Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 3 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ellen Meianzi Yasak
Abstrak :
Perempuan yang hidup dalam sistem patriarki, seperti di Indonesia, berjuang untuk membuktikan bahwa dirinya memiliki kekuatan, mampu bersaing di kancah publik, dan bukan warga negara kelas dua. Idealnya, kebijakan yang terkait dengan hak warga negara harus menempatkan perempuan pada posisi yang setara dengan laki-laki. Diskriminasi berbasis gender di tempat kerja, dalam  upah, promosi, fasilitas, membuat pekerja perempuan di Indonesia lebih rentan dan lebih mungkin  dieksploitasi dibandingkan rekan kerja laki-laki. Sejak dulu jumlah jurnalis laki-laki selalu lebih banyak dibandingkan pewarta perempuan. Apalagi Jumlah mereka yang berprofesi sebagai pewarta foto, nya lebih kecil lagi. Berprofesi sebagai pewarta memiliki tantangan dan risiko tinggi, terlebih untuk perempuan. Mereka harus bersaing dengan pewarta laki-laki untuk mendapat berita secara profesional. Perbedaan pengalaman, identitas gender, struktur patriarki yang dikukuhkan oleh maskulinitas berimplikasi pada karya perempuan fotografer. Pierre Bourdieu, dalam bukunya Masculine Domination menyampaikan bahwa sebagai pria atau wanita, dalam objek yang kita coba pahami, sebetulnya kita telah mewujudkan struktur historis  tatanan maskulin dalam bentuk skema persepsi dan apresiasi yang tidak disadari.  Penelitian ini menelaah sumber semiotik yang dibentuk dari habitus perempuan pewarta foto, yang berimplikasi pada pilihan bahasa visual mereka. Metode penelitian yang digunakan adalah semiotika sosial multimodal. Temuan penelitian ini yaitu (1) sumber semiotik yang dimiliki perempuan pewarta foto tidak bebas, dan ditentukan oleh habitus; (2) media menjadi sumber semiotik perempuan pewarta foto dalam memaknai dominasi maskulin; (3) dominasi wacana maskulin dibentuk dari konstruksi, kekerasan, dan kekuatan simbolik; dan (4) konteks situasi dan budaya pada konsep semiotika sosial Halliday merupakan perwujudan habitus dalam teori Bourdieu. ......Women who live in a patriarchal system like in Indonesia, struggle to prove that they have power, are able to compete in the public arena, and are not second-class citizens. Ideally, policies related to the rights of male citizens should place women in an equal position with men. Gender-based discrimination in the workplace, in terms of pay, promotion, benefits, makes female workers in Indonesia more vulnerable and more likely to be exploited than their male counterparts. Since ancient times, there have always been more male journalists than female journalists. Moreover, the number of women who work as photojournalists is even less. Working as a journalist has high challenges and risks, especially for women. They have to compete with male journalists, to get news in a professional manner. Differences in experience, gender identity, patriarchal structures that are reinforced by masculinity are embodied in the work of female photographers. Pierre Bourdieu, as stated in his book Masculine Domination said that as men or women, in the objects we are trying to understand, we have actually materialized the historical structure of the masculine order in the form of unconscious schemes of perception and appreciation. In this research, I examine semiotic sources formed from the habitus of female photojournalists, which has an implicit effect on their choice of visual language. The research method used is Multimodality Social Semiotics. The findings of this study are (1) the source of semiotics owned by female photojournalists is not independent, and is determined by habitus; (2) the media is a semiotic source of female photojournalists in interpreting Masculine Domination; (3) Masculine Discourse Domination is formed from construction, violence, and symbolic power; (4) The context of situation and culture in Halliday's concept of Social Semiotics, is the embodiment of habitus in Bourdieu's theory.

