Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 10 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Boediarso Teguh Widodo
Abstrak :
Tujuan inti dari penelitian ini adalah melakukan assessmen terhadaphubungan antara perilaku “siklikalitas fiskal” dengan “volatilitas output”. Fokusstudi pada evaluasi efektivitas kebijakan fiskal dalam menstabilkan fluktuasi siklusbisnis, dan menganalisis dampaknya pada output agregat dan kesempatan kerja.Fluktuasi siklus bisnis diidentifikasi melalui perilaku volatilitas output, yang diukurdari rasio celah output terhadap output potensial, sementara perilaku siklikalitaskebijakan fiskal diukur dari rasio keseimbangan primer terhadap output potensial.Sementara itu, efektivitas fungsi stabilisasi kebijakan fiskal dalam memperkecilvolatilitas output diukur dari rasio keseimbangan primer siklikal dan rasiokeseimbangan primer yang disesuaikan secara siklis terhadap output potensialberkenaan dengan celah output.Studi ini menyimpulkan lima temuan pokok sebagai berikut. Pertama,kebijakan fiskal di Indonesia selama periode penelitian (1980:1 – 2010:4) lebihbersifat kontra siklis (countercyclical) dalam merespon siklus bisnis. Kedua,kebijakan stabilisator fiskal otomatis cukup efektif dalam menstabilkan fluktuasisiklus bisnis. Ketiga, langkah-langkah kebijakan fiskal diskresioner cukup efektifdalam mengurangi volatilitas output, sehingga menyimpulkan, kebijakan fiskalcukup efektif dalam menstabilkan fluktuasi siklus bisnis di Indonesia.Keempat,guncangan ekspansi fiskal melalui pemotongan pajak memberikan dampak yanglebih besar pada permintaan agregat, output agregat, dan kesempatan kerja,ketimbang ekspansi fiskal melalui belanja konsumsi pemerintah ataupun melaluibelanja investasi pemerintah. Kelima, guncangan ekspansi fiskal melaluipeningkatan belanja konsumsi pemerintah memberikan dampak yang lebih besarpada permintaan agregat, output agregat dan kesempatan kerja dibandingkandengan ekspansi fiskal melalui belanja investasi pemerintah ...... The main objective of this research is to conduct an assessment of therelationship between the behavior of “fiscal cyclicality” and “output volatility”. Thefocus of the study is to evaluate the effectiveness of fiscal policy in stabilizingbusiness cycle fluctuations and to analyze the impact on aggregate output andemployment. Business cycle fluctuations are identified through the behavior ofoutput volatility, as measured by the ratio of the output gap to output potential,while the behavior of the cyclicality of fiscal policy is measured by the ratio of theprimary balance to potential output. Meanwhile, the effectiveness of thestabilization function of fiscal policy in reducing output volatility is measured bythe cyclical primary balance ratio and the cyclically adjusted primary balance ratioto output potential with respect to the output gap.This study draws five main conclusions, as follows: First, fiscal policy inIndonesia during the research period (1980:1 – 2010:4) is more countercyclical innature in responding to the business cycle. Second, the automatic fiscal policystabilizers are sufficiently effective in stabilizing business cycle fluctuations.Third, discretionary fiscal policy actions are sufficiently effective in reducingoutput volatility, so that it can be concluded that fiscal policy is quite effective instabilizing business cycle fluctuations in Indonesia. Fourth, a fiscal expansionshock via cuts in taxation produces a larger impact on aggregate demand, aggregateoutput and employment opportunities rather than fiscal expansion via governmentconsumption expenditure or through government investment expenditure. Fifth, afiscal expansion shock through increased government consumption expenditureprovides a larger impact on aggregate demand, aggregate output and employmentcompared with fiscal expansion via government investment expenditure.
Depok: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2012
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfani Fithria Ummul M
Abstrak :
Pembangunan kota yang memiliki kepadatan tinggi dikalim sebagai bentuk perkotaan yang sesuai untuk membangun modal sosial. akan tetapi, hubungan antar keduanya belum banyak diinvestigasi secara empiris, sehingga terjadi berbagai hasil yang berlawanan di literatur. Studi ini bertujuan untuk menganalisa peranan bentuk fisik perkotaan terhadap pembentukan modal sosial dengan menggunakan kasus kota metropolitan di Indonesia. Riset ini juga merupakan studi yang pertama kali menganalisa hubungan bentuk perkotaan dengan modal sosial di Indonesia dengan menggunakan Regresi Logistik Multilevel. Hasil empiris menunjukkan bahwa individu yang tinggal di wilayah padat memiliki kemungkinan untuk lebih tidak mengenal tetangganya, lebih tidak mempercayai orang lain dan kurang aktif dalam kegiatan masyarakat. Sedangkan, konektivitas jalan memiliki hubungan yang positif dengan tingkat bridging trust akan tetapi justru memiliki jaringan sosial (social network) yang lebih rendah. Selain itu, keberadaan berbagai fasilitas publik ternyata sama sekali tidak berhubungan dengan pembentukan modal sosial. Dengan data agregat, studi ini belum bisa memberikan rekomendasi kebijakan yang spesifik. Akan tetapi, para pembuat kebijakan perlu memikirkan peranan bentuk perkotaan terhadap pembentukan modal sosial.
