Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Budi Nugroho
Abstrak :
Hipotensi merupakan masalah yang sermg di jumpai pada tindakan analgesia blok. Subarak.hnmd ( SAB ) untuk bedah seksio sesari. Penelitian acak. terbuka ini meneliti keefektifan elevasi tungkat 30° untuk mengurangi kekerapan hipotenst pada analgesia SAB untuk bedah seksaria sesama pembanding yang digunakan adalah tidakan yang sudah terbukti efektif mengurangi kekerapan hipotensi pada analgesia SAB untuk bedah seksio sesaria yaitu pemberian laktatintravena 20 mll/kg bb saat penyuntikan spmal ( coload). Seratus enampuluh satu pasien yang menjalani bedah seksio sesaria dikelompokkan secara acak menjadi kelompok yang tungkainya dielevasikan 30° (kelompok. elevast) dan kelompok yang diberikan cairan laktat 20 ml/kg bb yang diberikan saat penyuntikan (kelompok load). Kejadian hipotensi (25% bandmg 39% p = 0 510) penggunaan efedrin ( medran 0 [0 30] bandmg 0 [030] p = 0 381) mlat APGAR menit pertama ( median 9 [4 9] bandmh 9 [6 9] p = 0 908) dan menit kelima (median 10 [6 10] bandmh, 10 [8 10] p= 0 -+1-+) tidak berbeda antara kelompok elevas1 dan kelompok coloid. Kesimpulannya adalah devast tungkai sama efektifnya dengan pemberian laktat 20 ml/kg bb untuk mengurangi hitpotensi pada tindakan analgesia blok subarakhanoid bedah seksio sesaria. ......Hypotension Is the most common problem following subarachnoid block analgesia for cesarean section. In this study we tested the hypothesis that 30° leg elevation (elevation group) following subarachnoid block analgesia cesarean section would reduce the incidence of hypotension. In this study we used coloadmg lactated ranger's solution 20 m/kg BW intravenously given dunng spinal injection (coload group) as comparison. We conducted an open randomuzed trial study m 161 patients would undergo cesarean section. Patients divided into leg elevation and coload group. Both groups had no difference in hypotension mdctence (25% m leg elevation group and 39% m coload group p = 0 51 0) ephedi in dose requirement (median 0 [ 0 10 ] compared with 0 [ 010 l p = 0 381) Apgar's score in first minute ( median 9 [ 4 9 ] compared With 9 [ 6 9 ] p = 0 908 ) and fifth minute( median I0 r6 I0 ] compared with I0 [ 8 I0 ] p= 0 4 14). The conclusion that 30° leg elevation is as effective as coloading lactated ringer 20 ml/kg Bw intreavenously given during, spinal injection to decrease hypotenston mcdence tollowing subarachnoid block analgesia for cesarean section.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T22669
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Nugroho
Abstrak :
Hipotensi merupakan masalah yang sermg di jumpai pada tindakan analgesia blok. Subarak.hnmd ( SAB ) untuk bedah seksio sesari. Penelitian acak. terbuka ini meneliti keefektifan elevasi tungkat 30° untuk mengurangi kekerapan hipotenst pada analgesia SAB untuk bedah seksaria sesama pembanding yang digunakan adalah tidakan yang sudah terbukti efektif mengurangi kekerapan hipotensi pada analgesia SAB untuk bedah seksio sesaria yaitu pemberian laktatintravena 20 mll/kg bb saat penyuntikan spmal ( coload). Seratus enampuluh satu pasien yang menjalani bedah seksio sesaria dikelompokkan secara acak menjadi kelompok yang tungkainya dielevasikan 30° (kelompok. elevast) dan kelompok yang diberikan cairan laktat 20 ml/kg bb yang diberikan saat penyuntikan (kelompok load). Kejadian hipotensi (25% bandmg 39% p = 0 510) penggunaan efedrin ( medran 0 [0 30] bandmg 0 [030] p = 0 381) mlat APGAR menit pertama ( median 9 [4 9] bandmh 9 [6 9] p = 0 908) dan menit kelima (median 10 [6 10] bandmh, 10 [8 10] p= 0 -+1-+) tidak berbeda antara kelompok elevas1 dan kelompok coloid. Kesimpulannya adalah devast tungkai sama efektifnya dengan pemberian laktat 20 ml/kg bb untuk mengurangi hitpotensi pada tindakan analgesia blok subarakhanoid bedah seksio sesaria. ......Hypotension Is the most common problem following subarachnoid block analgesia for cesarean section. In this study we tested the