Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 8 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Sri Budi Eko Wardani
"Perubahan partai politik setelah rezim Orde Baru membawa konsekuensi serius bagi peran partai politik. Pertama, adanya pergeseran peran partai politik dari aktor di pinggiran kekuasaan menjadi aktor utama yang berperan membentuk kekuasaan politik. Kedua, adanya keharusan partai politik melakuka reformasi internal untuk tujuan memenangkan kekuasaan politik sekaligus menjawab tuntutan publik. Ketiga, terkait keterlibatan partai politik dalam pemilihan untuk mengisi jabatan politik dan jabatan politik.
Partai politik lalu dihadapkan pada paradigma baru yaitu bekerja profesional, memiliki kemampuan bekerjasama atau bernegosiasi dengan partai lain dalam meraih kemenangan, serta melihat konstituen sebagai aset atau kapital yang harus terus dikumpulkan dan dipelihara. Salah satu strategi memenangkan pemilihan umum adafah melalui koalisi politik. Koalisi partai politik membentuk pemerintahan dan untuk memperkuat posisi tawar dalam proses politik di parlemen atau kabinet, menjadi hal tak terhindarkan dalam kehidupan partai di era reformasi ini. Fenomena tersebut dianggap wajar mengingat hasil Pemilu 2004 menghasilkan kekuatan partai yang terfragmentasi secara berimbang. Hal ini membuat keputusan membentuk koalisi menjadi tak terhindarkan. Salah satunya yang terjadil dalam pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkada).
Pilkada yang dimuiai pada Juni 2005 menjadi arena politik baru bagi partai-partai politik. Dari 211 Pilkada pada 2005, ada 126 Pilkada yang dimenangkan oleh pasangan yang diusung koalisi partai. Sedang 85 lainnya dimenangkan oleh pasangan salon yang didukung partai tanpa koalisi. Bagi partai, koalisi dalam Pilkada memiliki kekhasan yang patut dicatat, yaitu: (1) secara kuantitas formasi koalisi bisa sangat banyak yang disebabkan oleh banyaknya pemilihan; (2) adanya kebutuhan pemetaan yang memungkinkan pengurus pusat partai memberikan kebebasan relatif pada pengurus daerahnya untuk memutuskan koalisi; dan (3) kecenderungan pofa koalisi dalam Pilkada yang sangat menyebar dan nyaris sulit untuk diramalkan. Salah satu kasus yang diamati untuk menunjukkan kecenderungan tersebut adalah Pilkada Provinsi Banten pada 26
Tesis ini menggunakan tiga kerangka teori untuk menjawab pertanyaan penelitian. Pertama adalah teori koalisi politik dari William Riker yang menekankan prinsip ukuran (Minimal Winning Coalitions) dan Robert Axelrod yang menekankan prinsip kedekatan preferensi kebijakan (Minimal Connected Winning). Kedua, teori pilihan rasional untuk melihat kontestasi pilihan-pilihan kepentingan yang menjadi dasar pengambilan keputusan para aktor untuk berkoalisi. Keputusan berkoalisi adalah sebuah pilihan rasional dalam rangka memaksimalkan kepentingan atau keuntungan yang dapat diraih. Ketiga, adalah teori oligarki dari Robert Michels. Teori ini digunakan untuk melihat pengaruh struktur partai dalam mempengaruhi pembentukan koalisi partai.
Setidaknya ada lima faktor yang diuji dalam tesis ini - mengacu pada kasus Pilkada Banten- untuk melihat pengaruhnya dalam pembentukan koalisi partai. Pertama adalah pemetaan kekuatan politik di DPRD. Tingkat pengaruh faktor ini sedang karena diperlukan untuk memenuhi persyaratan pencalonan 15% suara atau kursi. Tetapi calon dapat saja membentuk koalisi dengan partai-partai non parlemen jika diperlukan. Kedua, pertimbangan platform partai dalam pembentukan koalisi, apakah sifatnya ideologis atau pragmatis. Tingkat pengaruh faktor ini rendah karena partai pada dasarnya dapat membangun koalisi dengan partai manapun tergantung pemaksimalan kepentingan yang dapat diraih.
Faktor ketiga adalah mekanisme internal penjaringan oleh partai politik. Tingkat pengaruh faktor ini rendah karena tidak ada keharusan partai melakukan penjaringan internal, dan kalaupun dilakukan, hasilnya tidak mengikat atau dapat dibatalkan oleh pengurus pusat. Keempat adalah peran dewan pengurus pusat (DPP) partai. Tingkat pengaruh faktor ini tinggi karena rekomendasi atau persetujuan DPP bersifat mutlak sehingga tidak ada alternatif lain bagi pengurus daerah selain mengikuti petunjuk DPP. Dan kelima adalah peran figur bakal calon kepala daerah. Tingkat pengaruh faktor ini tinggi dalam pembentukan koalisi karena figur yang mendanai penggalangan dukungan selama pencalonan. Partai politik secara institusi biasanya tidak rnengeluarkan materi untuk mendukung pencalonan kepala daerah.

