Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Steven Zulkifly
Abstrak :
Latar Belakang. Lean NAFLD lebih sering ditemukan di negara Asia dan prevalensinya di Indonesia masih belum diketahui. Tingginya prevalensi, asimptomatik dan baru bergejala setelah timbul komplikasi, dan tingginya mortalitas lean NAFLD menjadikan perlunya deteksi dini pada populasi dewasa dengan IMT <23 kg/m2. Skrining pada populasi umum tidak direkomendasikan karena meningkatkan biaya kesehatan. Tujuan. Membuat sistem skoring untuk penapisan lean NAFLD pada populasi dewasa di Jakarta. Metode. Studi ini menggunakan desain potong lintang dari laporan pemeriksaan kesehatan individu dewasa >18 tahun dengan IMT <23 kg/m2 yang melakukan pemeriksaan kesehatan di klinik. Parameter yang dianalisis antara lain usia, jenis kelamin, lingkar pinggang, kadar GDP, kolesterol total, HDL, LDL, trigliserida, AST, ALT, dan asam urat. Variabel dengan nilai p <0,25 dilanjutkan ke analisis multivariat untuk pembuatan sistem skoring. Hasil. Sebanyak 276 individu diikutsertakan pada penelitian ini dan didapatkan prevalensi lean NAFLD sebesar 9,8%. Lean NAFLD lebih banyak ditemukan pada laki-laki dan memiliki karakteristik usia lebih tua, IMT, lingkar pinggang, kadar GDP, ALT, dan trigliserida lebih tinggi dibanding lean tanpa NAFLD. Analisis bivariat mendapatkan jenis kelamin laki-laki, usia ≥45 tahun, kadar GDP ≥100 mg/dL, ALT ≥35 U/L, dan trigliserida ≥150 mg/dL berhubungan dengan lean NAFLD. Sistem skoring melibatkan 4 parameter yaitu laki-laki, kadar GDP ≥100 mg/dL, ALT ≥35 U/L, dan trigliserida ≥150 mg/dL dengan masing-masing bernilai 1 poin. Model skoring ini memiliki sensitivitas 44,4%, spesifisitas 84,3%, dan AUROC 0,74. Kesimpulan. Parameter jenis kelamin, kadar GDP, ALT, dan trigliserida dapat digunakan sebagai sistem skoring dengan performans menengah untuk penapisan lean NAFLD dewasa. .....Background. Lean NAFLD is commonly found in Asian countries and its prevalence in Indonesia is still unknown. The high prevalence, asymptomatic until complications occur, and the high mortality of lean NAFLD makes it necessary for early detection in adult with BMI <23 kg/m2. Screening in general population is not recommended due to the high cost burden. Aim. To develop a scoring system for screening lean NAFLD in adults in Jakarta Methods. A cross-sectional study design was conducted from medical examination reports from individual >18 years old and BMI <23 kg/m2 who performed medical check up at the clinic. Several parameters including age, gender, waist circumference (WC), fasting blood glucose (FBG), total cholesterol (TC), HDL, LDL, triglycerides (TG), AST, ALT, and uric acid (UA) were analyzed in this study. Variabels with p-value <0.25 were included in multivariate analysis for the development of scoring systems. Results. A total of 276 people were enrolled in this study. Prevalence of lean NAFLD is 9.8%. Lean NAFLD are more commonly found in men and have older age, higher BMI, WC, GDP, ALT, and TG levels than lean non-NAFLD. In bivariate analysis, male sex, age ≥ 45 years, FBG ≥100 mg/dL, ALT ≥35 U/L, and TG ≥150 mg/dL are associated with lean NAFLD. The scoring system involves four parameters including male, FBG ≥100 mg/dL, ALT ≥35 U/L, and TG ≥150 mg/dL, worth 1 point each. This model has sensitivity 44.4%, specificity 84.3%, and AUROC 0.74. Conclusion. Parameters including gender, FBG, ALT, and TG levels can be used as a scoring system with moderate performance for screening lean NAFLD in adults.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naldo Sofian
