Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 23 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fenandri Fadillah Fedrizal
"Latar Belakang: Oklusi kronik total (OKT) adalah lesi koroner kronik yang memiliki morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Salah satu proses yang terjadi pada OKT adalah inflamasi, yang berperan penting dalam perkembangan aterosklerosis. Beberapa faktor risiko penyakit kardiovaskular diketahui meningkatkan proses inflamasi. Rasio neutrofil limfosit (RNL) baru-baru ini menunjukkan potensinya sebagai salah satu biomarker inflamasi yang memiliki berbagai fungsi, baik diagnosis maupun prognosis, pada pasien dengan PJK.
Tujuan: Mengetahui hubungan RNL, usia, jenis kelamin, diabetes melitus, hipertensi, hiperlipidemia, riwayat penggunaan antiplatelet maupun statin, riwayat keluarga dengan PJK dan merokok terhadap kejadian OKT.
Metode: Studi potong lintang yang dilakukan pada Oktober 2020 – April 2021 ini behasil mendapatkan 98 pasien IMA-EST yang menjalani prosedur angiografi di RSCM pada rentang 2015-2018 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Karakteristik klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium diekstrak dari data rekam medis. Data tersebut dianalisis secara bivariat dengan menggunakan uji Chi-square atau uji Fischer. Variabel dengan nilai p < 0,25 dilibatkan dalam analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik.
Hasil: Proporsi OKT pada pasien IMA-EST di RSCM pada periode 2015-2018 adalah 77,6%. Analisis bivariat mendapatkan bahwa jenis kelamin, riwayat merokok, dan RNL ≥ 6,42 adalah variabel yang signifikan dan analisis multivariat mendapatkan faktor prediktor independen terhadap kejadian OKT pada pasien IMA-EST. adalah merokok (p= 0,006, OR;IK95% 7,391;1,791-30,508) dan RNL ≥ 6,42 (p<0,001, OR; IK95% 11,157;3,250-38,303). Analisis ROC menunjukkan bahwa RNL ≥ 6,42 memiliki sensitivitas sebesar 73,7 dan spesifisitas sebesar 77,3 dengan AUC 0,888 untuk memprediksi kejadian OKT pada pasien IMA-EST.
Kesimpulan: Faktor-faktor yang memengaruhi kejadian OKT pada pasien IMA-EST secara signifikan adalah RNL ≥ 6,42 dan merokok.

Background: Chronic total occlusion (CTO) is a chronic lesion that has significant morbidity and mortality. Inflammation plays a key role in the development of atherosclerosis. Several risk factors for cardiovascular disease’s are known to increase inflammatory process. The neutrophil lymphocyte ratio (NLR) has recently shown its potential as a inflammation biomarker that has multiple functions, both diagnostic and prognostic, in patients with coronary heart disease.
Objective: To determine the relationship between NLR values, age, gender, diabetes mellitus, hypertension, hyperlipidemia, history of antiplatelet and statin use, family history of CHD and smoking on the incidence of total chronic occlusion.
Methods: A cross-sectional study was conducted in October 2020 – April 2021 that obtained 98 STEMI patients who underwent angiography procedures at the CMGH during 2015-2018 who met the inclusion and exclusion criteria. Clinical characteristics and laboratory results were extracted from medical record data. The data were analyzed bivariately using the Chi-square test or Fischer's test. Variables with p value < 0.25 were included in multivariate analysis using logistic regression
Results: The proportion of chronic total occlusion in STEMI patients at the RSCM in the 2015-2018 period was 77.6%. Bivariate analysis found that gender, smoking history, and RNL ≥ 6.42 were significant variables and multivariate analysis found independent predictors of CTO in STEMI patients. were smoking (p= 0.006, OR; CI95% 7.391; 1.791-30.508) and NLR 6.42 (p<0.001, OR; CI95% 11.157; 3.250-38.303). ROC analysis showed that NLR ≥ 6.42 had a sensitivity of 73.7 and specificity of 77.3 with an AUC of 0.888 for predicting the incidence of CTO in STEMI patients.