The post new order change within political parties brought serious consequences towards their role: These include: the shift within the political parties' role from being marginal actors in the national power sphere, towards assuming a main role in the formation of political power; political parties being obliged to conduct internal reforms for the sake of winning the contested political power and in order to answer public demands; political parties' involvements in elections dedicated towards filling political position slots.
Political parties were then introduced to a new paradigm which encompassed virtues such as professionalism, ability to cooperate and negotiate with other parties in the attempt of winning the election, and in how they were to view constituents as valuable assets of which supports must always be gathered and preserved. One of the strategies in winning political elections is by creating political coalition(s). Political coalitions in building a new government and in order to create a better bargaining power in the parliamentary or cabinet political processes have become an inevitable phenomenon in this post-reform era. This phenomenon was considered as an obvious one due to the fact that the 2004 election had bred out a fragmentated and balanced political party power configuration. Such configuration later induced many parties to form coalitions as a necessity to anticipate the situation in other elections, as can be seen in the direct regional leader election ("Pemilihan Kepala Daerah Langsung" - PiLKADA).
The Pilkada, which began on June 2005, became a new arena for political parties. From over 211 Pilkada held in 2005, 126 of them were won by candidates supported by party coalitions, while another 85 were won by candidates supported by parties not engaging in coalitions. For many parties, the coalitions made during the Pilkada had certain features: (1) Quantitatively, the abundance of coalitions was made possible due to the many elections held; (2) mapping requirements made many central party officials to allow greater freedom for their local agents to decide coalitions; (3) the tendency within Pilkada coalition patterns exhibited a divergent and unpredictable trend. One of the examined which showed such tendency was the Banten Province Pilkada held on November 26, 2006 in which 4 candidate pairs who participated in this event were all supported by political party coalitions.
This thesis applies three theoretical frameworks in order to answer its research question. The first one is political coalitions theory by William Riker, which emphasizes the measurement principle (Minimal Winning Coalitions), and Robert Axelrod, which emphasizes the policy preference connectedness principle (Minimal Connected Winning). The second one is the rational choice theory which will be used to analyze the contestation of interest choices, which serves as a basis for actors' decision making to form coalitions. Such decision can be seen as a rational choice in order to maximize an actor's interest and benefits. The third theoretical framework applied here is oligrarchic theory by Robert Michels. This theory will be used to view how party structures influence the decision to form coalitions.
There at least five factors which this thesis seeks to analyze, referring to the Banten Pilkada case, in order to see their effect to party coalition formations. The first factor is the political power mapping in DPRD level. This factor's level of influence is medium, due to its function to fulfill the 15% vote or chair requirement. However, candidates may likely form coalitions with non-parliamentary parties if necessary. The second factor is the party platform considerations in coalition formations, whether they include the involvement of ideological preferences or more pragmatic stances. The influence level of this factor can bee deemed low due to the fact that most parties are likely to build coalitions with any party depending on the interest maximization which can be gained.
The third factor is the internal networking mechanisms by political parties. This factor's level of influence is low due to the inexistence of requirements by parties to conduct internal networkings. However, if such mechanism is to occur, the results would likely to be non-bounding or cancellable according to the decision of central organizers. The fourth factor is the role of party's central organizing board (Dewan Pengurus Pusat - DPP). This factor has a high level of influence due to the absolute recommendation or agreement made by the DPP which in turn negates all other alternatives for local organizers to follow except the ones established by the DPP. The fifth factor is the role of local leader candidates. This factor is highly influential in determining the coalition formation due to the role of certain figures who financially support the candidates. Political parties are normally refrained from committing material supports during the local leader elections."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2007
T19281
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riris Katharina
"Analisis Kebijakan Otonomi Khusus Papua 2001-2016 dalam Perspektif Deliberative Public Policy Penelitian ini menganalisis kebijakan Otonomi Khusus Otsus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, yang hanya melihat kebijakan Otsus Papua pada tahap implementasi, penelitian ini menganalisis kebijakan Otsus sebagai sebuah proses kebijakan, mulai dari tahap formulasi hingga implementasi, dengan menggunakan perspektif deliberative public policy dari teori Dryzek 1990 mengenai deliberative democracy. Data dikumpulkan melalui studi kepustakaan dan wawancara mendalam dengan informan beragam, baik yang mendukung maupun yang mengritisi kebijakan Otsus. Para informan adalah para pembuat kebijakan Otsus Papua di DPR RI dan Pemerintah, serta di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat. Kegiatan observasi dilakukan di Jayapura, Wamena, Manokwari, Sorong, dan Kaimana, yang merepresentasikan wilayah kota dan kabupaten, serta wilayah pantai dan pegunungan. Data dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif, dan sesuai dengan tujuannya, untuk menganalisis kebijakan Otsus di Provinsi Papua dan Provinsi Papua Barat, penelitian ini menggunakan tipe eksplanatori kualitatif. Triangulasi dilakukan melalui kegiatan focus group discussions, yang melibatkan para pemangku kepentingan. Berbeda dengan penelitian LIPI 2004 , yang mengungkap bahwa kebijakan Otsus Papua sudah dilakukan secara partisipatif, penelitian ini menemukan partisipasi yang dilakukan dalam tahap formulasi bersifat semu pseudo-participation . Penelitian ini selanjutnya mengungkap bahwa dalam tahap implementasi, orang asli Papua sebagai target penerima manfaat cenderung diabaikan partisipasinya. Menurut hasil penelitian ini, formulasi dan implementasi kebijakan Otsus Papua harus memperhatikan prinsip-prinsip deliberatif. Penelitian menemukan bahwa perspektif deliberative public policy telah membuka cara pandang baru dalam menganalisis kebijakan Otsus Papua. Penelitian ini mengemukakan kebaruan novelty bahwa dalam perspektif deliberative public policy, pembatasan waktu dalam proses formulasi kebijakan akan menimbulkan masalah dalam implementasinya. Penekanan pada substansi deliberasi lebih penting dari pada sekadar pemenuhan formalitas, karena ia akan menimbulkan pseudo-deliberative, yang menciptakan situasi konflik akibat distrust yang terus tumbuh dan memperkuat tuntutan separatisme. Kata kunci: deliberative public policy, pseudo-deliberative policy, Dryzek 1990, otonomi khusus, Papua, Papua Barat.