Abstrak :
Latar Belakang Peningkatan kasus diabetes melitus tipe 2 (DMT2) dengan berbagai komplikasinya memberikan dampak gangguan fungsional seseorang dalam bentuk gangguan kognitif dan kapasitas fisik. Keduanya masih reversibel dan baru diketahui berhubungan sehingga disebut sebagai PhysioCognitive Decline Syndrome (PCDS). Kondisi PCDS baru dipelajari pada lansia dan belum spesifik pada penyandang DMT2. Tujuan Mengetahui korelasi antara kendali glikemik dengan komponen physiocognitive decline syndrome pada penyandang DMT2 dewasa usia pertengahan. Metode Studi potong lintang menggunakan consecutive sampling dari pasien di poliklinik metabolik endokrin dan poli jantung terpadu sejak Januari 202-November 2022. Subjek DMT2 berusia 40-59 tahun diinklusi. Pemeriksaan kekuatan genggam tangan, dan kecepatan berjalan 6-meter diperiksakan di ruangan standar. MoCA-Ina dilakukan oleh dokter yang telah dilatih. Data HbA1c subjek yang diperiksa adalah HbA1c 3 bulan terakhir. Analisis korelasi Pearson’s atau Spearman’s pada SPSS 20.0 dilakukan sesuai sebaran data. Hasil Sebanyak 133 subjek telah dianalisis. Usia median mencapai 53 tahun dengan proporsi laki-laki dan perempuan serta komplikasi pada masing-masing kateori kendali glikemik (batas HbA1c 7,0%) serupa. Subjek didominasi dengan pendidikan SMA dan Sarjana/Diploma. Median durasi terdiagnosisnya diabetes melitus mencapai 7 tahun dengan HbA1c median 7.6%. Nilai MoCA-Ina pada subjek mencapai nilai median 24 dengan kecepatan berjalan rerata 1.02 + 0.23 m/detik dan median kekuatan genggam tangan 24 kg. Terdapat korelasi bermakna hanya pada HbA1c dengan kekutan genggam tangan (r = -0.24, R2 = 0.06, p value <0.01), terutama pada perempuan Kesimpulan Terdapat korelasi bermakna antara kendali glikemik dan kekuatan genggam tangan. ......Background Increasing cases of type 2 diabetes melitus (T2DM) including its complication have caused functional dysfunction consisted of cognitive decline and physical incapacity. Both cognitive decline and physical incapacity had been just known to be reversible and related to each other, so it is termed as PhysioCognitive Decline Syndrome (PCDS). However, it had been just evaluated in geriatric and not specific to T2DM patient. Aim To investigate the correlation between glycaemic correlation and component of physiocognitive decline syndrome in middle-aged adult with T2DM. Methods A cross sectional study with consecutive sampling in our metabolic and endocrine clinic and integrated heart centre in January 2021-November 2022 had been conducted. Inclusion criteria was 40-59 years old subjects with T2DM. Measurement of HbA1c in the last 3 month were analysed, while hand grip strength and gait speed were done in standard room. MoCA-Ina had been conducted by trained doctor. Correlation analysis using Pearson’s or Spearman’s in SPSS 20.0 was done according to data distribution. Result 133 subjects were analysed. Median age was 53 years old with both sex and complication within each glycaemic control category (HbA1c 7,0% cut off) were similar. Subjects were dominated by high school and undergraduate/diploma education level. Most subjects were diagnosed in up to 7 years of T2DM. Median of HbA1c levels in our study was 7.6%. MoCA-Ina score was 24 in median with mean of gait speed was 1.02 + 0.23 m/s. Our median for hand grip was 24 kg. Significant correlation was only found in relationship of HbA1c and hand grip strength (r = -0.24, R2 = 0.06, p value <0.01). Conclusion There was significant correlation between glycaemic control and hand grip strength.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Atikah Isna Fatya
