 concerning Health. Meanwhile, in Germany, the nutritionist profession enjoys a more structured and clear legal framework, including a licensing process and strict professional supervision as contained in the Dietitian Law. This is no exception to the fact that in Germany, nutritionists have become a profession that is well known to the public and each nutritionist carries out their profession according to their expertise. The difference in legal protection between Indonesia and Germany greatly influences the status and recognition of nutritionists as health workers. This study provides recommendations for improving policies in Indonesia in order to increase legal protection and professional recognition for nutritionists, in accordance with more established international standards such as in Germany."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Alya Zahra Jamboree
"Kesehatan jiwa merupakan keadaan di mana seseorang perkembangan emosional dan intelektual yang mencakup kapasitas untuk belajar dan petumbuhan kognitif. Apabila kesehatan jiwa tidak dijaga dengan baik, seseorang dapat menjadi rentan terhadap gangguan jiwa yang berpotensi menghambat kemampuan mereka dalam melaksanakan kegiatan mereka sehari-hari dan mempengaruhi kualitas hidup mereka secara keseluruhan. Gangguan jiwa yang paling umum dialami seseorang adalah depresi dan gangguan kecemasan yang dapat disebabkan oleh banyak faktor, salah satunya lingkungan kerja. Sebagai upaya dalam mencegah permasalahan ini dari mempengaruhi kesehatan jiwa seorang pekerja atau setidaknya membantu mereka mengatasinya, perusahaan dapat menyediakan layanan konseling berupa Employee Assistance Program (“EAP”), yakni suatu layanan konseling dan konsultasi yang berfokus pada pencegahan dan/atau penyelesaian masalah pribadi yang dialami oleh pekerja. Layanan inti yang ditawarkan oleh EAP umumnya meliputi penilaian profesional, rujukan, dan konseling jangka pendek. Proses implementasi ini memicu pertanyaan terkait bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja dengan depresi dan/atau gangguan kecemasan di Indonesia, bagaimana pelayanan kesehatan terhadap pekerja dengan depresi dan/atau gangguan kecemasan di Indonesia, serta cara EAP dapat membantu meningkatkan pelayanan kesehatan terhadap pekerja dengan depresi dan/atau gangguan kecemasan di Indonesia. Dengan EAP, pekerja menjadi lebih mudah dalam mengakses langkah pertama untuk mendapatkan pelayanan kesehatan untuk kesehatan jiwanya.
Mental health is the state in which a person’s emotional and intellectual development includes the capacity for learning and cognitive growth. If mental health is not well maintained, a person can become vulnerable to mental disorders which have the potential to hamper their ability to carry out their daily activities and affect their overall quality of life. The most common mental disorders a person can suffer from are depression and anxiety that can be caused by many factors, including the person’swork environment. As a way to prevent these issues from affecting a worker’s mental health or help them manage it, companies can provide counseling services in the form of an Employee Assistance Program (“EAP”), a counseling and consultation service that focuses on preventing and resolving personal problems experienced by workers. The core services offered by EAP are professional assessments, referrals, and short-term counseling. The implementation process of this program brings forward the question of how the legal protection for workers with depression and/or anxiety is in Indonesia, how healthcare for workers with depression and/or anxiety is in Indonesia, and how EAP can assist in improving the healthcare provided for workers with depression and/or anxiety in Indonesia. With EAP, it becomes easier for workers to access the first step in getting healthcare for their mental health."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Tania Daniela
"Dalam beberapa tahun terakhir, perawatan yang ditawarkan oleh klinik estetika seperti injeksi DNA salmon semakin populer. Bahan DNA salmon diklaim memiliki fungsi anti-aging dengan membuat kulit lebih kencang dan mengatasi hiperpigmentasi di kulit. Dokter dalam hal ini berperan penting sebagai pihak pemberi layanan di klinik estetika. Injeksi DNA salmon yang merupakan pelayanan estetika medis awamnya dinilai hanya dapat dilakukan oleh dokter spesialis dermatologi dan venereologi. Sebab, dokter spesialis dermatologi dan venereologi menempuh pendidikan spesialis tambahan. Kurikulum pendidikannya juga mencakup metode seperti subsisi, elevasi, microneedling yang biasa digunakan dalam estetika medis. Meskipun begitu, dokter umum juga dapat menangani permasalahan kulit. Ketika menempuh pendidikan dokter, dokter umum juga diwajibkan menguasai kurikulum kulit. Berdasarkan Standar Kompetensi Dokter Indonesia, tidak terdapat batasan bagi dokter umum dalam konteks pelayanan injeksi DNA salmon. Sedangkan bagi dokter spesialis dermatologi dan venereologi, terdapat Standar Kompetensi Dokter Dermatologi dan Venereologi Indonesia dengan area kompetensi yang lebih rinci yang berpengaruh ke kewenangan dokter spesialis dermatologi dan venereologi sebagai pemilik sertifikat kompetensi spesialis. Dalam peraturan perundang- undangan belum diatur secara jelas mengenai batasan kewenangan antara dokter umum dan dokter spesialis dalam pelayanan estetika medis. Dengan menggunakan metode penelitian doktrinal, penelitian ini akan membahas mengenai kompetensi dan kewenangan yang dimiliki dokter dalam pelayanan injeksi DNA salmon. Dari penelitian ini ditemukan bahwa kewenangan dokter umum dan spesialis masih bersinggungan ketika dihadapkan pada pelayanan estetika medis seperti injeksi DNA salmon. Batasan kompetensi dan kewenangan dokter dalam pelayanan estetika medis yang buram ini dapat dihindari dengan diaturnya mengenai estetika medis secara khusus.