Papua Special Autonomy Policy Analysis 2001 2016 A Deliberative Public Policy Perspective This research analyzed special autonomy policy in the provinces of Papua and West Papua. Different from previous researches which only discussed the special autonomy during its implementation, this research examined it as a process since its formulation until its implementation by employing the 1990 Dryzek rsquo s deliberative democracy perspective. Data collection was conducted with library studies, continued with in depth interviews with various informants. The informants consisted of those who supported the special autonomy policy and those who criticized it inside the national parliament and the government, as well as different parties in the provinces of Papua and West Papua. In addition to this, observation works have been conducted in cities and municipalities, as well as coastal and mountainous areas, e.g. Jayapura, Wamena, Manokwari, Sorong, and Kaimana. Data was analyzed by employing a qualitative method. In accordance with the objective of this research, namely to clearly examine both the formulation and implementation of special autonomy policy in the Papua and the West Papua, an explanatory qualitative type was applied. Triangulation of data was, furthermore, conducted with focus group discussions, involving relevant stakeholders. Unlike the 2004 LIPI rsquo s research, which concluded that the Papua special autonomy policy has been deliberatively discussed and created, this research argued and found that the public participation organized during its formulation was actually pseudo, by which the researcher has identified it as pseudo participation. This research has also revealed that since its implementation, the participation of native Papuan, presumably should have gained the benefits of the policy, have been, in reality, ignored. This research further found that the deliberative public policy has introduced a new perspective for analyzing the Papua special autonomy policy. From such perspective, therefore, its formulation and implementation must consequently rely on deliberative principles. As its novelty, this research has revealed that time limitation during the formulation process will bring about problem in its implementation. The researcher accordingly concluded that emphasizing to have a real deliberative process is much more substantial rather than attempting to make it artificially that led to a pseudodeliberative policy. A pseudo one has, in fact, produced conflict caused by the growing distrust of the Papuan to the government, which strengthened aspiration for separatism. Keywords deliberative public policy, pseudo deliberative policy, Dryzek 1990, special autonomy, Papua, West Papua."
Depok: Universitas Indonesia, 2017
D2365
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raharusun, Yohanis Anton
"Disertasi ini membahas mengenai desentralisasi asimetrik dalam negara kesatuan ditinjau dari perspektif perkembangan ketatanegaraan Indonesia: studi terhadap format pengaturan asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua dalam periode 1950 sampai 2012. Dalam penelitian ini, dikaji dan dianalisis mengenai penerapan desentralisasi asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua ditinjau dari perspektif elemen-elemen dasar pemerintahan daerah meliputi: (1) urusan dan kewenangan, (2) kelembagaan (3) personil (4) sumber keuangan (5) perwakilan (6) pelayanan publik, (7) pembinaan dan pengawasan. Permasalahan yang dikaji adalah (1) apakah kebijakan otonomi khusus dalam perspektif praktik ketatanegaraan Indonesia hanya diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua. (2) penerapan desentralisasi asimetrik dapat menciptakan percepatan dan pencapaian tujuan demokratisasi ditinjau dari perspektif elemen dasar pemerintahan daerah. (3) strategi penerapan desentralisasi asimetrik di Yogyakarta, Aceh dan Papua ditinjau dari perspektif elemen dasar pemerintahan daerah dapat mempercepat kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif (legal research) dan penelitian empiris dengan titik berat pada penelitian normatif. Sedangkan pengumpulan data yang dilakukan dengan studi dokumen dan wawancara. Data tersebut kemudian dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perundang-undangan yang mengatur otonomi khusus/istimewa (1950-2012) dalam praktiknya masih memperlihatkan pola sentralistik yang dominan dalam menerapkan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah. Kebijakan desentralisasi asimetrik yang dipraktikkan di ketiga daerah tersebut memiliki karakter asimetrik yang berbeda-beda dalam menerapkan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah sesuai karakter perundang-undangan yang berlaku di ketiga daerah tersebut. Perbedaan tersebut dalam hal pengaturan tentang urusan dan kewenangan, kelembagaan, perwakilan dan sistem pemilihan kepala daerah, kebijakan fiskal dan pelayanan publik. Perbedaan asimetrik lainnya adalah, Yogya lebih didasarkan pada alasan historically driven with some culturally oriented goals, Aceh lebih didasarkan pada alasan politically driven with religiously oriented goals dan Papua lebih di dasarkan pada alasan politically driven with slight religiously oriented goals. Meskipun terdapat perbedaan penerapan berbagai elemen dasar pemerintahan daerah tersebut di atas, namun kebijakan asimetrik yang diberikan kepada ketiga daerah tersebut dalam kenyataannya lebih dititikberatkan pada kebijakan fiskal. Dengan kebijakan fiskal yang besar dapat tersebut diharapkan membawa perubahan yang siginifikan dalam penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Namun, dalam kenyataannya titikberat kebijakan fiskal yang besar tersebut tidak diikuti dengan penerapan elemen-elemen dasar pemerintahan daerah sehingga dalam penyelenggaraan pemerintahan belum dapat memberikan manfaat dan perubahan yang signifikan, terutama dalam upaya peningkatan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat dan percepatan pencapaian tujuan demokrasi dan demokratisasi.