hypothesis that 30° leg elevation (elevation group) following subarachnoid block analgesia cesarean section would reduce the incidence of hypotension. In this study we used coloadmg lactated ranger's solution 20 m/kg BW intravenously given dunng spinal injection (coload group) as comparison. We conducted an open randomuzed trial study m 161 patients would undergo cesarean section. Patients divided into leg elevation and coload group. Both groups had no difference in hypotension mdctence (25% m leg elevation group and 39% m coload group p = 0 51 0) ephedi in dose requirement (median 0 [ 0 10 ] compared with 0 [ 010 l p = 0 381) Apgar's score in first minute ( median 9 [ 4 9 ] compared With 9 [ 6 9 ] p = 0 908 ) and fifth minute( median I0 r6 I0 ] compared with I0 [ 8 I0 ] p= 0 4 14). The conclusion that 30° leg elevation is as effective as coloading lactated ringer 20 ml/kg Bw intreavenously given during, spinal injection to decrease hypotenston mcdence tollowing subarachnoid block analgesia for cesarean section.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jonathan Antonius W.
Abstrak :
Latar belakang: World Health Organization (WHO) telah menyatakan COVID-19 menjadi pandemi pada April 2020. Komplikasi yang berpotensi dan terus mengancam adalah gagal napas akut yang membutuhkan intubasi. Intubasi dikatakan memiliki risiko penyebaran viral load yang tinggi. Perlindungan terhadap tenaga kesehatan menjadi hal yang harus dilakukan secara konsisten tanpa melupakan keselamatan pasien yang menjalani prosedur intubasi pipa endotrakeal. Penelitian ini ditujukan sebagai studi pendahuluan untuk melihat pengaruh dari penggunaan APD dan jenis laringoskop terhadap proses intubasi yang dilakukan pada pandemi COVID-19. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian pendahuluan (preliminary study) dengan uji klinis acak terbuka (open randomized clinical trial). Pengambilan data penelitian dilakukan di kamar operasi IGD, Unit Pelayanan Bedah Pusat (UPBT), UPK Mata Kirana, dan kamar operasi Cleft and Craniofacial Center (CCC) RSUPN Cipto Mangunkusumo (RSCM) pada bulan Agustus hingga September 2020. Intubasi dilakukan oleh residen Anestesiologi dan Terapi Intensif tahap II atau magang. Populasi subjek adalah pasien yang bukan tersangka dan bukan terkonfirmasi COVID-19 sesuai dengan penapisan oleh tim Pinere RSCM. Hasil: Durasi total proses intubasi cenderung lebih panjang pada kelompok menggunakan APD tingkat tiga dan laringoskopi video dibandingkan kelompok lainnya. Keberhasilan percobaan pertama tindakan intubasi lebih banyak pada kelompok yang menggunakan laringoskop direk. Kejadian desaturasi paling banyak terjadi pada kelompok menggunakan APD tingkat tiga dan laringoskop direk. Komplikasi cedera jalan napas selama proses intubasi paling banyak ditemukan pada kelompok menggunakan APD tingkat tiga dan laringoskop direk Kesimpulan: Terdapat perbedaan antara ketiga kelompok penelitian yang menggunakan tingkat APD dan jenis laringoskopi yang berbeda pada studi pendahuluan ini. ......Introduction: World Health Organization (WHO) declare COVID-19 pandemi on April 2020. One of the fatal complications of COVID-19 are respiratory failure with the need of an intubation. However, intubation has been reported as high-risk viral load spread. Protection for healthcare workers should be done consistently without jeopridizing patient’s safety, especially in intubation process. This pilot study is aimed to describe the effect of level 3 PPE usage and types of laryngoscope to intubation process in COVID-19 pandemic. Method: This study is a preliminary study with open randomized clinical trial. Data collection was conducted in operating room, central operating room, Kirana opthalmology centre, and Cleft and Craniofacial Center (CCC) of Cipto Mangunkusumo National hospital on August to December 2020. The intubation process was done by anesthesiology and intensive care residents at the second phase (second until third year) of recidency. Subjects are non COVID-19 suspect which has been examined by Pinere RSCM team. Results: Total duration of intubation was tend to longer in level 3 PPE with video guided laryngoscopy. First time success was higher in the group with direct laryngoscopy. Complicaton such as desaturation and airway injury was higher in level 3 PPE with direct laryngoscope. Conclusion: There is a difference of intubation process between the PPE groups and the use of laryngoscopy in this pilot study. Therefore, further study can be conducted.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Boni Nurcahyo