Conclusion: Factors that significantly influenced occurence of CTO in STEMI patients were NLR ≥ 6.42 and smoking.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabrina Munggarani Yusuf
"Latar belakang: Tingginya insidensi penyakit saluran cerna, bilier, dan pankreas pada pasien usia lanjut membuat kebutuhan endoskopi tinggi. Komplikasi kardiopulmoner intra- dan pascatindakan endoskopi pada pasien usia lanjut lebih tinggi dari kelompok usia lebih muda. Penilaian faktor-faktor risiko komplikasi penting untuk menimbang risiko dan manfaat endoskopi pada pasien usia lanjut. Tujuan: Mengetahui insidensi dan faktor-faktor yang memengaruhi komplikasi kardiopulmoner intra- dan pascatindakan endoskopi pada pasien usia lanjut. Metode: Studi kohort prospektif dilakukan terhadap subjek berusia ≥60 tahun yang menjalani endoskopi di PESC RSUPN-CM sejak Agustus-Oktober 2023. Dilakukan analisis bivariat antara usia, komorbiditas, kelas ASA, status nutrisi, status fungsional, durasi tindakan, jenis sedasi, jenis tindakan, dan tingkat kompleksitas tindakan terhadap komplikasi kardiopulmoner intra- dan pascatindakan endoskopi. Selanjutnya, analisis multivariat dilakukan untuk mengetahui faktor risiko independen. Hasil: Dari 194 subjek, sebanyak 49,52% subjek mengalami komplikasi kardiopulmoner. Komplikasi tersering adalah takikardia (23,20%), hipoksemia (15,03%), dan hipotensi (6,20%). Hasil analisis multivariat menemukan bahwa tingkat kompleksitas tindakan ASGE kelas ≥3 merupakan faktor independen dengan RR 1,505 (IK 95% 1,039 – 2,179), p=0,03; sedangkan sedasi ringan-sedang memiliki RR 0,668 (IK 95% 0,458 – 0,975), p=0,037 terhadap komplikasi kardiopulmoner intra- dan pascatindakan endoskopi pada pasien usia lanjut. Kesimpulan: Insidensi komplikasi kardiopulmoner intra- dan pascatindakan endoskopi pada pasien usia lanjut adalah 49,52%. Tingkat kompleksitas tindakan tinggi menjadi faktor independen, sedangkan sedasi ringan-sedang menurunkan risiko komplikasi kardiopulmoner intra- dan pascatindakan endoskopi. Sementara itu, usia lanjut, komorbiditas banyak, kelas ASA buruk, durasi tindakan lama, status nutrisi buruk, status fungsional buruk, dan jenis tindakan tidak berpengaruh.

Background/Aims: High incidence of gastrointestinal and pancreaticobiliary diseases in elderly prompts high need of endoscopy. Intra- and post-endoscopy cardiopulmonary complications were higher in elderly compared to younger population. This study aimed to investigate the incidence and affecting factors of intra- and post-endoscopy cardiopulmonary complications in elderly population. Methods: This prospective cohort study was conducted in endoscopy subjects aged ≥60 years at Gastrointestinal Endoscopy Center in Cipto Mangunkusumo National General Hospital, Jakarta, Indonesia from August-October 2023. Results: Among 194 subjects, 49.52% experienced cardiopulmonary complications. The most common complications included tachycardia (23.20%), hypoxemia (15.03%), and hypotension (6.20%). Multivariate analysis revealed that complexity of procedure ASGE level ≥ 3 (RR 1.505 [95% CI 1.039 – 2.179]; p=0.03) and mild-moderate sedation (RR 0.668 [95% CI 0.458 – 0.975]; p=0.037) were significantly related to intra- and post-endoscopy cardiopulmonary complications. Conclusion: The incidence of intra- and post-endoscopy cardiopulmonary complications in elderly in Indonesia is high. Complexity of procedure ASGE level ≥ 3 is an independent factor, whereas mild-moderate sedation reduces the risk of intra- and post-endoscopy cardiopulmonary complications. On the contrary, old age, multicomorbidities, high ASA class, long duration of procedure, poor nutritional status, poor functional status, and type of procedure have no impacts."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Faisal Prananda
"Latar belakang: Inflammatory Bowel Disease (IBD) adalah penyakit inflamasi kronik pada saluran cerna yang terdiri atas kolitis ulseratif (KU) dan penyakit Crohn (PC). Angka kejadian IBD meningkat di dunia dengan karakteristik yang berbeda-beda di setiap negara. IL-17 merupakan sitokin pro-inflamasi kuat yang berperan pada IBD. Belum ada penelitian yang menilai kadar interleukin 17 (IL-17) serum pada pasien IBD di Indonesia yang dapat berperan pada patogenesis penyakit dan menjadi pilihan terapi baru pada IBD. Tujuan: Mengetahui kadar IL-17 serum pada penderita kolitis ulseratif (KU), penyakit Crohn (PC), dan populasi normal. Metode: Desain penelitian cross-sectional dilakukan di RS Cipto Mangunkusumo selama periode April 2022 sampai April 2023. Kriteria inklusi adalah pasien dewasa yang terdiagnosis IBD serta pasien sehat yang tidak memiliki keluhan gastrointestinal, riwayat penyakit autoimun, dan keganasan. Pengambilan data dilakukan secara konsekutif. Kadar IL-17 serum diukur dengan metode pemeriksaan ELISA. Uji statistik Mann-Whitney dan regresi linier dilakukan menggunakan aplikasi SPSS. Hasil: Jumlah subjek penelitian ini adalah 125 orang, terdiri atas 93 pasien IBD dan 32 kelompok normal. Kadar IL-17 serum adalah 4,13 (3,19-5,14); 4,30 (3,59-5,14); dan 3,40 (2,97-4,01) pg/mL untuk kelompok KU, PC, dan kelompok normal dengan perbedaan signifikan (p=0,004). Tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok KU dan PC. Analisis multivariat menunjukkan aktivitas penyakit (p=0,010) bermakna memengaruhi kadar IL-17 seurm pada KU. Kesimpulan: Terdapat perbedaan kadar IL-17 serum secara signifikan antara kelompok IBD dan kelompok normal, namun tidak ada perbedaan signifikan antara kelompok KU dan PC.