In recent years, treatments offered by aesthetic clinics such as salmon DNA injections have become increasingly popular. The salmon DNA ingredient is claimed to have an anti-aging function by making the skin firmer and overcoming hyperpigmentation in the skin. The doctor in this case plays an important role as the service provider at the aesthetic clinic. Salmon DNA injection, which is a lay medical aesthetic service, is considered to only be performed by dermatologists. This is because dermatologists undergo additional specialist education. The education curriculum also includes methods such as subsection, elevation, microneedling which are commonly used in medical aesthetics. However, general practitioners can also treat skin problems. During their medical education, general practitioners are also required to master the skin curriculum. Based on the Indonesian Doctors Competency Standards, there are no restrictions for general practitioners in the context of salmon DNA injection services. As for dermatologists, there are Indonesian Dermatology and Venereology Physician Competency Standards with more detailed competency areas that affect the authority of dermatology and venereology specialists as owners of specialist competency certificates. The legislation has not clearly regulated the limits of authority between general practitioners and specialists in medical aesthetic services. By using the normative juridical research method, this research will discuss the competence and authority of doctors in salmon DNA injection services. From this research, it is found that the authority of general practitioners and dermatologists still intersect when faced with medical aesthetic services such as salmon DNA injection. The blurred boundaries of competence and authority of doctors in medical aesthetics services can be avoided by regulating medical aesthetics specifically."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Sinurat, Maria Ekklesia
"Kompensasi merupakan hak yang wajib diterima oleh pekerja saat terjadi Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Namun, hal tersebut sering kali diabaikan oleh pemberi kerja dengan berbagai alasan, salah satunya PHK dengan alasan efisiensi yang diakibatkan menurunnya stabilitas keuangan perusahaan. Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan menyatakan bahwa PHK dengan alasan efisiensi hanya dapat dilakukan apabila perusahaan akan tutup secara permanen,namun melalui Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 pengaturan tentang efisiensi telah berubah, dimana bertujuan untuk memberikan fleksibilitas lebih kepada pengusaha dalam mengelola PHK dengan alasan efisiensi. Pasca perubahan, tekananan ekonomi dan perubahan strategis sering menjadi justifikasi untuk melakukan PHK dan mengakibatkan ketidaksetaraan kedudukan pengusaha dan pekerja. Akan tetapi, penting untuk diperhatikan tindakan PHK dengan alasan efisiensi harus melalui pembuktian yang transparan dan objektif. Hal tersebut berimplikasi pada dilanggarnya hak pekerja yang salah satunya dalam hal kompensasi. Atas dasar tersebut, penelitian ini menggunakan pendekatan doktrinal dengan menganalisis menggunakan data hukum primer, sekunder, dan tersier. Penelitian ini berfokus untuk menganalisis dan menelaah regulasi ketenagakerjaan terkait PHK secara khusus dengan alasan efisiensi.Simpulan dari penelitian ini, PHK dengan alasan efisiensi karena kerugian menjadi alasan yang tidak dilarang. Penelitian bertujuan untuk memahami perubahan regulasi dan dampaknya terhadap hak-hak pekerja, serta menganalisis bagaimana pengaturan kompensasi terhadap kepentingan pekerja yang terkena PHK. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi untuk perbaikan regulasi dan pelaksanaan yang lebih adil bagi kedua belah pihak. Dengan demikian, penelitian ini memberikan kontribusi penting dalam upaya meningkatkan kesejahteraan dan keadilan bagi pekerja di Indonesia yang di PHK dengan alasan efisiensi.