Abstrak :
Introduction: Mechanical ventilation as the management of acute respiratory distress syndrome (ARDS) in critically ill COVID-19 patient is still controversial, including timing of intubation. The delay of intubation can cause patient self-induced lung injury (P-SILI). However, early intubation which resulted in prolonged mechanical ventilation can cause complications. Therefore, a systematic review is needed to provid information regarding the timing of intubation related to the clinical outcome of the patient. Methods: Database searching from PubMed, The Cochrane Central Register of Controlled Trials (CENTRAL), ProQuest, and Scopus was conducted and penelitianes were selected based on the eligibility criteria. It includes prognostic penelitianes of adult COVID-19 patients with ARDS and mechanically ventilated. The penelitianes were critically appraised for risk of bias using Quality In Prognosis Penelitianes (QUIPS) tool. Result: We included seven penelitianes involving 1395 adult COVID-19 patients with ARDS and mechanically ventilated, with two different methods.. Five of them assessed mortality in two groups of patients, early and late intubation, while two others determined the mean or median of intubation time in survivor and non-survivor group. All of the penelitianes showed no association between timing of intubation and mortality. Most of the penelitianes have low risk of bias for its respective domain, with only three penelitianes showed medium risk of bias due to unclear definition of prognostic factors. Conclusion: Mortality of critically ill COVID-19 adult patient cannot be predicted only with timing of intubation, yet many factors contributed to the prognosis. ......Pendahuluan: Ventilasi mekanik merupakan salah satu manajemen ARDS pada pasien dewasa COVID-19 yang sakit kritis yang masih sering diperdebatkan, salah satunya terkait waktu inisiasi intubasi. Keterlambatan intubasi dapat menyebabkan patient self-induced lung injury (P-SILI). Namun, intubasi yang terlalu dini juga dapat memberikan komplikasi. Oleh karena itu, perlu dilakukan telaah sistematis yang dapat memberikan informasi apakah intubasi dini pada fase awal penyakit memberikan luaran yang lebih baik pada pasien COVID-19 dewasa. Metode: Telaah sistematis dilakukan melalui pencarian penelitian pada basis data PubMed, CENTRAL, ProQuest, dan Scopus, dan dilakukan seleksi penelitian sesuai dengan kriteria eligibilitas. risiko bias dinilai dengan instrument Quality in Prognosis Penelitianes (QUIPS). Hasil: Dilakukan analisis terhadap 7 penelitian dengan total subyek 1395 pasien COVID-19 dewasa berat yang memerlukan ventilasi mekanik, dengan pendekatan penilaian yang berbeda, dimana 5 penelitian menilai mortalitas pada kelompok pasien intubasi dini dan intubasi tunda, dan 2 penelitian lainnya menilai rerata atau median dari waktu inisiasi intubasi pada kelompok yang meninggal dan hidup. Seluruh penelitian menunjukkan tidak adanya hubungan antara waktu intubasi dengan mortalitas. Kebanyakan penelitian memiliki risiko bias yang rendah untuk setiap domain, kecuali tiga penelitian dengan risiko bias menengah karena tidak mendefinisikan faktor prognosis dengan jelas. Kesimpulan: Mortalitas pasien COVID-19 dewasa yang sakit kritis tidak hanya dapat diprediksi dari waktu pemberian intubasi, tetapi banyak faktor lain yang mempengaruhinya.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library