High-density urban development is claimed as a suitable urban form in enhancing social capital. However, the relationship between those two variables has not been well empirically explored, leading to the emergence of competing results in the literature. This study aimed to investigate the role of urban physical arrangement or urban form in the social capital formation using Indonesian metropolitan cities as a case study. This research was also the first empirical study to investigate the association between urban form and social capital in Indonesia. The multilevel logistic regression was used to investigate the association between the urban form and several indicators of social capital. The findings revealed that individuals in high residential density areas were less likely to know their neighbours, had lower levels of bridging trust, and less involved in the communitys activities. Meanwhile, street connectivity appeared to have a positive association with bridging trust but negatively related to social networks. Moreover, the land use mix did not seem to be significantly associated with any social capital variables. However, the aggregated data of urban form limited our ability of the present study to provide specific policy recommendations. Nonetheless, this study would still suggest that urban planners and policy makers should be mindful to consider that urban form features might influence the development of social capital.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2020
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurina Paramitasari
Abstrak :
Pendidikan adalah investasi penting dalam sumber daya manusia. Perluasan pendidikan tanpa penambahan kesempatan kerja akan berdampak buruk. Pendidikan harus selaras dengan kebutuhan pasar tenaga kerja untuk memaksimalkan sumber daya manusia. Jika hal ini tidak terjadi, maka akan timbul ketidaksesuaian antara pekerjaan dan pendidikan. Ketidaksesuaian antara pekerjaan dan pendidikan dapat menjelaskan fenomena pengangguran. Ketika tenaga kerja melebihi permintaan, tingkat pengangguran meningkat. Dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk mencari pekerjaan yang cocok atau menerima pekerjaan yang tidak sesuai dengan tingkat pendidikan dan keterampilan yang dimiliki. Studi ini berfokus pada ketidaksesuaian pekerjaan dan pendidikan di kalangan lulusan sekolah menengah kejuruan (SMK), yang merupakan sumber pengangguran terbesar di Indonesia. Studi ini menggunakan data Sakernas tahun 2017–2019 untuk menyediakan analisis komprehensif tentang ketidaksesuaian pekerjaan dan pendidikan di kalangan lulusan SMK, dimulai dari prevalensinya, selanjutnya menyelidiki faktor-faktor apa saja yang mempengaruhinya, dan terakhir mengkaji dampaknya terhadap upah. Studi ini membahas tiga jenis ketidakcocokan pekerjaan-pendidikan: overeducation (ketika tingkat pendidikan melebihi yang dipersyaratkan), horizontal mismatch (ketika keterampilan berbeda dari yang dibutuhkan), dan real mismatch (mengalami overeducation maupun horizontal mismatch). Dengan menggunakan metode analisis jabatan, penelitian ini menemukan kasus ketidakcocokan pekerjaan-pendidikan, khususnya horizontal mismatch dalam kasus yang tinggi. Setelah mengendalikan endogenitas dan bias pemilihan sampel, penulis menemukan hubungan negatif antara ketidaksesuaian pekerjaan-pendidikan dan kepadatan pekerjaan, yang merupakan ukuran aglomerasi. Kepadatan pekerja yang tinggi efektif mengurangi resiko pekerja lulusan SMK mengalami ketidakcocokan pekerjaan dan Pendidikan. Analsisi sub-sampel pada lima wilayah aglomerasi di Indonesia—Jabodetabek, Gerbang Kertosusilo, Kedung Sepur, Mebidangro, and Sarbagita— mendukung hasil temuan utama. Jabodetabek adalah yang paling kurang efisien dibandingkan wilayah aglomerasi lainnya dalam mengatasi ketidakcocokan pekerjaan dan pendidikan pada lulusan SMK. Aglomerasi mempunyai peran penting dalam proses pencocokan pekerjaan dan pendidikan utamanya pada pekerja usia muda yang bekerja di sektor industri dengan jurusan teknik. Penulis juga menemukan bahwa ketidaksesuaian pekerjaan dan pendidikan mengakibatkan upah yang lebih rendah. Horizontal mismatch dan real mismatch mengakibatkan penurunan upah secara signifikan, sementara pekerja yang overeducated tidak terkena dampaknya. Studi ini juga menemukan bahwa real mismatched workers (mereka yang mengalami dua jenis ketidaksesuaian) mempunyai hukuman upah yang paling besar. ......Education is a significant investment in human capital. Educational expansion without increasing job opportunities will have a detrimental effect. Education must be aligned with labor market needs to maximize human capital. In the absence of this, a job-education mismatch occurs. Job-education mismatches can explain the phenomenon of unemployment. When labor exceeds demand, the unemployment rate rises. It takes longer to find a matching job or to accept a job that does not match the level of education and skills possessed. This study focuses on the job-education mismatch among vocational secondary school (SMK) graduates, Indonesia's largest unemployment source. This study uses Sakernas data from 2017–2019 to provide a comprehensive analysis of job-education mismatch among SMK graduates, starting with prevalence, next investigating what factors affect it, and finally examining its impact on wages, one of the most important labor market outcomes. This study discusses three types of job-education mismatch: overeducation (when education levels exceed those required), horizontal mismatch (when skills differ from those required), and real mismatch (both overeducation and horizontal mismatch). Using job analysis methods, this study found cases of job-education mismatch, especially horizontal mismatch in higher cases. After controlling endogeneity and sample selection bias, the authors found a negative relationship between job-education mismatch and employment density, a measure of agglomeration. A higher employment density effectively reduces the risk of a job-education mismatch. Subsample analysis in five agglomeration regions in Indonesia—Jabodetabek, Gerbang Kertosusilo, Kedung Sepur, Mebidangro, and Sarbagita—supports the main study's findings. Among these regions, Jabodetabek is the least efficient in addressing the job-education mismatch among vocational school graduates. Agglomeration plays a significant role in the job-education matching process, particularly for young vocational school graduates majoring in engineering and working in the industrial sector. The author also found that job-education mismatches result in lower wages. Horizontal and real mismatches result in significantly reduced wages, while overeducated workers are unaffected. This study also found that really mismatched workers (those with two types of mismatches) had the greatest wage penalty. This negative effect is most pronounced for female graduates of SMK, recent graduates between the ages of 18 and 24, individuals with specialized skills in engineering, and those employed in the industrial sector.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvis Ronald Sumanti