Abstrak :
Latar Belakang: Terdapat dua jenis obesitas berdasarkan risiko kardiometaboliknya, yaitu metabolically healthy obese (MHO) dan metabolically unhealthy obese (MUO). Kelompok MUO lebih berisiko mengalami DM tipe 2 karena terdapat resistensi insulin yang dicetuskan endotoksemia metabolik akibat disbiosis usus, melalui peningkatan permeabilitas usus. Belum ada data mengenai perbedaan permeabilitas usus, yang diwakili oleh kadar intestinal fatty acid binding protein (I-FABP), pada penyandang obesitas dengan dan tanpa DM tipe 2 di Indonesia. Tujuan: Mengetahui perbedaan rerata kadar I-FABP pada penyandang obesitas dengan dan tanpa DM tipe 2 di Indonesia. Metode: Studi potong lintang menggunakan data sekunder dari penelitian Divisi Endokrin, Metabolik, Diabetes FKUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta yang berjudul “Profil Mikrobiota Usus, Mikrobiota Rongga Mulut, Inflamasi, dan Resistensi Insulin pada Berbagai Spektrum Disglikemia” periode Juli 2018-Agustus 2019. Sebanyak 63 subjek obesitas berdasarkan kriteria WHO untuk Asia (IMT ≥25 kg/m2) dibagi menjadi 2 kelompok berdasarkan kriteria ADA: dengan dan tanpa DM tipe 2. Kadar I-FABP diperiksa dengan metode Enzyme-linked immunosorbent assay. Analisis data dengan uji T tidak berpasangan untuk perbedaan rerata I-FABP. Uji regresi logistik dilakukan untuk faktor perancu. Hasil: Mayoritas subjek ialah perempuan (82,53%), usia >45 tahun (63,50%), obesitas grade I (54,00%), obesitas sentral (93,70%). Rerata I-FABP pada kelompok dengan DM tipe 2 lebih tinggi, yaitu 2,82 (1,23) ng/mL vs. 1,78 (0,81) ng/mL (p<0,001; IK95% 0,51-1,55). Simpulan: Rerata kadar I-FABP lebih tinggi pada kelompok obesitas dengan DM tipe 2 dan independen terhadap faktor usia. ......Background: There are two types of obesity based on its cardiometabolic risk, which are metabolically healthy obese (MHO) and metabolically unhealthy obese (MUO). The MUO exerts higher risk to develop type 2 DM because of higher state of insulin resistance due to metabolic endotoxemia through gut dysbiosis and increased intestinal permeability. There is no study regarding the difference of intestinal permeability, using intestinal fatty acid binding protein (I-FABP), in obese people with and without type 2 DM in Indonesia. Objective: To know the mean difference of I-FABP in obese people with and without T2DM in Indonesia. Method: A cross-sectional study using secondary data from the study of Division of Endocrine, Metabolism and Diabetes FMUI-RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta entitled "Profile of the Intestinal Microbiota, Oral Cavity Microbiota, Inflammation, and Insulin Resistance in Various Spectrums of Dysglycemia" for the period July 2018-August 2019. A total of 63 obese subjects based on WHO criteria for Asia (BMI ≥25 kg/m2) were divided into 2 groups based on ADA criteria for diabetes: with and without T2DM. The I-FABP levels were checked using enzyme-linked immunosorbent assay method. Data was analyzed using unpaired T test for mean difference of I-FABP while logistic regression test was performed for confounding factors. Results: The majority of the subjects were women (82.53%), age >45 years (63.50%), obesity grade I (54.00%) and central obesity (93.70%). The I-FABP level of T2DM group was higher compared to without T2DM group, namely 2.82 (1.23) ng/mL vs. 1.78 (0.81) ng/mL (p<0.001; 95% CI 0.51-1.55). Conclusion: The mean level of I-FABP was higher in the obese group with T2DM which is independent of age.