Temuan yang diperoleh dari hasil penelitian sebagai jawaban terhadap research quetions dari penelitian adalah, bahwa kebijakan desentralisasi asimetrik yang diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua lebih dititikberatkan pada kebijakan fiskal yang didasarkan pada pertimbangan politik (politicaly driven) tanpa adanya suatu grand design atau blue print kebijakan asimetrik secara menyeluruh berdasarkan elemen-elemen dasar Pemerintahan Daerah. Ketujuh elemen dasar di atas, secara integrated merupakan alat tools untuk melihat substansi asimetrik untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat. Ketujuh elemen dasar pemerintahan daerah tersebut dipakai sebagai tools untuk mempertajam penerapan desentralisasi asimetrik di ketiga daerah tersebut di atas. Penataan terhadap elemen-elemen dasar tersebut haruslah bersifat terpadu dan menyeluruh, pendekatan yang bersifat piece-meal yang dilakukan akan selalu menghasilkan outcomes yang kurang optimal bahkan seringkali menimbulkan ketegangan antara Pusat dan Daerah. Oleh karena itu, dalam perkembangan praktik ketatanegaraan Indonesia di masa yang akan datang manakala pemerintah masih memberikan kebijakan-kebijakan yang bersifat khusus/istimewa terhadap daerah lain di Indonesia sebagai solusi politik dalam mempertahankan integritas negara kesatuan, maka diperlukan penataan terhadap ketujuh elemen dasar pemerintahan daerah tersebut merupakan suatu keniscayaan yang perlu diatur dalam payung hukum dalam bentuk perundang-undangan. Hal ini disebabkan karena desentralisasi asimetrik dalam perspektif negara kesatuan Republik Indonesia telah memiliki landasan konstitusional dalam Pasal 18B ayat (1) UUD 1945. Ketentuan tersebut dapat saja dijadikan rujukan bagi Daerah lainnya di Indonesia untuk meminta status khusus atau keistimewaan yang sama seperti yang diberikan kepada Yogyakarta, Aceh dan Papua, mengingat ketentuan Pasal 18B ayat (1) UUD 1945 tersebut masih menimbulkan multi tafsir sehingga perlu dipertegas kembali makna ketentuan tersebut, manakala Pemerintah bermaksud akan melakukan amandemen kelima terhadap UUD 1945.

This study discusses asymmetrical decentralization in a unitary state viewed from the perspectives of Indonesian constitutional development. It focuses on the format of asymmetrical arrangements for Yogyakarta, Aceh, and Papua during the period of 1950 through 2012. It analyzes the specific asymmetrical characteristics of the special autonomy for the three provinces based on the 7 basic elements of a local government which comprise of: (1) local authority; (2) local institutions (3) personnel/staffing; (4) local sources of revenue, (5) representation and election system of regents, (6) public services, and (7) guidance and supervision. Specifically the issue analyzed here in this study include: (1) why the special autonomy in the perspective of the constitutional development given only to Yogyakarta, Aceh, and Papua and (2) whether the implementation of asymmetrical decentralization expected to accelerate democracy improvement and the realization of a democratic life, viewed from the perspective of the basic elements of local government, and (3) how this strategy of implementing asymmetric decentralization in Yogyakarta, Aceh, and Papua viewed from the perspective of the basic elements of local government can expedite welfare. This is a normatively legal study with a historical approach. The data collection was done through document study and interviews. The collected data were then analyzed qualitatively.