Background: The incidence of IBD is increasing worldwide, with different characteristics in each country. IL-17 is a strong pro-inflammatory cytokine that plays a role in IBD. No studies have assessed serum interleukin 17 (IL-17) levels in IBD patients in Indonesia, which can determine the pathogenesis and play a role in proposed therapeutic modalities for IBD. Aim: To determine the difference in serum IL-17 levels in patients with IBD. Method: We conducted a cross-sectional study at Cipto Mangunkusumo National General Hospital from April 2022 to April 2023. The inclusion criteria were adult patients diagnosed with IBD and a healthy population who did not have gastrointestinal complaints or a history of autoimmune diseases and malignancies. Data collection was carried out sequentially. Serum IL-17 levels were assessed using ELISA. Mann-Whitney tests and linear regression were carried out using the SPSS application. Result: The total number of subjects in this study was 125, consisting of 93 IBD patients and 32 healthy groups. Serum IL-17 levels were 4.13 (3.19-5.14), 4.30 (3.59-5.14), and 3.40 (2.97- 4.01) pg/mL for the UC, CD, and healthy groups (p=0.004). There was no difference of serum IL-17 levels between UC and CD. Multivariate analysis showed that disease activity (p=0.010) influenced serum IL-17 levels in UC. Conclusion: There was a significant difference in the median value of serum IL-17 levels between IBD and healthy groups, but no difference between UC and CD."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Gemiana
"Latar Belakang : Efusi pleura merupakan salah satu komplikasi dari kanker atau penyakit keganasan yang sering terjadi. Efusi pleura maligna termasuk dalam 15% sampai dengan 35% dari seluruh kejadian efusi pleura dan angka kejadiannya mencapai 660 orang per 1 juta populasi secara global. Beberapa model prediksi telah dievaluasi untuk memprediksi mortalitas pada pasien efusi pleura maligna. Skor PROMISE merupakan sebuah model prediksi mortalitas 3 bulan pada pasien dengan efusi pleura maligna. Tujuan : Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi performa kalibrasi dan diskriminasi skor Clinical PROMISE dalam memprediksi mortalitas tiga bulan pada pasien efusi pleura maligna. Metode : Penelitian ini menggunakan metode kohort retrospektif yang melibatkan pasien efusi pleura maligna yang terdaftar tahun 2015-2022 di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dokter Cipto Mangunkusumo. Dilakukan penilaian mortalitas tiga bulan. Data terkumpul dianalisis dengan uji Hosmer-Lemeshow goodness-of-fit untuk mengetahui performa kalibrasi dan pembuatan kurva Receiver Operating Curve (ROC) untuk mengetahui performa diskriminasi skor Clinical PROMISE terhadap luaran mortalitas tiga bulan. Hasil : Diperoleh 120 subjek yang disertakan dalam penelitian dengan proporsi mortalitas 60,8%. Mayoritas subjek adalah perempuan (73,3%), rerata usia 55 tahun, kanker tipe lain (78,3%). Skor Clinical PROMISE memiliki performa kalibrasi yang baik (p = 0,230, koefisien korelasi r = 0,945). Performa diskriminasi skor Clinical PROMISE baik dengan AUC 0,849 (IK95% 0,776 –0,922). Kesimpulan : Performa kalibrasi dan diskriminasi skor Clinical PROMISE dalam memprediksi mortalitas tiga bulan pada pasien efusi pleura maligna adalah baik.