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisa bagaimana tujuan perusahaan yang berbeda (motive kompensasi, perjanjian utang, target pasar modal dan penghindaran pajak), sebagai akibat dari hubungan kontraktual dengan pemangku kepentingan yang berbeda-beda, mendorong perusahaan untuk menggunakan semua mekanisme yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan mereka. Oleh karena informasi laba telah menjadi informasi penting dalam penentuan kontrak yang dibuat, dihipotesakan bahwa para agen oportunis akan menggunakan semua mekanisme yang tersedia secara bergantian untuk memenuhi tujuan mereka. Dengan menggunakan negara-negara ASEAN+3 sebagai objek penelitian, didapati bahwa angka laba yang dilaporkan merupakan hasil dari pilihan-pilihan oportunis atas metode akuntansi melalui manajemen laba akrual, manajemen aktivitas operasional (manajemen laba riil), serta diseminasi informasi informal untuk mengatur ekspektasi atas laba yang dilaporkan. Secara empiris, mekanismemekanisme tersebut dilakukan secara simultan. Sifat saling mempengaruhi dari mekanisme-mekanisme yang digunakan pada permainan laba memiliki dampak ekonomis seperti yang tercermin pada biaya ekuitas dan biaya utang. Sifat saling mempengaruhi dan dampak ekonomis yang ditimbulkan dimoderasi oleh IFRS maupun perlindungan investor. Penelitian ini menunjukkan bahwa tekanan dari para pemangku kepentingan, reaksi yang ditunjukkan melalui pemilihan mekanisme yang tepat, serta konsekuensi ekonomi yang ditimbulkan merupkan hasil dari keterlibatan perusahaan pada permainan laba. Implikasi teoritis maupun praktis dari penelitian ini terhadap literatur terkait dengan permainan laba ada lima. Penelitian ini berkontribusi terhadap (1) penekanan pada pentingnya mempertimbangkan pendekatan yang integratif dalam penelitian akuntansi untuk mempercepat kemajuan ilmu pengatahuan dalam bidang akuntansi, (2) memperkenalkan istilah permainan laba sebagai istilah yang terbukti secara empiris yang dapat menggabungkan bidang manajemen laba dan manajemen prediksi, (3) untuk menunjukkan keterbatasan mekanisme pengawasan untuk membatasi perilaku oportunis dalam pasar modal, (4) mengkonfirmasi penggunaan Stakeholder-Agency Theory, Game Theory, Path-Dependency dan Path Creation Theory untuk menggambarkan kompleksitas hubungan pertalian dari perusahaan dan dampaknya terhadap proses laporan akuntansi keuangan, dan (5) mengkonfirmasi kurangnya teori yang komprehensif untuk menjelaskan tentang kompleksitas proses akuntansi.
This study aims to analyze how firms multiple objectives (i.e. compensation motive, debt covenant, capital market target and tax avoidance)as a result of contracting relationships with stakeholder induce firm/agent to use all possible mechanisms to achieve their goals. As earnings information has become one of the most important information where many contracts are tied upon, it is hypothesized that the opportunistic firm/agent might use all available mechanisms interchangeably in order to meet the objectives. By focusing on ASEAN+3 countries during 2010-2016, this study finds out that the firms final reported final earnings number is a result of opportunistic choice of the appropriate accounting method through accrual earnings management, management of operational activities (real earnings management), and dissemination of informal information to manage expectation. All of these mechanisms are implemented simultaneously empirically. The interplay of using those mechanisms in earnings game bears economic consequences. It does affect the cost of equity and cost of debt. The interplay of those mechanisms and how it affects investor perception are moderated by IFRS and investor protection. This study describesthe pressures from stakeholders, firms reaction through choosing proper mechanisms to deal with those pressures, the economic consequences encountered as the result of firms involvement in earnings game. The theoretical and practical implications of this study to the literature on earnings games is threefold. This research contributes (1) to the emphasize of the importance of considering integrative approach in accounting researchto speed up the progress in the accounting science, (2) to the introduction of earnings game as an empirically proven inclusive terminology to combine earnings management and management of forecast area of interest, (3) to highlight the inability of the current gatekeeper mechanisms to curb the opportunistic behavior in the capital market.
Depok: Universitas Indonesia, 2018
D2717
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gregorius Irwan Suryanto
Abstrak :
Krisis ekonomi telah menyengsarakan rumah tangga miskin dan hampir miskin. Untuk membantu kelompok rumah tangga tersebut, pemerintah telah meluncurkan suatu sistem perlindungan sosial melalui program bantuan sosial, baik dalam bentuk transfer tunai maupun barang. Terlepas dari kenyataan adanya pelaksanaan program transfer tunai yang tidak tepat sasaran, pemerintah masih memiliki ruang yang cukup luas guna meningkatkan ketepatan sasaran pelaksanaan program, sehingga mampu memberikan manfaat, baik bagi penerima bantuan maupun masyarakat secara luas. Disertasi ini akan, mereklasifikasi Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2008 dengan merinci blok institusi rumah tangga, blok sektor produksi, blok komoditas domestik, dan blok komoditas impor, untuk kemudian melakukan analisis dampak ekonomi secara luas dari pelaksanaan program transfer tunai, dan menggunakan indeks Theil untuk mengamati dampak yang ditimbulkan dari pelaksanaan transfer tunai terhadap ketimpangan pendapatan antar kelompok pendapatan rumah tangga. Hasil perhitungan dan analisa terhadap keempat aspek perekonomian, yaitu pendapatan domestik bruto, pendapatan faktor produksi, pendapatan rumah tangga, dan output sektor komoditi domestik, serta ketiga aspek ketimpangan pendapatan, yaitu indeks Theil, indeks Gini, dan pembagian pendapatan antar kelompok rumah tangga, menunjukkan bahwa transfer tunai yang diberikan tepat sasaran hanya kepada rumah tangga yang membutuhkan, memberi dampak positif terhadap perekonomian secara luas.