Compensation is a right that workers must receive when a Termination of Employment (PHK) occurs. However, this is often ignored by employers for various reasons, one of which is efficiency due to the decline in the company's financial stability. Previously, the Employment Law stated that layoffs for efficiency reasons could only be carried out if the company was about to close permanently. However, through Government Regulation Number 35 of 2021, regulations regarding efficiency have changed, which aims to provide more flexibility to employers in managing layoffs. After change, economic pressure, market competition, or strategic changes often become justifications for layoffs and result in unequal positions of employers and workers. This has implications for violating workers' rights, one of which is in terms of compensation. On this basis, this research uses a doctrinal approach by analyzing primary, secondary and tertiary legal sources. This research focuses on analyzing and reviewing labor regulations related to layoffs specifically for efficiency reasons due to company losses. The research aims to understand regulatory changes and their impact on workers' rights, as well as analyze how compensation arrangements affect the interests of workers affected by layoffs. It is hoped that this research can provide recommendations for improving regulations and fairer implementation for both parties. Thus, this research makes an important contribution in efforts to improve welfare and justice for workers in Indonesia who are laid off for efficiency reasons."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Raisa Nashwa Syafiqa
"Skripsi ini menganalisis mengenai penerapan layanan psikologi klinis daring berdasarkan hukum kesehatan, khususnya mengenai kedudukan dan pelindungan hukum bagi klien, serta pertanggungjawaban etika, disiplin, dan hukum bagi psikolog klinis. Skripsi ini disusun dengan menggunakan metode penelitian doktrinal dan tipe penelitian deskriptif. Pada mulanya, perhatian hukum kesehatan lebih dominan pada aspek fisik. Namun, seiring berjalannya waktu, kesadaran akan pentingnya kesehatan jiwa telah berkembang secara signifikan. Maka dari itu, terbentuklah layanan psikologi klinis daring sebagai salah satu upaya pemerataan kesehatan jiwa di berbagai daerah. Munculnya layanan psikologi klinis daring memiliki potensi yang cukup menjanjikan untuk menangani masalah kesehatan jiwa di negara berkembang. Namun, penting juga untuk memastikan bahwa perkembangan ini tetap tidak mengabaikan hak-hak yang seharusnya diberikan kepada klien serta ketaatan psikolog klinis terhadap kode etik dan peraturan hukum yang berlaku. Dalam praktiknya, layanan psikologi klinis daring telah terbukti efektif untuk mengatasi ketidakmerataan jumlah psikolog klinis di berbagai daerah. Namun, masih terdapat tantangan dan celah hukum yang harus dibenahi, terutama dari segi regulasi dan pengawasan oleh lembaga yang berwenang. Hal tersebut perlu dikaji kembali guna mewujudkan kepastian hukum serta progresivitas jumlah jiwa yang sehat di negara Indonesia secara merata. Maka dari itu, masyarakat perlu untuk mencari tahu mengenai kompetensi dan kewenangan psikolog klinis daring yang dipilihnya agar tidak terjadi sengketa di masa mendatang. Selain itu, Kementerian Kesehatan dan Ikatan Psikolog Klinis Indonesia dapat berkolaborasi untuk membuat regulasi dan pedoman khusus mengenai layanan psikologi klinis daring serta bersinergi dengan pihak-pihak jejaring internet untuk dapat memperluas pengawasannya terhadap layanan psikologi klinis daring.