The study found that various types of local government regulations in Indonesia including the special autonomy regulations (1950-2012) in practice still indicate traces of centralistic patterns in implementing the local government elements. Through broad observation, the three provinces are seen to have differed slightly. The asymmetrical arrangements for Yogyakarta have been historically driven with some culturally oriented objectives; the asymmetrical arrangements for Aceh have been religiously driven through political maneuvers; and the asymmetrical arrangements for Papua have been politically driven with ethnic and some slight religiously oriented purposes. This discussion has been done in light of a local government elements and the implementation of asymmetric decentralization based on the local government elements. The asymmetric decentralizations implemented in three provinces have distinctive asymmetric features. They have not fully followed the asymmetric features found in the special autonomy regulations for these three provinces. The differences may be observed in the arrangements of authorization, institutions, representation and election system of regents, fiscal policies, and public services. Despite the above differences, the asymmetrical arrangements given to these three provinces have been heavily focused on fiscal policies ? which have been meant to bring about significant improvements in the running of the local governments, i.e. improvements of public services. In reality, the special autonomy has not resulted in significant improvements, particularly in the betterment of social welfare and the acceleration to reach democracy and democratization.
In summary, the asymmetrical decentralization granted for these three provinces in the form of heavily fiscal advantages, have been more politically driven without grand design or blue print of comprehensive asymmetric decentralization policy, which should have been strictly based on the local government elements. The seven basic elements are an integral tool to view the asymmetric substance to enhance prosperity and welfare of the people. The seven basic elements are utilized as tools to sharpen the implementation of asymmetric decentralization in the three regents above. Arrangement of the basic elements should be integrated and comprehensive; a piece-meal approach would always create outcomes less optimal or even cause tension between Central and Regions. Therefore, in the constitutional practices in the future, especially considering the central government still grants special policies to other regions in Indonesia as a political solution to maintain the integrity of the unitary state, then it is necessary to better arrange the seven basic elements of local governments under an umbrella law in the form of special regulations. As one may observe, asymmetrical decentralization is found in the Constitution 1945, Article 18B verse (1). It is possible for other regions in Indonesia to request special status such that granted to Yogyakarta, Aceh and Papua, remembering the Constitution 1945, Article 18B verse (1) still create multiple interpretations, such that it needs reinforcement the meaning of that clause, should the Government want to do the Fifth amendment of the Constitution 1945."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
M Nur Alamsyah
"ABSTRAK
Penelitian ini tentang gerakan politik masyarakat dalam proses pembentukan daerah baru di Indonesia. Peran elit dalam pemekaran menentukan, sebaliknya gerakan massa dari bawah dianggap sebatas massa dalam pembentukan daerah. Kenyataannya pada setiap proses pembentukan daerah di Indonesia, masyarakat berpartisipasi untuk pembiayaan maupun aksi gerakan.Pembentukan Kabupaten ParigiMoutong menarik terkait mengapa kelompok-kelompok gerakan pemekaran muncul dan bagaimana strategi kelompok-kelompok tersebut, serta bagaimana bentuk persaingan dan konsensusnya.Teori utama yang digunakan adalah teori struktur kesempatan politik dari Dough McAdam, Jhon McCharty dan Mayerd N.Zald.Teori inimenekankan bahwa gerakan sosial dimungkinkanjika terdapat kesempatan politik, mobilisasi, dan proses pembingkaian. Penelitian ini menggunakan studi kualitatif dengan kasus gerakan politik pada proses pembentukan Kabupaten Parigi Moutong Tahun 1999-2002. Pengumpulan data diperoleh melalui tahapan:, studi data sekunder, pra wawancara, wawancara mendalam, segmentasi makna data dan analisis data.Hasil penelitian ini menemukan bahwa kelompok gerakan pemekaran menentukan pembentukan Kabupaten Parigi Moutong. Keberhasilan gerakan kelompok dengan aksi beragam dengan memanfaatkan kesempatan reformasi, perubahan aturan, bangkitnya gerakan mahasiswa serta lahirnya kompetisi kepartaian. Gerakan dengan menggunakan instrumen budaya tersebut dapat mendorong mobilisasi sumber daya kelembagaan formal dan nonformal dalam mendukung pembentukan daerah melalui inisiatif DPR-RI. Melalui proses pembingkaian issu dengan media alternatif, serta pemanfaatan instrumen kearifan lokal melalui silaturrahmi dan musyawarah serta penggunaan bantaya ruang pertemuan adat ,melahirkan motivasi, ikatan dan konsensus kuat dalam gerakan ini. Temuan tersebut mengkonfirmasi teori struktur kesempatan politik dan menambahkan elemen baruuntuk faktor proses pembingkaian pada elemen budaya yang spesifik dalam konteks gerakan politik di Kabupaten Parigi Moutong.a

ABSTRACT
This research expounds the position of the public rsquo s political movement during the formation process of a new district in Indonesia. Because the realization of forming a new district is determined by the elites, the birth of a new district is often equated with elite domination. While the mass movement is not visible and is seen as unrelated to the formation process, the mass movement can become potential funders and can become an asset in the formation process itself.The formation process brings into light the questions on the emergence of various expansion group movements and their strategies, as well as the disputes and consensus caused by these movements.The main theoryused in this dissertation is the theory of political opportunity structure by Dough McAdam, Jhon McCharty and Mayerd N. Zald. This theory accentuates that social movements may emerge if a political opportunity, a resource mobilization structure, and a framing process is present. The qualitative method with a case study on the Parigi Moutong District in order to understand the political movement in the formation process of the Parigi Moutong District in 1999 2002. The data are collected through secondary data study, pre interviews, in depth interviews, data segmentation, and data analysis.This research shows that political movements are vital to the formation process of the Parigi Moutong District. The political process such as the development of opinions, the mass action in Parigi Moutong, the urgent action the Donggala District and Province, the lobbying and negotiation with the central government, to the utilization of the initiative mechanism of DPR RI is executed by the expansion group movement until the parliamentary session and the definitive formation of the ParigiMoutong District.Confirming the theory of political opportunity structure, the political movement groups rsquo influence are made possible by the presence of a political opportunity. This opportunity enables the mobilization structure of resources and the framing process with the alternative media, as well as optimization with local wisdom. The discussions in the bantaya traditional meeting room , and an act of hospitality as the instrument of local culture has given birth to a political bond and consensus in the district expansion movement. This finding is a new element that complements the theory of political opportunity structure for cultural framing in the local context of Parigi Moutong District rsquo s formation process."