Economy crisis has suffering poor and near poor household. To help the mentioned households, government has introduced a social protection system through social assistance program, either in the form of cash as well as in-kind transfers. In spite of the reality that the cash transfer programs are not well targeted, government still has an ample room to improve the precision of the targeted program in order to provide benefits, both for the targeted beneficiaries, further communities. This dissertation will, reclassify Sistem Neraca Sosial Ekonomi Indonesia 2008 with detailing household institution block, production sector block, domestic commodities block, and imported commodity block, further conducting economywide impact analysis for the cash transfer programs, and utilize Theil index to observe the impact of such cash transfers to inequality between income household groups. Calculation and analysis of four economy aspects, i.e. gross domestic product, factor income, household income, and output sectors of domestic commodity, as well as three inequality aspects, i.e. Theil index, Gini index, and distribution of income between household groups, indicating that cash transfers given only for targeted households, give positive impact on the wide economy.
Depok: Universitas Indonesia, 2014
D1860
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yudi Risman Hadiyanto
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan menganalisis pola perdagangan dan diversifkasi ekspor serta pengaruhnya terhadap pertumbuhan dan volatilitas output sektor industri manufaktur di Indonesia periode 2000-2010 menggunakan estimasi Sistem Generalized Methode of Moment (GMM). Diversifikasi ekspor dalam penelitian ini mencakup diversifikasi produk (horizontal dan vertikal) dan pasar ekspor. Hasil penelitian menunjukkan: Pertama, terjadi pergeseran tujuan ekspor produk manufaktur di mana tujuh dari sepuluh negara tujuan ekspor utama, telah mengadakan perjanjian dagang dengan Indonesia. Kedua, terjadi penurunan tingkat diversifikasi pasar dan produk horizontal ekspor, sedangkan diversifikasi produk vertikal ekspor mengalami peningkatan. Ketiga, peningkatan diversifikasi pasar dan produk horizontal ekspor berkorelasi negatif dengan pertumbuhan sedangkan diversifikasi produk ekspor vertikal berkorelasi positif terhadap pertumbuhan output. Keempat, diversifikasi pasar ekspor dapat menurunkan volatilitas output. Kelima, diversifikasi produk horizontal ekspor berkorelasi positif dengan volatilitas output. Hal ini terjadi seiring meningkatnya peranan penerimaan ekspor bagi industri sehingga menurunnya permintaan ekspor akan mengurangi volume ekspor, mengurangi keuntungan produsen, menurunkan harga dan memperburuk Term of Trade (ToT) sehingga volatilitas output meningkat. Terakhir, diversifikasi produk vertikal ekspor tidak berpengaruh terhadap volatilitas output karena lemahnya struktur industri dan integrasi vertikal dalam sektor industri manufaktur Indonesia.
The objective of this research is to analysis the trade and export diversification pattern and its impact on output growth and volatility of manufacturing industry sector in Indonesia on period of 2000-2010 use System Generalized Method of Moment (GMM) estimation. Export diversification consists of export product (horizontal and vertical) and market diversification. The result shows that: First, there were markets shifting of manufacture product which is dominated by seven countries which had having trade agreement with Indonesia. Second, market and product horizontal export diversification were decreasing but product vertical export diversification was increase. Third, export market and horizontal product diversification negatively correlated with output growth whereas vertical product diversification positively correlated. Fourth, export market diversification has negative impact on output volatility. Fifth, diversification of product horizontal export positively correlated with output volatility. Finally, export vertical product diversification has no impact on output volatility because of weakness of vertical integration and manufacturing industry structure.