Background : Pleural effusion is a frequent complication of cancer or malignant disease. Malignant pleural effusion accounts for 15% to 35% of all pleural effusion cases and the incidence rate reaches 660 people per 1 million population globally. Several prediction models have been evaluated to predict mortality in malignant pleural effusion patients. The PROMISE score is a prediction model for 3-month mortality in patients with malignant pleural effusion. Aim : This study aims to evaluate the calibration and discrimination performance of the Clinical PROMISE score to predict three-month mortality in malignant pleural effusion patients. Methods : This study used a retrospective cohort method involving malignant pleural effusion patients registered in 2015-2022 at Dokter Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital. A three-month mortality assessment was carried out. The collected data was analyzed using the Hosmer-Lemeshow goodness-of-fit test to determine the calibration performance and creation of a Receiver Operating Curve (ROC) curve to determine the discrimination performance of the Clinical PROMISE score on three-month mortality outcomes. Results : There were 120 included in the study with the proportion of mortality as high as 60.8%. The majority of subjects were women (73.3%), mean age 55 years, other types of cancer (78.3%). The Clinical PROMISE score had good calibration performance (p = 0.230, coefficient of correlation r = 0.945). The discrimination performance of the Clinical PROMISE score was good with an AUC of 0.849 (95% CI 0.776 –0.922). Conclusion : The calibration and discrimination performance of Clinical PROMISE score ini prediction 3-month mortality of malignant pleural effusion is good."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Wijayanti
"Latar belakang: Lupus eritematosus sistemik (LES) adalah penyakit autoimun multisistem kronik dengan perjalanan penyakit yang berfluktuasi dengan insiden yang semakin meningkat. Dengan berkembangnya diagnostik dan terapi LES, kesintasan pasien semakin meningkat. Namun, kualitas hidup pasien LES berkurang karena bertambahnya komorbiditas pasien dan efek samping terapi. Intervensi mendengarkan murottal Al-Qur’an merupakan salah satu modalitas terapi untuk meningkatkan kualitas hidup. Tujuan: Mengetahui pengaruh intervensi mendengarkan murottal Al-Qur’an pada kualitas hidup pasien  LES. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen kuasi dengan rancangan studi pretest postest yang dilakukan pada pasien LES di Poliklinik Alergi Imunologi RSCM periode Februari-April 2024. Pasien yang mendapatkan psikofarmaka, steroid setara prednison ≥ 20 mg/hari, tidak dapat membaca atau menulis, serta menolak ikut penelitian tidak diikutsertakan dalam penelitian. Kelompok intervensi diperdengarkan murottal Al- Qur’an (QS. Ar-Rahman) dengan durasi minimal 15 menit sebanyak 2 kali setiap hari selama 40. Sebelum dan setelah intervensi, dilakukan evaluasi kualitas hidup, aktivitas penyakit LES, dan HADS. Hasil: Sebanyak 65 subjek penelitian, 32 di kelompok intervensi dan 33 di kelompok kontrol diikutkan dalam penelitian ini. Pada kelompok intervensi didapatkan rerata peningkatan kualitas hidup pasca intervensi dibandingkan sebelumnya (rerata kualitas hidup pasca vs pre intervensi, 82,33 ± 11,37 vs 77,47 ± 13,78), p = 0,02. Kelompok yang sebelumnya rutin mendengarkan murottal mengalami peningkatan signifikan rerata kualitas hidup (rerata kualitas hidup pasca vs pre intervensi,  85,57± 9,02 vs 79,78  ± 10,82), p = 0,03. Intervensi mendengarkan murottal Al-Qur'an mengakibatkan peningkatan signifikan selisih median domain pasca intervensi pada domain kesehatan fisik (median (min-maks), 3,10 (-25 –40,60), p = <0,001) dan domain beban bagi orang lain (median (min-maks) 8,30 (-16,70 –75), p = 0,003). Selain itu, mendengarkan murottal Al-Qur'an juga menurunkan secara signifikan ansietas pada kelompok intervensi, p = 0,01. Kesimpulan: Intervensi mendengarkan murottal Al-Qur’an dapat meningkatkan secara signifikan kualitas hidup pasien LES.  

Objectives With the development of systemic lupus erythematosus (SLE) diagnostics and therapy, patient survival has also increased. However, the quality of life (QoL) of SLE patients is reduced due to comorbidities and side effects of therapy. Spiritual activity is one of the interventions that can improve QoL. This study aims to assess the effect of listening to Quran recitation on the QoL of SLE patients. Methods A quasi-experimental study with a pretest-posttest study design was conducted on SLE patients at the allergy immunology polyclinic of Cipto Mangunkusumo Hospital from February–April 2024. Women aged 18 years or older, diagnosed as SLE based on EULAR/ACR 2019 criteria, Muslim, have no hearing loss, and receive steroids equivalent to prednisone ≤ 20 mg/day were enrolled in this study. Patients were assigned to intervention and control groups. The intervention group listened to Quran recitation (QS. Ar-Rahman) for a minimum duration of 15 minutes, two times daily, for 40 days. We assessed the changes in the QoL score using the LupusQoL questionnaire after the intervention. The SLE disease activity and Hospital Anxiety and Depression Scale (HADS) were also evaluated. Results A total of 65 research subjects, 32 in the intervention group and 33 in the control group were included in this study. In the intervention group, there was a mean increase in QoL post intervention (mean QoL post vs pre intervention, 82.33 ± 11.37 vs 77.47 ± 13.78), p = 0.02. The group that previously regularly listened to Quran recitation experienced a significant increase in mean QoL (mean QoL post vs pre intervention, 85.57 ± 9.02 vs 79.78 ± 10.82), p = 0.03. Listening to Quran recitation resulted in a significant increase in the post-intervention median domain difference in the health domain in the physical health domain (median (min-max), 3.10 (-25–40.60), p = <0.001) and burden for others domain (median (min-max), 8.30 (-16.70–75), p = 0.003). Listening to Quran recitation also significantly reduced anxiety in the intervention group, p = 0.01. Conclusion Listening to Quran recitation can significantly improve the QoL of SLE patients, especially in the group that previously regularly listened to Quran recitation. There was a significant increase after the intervention in the physical health and the burden on others domain. The intervention of listening to Quran recitation can also significantly reduced anxiety."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bellinda Magdalena
"Latar belakang: Efusi pleura merupakan salah satu penyebab utama distres pernapasan di seluruh dunia. Pasien dengan efusi pleura memiliki mortalitas 30 hari 15% – 21% dan mortalitas 1 tahun 25% - 57%. Keterlambatan diagnosis dapat mengakibatkan tingginya angka morbiditas dan mortalitas. Torakoskopi medik merupakan prosedur diagnostik yang dapat ditoleransi dengan baik. Kesintasan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pasien dengan efusi pleura tanpa etiologi yang jelas belum diketahui. Tujuan: Mengetahui kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, seperti usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, distribusi efusi pleura, adanya keganasan, kadar serum albumin, efusi pleura eksudat, dan mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis pada pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas. Metode: Penelitian berupa kohort prospektif pada pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas yang berusia > 18 dan menjalani tindakan torakoskopi medik. Penelitian dilakukan selama bulan Januari 2023 hingga Mei 2024 di ruang rawat inap Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Pemantauan akan dilakukan pada hari ke-30, dan 90. Hasil: Penelitian ini mengikutsertakan 57 pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas dengan rerata kesintasan 30 hari 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 90 hari 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak mendapatkan terapi definitif meningkatkan risiko mortalitas 30 hari [HR 4,066 (IK 0,508-32,532), p=0,077] dan ECOG PS yang buruk [HR 3,928 (IK 0,887-17,391), p=0,077] meningkatkan risiko mortalitas 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas. Kesimpulan: Rerata kesintasan 30 hari dan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas. Kesimpulan: Rerata kesintasan 30 hari dan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas.Kesimpulan: Rerata kesintasan 30 hari dan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas.Kesimpulan: Rerata kesintasan 30 hari dan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 27,51% (IK 25,29 – 29,72) dan 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan signifikan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas.Kesimpulan: Rerata kesintasan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas.Kesimpulan: Rerata kesintasan 90 hari pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas adalah 74,63% (IK 66,36-82,88). Tidak ada hubungan antara usia, jenis kelamin, ECOG Performance Status, efusi pleura bilateral, keganasan, kadar serum albumin rendah, efusi pleura eksudat dan tidak mendapatkan terapi definitif setelah diagnosis dengan kesintasan pasien efusi pleura tanpa etiologi yang jelas..."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Elita
"Latar belakang : Pandemi COVID-19 mempengaruhi kesehatan fisik dan mental. Pasien LES juga rentan mengalami gangguan psikosomatik yang dapat menurunkan kualitas hidup pasien LES. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan psikosomatik pada pasien LES pada masa pandemi COVID-19. Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien LES wanita dewasa di poliklinik Alergi Imunologi dan poliklinik Reumatologi RS Cipto Mangunkusumo pada bulan September hingga Oktober 2021. Data mengenai gangguan psikosomatik menggunakan kuesioner SCL-90, kemudian dilanjutkan pengumpulan data mengenai faktor demografis (usia, tingkat pendidikan, persepsi kondisi COVID-19, persepsi stres dengan PSS, dan stresor psikososial dengan skor Holmes dan Rahe) serta faktor klinis (derajat aktivitas penyakit dengan MEX-SLEDAI, terapi kortikosteroid, dan riwayat terinfeksi COVID-19 pada pasien dan keluarga). Analisis bivariat menggunakan uji Chi-square. Variabel dengan nilai p < 0,25 dianalisis lebih lanjut dengan regresi logistik, dengan nilai p < 0,05 dianggap signifikan. Hasil : 200 pasien wanita dewasa dengan SLE direkrut dalam penelitian. Lebih dari separuh subjek penelitian (54%) mengalami gangguan psikosomatik. Dari analisis multivariat diperoleh tingkat pendidikan tinggi, stresor psikososial risiko sedang-tinggi, serta derajat aktivitas penyakit sedang-sangat berat berhubungan secara signifikan dengan gangguan psikosomatik pada pasien LES di masa pandemi COVID-19 Kesimpulan : Tingkat pendidikan, stresor psikososial, dan derajat aktivitas penyakit berhubungan secara signifikan dengan terjadinya gangguan psikosomatik pada pasien LES di masa pandemi COVID-19.