2016
D1718
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sad Dian Utomo
"Selama 40 tahun terakhir, kecamatan mengalami perubahan seiring perubahan kebijakan mengenai pemerintahan daerah. Perubahan kebijakan makro ini memerlukan penyesuaian pada tingkat organisasi dan operasional. Namun belum direspon baik oleh Pemerintah Pusat, dan gamang dalam memosisikan kecamatan, dengan tidak jelasnya bentuk organisasi kecamatan, camat diberi tugas urusan pemerintahan umum yang merupakan kewenangan kepala wilayah, dan tidak ada pedoman pengukuran kinerja kecamatan. Timbul masalah konseptual, yaitu bagaimana memosisikan kecamatan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, apakah bagian unit kewilayahan yang diperluas perannya melalui desentralisasi dalam kota (Norton, 1994); unit yang menjalankan fungsi tertentu dalam rangka dekonsentrasi (Leemans, 1970); ataukah dipandang tidak relevan lagi dalam pengelolaan kota terpadu (Smith, 1985)? Hal ini dirumuskan dalam pertanyaan penelitian, yaitu: bagaimana dinamika kelembagaan kecamatan, mengapa itu terjadi, dan bagaimana kelembagaan kecamatan diposisikan. Penelitian ini menggunakan teori desentralisasi, pemerintahan daerah, pemerintahan wilayah, dan kelembagaan sebagai panduan. Penelitian ini menggunakan pendekatan konstruktifis dengan teknik kualitatif melalui studi kasus di Kecamatan Cikulur, Tulakan, Jatiuwung dan Bubutan. Hasil penelitian memperlihatkan dinamika kelembagaan kecamatan lebih banyak disebabkan faktor eksogen daripada endogen. Selanjutnya, dilakukan reposisi kelembagaan kecamatan dalam tiga model, yaitu model kelembagaan kecamatan kawasan perkotaan, perdesaan dan hybrid.

Local government has changed sub-district status over 40 years. This macro policy alters operations and organization. The Central Government must improve, and placing the sub-district is giddy. The sub-district head manages regional government and does not assess performance. Then a conceptual problem arises: how to position the sub-district in local government administration—as part of a local government unit whose role is expanded through decentralization within cities (Norton, 1994), as a unit that performs specific functions in deconcentration (Leemans, 1970), or as a unit no longer relevant in integrated city management (Smith, 1985). This is formulated in research questions, namely: how are the dynamics of sub-district institutions in the administration of local government, why does it happen, and how are sub-district institutions positioned? Rebuilding sub-district institutions needs knowing their dynamics and causes. Decentralization, local self-governance, local state government, institutional theory, and institutional dynamics drive this research. Four sub-districts—Cikulur, Tulakan, Jatiuwung, and Bubutan—are studied using constructivist case studies. The research found that exogenous factors caused the sub-district institutional dynamics more than endogenous ones. Three models—urban, rural, and hybrid—reposition sub-district institutions."
Jakarta: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bismar Arianto
"Studi ini mengkaji aspek pelaksanaan desentralisasi yang memicu terjadinya konflik. Kasus yang diteliti pengelolaan labuh jangkar di Provinsi Kepulauan Riau tahun 2017-2022. Permasalahan pokok dalam kajian ini ; mengapa terjadi konflik kewenangan antara Pemprov Kepulauan Riau dengan pemerintah pusat dalam pengelolaan labuh jangkar sepanjang tahun 2017-2022; dan bagaimana relasi pemerintah pusat dengan pengusaha pada saat terjadi konflik tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kasus tunggal terjalin (embeded). Dua teori utama yang digunakan untuk menganalisis permasalahan penelitian ini yaitu desentralisasi dan resentralisasi yang didukung oleh teori konflik politik dan resolusi konflik. Teori kedua yang digunakan yaitu teori rent seeking.
Konflik antara Pemprov Kepulauan Riau dengan pemerintah pusat disebabkan oleh saling klaim, tumpang tindih regulasi, perebutan sumber daya yang memiliki nilai ekonomi dan perbedaan kepentingan di antara pihak yang berkonflik. Posisi pemerintah pusat sangat kuat dalam konflik ini, ditandai dengan pemungutan uang labuh jangkar masih dilakukan oleh Kementerian Perhubungan dan BP Batam. Di sisi lain terjadinya proses deotonomisasi/resentralisasi pada masa reformasi. Proses ini dilakukan secara legal formal dengan mengubah UU pemerintahan daerah. Kebijakan deotonomisasi/ resentralisasi semakin memperlemah bargaining power pemerintah daerah.