Depok: Universitas Indonesia, 2013
D1995
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indra
Abstrak :
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menelaah evolusi ketimpangan dan polarisasi pendapatan di Indonesia beserta sumber-sumbernya sepanjang 2002-2012. Di sini, ketimpangan tidak hanya diulas dalam konteks ketimpangan outcome (seperti pendapatan atau pengeluaran), namun juga ketimpangan kesempatan terhadap kebutuhan dasar individu seperti pendidikan, air bersih, dan listrik. Dengan mengadopsi model Esteban dan Ray (2011), penelitian ini juga mengulas bagaimana peranan ketimpangan dan polarisasi pendapatan, fraksionalisasi etnis, serta faktor-faktor sosial ekonomi lainnya terhadap kejadian konflik di Indonesia. Studi ini menemukan bahwa ketimpangan dan polarisasi pengeluaran di Indonesia ditemui cenderung meningkat secara bersamaan sepanjang 2002-2012. Fenomena peningkatan ketimpangan dan polarisasi tidak hanya terjadi pada tingkat nasional, namun juga pada lingkup wilayah desa-kota, kawasan barat-timur, serta kelompok provinsi kaya sumberdaya alam (SDA) dan tidak (nonSDA). Hasil dekomposisi menemukan bahwa wilayah perkotaan lebih berperan terhadap total ketimpangan dan polarisasi pendapatan nasional ketimbang wilayah perdesaan. Pada kelompok kawasan barat-timur dan kelompok provinsi SDA-nonSDA, kontributor terbesar total ketimpangan dan polarisasi adalah kawasan barat dan kelompok provinsi nonSDA. Berdasarkan jenis pengeluaran, pengeluaran non-makanan merupakan penyumbang terbesar total ketimpangan dan polarisasi di Indonesia selama periode 2002-2012. Berbeda dengan ketimpangan dan polarisasi yang cenderung meningkat, ketimpangan kesempatan dasar anak usia sekolah di Indonesia secara umum ditemui cenderung menurun. Fakta positif ini memperlihatkan bahwa tidak hanya peluang atau kesempatan dasar anak usia sekolah di Indonesia yang semakin baik, namun juga distribusi kesempatan tersebut cenderung semakin merata. Berdasarkan sumber-sumbernya, pendidikan kepala keluarga, pendapatan rumah tangga, dan wilayah (desa-kota) merupakan faktor yang berkontribusi dominan terhadap ketimpangan kesempatan di Indonesia sepanjang 2002-2012. Terakhir, studi ini menemukan bahwa tingginya tingkat ketimpangan dan polarisasi pendapatan, serta fraksionalisasi etnis berperan dalam meningkatkan risiko konflik di wilayah provinsi Indonesia. Pada bagian ini juga ditemui bahwa provinsi dengan tingkat kemiskinan dan pengangguran yang tinggi berpotensi mengalami risiko konflik yang tinggi pula. Begitu juga provinsi dengan tingkat populasi yang tinggi berpeluang mengalami konflik yang lebih tinggi. Terakhir, bagian ini menemukan adanya keterkaitan antara konflik dengan beberapa jenis pengeluaran pemerintah daerah, yakni: belanja pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan perlindungan sosial. Di sini ditemui hampir seluruh jenis belanja pemerintah yang
ABSTRACT The aim of this study is to examine the evolution of income inequality and income polarization as well as its decompositions in Indonesia over 2002-2012. Here, inequality is not only viewed as the inequality of outcomes (such as income or expenditure), but it also covers inequality of opportunity in access to set of basics goods and services, such as education, clean water, and electricity. By adopting a behavioral model of conflict from Esteban and Ray (2011), this study also discussed the role of income inequality, income polarization, ethnic fractionalization, as well as socio-economic factors in explaining the incidence of conflict in Indonesia provinces over 2002-2012. The results showed that income inequality and income polarization in Indonesia tended to increase simultaneously throughout 2002-2012. The phenomenon of rising inequalities and polarization did not only occur at the national level, but it also occurs at the regional level, namely rural and urban regions, eastern Indonesia and western Indonesia, and natural resource-rich province and non-natural resource-rich province as well. Results drawn from decomposition found that the role of urban area to the total inequality and polarization was more dominant than that rural area. In the east and west regions, the largest contributor of the total inequality and polarization was the western region. In natural resource-group province, it is found that the non-natural resourcerich province was the largest contributor. Meanwhile, in relation to the type of expenditures, it is found that non-food expenditure was the largest contributor in explaining total inequality and polarization during that period. In contrary, this study found that inequality of opportunity in access to set of basics goods and services tended to decline. This positive fact shows that not only the basic opportunities of school-age children in Indonesia is getting better, but also the distribution of the basic opportunity tends to be uneven. From the decomposition results, this study also found that the education of household head, household income, and region (rural-urban) were dominant factors contributing to inequality of opportunity in Indonesia during 2002-2012. Finally, this study verified that the high degree of income polarization, ethnic fractionalization, and income inequality associated with the high probability of conflict. It also found that socio-economic factors, such as poverty, unemployment, population, and natural resources, as well as several types of local government exependiture appear to be significantly associated with conflict.
2015
D2128
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zaekhan
Abstrak :
Disertasi ini dimotivasi oleh issue energi (ketahanan energi) dan issue lingkungan (perubahan iklim), khususnya inefisiensi energi dan emisi CO2 di industri manufaktur Indonesia. Sektor industri manufaktur harus menerapkan standar yang menitikberatkan upaya efisiensi energi, diversifikasi energi, eco-design dan teknologi rendah karbon. Kebijakan konservasi energi (efisiensi energi) dan diversifikasi energi (pergeseran komposisi energi) yang efektif dan tepat sasaran sangat penting dan modal bagi industri manufaktur berkelanjutan. Target yang akan dicapai adalah eksistensi decoupling, yaitu aktivitas ekonomi industri meningkat, tetapi konsumsi energi bahan bakar fosil dan emisi CO2 menurun. Sehingga, informasi deskripsi dan eksposisi yang jelas tentang eksistensi decoupling sangat diperlukan. Disertasi ini terbagi menjadi 2 studi; Studi pertama, mengidentifikasi eksistensi decoupling di industri manufaktur Indonesia pada periode 2010-2014 melalui pendekatan konsumsi energi dan emisi CO2. Identifikasi dibedakan berdasarkan kategori karakteristik perusahaan (industri) seperti: sub-sektor, intensitas teknologi, regional pulau, ukuran perusahaan, kepemilikan modal, dan ekspor. Identifikasi