Background : The COVID-19 pandemic affects physical and mental health. SLE patients are also prone to psychosomatic disorders which could decrease quality of life. This study aimed to find out the factors that were associated with psychosomatic disorders among SLE patients during the COVID-19 pandemic. Method : This was a cross sectional study of adult female SLE patients from outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, from September to October 2021. Data regarding psychosomatic disorders using SCL-90 questionnaires, then demographic factors (age, education level, perception of COVID-19 conditions, perception of stress using PSS, psychosocial stressors using Holmes and Rahe scores) and clinical factors (disease activity using MEX-SLEDAI, corticosteroid, and history of being infected with COVID-19 in patients or their family) were collected. Bivariate analysis was conducted with Chi-square test. Variables with a p-value <0.25 were further analyzed with logistic regression, a p-value <0.05 was considered significant. Results : There were 200 female SLE patients recruited. More than half of the subjects (54%) experienced psychosomatic disorders. From multivariate analysis, high education level, moderate to high psychosocial stressors, and moderate to very severe disease activity level were significantly associated with the occurrence of psychosomatic disorders in SLE patients during the COVID-19 pandemic. Conclusion : Education level, psychosocial stressors, and disease activity level were significantly associated with the occurrence of psychosomatic disorders in SLE patients during the COVID-19 pandemic."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ibnu Masud
"Latar Belakang: Peraturan Kementerian Kesehatan No.15 Tahun 2016 tentang Istithaah Kesehatan Jamaah haji menempatkan pasien dengan infeksi tuberkulosis dapat masuk dalam kategori tidak memenuhi syarat Isthitaah pada Tuberkulosis Totally drug Resistance (TDR) atau tidak memenuhi syarat Istithaah sementara pada Tuberkulosis sputum BTA Positif, Tuberkulosis Multi Drug Resistance, sehingga jamaah haji dengan TB berpotensi tidak dapat melaksanakan rukun islam kelima tersebut. Selain itu tingkat kebugaran dengan kategori cukup disyaratkan untuk memenuhi Istithaah kesehatan sesuai pasal 10. Saat ini belum ada laporan mengenai karakteristik dan faktor-faktor yang mempengaruhi Istithaah kesehatan pada jemaah haji dengan infeksi tuberkulosis Tujuan: Mengetahui karakteristik jamaah haji DKI Jakarta dengan infeksi tuberkulosis, mengetahui proporsi dan faktor-faktor terkait Istithaah kesehatan pada Jamaah haji dengan infeksi tuberkulosis. Metode: Studi potong lintang terhadap 31 jemaah haji DKI Jakarta yang sedang mendapatkan pengobatan tuberkulosis pada saat pelaksanaan ibadah haji tahun 2018. Kuesioner juga dilakukan terhadap Tim Kesehatan Haji Indonesia yang mendampingi subyek sebagai data tambahan. Analisa bivariat terhadap variabel kategorik-kategorik dilakukan menggunakan uji Chi Square atau bila persyaratannya tidak terpenuhi, maka dilakukan uji Fisher. Selanjutnya analisa multivariat menggunakan uji regresi logistik. Hasil: Pada studi ini didapatkan 31 subyek jemaah haji dengan Infeksi tuberkulosis dan menjalani pengobatan pada penyelenggaraan haji 2018. Dari data tersebut diketahui Sebagian besar subyek dalam penelitian ini berjenis kelamin laki-laki: 19/31(61,3 %) dan hampir seluruhnya berusia antara 40 hingga 60 tahun keatas: 30/31(96.8%). Sebagian besar subyek memiliki IMT yang normal atau lebih: 28/31 (90.3 %). Penegakan diagnosis TB pada jamaah haji lebih banyak melalui konfirmasi klinis: 17/31 (54.8%) dengan 93% subyek tidak bergejala. Seluruh subyek sudah menyelesaikan fase intensif dan memiliki BTA negatif yang dinyatakan layak terbang. Pada penelitian ini, mengacu kepada Peraturan Kementerian Kesehatan No.15 Tahun 2016, seluruh subyek memenuhi syarat Istithaah kesehatan haji dalam kriteria Memenuhi Syarat Istithaah Kesehatan Haji dengan Pendampingan, yaitu subyek menderita TB dengan sputum BTA negatif pada pemeriksaan akhir kelayakan terbang: 29/31 (94%) atau TB MDR yang sudah dinyatakan layak pergi haji oleh Tim Ahli Klinis TB MDR: 2/31 ( 0.6 %). Subyek jemaah haji dengan Infeksi tuberkulosis memiliki tingkat kebugaran cukup 12/31 (38.7%), kurang 13/31 (41.9%) dan sangat kurang 6/31 (19.30%), sesuai dengan kriteria kebugaran yang ditetapkan dalam penelitian ini. Hasil Kuesioner kepada Tim Kesehatan Haji Indonesia diketahui bahwa semua jamaah mampu melakukan Thawaf, Sai, dan wukuf di Padang Arafah sebagai rukun haji. Kesimpulan: Subyek yang sudah menyelesaikan fase intensif dengan sputum BTA yang negatif atau TB MDR yang dinyatakan layak berangkat haji oleh TIM Ahli Klinis TB MDR dinyatakan layak terbang pada pemeriksaaan kesehatan tahap ketiga dengan Memenuhi Syarat Istithaah dengan Pendampingan. Sebanyak 19/31 subyek jamaah haji dengan tuberkulosis memiliki tingkat kebugaran dibawah nilai cukup. Meskipun demikian jamaah haji dengan infeksi tuberkulosis masih mampu menjalankan rukun haji di tanah suci. Pada penelitian ini, komorbid, lama pengobatan dan kadar Hb tidak signifikan secara statistik mempengaruhi Istithaah kesehatan dengan infeksi tuberkulosis.