This thesis explores the legal framework governing online clinical psychology services in Indonesia, with a particular focus on the legal standing and protection of clients and the ethical, disciplinary, and legal responsibilities of clinical psychologists. With doctrinal research methodology and a descriptive-analytical approach, this thesis underscores the paradigm shift in health law from an emphasis on physical health to a growing acknowledgment of the importance of mental health. The advent of online clinical psychology services represents a significant effort to address disparities in access to mental health care across Indonesia. These services demonstrate considerable potential to mitigate mental health challenges in developing countries by bridging regional disparities in the distribution of clinical psychologists. Ensuring these developments safeguard clients’ rights is imperative while guaranteeing clinical psychologists’ adherence to established ethical standards and legal regulations. While online clinical psychology services have proven effective in alleviating the unequal distribution of clinical psychologists, they remain fraught with challenges, including regulatory deficiencies and a lack of adequate oversight by competent authorities. Resolving these gaps is essential to achieving legal certainty and advancing the equitable realization of mental health improvements across Indonesia. Public awareness regarding the qualifications and authority of clinical psychologists is crucial to prevent future legal disputes. To this end, a collaboration between the Ministry of Health and the Indonesian Clinical Psychologists Association to promulgate specific regulations governing online clinical psychology services and to foster teamwork with internet service providers to ensure effective implementation. This thesis advocates for establishing a robust legal framework to support the equitable and legally sound delivery of online clinical psychology services in Indonesia, thereby advancing mental health law and policy."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Kezia Ascencio Widayat
"Skripsi ini memuat pembahasan mengenai peraturan terkait tanggung jawab hukum pelayanan kesehatan primer dalam memberikan pelayanan gawat darurat. Bentuk penelitian skripsi ini adalah yuridis normatif dengan metode analisis data kualitatif. Penelitian ini dikaitkan dengan pengaturan mengenai pelayanan gawat darurat dan pelayanan kesehatan primer yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Peraturan Menteri Kesehatan No. 47 Tahun 2018 tentang Pelayanan Kegawatdaruratan, dan Peraturan Menteri Kesehatan No. 19 Tahun 2016 tentang Sistem Penanggulangan Gawat Darurat Terpadu. Dalam penelitian ini, ditemukan bahwa pelayanan gawat darurat menjadi suatu kewajiban yang tidak boleh ditolak oleh pelayanan kesehatan primer di Indonesia sebagai bentuk perlindungan hak atas pemeliharaan kesehatan. Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota dan Bupati/Wali Kota bertanggung jawab atas kelalaian atau penyimpangan dalam pelayanan kegawatdaruratan yang menyebabkan kerugian pada pasien sebagai bentuk penerapan vicarious liability dan doktrin “respondent superior”. Hasil penelitian ini menyarankan agar pemerintah daerah dan instansi-instansi terkait melakukan pengawasan dan pembinaan terhadap pelayanan kesehatan primer secara rutin untuk mencegah penyimpangan dalam pelaksanaan pelayanan kegawatdaruratan.
This thesis discusses regulations related to the legal liability of primary health care in providing emergency care. The form of this thesis research is normative juridical with qualitative data analysis methods. This thesis is based on laws and regulations regarding emergency care and primary health care found in Law No. 36 of 2009 about Health, Ministerial Regulation of the Health Ministry No. 47 of 2018 about Emergency Care and Ministerial Regulation of the Health Ministry No. 19 of 2016 on Integrated Emergency Response System. The study shows that emergency services are an obligation that cannot be denied by primary health care in Indonesia as a form of protection of the right to health care. Heads of District/City Health Offices and Regents/Mayors are responsible for the negligence or irregularities in emergency care that cause harm to patients as the implementation of vicarious liability and the "respondent superior" doctrine. This study suggests that local governments and related agencies carry out supervision and guidance on primary health care on a regular basis to prevent irregularities in the implementation of emergency services."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Muhammad Raihan
"Suntik filler merupakan salah satu perawatan kecantikan non bedah yang memasukkan sejenis cairan atau zat ke dalam kulit dengan menggunakan jarum dan bertujuan untuk menyamarkan akibat penuaan atau mempercantik penampilan seseorang. Pemulihan tindakan suntik filler tidak memerlukan waktu yang cukup lama jika dibandingkan dengan bedah plastik estetika, membuat lonjakan terhadap penggunaan suntik filler oleh berbagai kalangan terus meningkat setiap tahunnya. Pastinya tindakan ini memiliki risiko dan komplikasi yang mungkin saja dapat terjadi. Maraknya pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh dokter akibat tidak adanya pemberian persetujuan tindakan kedokteran dalam melakukan tindakan medis perlu dibahas lebih lanjut. Oleh karena itu, setiap tindakan kedokteran harus memberikan persetujuan tindakan kedokteran dengan terlebih dahulu dokter menjelaskan kepada pasiennya secara rinci dan lengkap, karena persetujuan tindakan medis termasuk ke dalam bagian etik profesi kedokteran. Hal ini bertujuan mencegah pelanggaran yang dilakukan oleh dokter sebagaimana penelitian ini yang tidak memberikan persetujuan tindakan medis secara tertulis dalam memberikan tindakan suntik filler berdasarkan Putusan Nomor 1441/Pid/Sus/2019/PN Mks. Bentuk penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan bahan data sekunder sebagai pendukung. Data ini diperoleh dari studi dokumen maupun wawancara yang dilakukan dengan narasumber. Data tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode analisis kualitatif. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, pemberian persetujuan tindakan kedokteran yang dilakukan oleh dokter terhadap pasiennya dengan melakukan suntik filler untuk kecantikan belum diterapkan secara maksimal sesuai dengan hukum kesehatan.