Depok: Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuliyanto Budi Setiawan
Abstrak :
Studi ini mengeksplorasi ideologi dominan yang melatarbelakangi penyebab pelabelan-pelabelan atas janda di media televisi (khususnya tayangan FTV ‘Kisah Nyata’ Indosiar); sekaligus mencari data tentang konsumsi teks serta praksis sosial yang terkait dengan pelabelan-pelabelan janda di media televisi. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, peneliti menggunakan pendekatan wacana kritis dan memilih pemikiran Howart S. Becker mengenai labeling sebagai pemikiran utama, dipadukan dengan perspektif feminis sosialis dan Standpoint Theory. Paradigma dalam penelitian ini sendiri berupa paradigma kritis. Adapun hasil penelitian dalam studi ini yaitu: berdasarkan hasil temuan Analisis Wacana Kritis di level mikro menunjukkan adanya dua klasifikasi besar pelabelan, yakni pertama, adanya label identitas yang melekat (bahwa janda oleh media, selalu dilekatkan dengan karakter jahat/negatif yang tentunya berbeda dengan perempuan-perempuan pada umumnya), dan kedua, janda digambarkan sebagai sosok yang patut disalahkan. Selanjutnya, produksi teks level meso menunjukkan bahwa koordinator FTV sama sekali tidak memiliki kesadaran gender dan menilai janda memang berperilaku ‘miring’ dalam kehidupan sehari-hari. Sedangkan hasil temuan praktik konsumsi teks di level meso, semua informan ternyata tetap menonton tayangan sarat label atas janda tersebut, bahkan ada yang menikmatinya. Sementara itu, untuk temuan di level makro menunjukkan kuatnya praktik patriarki dan kapitalisme dalam berbagai konteks kehidupan. Adapun dua kebaruan yang ditawarkan dalam studi ini, yakni pertama, belum ada teori media yang memadai dan mampu menjawab fenomena komunikasi yang sedang peneliti kaji, sehingga peneliti menarik teori labeling Becker dari ranah sosiologi ke ranah komunikasi (media studies), karena teori ini mampu dan memadai dalam menjelaskan adanya pelabelan atas kaum minoritas (janda) di konten media massa. Hal ini didukung dengan studi-studi terdahulu yang biasa menggunakan pemikiran labeling untuk penelitian komunikasi. Kedua, Minority Labeling Theory sebagai perpaduan konsep mengenai pemikiran labeling dari Becker, dipadukan dengan perspektif feminis sosialis dan Standpoint Theory. ......This study explored about dominant ideology that underlying the caused of labels toward janda on television (especially Film Television (FTV) Programme ‘Kisah Nyata’ Indosiar); and also searched data about text consumption dan social praxis that related with labeling toward janda on television. Therefore, to answer it, the researcher use critical discourse analysis and Howard S. Becker’s concept about labeling as background of way of thinking, then that was combined with sosialis feminist perspective and Standpoint Theory. This research paradigm is critical paradigm. Thus, this research result were: based on finding on micro level of critical discourse analysis stated that there are two major classified of labeling, the first, there are identity labels which attached (janda always be labeled by media as bad character/negative that different from another women’s character that has not janda status); the second, janda is depicted as a figure who deserves the blame. Beside that, on meso level analysis shown that FTV Program Production Coordinator have no gender sensitivity at all, he also thinks that janda was bad person on reality. Whereas, consumption practice on level meso found that all of the informants still watch every labeling content of janda on FTV, even there is informant who enjoy to watch it. Meanwhile, the findings at the macro level show the strong practice of patriarchy and capitalism in various contexts of life. There are two novelties on this study, the first, there are not yet media theory that capable to answer communication phenomena which the researcher did, so that the researcher picked Labeling Theory (Becker) from sosyology field to communication field (media studies), because this theory capable to explain labeling of minority (janda) on media content. Based on the prior studies, there are several research about labeling on communication field. The second, this research had resynthesis Minority Labeling Theory as fusion of Becker’s labeling and feminist socialist perspective and also Standpoint Theory.
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Listiorini
Abstrak :
Pemberitaan mengenai keragaman gender dan seksualitas non-normatif yang disebut “LGBT” oleh media di Indonesia pasca Reformasi menjadikan kelompok tersebut makin terpinggirkan. Pemberitaan media menjadikan “LGBT” sebagai folk’s devil atau setan masyarakat yang dianggap berbahaya bagi kehidupan bangsa dan negara. Pemberitaan di media massa tentang “LGBT” seolah menjadi kebenaran pengetahuan dan menjadikannya kepanikan moral. Media massa membangun sebuah rezim kebenaran informasi yang mendukung, menguatkan serta menyebarluaskan stigmatisasi tentang “LGBT”, menjadikan mereka sebagai hal yang berbahaya di masyarakat dengan berpijak pada moral agama yang menguat pasca rezim Orde Baru. Penelitian ini menggunakan paradigma kritis dan teori-teori diskursus Foucauldian yang mengedepankan kuasa dan pengetahuan sebagai pisau analisis. Metode