Background: Indonesian Ministry of Health Regulation No. 15 of 2016 on health policy for Hajj pilgrims puts patients with tuberculosis (TB) infection in the category of not fulfilling Isthahah (conditions Totally Drug Resistance TB) or does not meet temporary Istithaah ( Smear positif TB, Multi Drug Resistance (MDR) TB), so that pilgrims with TB potentially unable for hajj. In addition, the level of fitness with sufficient category is required according to chapter 10. At present, there is no reports on the health Istithaah of pilgrims with tuberculosis infection. Objective: To determine the characteristics of DKI Jakarta pilgrims with tuberculosis infection, to find out the proportion of low fitness levels for pilgrims with tuberculosis infection and to find out the factors related to Istithaah. Methods: A cross-sectional study of 31 Special Capitol Region of Jakarta pilgrims who were receiving tuberculosis treatment during the Hajj pilgrimage in 2018 was conducted; in addition, the Indonesian Hajj Health Team who accompanied the subjects was also included as additional data. Bivariate analysis of categoric-categoric variables are done using Chi Square method or as alternative, the Fisher method is used if the Chi Square test requirements are not fufille. Significant variables will be further analyzed with multivariate analysis using the logistic regression test Results: A total of 31 subjects of the Hajj were found with tuberculosis infection and underwent treatment. The majority were male: 19/31 and aged above 40 years old : 30/31, BMI normal or more: 28/31, diagnosis through clinical confirmation: 17/31 with 29/31 of subjects asymptomatic. All subjects have completed the intensive phase of TB treatment. Subjects with negative sputum smear at the final inspection of flightworthiness: 29/31 or MDR TB that has been declared eligible for Hajj by the MDR TB Clinical Expert Team: 2/31 .Subjects of pilgrims with tuberculosis infection have a sufficient fitness level of 12/31, less :13/31 and very less :6/31 , according to the fitness criteria established in this study. The results of the questionnaire to the Indonesian Hajj Health Team revealed that all pilgrims were able to do Thawaf, Sai, and stay in Padang Arafah. Conclusion: Subjects who have completed the intensive phase with negative sputum smear or MDR TB who were declared eligible by the MDR TB Clinical Expert Team were declared eligible to hajj with Istithaah Requirements with Assistance. As many as 19/31 of Hajj pilgrims with tuberculosis had a level of fitness below sufficient value. Nevertheless, subjects are still able to run the pillars of the Hajj. Nevertheless, subjects are still able to run the pillars of the Hajj. In this study, comorbidities, duration of treatment and HB level were not statistically significant affecting health status with tuberculosis infection."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sinaga, Hans Sc Martogi
"Latar Belakang: Penyakit ginjal kronik (PGK) menunjukkan peningkatan signifikan dalam prevalensi dan angka kematian. Pasien PGK yang menjalani hemodialisis (HD) kronik rentan mengalami kejadian hipoglikemia intradialisis. Kejadian ini jarang dilaporkan karena tidak bergejala dan memiliki ambang batas yang bervariasi, terutama pada pasien diabetes melitus (DM).
Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor prediksi kejadian hipoglikemia intradialisis pada pasien PGK yang menjalani HD kronik.
Metode: Penelitian kohort prospektif ini melibatkan 156 pasien PGK yang menjalani HD di Unit HD, Divisi Ginjal-Hipertensi, FKUI-RSUPN-CM, Jakarta, pada bulan Juni 2024. Analisis bivariat dan multivariat digunakan untuk mengidentifikasi faktor prediksi kejadian hipoglikemia intradialisis.
Hasil: Hipoglikemia intradialisis terjadi pada 29,5% pasien. Faktor prediksi signifikan termasuk hipotensi intradialisis (OR 6,78; 95% CI 2,47-18,59; p = 0,000), lama menjalani HD ≤ 1 tahun (OR 4,75; 95% CI 1,72-13,09; p = 0,003), inadekuasi HD (OR 3,54; 95% CI 1,38-9,06; p = 0,009), dan diabetes melitus tipe 2 (OR 2,62; 95% CI 1,07-6,43; p = 0,036). Persamaan model prediksi, logit(p) = -2,94 + 1,91 × hipotensi intradialisis + 1,56 × lama menjalani HD + 1,26 × adekuasi HD + 0,96 × diabetes tipe 2 dikembangkan menjadi sistem skoring dengan total skor 5. Skor yang lebih tinggi menunjukkan probabilitas hipoglikemia yang lebih tinggi. Model ini menunjukkan kalibrasi baik (Hosmer-Lemeshow p = 0,37) dan diskriminasi kuat (AUC = 0,83 IK 95% 0,75-0,91).
Kesimpulan: Faktor-faktor yang memprediksi terjadinya hipoglikemia intradialisis adalah hipotensi intradialisis, lama menjalani HD, adekuasi HD, dan DM tipe 2. Model prediksi yang dihasilkan menunjukkan performa statistik yang baik.

Background: Chronic kidney disease (CKD) shows a significant increase in prevalence and mortality rates. Patients with CKD undergoing chronic hemodialysis (HD) are prone to experience intradialytic hypoglycemia. This condition is rarely reported due to its asymptomatic nature and varying thresholds, especially among diabetic patients.