menggunakan metode indeks decoupling yang dihitung dari komponen-komponen hasil dekomposisi konsumsi energi dan emisi CO2. Metode dekomposisi yang digunakan adalah Logarithmic Mean Divisia Index (LMDI). Aktivitas ekonomi industri merupakan komponen penggerak utama peningkatan konsumsi energi dan emisi CO2, sedangkan intensitas energi dan struktur komposisi energi merupakan komponen penghambat peningkatan konsumsi energi dan emisi CO2. Hasil identifikasi memperlihatkan bahwa tidak terjadi efek decoupling antara konsumsi energi atau emisi CO2 dengan pertumbuhan aktivitas ekonomi industri pada periode 2010-2014, tetapi eksistensi decoupling relatif pada periode 2012-2013 (secara agregat). Eksistensi decoupling relatif di perusahaan dengan intensitas teknologi medium-low dan perusahaan dengan jumlah pekerja 500-999 (disagregasi). Di masa depan, pemerintah hendaknya fokus melakukan perubahan teknologi rendah karbon atau revitalisasi mesin yang tidak efisien pada perusahaan di sub-sektor yang berpotensi decoupling, berteknologi medium atau high, sudah tua, berada di wilayah Jawa-Bali, firm size 200-499, milik PMDN, dan berorientasi ekspor. Studi kedua, melakukan identifikasi determinan potensial (karakteristik perusahaan) atau insentif harga energi yang dapat menjadi faktor pendorong terjadinya decoupling (emisi CO2). Identifikasi melalui pendekatan empiris ekonometri regresi data panel perubahan share konsumsi energi, ketika kondisi pertumbuhan aktivitas ekonomi meningkat atau stagnan. Studi ini menggunakan metode estimasi Seemingly Unrelated Regression (SUR). Pendekatan empiris dimodelkan dengan permintaan faktor input masing-masing sub-energi di industri yang diturunkan dari fungsi biaya translog. Data set bersumber dari data survei statistik industri besar dan menengah Indonesia, yang disiapkan oleh Badan Pusat Statistik Indonesia. Hasil estimasi memperlihatkan bahwa penurunan pajak/harga pada bahan bakar gas akan mendorong terjadinya decoupling. Tidak ada perubahan teknologi seiring berjalannya waktu. Perusahaan dengan teknologi medium, wilayah Jawa-Bali, ukuran perusahaan semakin besar, milik PMA lebih less polluters dan berpotensi mendorong terjadinya decoupling sedangkan perusahaan yang semakin tua dan berorientasi ekspor cenderung menjadi heavy polluters. Pemerintah hendaknya fokus melakukan peralihan teknologi dari medium-low ke medium, memberikan insentif atau penghargaan serta peningkatan kapitalisasi pada perusahaan yang berteknologi medium, dan memberikan subsidi atau insentif pada perusahaan yang cenderung heavy polluters yaitu yang tua, wilayah luar Jawa-Bali, firm size kecil, milik PMDN, dan berorientasi ekspor. ...... This dissertation is motivated by the issue of energy (energy security) and environmental issues (climate change), specifically energy inefficiency and CO2 emissions in the Indonesian manufacturing industry. The manufacturing industry sector must adopt standards that emphasize energy efficiency, energy diversification, eco-design and low-carbon technology efforts. Energy conservation policies (energy efficiency) and energy diversification (shifting energy composition) that are effective and targeted are very important and capital for sustainable manufacturing industries. The target to be achieved is the existence of decoupling, namely increased industrial economic activity, but the consumption of fossil fuel energy and CO2 emissions decreases. Therefore, clear description and exposition information about the existence of decoupling is needed. This dissertation is divided into 2 studies; The first study, identified the existence of decoupling in the Indonesian manufacturing industry in the period 2010-2014 through the approach of energy consumption and CO2 emissions. Identification is distinguished by the category of company (industry) characteristics such as: sub-sectors, technological intensity, regional islands, company size, capital ownership, and exports. Identification uses the decoupling index method which is calculated from the components of decomposition of energy consumption and CO2 emissions. The decomposition method used is the Logarithmic Mean Divisia Index (LMDI). Industrial economic activity is the main driving component of increasing energy consumption and CO2 emissions, while energy intensity and energy composition structure are inhibiting components of increasing energy consumption and CO2 emissions. The identification results show that there is no decoupling effect between energy consumption or CO2 emissions with the growth of industrial economic activity in the period 2010-2014, but the existence of relative decoupling in the 2012-2013 period (in aggregate). The existence of relative decoupling is in companies with medium-low technology intensity and companies with 500-999 (disaggregated) workers. In the future, the government should focus on changing low-carbon technology or revitalizing inefficient machines to companies in sub-sectors that have the potential of decoupling, medium or high technology, are old, in the Java-Bali region, firm size 200-499, owned PMDN, and export-oriented. The second study, identifies potential determinants (company characteristics) or energy price incentives that can be a driving factor for decoupling (CO2 emissions). Identification through an empirical approach to econometric regression of panel data changes the share of energy consumption, when conditions for economic activity increase or stagnate. This study uses the Seemingly Unrelated Regression (SUR) estimation method. The empirical approach is modeled by the demand for input factors of each sub-energy in the industry derived from the translog cost function. The data set is sourced from Indonesian large and medium industry statistical survey data, prepared by the Statistics Indonesia. Estimation results show that a reduction in taxes / prices on natural gas will encourage decoupling. There are no technological changes over time. Companies with medium technology, the Java-Bali region, the size of the company is bigger, owned by PMA, less polluters and has the potential to encourage decoupling while companies that are older and export-oriented tend to become heavy polluters. The government should focus on transferring technology from medium-low to medium, providing incentives or rewards as well as increasing capitalization in medium-tech companies, and providing subsidies or incentives for companies that tend to be heavy polluters, namely the old, regions outside Java-Bali, small firm size, belongs to PMDN, and is export-oriented.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2019
D2731
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ambarsari Dwi Cahyani
Abstrak :