penelitian dilakukan dengan metode arkeologi media yang bersifat analisis multilevel di tingkat mikro, meso dan makro. Metode ini berangkat dari pemikiran Foucault tentang tiga hal yang berkait satu sama lain yaitu pengetahuan, relasi kuasa dan diskursus seksualitas. Hasil temuan penelitian ini menunjukkan bahwa pertama, rezim kebenaran media yang diproduksi dalami kuasa dan pengetahuan mengenai diskursus “LGBT” yang menyebabkan kepanikan moral adalah rezim kebenaran media homofobik. Rezim kebenaran ini dibangun dari tiga peminggiran yang dilakukan melalui kuasa dan pengetahuan media, yaitu peminggiran secara ekonomi, peminggiran secara politik dan peminggiran secara sosial budaya; kedua, kepanikan moral dibentuk melalui diskursus “LGBT” dalam pemberitaan daring maupun gelar wicara melalui proses penulisan jurnalistik dan proses produksi tayangan gelar wicara. Diskursus “LGBT” muncul melalui ketidakberimbangan narasumber dan ketidaklengkapan berita yang cenderung satu sisi yang akhirnya melenyapkan suara individu maupun kelompok minoritas gender dan seksual; melalui sentimen-sentimen terhadap kelompok tersebut dengan marginalisasi, subordinasi, stereotype, kekerasan, menekankan isu seksualitas, memberikan stigma dan menguatkan isu mengenai peraturan. Kuasa dan pengetahuan di media daring dibentuk melalui peran editor dan jurnalis, sedangkan di gelar wicara dibentuk melalui peran moderator yang memoderasi dialog; ketiga, bentuk-bentuk relasi kuasa dan pengetahuan tentang diskursus “LGBT” di pemberitaan media daring dan gelar wicara terletak pada rutinitas media yang melahirkan tindakan dan pengetahuan jurnalis. Tindakan dan pengetahuan jurnalis bersumber dari berbagai faktor seperti rutinitas media dan perspektif jurnalis. Selain itu terdapat kuasa lain yang merepresi jurnalis berasal dari rezim moral yang terbentuk dari tiga rezim yaitu rezim heteronormatif, rezim Islam konservatif dan rezim pembungkaman pengetahuan seksualitas ; keempat adalah rezim kebenaran media tentang diskursus “LGBT” di pemberitaan media daring dan gelar wicara diproduksi melalui kepanikan moral untuk melanggengkan ideologi heteronormatif. Media menjadi semacam lembaga yang menjadi perpanjangan tangan negara, dijadikan sebagai salah satu moral entrepreneur yang mendisiplinkan seksualitas warganya. Kepanikan moral yang homofobik, menyebabkan rasa takut, terancam dan menganggap “LGBT adalah bahaya menjadi salah satu metode kekuasaan heteronormatif untuk melakukan penundukan seksualitas manusia: tubuh yang patuh. Mass media reporting on gender diversity and non-normative sexual identities community, dubbed by the media in Indonesia as LGBT, after the Reform has been further marginalizing the LGBT community. The mass media has been portraying the LGBT community as the folk devil that is deemed as a threat to the state. The news of LGBT on the mass media is seen as the true knowledge and causes moral panic. The mass media has established a regime of truth, comprising all information that supports, strengthens, and disseminates stigmas towards LGBT; making them a danger to society that holds fast to religious values which continue to grow stronger after the New Order. This study used critical paradigms and Foucauldian discourse theories that highlight power and knowledge as analytical knives. This study used a media-archaeological method which covers multilevel analysis at micro-, meso-, and macrolevel. This method is based on Foucault’s view of three interrelated things, namely knowledge, power relation, and discourse on sexuality. The findings of this study show that first, the regime of truth produced by media in terms of power and knowledge about LGBT that causes moral panic is homophobic; and second, moral panic is generated through the discourse on LGBT in the online news reporting or talk shows production. Discourse on LGBT emerges from imbalanced composition of spokespersons and one-sided news reporting which exclude individuals of gender and sexual minority community. Furthermore, sentiments and stigmas are visibly present in the content of the news. Power and knowledge in the online media are produced through editors and journalists, whereas in talk shows, they are shaped by the role of moderator who moderates the dialogue between the participants. The third finding is that forms of power relation and knowledge regarding discourse on LGBT in online media news and talk shows are established in the media’s routine which produces journalists’ knowledge and actions. Journalists’ knowledge and actions are heavily influenced by political, social, and cultural context as well as journalists’ lived experience. The fourth finding is that the media’s regime of truth on the discourse of LGBT in the online media news and talk shows is produced through moral panic to promote heteronormative ideology. The media has become a form of state’s think tank, that serves as a moral entrepreneur who is in charge of enforcing discipline on people’s sexuality. Homophobic moral panic that has induced fear, the feeling of being threatened, and view that LGBT is a danger are some of the methods used by heteronormative power to subjugate human’s sexuality: an obedient body
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library