Objective: This study aims to identify predictors of intradialytic hypoglycemia in CKD patients undergoing chronic HD.
Methods: A prospective cohort study was conducted with 156 CKD patients receiving HD at hemodialysis unit, Division of Nephrology-Hypertension, FKUI-RSUPN-CM, Jakarta, in June 2024. Bivariate and multivariate analyses were used to identify significant predictors of intradialytic hypoglycemia.
Results: Intradialytic hypoglycemia occurred in 29.5% of patients. Significant predictors included intradialytic hypotension (OR 6.78; 95% CI 2.47-18.59; p = 0.000), HD duration ≤ 1 year (OR 4.75; 95% CI 1.72-13.09; p = 0.003), HD inadequacy (OR 3.54; 95% CI 1.38-9.06; p = 0.009), and type 2 diabetes mellitus (OR 2.62; 95% CI 1.07-6.43; p = 0.036). The predictive model, logit(p) = -2.94 + 1.91 × intradialytic hypotension + 1.56 × HD duration + 1.26 × HD adequacy + 0.96 × type 2 diabetes was developed into a scoring system with a total score of 5. Higher scores indicated a higher probability of hypoglycemia. The model showed strong calibration (Hosmer-Lemeshow p = 0.37) and discrimination (AUC = 0.83 95% CI 0.75-0.91).
Conclusion: The factors that predict the occurrence of intradialytic hypoglycemia include intradialytic hypotension, duration of HD, HD adequacy, and type 2 diabetes mellitus. The predictive model developed exhibits strong statistical performance.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nani Oktavia
"Latar belakang: Severe acute respiratory syndrome coronavirus 2 (SARS CoV-2) adalah virus menyebabkan infeksi saluran pernafasan dan memiliki manifestasi klinis ringan sampai berat serta dapat menyebabkan kematian. Tingginya angka morbiditas dan mortalitas akibat infeksi COVID 19 menyebabkan diperlukannya stratifikasi resiko terhadap pasien saat masuk ke rumah sakit serta prediktor terjadinya luaran buruk pada pasien. Tujuan: Mengetahui kemampuan skor mortalitas 4C dan kadar leptin dalam memprediksi luaran buruk pasien COVID 19 terkonfirmasi selama perawatan. Metode: Penelitian ini merupakan kohort prospektif dari 375 pasien COVID-19 yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo sejak November 2020 hingga April 2021. Pasien dilakukan pemeriksaan fisik, CRP, Ureum  serta pemeriksaan kadar leptin saat admisi. Dilakukan analisis multivariat regresi logistik untuk menilai kemampuan skor mortalitas 4C dan leptin untuk memprediksi luaran buruk komposit yang mencakup ARDS dan mortalitas. Analisis korelasi dan regresi linier dengan STATA 15. Hasil: Dari analisis data pada 375 pasien didapatkan skor mortalitas 4C dapat memprediksi luaran buruk pasien COVID 19 selama rawat inap dengan area under curve (AUC) 0,68 (IK 0,61-0,75) dan titik potong skor mortalitas 4C adalah 6. Dari analisis multivariat didapatkan leptin tidak dapat memprediksi luaran buruk pasien COVID 19 selama rawat inap dengan area under curve (AUC) 0,52 (IK 0,44-0,60). Kesimpulan: Skor mortalitas 4C mampu memprediksi luaran buruk pasien COVID 19 terkonfirmasi selama perawatan sedangkan leptin tidak mampu menjadi prediktor luaran buruk pasien COVID 19 selama perawatan.

Background:  The high morbidity and mortality rates due to COVID-19 infection require risk stratification for patients when admitted to the hospital as well as predictors of poor patient outcomes. While obesity has been reported to be associated with poor outcomes, the role of leptin, a proinflammatory cytokines released by the adipose tissue, has never been assessed. Objective: To determine the ability of the leptin levels and 4C mortality score to predict poor outcomes in confirmed COVID-19 patients. Method: This study is a prospective cohort of 375 COVID-19 patients treated at Cipto Mangunkusumo National Referal Hospital from November 2020 to April 2021, as part of the CARAMEL study. Subjects who were 18 years old and above and had confirmed COVID-19 status through COVID-19 polymerase chain reaction (PCR) from oropharyngeal swabs were included. Subjects when admitted to the hospital required non-invasive ventilation, mechanical ventilation, ECMO and those who refused to participate in the study were excluded. A multivariate logistic regression analysis was performed to assess the ability of the 4C mortality score and leptin to predict composite adverse outcomes, including ARDS and mortality. Results: Our study observed that while the 4C mortality score could predict poor outcomes for COVID-19 patients during hospitalization with an AUC of 0.68 (CI 0.61-0.75), leptin levels could not predict poor outcomes [(AUC of 0.52 (CI 0.44-0.60)]. Conclusion: Leptin levels were not associated with the development of poor outcomes in hospitalised Covid-19 patients."
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3   >>