Depok: Fakultas Kedokteran Univesitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Risca Marcelena
Abstrak :
Latar Belakang: Sarkopenia dan obesitas sering ditemukan pada populasi lanjut usia (lansia). Kombinasi sarkopenia dan obesitas, yaitu obesitas sarkopenia, memiliki morbiditas dan mortalitas lebih tinggi dibandingkan salah satu entitas saja. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara obesitas perifer dan sentral dengan komponen sarkopenia. Metode: Studi potong-lintang ini memakai data sekunder dari penelitian validasi skor Sarcopenia Quality of Life (SARQoL) terhadap lansia ≥60 tahun di Poliklinik Geriatri Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, Indonesia, periode April–Juni 2018. Analisis multivariat dilakukan terhadap obesitas (indeks massa tubuh [IMT] dan lingkar pinggang [LP]) dan komponen sarkopenia (kekuatan genggam tangan [KGT], indeks massa otot [appendicular skeletal muscle mass per tinggi badan kuadrat, ASMM/TB2], dan kecepatan berjalan) untuk disesuaikan dengan perancu (usia, diabetes melitus, dan aktivitas fisik). Nilai potong diagnostik masing-masing komponen sarkopenia memakai panduan the Asian Working Group on Sarcopenia (AWGS) 2019. Hasil: Rerata usia dari 120 subjek adalah 71,89 (6,11) tahun, dengan proporsi wanita 61,70%. Seluruh subjek menunjukkan rerata IMT 22,48 (4,60) kg/m2; median LP 91,48 (65,40-113,00) cm; rerata ASMM/TB2 6,88 (0,96) kg/m2; median KGT 20 (10,00-40,00) kg; dan rerata kecepatan berjalan 0,76 (0,23) meter/detik. KGT rendah ditemukan lebih sedikit pada kelompok obesitas perifer dibandingkan nonobesitas perifer (adjusted odds ratio OR 0,419; interval kepercayaan IK 95% 0,183-0,959; p=0,040). ASMM/TB2 rendah lebih sedikit pada kelompok obesitas sentral dibandingkan nonobesitas sentral (adjusted OR 0,087; IK 95% 0,029-0,262; p <0,001). Simpulan: Terdapat efek protektif obesitas perifer dan sentral terhadap sarkopenia, tetapi hubungan ini terbatas pada IMT <30 kg/m2. ......Background: Increasing number of elderly is accompanied by increasing prevalence of sarcopenia and obesity. Combination of sarcopenia and obesity, which is called as sarcopenic obesity, associated with higher morbidity and mortality compared to either obesity or sarcopenia alone. Objectives: This study aimed to determine the association between obesity profiles and sarcopenia components. Methods: This cross-sectional study was using data from the validation study of Sarcopenia Quality of Life (SARQoL) score, of which conducted in geriatric outpatient clinic of Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia. Multivariate analysis between obesity (body mass index [BMI] and waist circumference [WC]) and sarcopenia components (handgrip strength [HGS], muscle mass index [appendicular skeletal muscle mass/ height square, ASMM/h2], and gait speed was adjusted to age, diabetes mellitus, and physical activities. Results: Out of 120 subjects, there was 61.70% women. All subjects had mean of age 71.89 (6.11) years old; mean of BMI 22.48 (4.60) kg/m2; median of WC 91.48 (65.40-113.00) cm; mean of ASMM/h2 6.88 (0.96) kg/m2; median of HGS 20 (10.00-40.00) kg; and mean of gait speed 0.76 (0.23) meter/second. Low HGS was found statistically significant in lower proportion for peripheral obesity group than non-peripheral obesity group (adjusted odds ratio OR 0.419, 95% confidence interval CI 0.183-0.959, p=0.040); and low muscle mass index was lower in central obesity group than non-central obesity group (adjusted OR 0.087, 95% CI 0.029-0.262, p <0.001). Conclusion: There were protective effects of peripheral and central obesity against sarcopenia
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library