Indonesia telah berkomitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan ke-7 untuk memperbaiki akses energi modern yang dapat dijangkau, layak, dan berkelanjutan untuk semua pihak. Pemerintah telah melakukan banyak perbaikan akses listrik dan liquid petroleum gas (LPG). Tanpa kedua jenis energi modern tersebut, rumah tangga menggunakan kayu bakar atau biomas yang menghasilkan dampak negatif. Perbaikan pasokan listrik dan LPG yang cukup masif seharusnya menurunkan ketimpangan penggunaan energi modern, tetapi ketimpangan energi meningkat di beberapa kelompok populasi. Ketimpangan penggunaan energi dipengaruhi juga oleh faktor permintaan. Pembahasan ketimpangan energi modern adalah penting karena mencerminkan ketimpangan ekonomi dan pemenuhan kebutuhan yang esensial untuk standard kehidupan yang lebih baik. Studi ini terdiri dari dua bagian. Bagian pertama mengukur ketimpangan penggunaan listrik dan LPG dengan menggunakan data Susenas. Metode yang digunakan adalah pengukuran indeks Theil dan Gini. Indeks Theil dihitung secara statik dan dinamik. Pengukuran ketimpangan mempertimbangkan dimensi spasial dan tingkat pendapatan. Indeks menunjukkan turunnya ketimpangan penggunaan energi modern secara nasional dan pada beberapa dimensi kelompok populasi, tetapi ketimpangan meningkat di perkotaan, di kelompok pendapatan tinggi, serta di beberapa provinsi. Bagian kedua menjawab pertanyaan apakah faktor-faktor permintaan berpengaruh pada distribusi penggunaan energi, yang dapat menjelaskan ketimpangannya. Serta, apakah pengaruhnya berbeda antara di perkotaan dan pedesaan. Pengukuran ini dipisah untuk masing-masing energi. Estimasi distribusi penggunaan listrik menggunakan Quantile Regression dan OLS. Estimasi distribusi penggunaan LPG menggunakan Quantile Count Regression dan Negative Binomial Regression. Estimasi pada model listrik menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi distribusi penggunaan listrik adalah pendapatan, harga listrik, gender, tingkat pendidikan, dan status bekerja, jumlah anggota usia lanjut, status rumah, peralatan listrik, dan daya terpasang. Faktor yang pengaruhnya berbeda antara di perkotaan dan di pedesaan adalah pendapatan, tingkat pendidikan, status bekerja, dan status rumah. Sementara itu, estimasi pada model LPG menunjukkan bahwa faktor yang mempengaruhi distribusi penggunaan LPG adalah pendapatan, harga LPG, gender, tingkat pendidikan, pekerjaan dan status rumah. Semua faktor tersebut berkorelasi secara berbeda antara perkotaan dan pedesaan. Studi ini berimplikasi pada kebijakan untuk mengatasi kekurangan energi di satu sisi, tetapi mendorong penghematan energi di sisi lain. Dalam hal kekurangan energi, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk mengenali kelompok yang rentan menjadi miskin-energi. Di antaranya adalah rumah tangga berpenghasilan rendah, berpendidikan rendah, kepala rumah tangga wanita, dan pekerja mandiri di pedesaan. Program listrik semacam tenaga surya hemat energi perlu dilanjutkan di samping mendorong penggunaan energi lokal. Dalam hal energi memasak, program penggunaan tungku bersih murah perlu dipertimbangkan untuk dijalankan kembali. Di samping itu, peningkatan rasio elektrifikasi serta distribusi LPG perlu terus didorong terutama di daerah terpencil, pedesaan, dan wilayah timur Indonesia. Dalam hal penghematan energi, pendidikan tentang pentingnya hemat energi dan dampak eksternalitas perlu menyasar pada rumah tangga pengguna listrik yang tinggi, yaitu rumah tangga dengan tingkat pendidikan menengah dan universitas, terutama di perkotaan pada provinsi-provinsi di Sumatra, Jakarta, dan Kalimantan. ......Indonesia has committed to achieving Sustainable Development Goal 7 to improve access to modern energy that is affordable, feasible, and sustainable for all. The government has made many improvements in accessing electricity and liquid petroleum gas (LPG). Without these types of modern energy, households use firewood or biomass, resulting in negative impacts. Massive improvements in electricity supply and LPG should reduce inequality in modern energy use, but energy inequality increases in some population groups. Demand factors also influence inequality in energy use. Addressing modern energy inequality is important because it reflects economic inequality and the fulfillment of essential needs for a better standard of living. This study consists of two parts. The first part measures the inequality of electricity and LPG use using Susenas data. The methods are the decomposable Theil and Gini indexes. Theil index is calculated statically and dynamically. The inequality measurement considers the spatial dimensions and income levels. The index shows a decrease in inequality in modern energy usage nationally and some population groups, but inequality increases in urban areas, high-income groups, and some provinces. The second part addresses whether demand factors affect the distribution of modern energy usage, explaining inequality. And whether the effect is different between urban and rural areas. The estimate is separated for each energy. The electricity usage model is estimated using Quantile Regression and OLS. The LPG model is estimated using Quantile Count Regression and Negative Binomial Regression. Estimating the electricity model, factors influencing the electricity usage distribution are income, electricity price, gender, education level, occupation, number of elderlies, homeownership, electric appliances, and installed power. The factors that affect urban and rural areas are income, education level, work status, and home status. Meanwhile, the LPG model's estimation shows that the factors influencing the LPG usage distribution are income, LPG price, gender, education level, occupation, and home status. All of these factors correlate differently between urban and rural areas. This study has implications for policies to address energy insufficiency on the one hand but encourages energy savings on the other. In terms of energy insufficiency, the government needs to consider identifying groups vulnerable to being energy-poor. Among them are low-income, low-educated households, female household heads, and rural self-employed workers. Electricity programs such as energy-efficient solar power need to be continued and encourage the use of local energy. The program for using cheap, clean stoves needs to be considered for re-implementation in cooking energy. In addition, the increase in the electrification ratio and LPG distribution needs to be encouraged, especially in remote, rural, and eastern Indonesia. In terms of energy saving, education on the importance of energy-saving and the impact of externalities needs to target high electricity user households, namely households with secondary and university education levels, especially in urban areas in the provinces of Sumatra, Jakarta, and Kalimantan.