Filler injections are one of the non-surgical beauty treatments that involve injecting a substance or fluid into the skin using a needle, with the aim of minimizing signs of aging or enhancing a person's appearance. As opposed to aesthetic plastic surgery, filler injections have a shorter recovery period, which has resulted in an annual rise in the number of individuals who use them. However, it is important to acknowledge that such procedures carry risks and potential complications. The prevalence of violations committed by doctors due to the lack of informed consent in medical procedures needs to be further discussed. Therefore, it is necessary for every medical procedure to obtain the patient's informed consent, wherein the doctor provides a detailed and comprehensive explanation beforehand, as obtaining informed consent is an ethical requirement in the medical profession. This is aimed at preventing violations committed by doctors, such as the case discussed in this research, where written informed consent was not obtained for administering filler injections based on Court Decision Number 1441/Pid/Sus/2019/PN Mks. This research employs a normative juridical approach with secondary data as supporting evidence. The data was obtained from document studies and interviews conducted with pertinent sources, and it was then analyzed using qualitative analysis methods. Based on the findings of this research, it is evident that the practice of obtaining informed consent from patients for filler injections in aesthetic procedures has not been maximally implemented in accordance with health laws."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library
Madeleine Sebastian Effendy
"Skripsi ini meneliti mengenai pengaturan terkait dengan inseminasi donor sebagai suatu tindakan reproduksi berbantu di Indonesia dan Negara Bagian Indianapolis, Amerika Serikat. Secara khusus, skripsi ini juga akan meneliti mengenai tanggung jawab hukum dari dokter terhadap suatu tindakan reproduksi berbantu apabila terjadi suatu pelanggaran di mana seorang dokter memasukkan spermanya sendiri dalam tindakan reproduksi berbantu tanpa persetujuan pasien hingga menghasilkan kurang lebih 90 orang anak, seperti yang dilakukan oleh Dokter Donald Cline di Negara Bagian Indianapolis. Kasus Dokter Donald Cline merupakan salah satu kasus reproduksi berbantu yang cukup terkenal mengingat beliau merupakan salah satu dokter fertilitas terbaik di Indiana pada masanya. Akan tetapi, para korban dari Cline menganggap bahwa pertanggungjawaban hukum yang dilakukan oleh Cline tidak setimpal dengan perbuatannya, dan hal ini didasari oleh adanya suatu kekosongan hukum di Negara Bagian Indianapolis saat itu. Dalam melakukan penelitian, peneliti menggunakan metode penelitian doktrinal dengan tipologi preskriptif. Permasalahan dalam skripsi ini adalah apabila terjadi suatu kasus dimana seorang dokter memasukkan spermanya sendiri dalam tindakan reproduksi berbantu tanpa persetujuan pasien, bagaimanakah pertanggungjawaban hukum atas hal tersebut. Selain itu, permasalahan dalam skripsi ini juga bagaimana kasus Donald Cline jika dilihat dari sudut pandang hukum Indonesia, sebagai bentuk pencegahan apabila hal serupa terjadi di Indonesia. Kesimpulan atas permasalahan tersebut adalah jika kasus Donald Cline terjadi di Indonesia, sesuai dengan hukum yang berlaku di Indonesia saat ini, dokter dapat dimintakan pertanggungjawaban secara administratif, perdata, dan pidana.
This thesis examines the regulation related to donor insemination as an act of assisted reproduction in Indonesia and Indianapolis, United States. In particular, this thesis will also examine the legal responsibility of a doctor for an act of assisted reproduction if there is a violation where a doctor inserts his own sperm in an act of assisted reproduction without the patient's consent and produce approximately 90 children, as done by Doctor Donald Cline in Indianapolis. The case of Doctor Donald Cline is one of the most famous fertility fraud cases considering he was one of the best fertility doctors in Indiana during his time. However, the victims of Cline considered that the legal liability of Cline was not commensurate with his actions, and this was based on the nonexistence of a legal basis to judge Cline in at that time. In conducting the research, the researcher used doctrinal research method with prescriptive typology. The problem in this thesis is if there is a case where a doctor inserts his own sperm in assisted reproduction without the patient's consent, how is the legal liability for this. In addition, the problem in this thesis is also how the Donald Cline case if seen from the perspective of Indonesian law, as a form of prevention if something similar happens in Indonesia. The conclusion of the problem is that if the Donald Cline case occurs in Indonesia, in accordance with the current law in Indonesia, doctors can be held liable administratively, civilly, and criminally."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership Universitas Indonesia Library