Kegagalan daerah dalam konflik ini karena secara historis dan yuridis pemerintah pusat lebih dahulu melakukan pemungutan jasa labuh, serta faktor psiko hirarki Gubernur adalah wakil pemerintah pusat di daerah. Kelemahan lain adalah terbatasnya keterlibatan dan dukungan publik dalam eskalasi konflik ini, sehingga yang dominan berkonflik hanya antara Pemprov Kepulauan Riau dengan pemerintah pusat.
Penelitian ini menemukan lima model rent seeking yang terbangun dalam relasi pemerintah pusat dengan pengusaha labuh jangkar. Resolusi konflik dilakukan dengan cara pembagian sumber daya dan salah satu pihak mengubah prioritas tuntutan. Faktor anggaran pembangunan dan kompensasi bisnis pengelolaan labuh jangkar menjadi faktor yang dominan dalam proses negosiasi dan membangun resolusi konflik.
Penelitian ini berkontribusi menjelaskan deotonomisasi di Indonesia dalam konteks desentralisasi dan resentralisasi. Studi ini berkontribusi menambahkan putaran desentralisasi di Indonesia memasuki fase ketujuh yaitu deotonomisasi/resentralisasi. Kontribusi teoritis pada teori rent seeking adalah menambah model rent seeking yang dikemukan oleh Ross dengan model keempat yaitu rent previlege.

This study investigates the decentralization-related aspects that lead to disputes between the central government and the Riau Archipelago province government. The main issues in this study are, first, why was there a conflict in terms of authority between the Riau Province government and the central government in the ship anchor management in the archipelagic provincial waters during 2017–2022, and second, how the central government's relationship was with the business owners during this time.
This research used a qualitative approach with a single embedded case study. To investigate the challenges of this research, two primary theories are used: decentralization and re-centralization, which are supported by the theory of political conflict and conflict resolution paired with the rent-seeking theory.
The dispute is characterized by reciprocal claims, overlapping regulations, competition for economically valuable resources, and competing interests between both sides. However, the Ministry of Transportation and BP Batam has been collecting anchor fees over the years, referring to a quite strong central government position in this conflict. On the other hand, there was a process of deautonomization and centralization during the reform period. This process was carried out legally and formally by amending the local government law, which decreased the local government's bargaining power
The province government's failure in the dispute is attributable to the fact that historically and legally, the central government has gathered anchoring services beforehand, in addition to the psycho-hierarchical factor of the governor being the subject of the central government's representation. Another problem is the lack of public engagement and support in the dispute escalation, eventually exposing dominant conflicting parties between governments.
This research identified five rent-seeking models that emerged due to the interplay between the central government and anchor firms. Conflict resolution is achieved by sharing resources and shifting the priority order of demands. The development budget and business compensation for anchor management are the primary determinants of the negotiation process and dispute resolution.
This study helps to understand de-autonomy in Indonesia in the context of decentralization and re-centralization. This study adds to Indonesia approaching the seventh phase of decentralization, namely de-autonomy or re-centralization. The theoretical addition to the notion of rent-seeking is to supplement Ross's rent-seeking model with a fourth model, known as rent privilege.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rosita Candrakirana
"Disertasi ini membahas mengenai Kewenangan Pemerintahan Daerah Di Bidang Pengelolaan Sumber Daya Perikanan Dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Pada Era Reformasi Di Indonesia. Permasalahan mengenai kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan ini muncul dengan adanya perubahan kewenangan yang terdapat dalam Pasal 27 dan 28 UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Perubahan kewenangan tersebut berimplikasi terhadap  kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan yang diserahkan kepada pemerintah Provinsi untuk dikelola. Sehingga pemerintah kabupaten/kota hanya memilki sebagian kecil kewenangan dalam pengelolaan sumber daya perikanan. Hal ini dianggap tidak sesuai dengan yang diamanatkan oleh Pasal 18 UUD Negara RI 1945 terkait otonomi daerah. Dampak ini terlihat pada kewenangan dan kelembagaan pengelolaan oleh pemerintah daerah dengan provinsi di wilayah laut dan provinsi berciri Kepulauan. Penulisan ini menggunakan penelitian hukum normatif yang dilengkapi dengan data primer dan data sekunder yang dilakukan secara deskriptif kualitatif untuk menjawab pertanyaan mengenai : 1) bagaimanakah kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan di indonesia? 2) bagaimanakah pembagian kewenangan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota di bidang pengelolaan sumber daya perikanan dalam penyelenggaraan otonomi daerah pada era reformasi di indonesia? 3) bagaimanakah konsep kewenangan pemerintahan daerah provinsi dan kabupaten/kota di bidang pengelolaan sumber daya perikanan dalam penyelenggaraan otonomi daerah di indonesia?. Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kewenangan pengelolaan sumber daya perikanan diperlukan peran kembali dari pemerintah kabupaten/kota dalam bentuk pemberian tugas pembantuan untuk melaksanakan tugas yang bersifat operasional dengan tujuan untuk mendekatkan pemerintah kepada masyakat yang berada di daerahnya (bringing the state closer to the people). Hal ini dapat diatur dalam peraturan pelaksana yang mengatur mengenai kewenangan provinsi di wilayah laut dan provinsi berciri kepulauan. Selanjutnya,diperlukan penguatan fungsi kelembagaan cabang dinas untuk melakukan tugas administrasi dan koordinasi dalam menjaga harmonisasi hubungan dengan pemerintah kabupaten/kota. Dalam optimalisasi peran masyarakat diperlukan adanya koperasi perikanan dan Program Community Based Coastal Resource Management (CB-CRM) khusus di bidang perikanan yang melibatkan masyarakat pesisir khususnya nelayan dan bekerja sama dengan pemerintah daerah, LSM, akademisi dan lembaga-lembaga penelitian