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Arista Sony
Abstrak :
Kesepakatan global terhadap pemanasan global mendorong energi terbarukan dalam transisi energi. Namun, sepuluh negara ASEAN sangat bergantung pada 80% energi bahan bakar fosil untuk pertumbuhan ekonomi mereka, sehingga transisi ini menjadi tantangan karena menghasilkan 4,7% CO2 emisi terhadap emisi global pada tahun 2020. Keamanan energi, keadilan energi, demokrasi energi, dan kewarganegaraan energi adalah faktor-faktor yang mendukung transisi energi yang sedang berkembang pada bidang gerakan sosial dan kemiskinan energi. Penelitian mixed-methods-sequential explanatory ini mengkaji transisi energi dan pembangunan berkelanjutan dengan menggunakan metodologi penelitian sekuensial, baik kuantitatif maupun kualitatif. Pertama, PLS-SEM kuantitatif yang menggunakan data tahun 2000–2020 menentukan dampak transisi energi terhadap pembangunan berkelanjutan. Hasilnya menunjukkan bahwa demokrasi energi, keamanan energi, transisi energi, dan pertumbuhan ramah lingkungan berdampak pada pembangunan berkelanjutan. Tetapi, kewarganegaraan energi tidak berdampak pada pembangunan berkelanjutan namun memberikan ke arah positif. Temuan menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi hijau dan empat faktor lainnya membantu sepuluh negara ASEAN potential dalam menurunkan emisi CO2 mereka sebesar 0,764 (76,4%), dari 1,536 MtCO2 menjadi 362 MtCO2, dengan menganjurkan demokratisasi dominasi bahan bakar fosil dalam demokrasi energi, beralih ke energi terbarukan dalam keamanan energi, dan menekankan pentingnya untuk mereka melakukan transisi energi. Kedua, analisis isi kualitatif mengidentifikasi enam kategori mengenai fenomena transisi energi untuk menjelaskan temuan kuantitatif. Keenam kategori tersebut adalah pembangunan ekonomi saat ini, tantangan energi terbarukan (regulasi, investasi, struktur pasar, dan teknologi), mendorong pelanggan, potensi transisi energi, mengukur pertumbuhan ramah lingkungan, dan dampak NDC terhadap peristiwa bencana dan pembangunan berkelanjutan. Keamanan energi dan pembangunan ekonomi saling terkait—tingginya permintaan energi bahan bakar fosil dan emisi CO2 dari ekspansi ekonomi baru-baru ini, menyebabkan bencana besar. Transisi energi memiliki kendala pada regulasi, pembiayaan dan investasi, struktur pasar, dan sikap individu terhadap akan energi bersih, energi terbarukan, dan produk ramah lingkungan. Studi ini merekomendasikan untuk fokus pada faktor-faktor penting dalam demokrasi energi, keamanan energi, dan kewarganegaraan energi sebagai panduan ilmiah untuk kebijakan energi mereka dan mempercepat transisi energi melalui energi terbarukan dalam mencapai pembangunan berkelanjutan. ......A global warming agreement encourages renewable energy in the energy transition. However, ten ASEAN countries depend on 80% fossil fuel energy for their economic growth, making this transition challenging due to emitting 4.7% of global CO2 in 2020. Energy security, justice, democracy, and citizenship are the factors that support the emerging energy transition field in social movements and energy poverty. This mixed-methods research-sequential explanatory study examines the energy transition and sustainable development using sequential research methodology, both quantitative and qualitative. First, quantitative PLS-SEM using 2000–2020 data determines the impact of the energy transition on sustainable development. The result demonstrated that energy democracy, energy security, energy transition, and green growth impact sustainable development. Unfortunately, energy citizenship does not impact sustainable development but in positive direction. The findings indicate that green growth and four other factors helped ten ASEAN countries lower their CO2 emissions of 0.764 (76.4%), from 1.536 MtCO2 to 362 MtCO2, by advocating the democratization of fossil fuel dominance in energy democracy, shifting to renewable energy in energy security, and emphasizing the prominence of their energy transition. Second, qualitative content analysis identified six categories regarding the energy transition phenomenon to explain the quantitative findings. The six categories are current economic development, renewable energy challenges (regulation, investment, market structures, and technology), encouraging customers, energy transition potential, measuring green growth, and the NDC's impact on catastrophic events and sustainable development. Energy security and economic development were linked—high-demand fossil fuel energy and CO2 emissions from recent economic expansion cause catastrophic calamities. The energy transition has obstacles with regulations, financing and investment, market structures, and individual attitudes toward clean energy, renewable energy, and eco-friendly products. This study recommends focusing on the crucial factors of energy democracy, energy security, and energy citizenship as the scientific guidance for their energy policy and expediting the energy transition through renewable energy in achieveing their sustainable development.
Jakarta: Sekolah Kajian dan Strategik Global Universities Indonesia, 2024
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library