This dissertation discusses the regional government authority on fishery resource management in the implementation of regional autonomy during the reform era in Indonesia. The issue of authority on fishery resource management has arisen from the change of authority stated in Articles 27 and 28 of Law Number 23 of 2014 Concerning Regional Government. The authority change has implications on the fishery resource management authority, which is handed over or delegated to the Regional (Provincial) Governments. As a result, the lower governments, city/regency governments, possess only a little portion of the fishery resource management authority. This contradicts the mandate contained in Chapter 18 of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia regarding Regional Autonomy. The impacts of the change are shown in the fishery resource management authorities and institutions between the City/Regency Governments and the Regional Governments in marine areas and provinces characterized by islands. This study is normative legal research with primary and secondary data. It used a descriptive qualitative research method to answer the following questions: (1) how is the fishery resource management authority in Indonesia?; (2) how was the division of fishery resource management authority between the City/Regency Governments and the Regional Governments in the regional autonomy implementation during the reform era in Indonesia?; and 3) how is the concept of fishery resource management authority between the City/Regency Governments and the Regional Governments in the regional autonomy implementation during the reform era in Indonesia? The results of the research show that the role of the City/Regency Governments is essentially required through providing assistance tasks to execute operational tasks in an attempt to bring the state/the government (s) closer to the people. This can be included in the implementing regulations, which regulate the authority of the Regional Governments in marine areas and provinces characterized by islands. Furthermore, the institutional functions of regional branch offices to conduct administrative tasks and inter-coordination shall be strengthened to maintain the harmony of relations between the Regional Governments and the City/Regency Governments. In the community role optimization, fishery cooperatives and Community Based Coastal Resource Management (CB-CRM) programs, especially in the fishery sector that involves the coastal community, particularly fishermen, and cooperation with city/regency governments, non-governmental organizations, academicians, and research institutions are required."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Luh Rina Apriani
"Perdebatan mengenai kedudukan Desa Adat di Bali kembali mencuat pasca lahirnya UU Desa 2014. Bali menilai penormaan Pasal 6 sebagai pertanyaan retoris bagi mereka dan berbalik memperkuat eksistensi Desa Adar melalui Perda Desa Adat, 2019. Perda tersebut kembali menekan Desa Adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat di Bali dengan karakternya yang khas dan dikelola berdasarkan filosofi Hindu, Tri Hita Karana yang bersumber dari Sad Kerti. Penelitian ini akan melihat tata hubungan antara Desa Adat Ubud yang memiliki otonomi saat bertemu dengan Kelurahan Ubud yang berposisi sebagai fungsinya. Observasi serta wawancara mendalam membuktikan bangwa Desa Adat Ubud dan Kelurahan Ubud membangun pola hubungan yang sinergis melalui asa Desa Mawacara dan Bali Mawacara dalam pemahaman bahwa manusia harus menjalin hubungan yang baik dengan Penccipta, sesama dan lingkungan sekitarnya. Hubungan yang sinergis ini tentunya perlu dipertahankan dan dapat menjadi model hubungan antara Desa Adat lain di Bali dalam rangka menciptakan relasi yang baik antara sesama Desa Adat dan pemerintah.

The debate about position of Desa Adat in Bali resurfaced after the birth of 2014 Village in Law. Bali considers the norm of Article 6 as a rhetorical question and turn to strengthen the existence of Desa Adat as a unity of customary law communities in Bali with its distinctive character and is managed based on Hindu Philosophy, Tri Hita Karana which comes from Sad Kerthi. This research will look at the relationship between Desa Adat Ubud which has autonomy when meeting with Kelurahan Ubud which is positioned as a sub-district apparatus and no longer has autonomy in carrying out its functions. In-depth observations and interviews prove that Desa Adat and Kelurahan Ubud build a synergistic relationship pattern through the principles of Desa Mawacara and Bali Mawacara in the understanding that humans must establish a good relationship with the Creator, others and the surrounding environment. This synergistic relationship certainly needs to be maintained and can be a model of relations between other Desa Adat in Bali in order to create good relations between Desa Adat and the government."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library