Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasto Nugroho
Abstrak :
Latar belakang: WHO merekomendasikan penggunaan obat TB dalam bentuk kombinasi dosis tetap (Fixed Dose Combinations=FDC) berisi 4 obat dalam strategi DOTS bertujuan meningkatkan mutu hasil pengobatan .Obat FDC memudahkan pengobatan, dan penatalaksanaan pengadaan obat serta mencegah bahaya resistensi obat. Sejak tahun 1999 Indonesia mulai menggunakan paduan OAT - FDC yang berisi 4 obat di Propinsi Sulawesi Selatan dengan basil memuaskan. Tujuan menilai angka keberhasilan pengobatan TB paru dengan OAT kombinasi dosis tetap (FDC) di Surakarta. Bahan dan cara: penelitian bersifat prospective study menggunakan uji klinik terbuka. Pemilihan sampel dilakukan secara acak sederhana. Perlakuan berupa pemberian OAT FDC untuk kelompok pertama dan pemberian OAT Kombipak untuk kelompok kedua. Kedua kelompok diikuti selama enam bulan. Subyek penelitian berjumlah 180 prang, masing-masing 90 orang kelompok FDC dan 90 orang ketompok Kombipak. Uji Chi square digunakan untuk menilai kemaknaan perbedaan pada variabel babas maupun variabel efek dengan skala nominal. Perhitungan beda rerata karakteristik subyek penelitian menggunakan uji-T. Data diolah dengan menggunakan program komputer SPSS versi 10.05. Hasil: Angka keberhasilan pengobatan dengan OAT FDC 98,9% dan 96,7% untuk kelompok Kombipak. Tidak terdapat perbedaan bermakna angka keberhasilan FDC dibanding Kombipak (p>0,05)). Angka kesembuhan OAT FDC 97,8%. Tidak terdapat perbedaan bermakna keseluruhan gejala efek samping obat antara kelompok FDC dan Kombipak (p>0,05). Gejala gastrointestinal kelompok FDC lebih sedikit dibanding dan Kombipak,secara statistik bermakna (p<0,05). Simpulan: Angka keberhasilan OAT FDC lebih besar dibanding Kombipak, secara statistik tidak berbeda bermakna. Angka kesembuhan OAT FDC 97,8%. Gejala gastrointestinal kelompok FDC lebih sedikit dibanding kelompok Kombipak, secara statistik berbeda bermakna.
Background: To improve tuberculosis treatment, a 4-drug FDC were recommended by the World Health Organization (WHO) as part of the DOTS strategy. FDCs TB drugs could simplifies both treatment and management of drug supply, and may prevent the emergence of drug resistance. Since 1999 Indonesia was taken a 4- drug FDCs to treatment the tuberculosis patient in the South Sulawesi province , treatment results are excellent. Objectives: To asses success rate and treatment outcome in new smearpositif patient treated by FDCs drug. Design: A prospective study, open clinical trial in which patient are simple randomly allocated to the FDC regimen or Kombipak. Result : FDCs treatment success rate was 98.9% and 96.7% in patient treated by Kombipak, differences at the 5% level (p> 0.05 ) are regarded as no statistically significant. FDCs cure rate was 97,8%. Gastrointestinal complaint in patient treated with FDC lower than Kombipak (p<0,05), are regarded as statistically significant. Conclusion: FDCs treatment success higher than Kombipak. FDC cure rate 97,8%. Gastrointestinal complaints in patient treated FDC lower than Kombipak.
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T58470
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Allen Widysanto
Abstrak :
Parameter yang menilai derajat asma dan asma kontrol saling tumpang tindih secara bermakna. Walaupun terjadi korelasi antar parameter namun tidak ada satu komponen tunggal yang dapat secara akurat mengklasifikasikan setiap individu penyandang asma. Beberapa alat ukur berupa kuesioner yang telah divalidasi, seperti Asthma Control Test ( ACT ), Asthma Control Scoring System ( ACS ) dan Asthma Control Questionnaire (ACQ ) telah dipublikasi saat ini, namun belum dilakukan perbandingan antar kuesioner tersebut. Asthma Control Test adalah suatu kuesioner yang berisi 5 pertanyaan dan dapat diisi sendiri oleh penyandang asma. Lima pertanyaan tadi mencakup frekuensi gejala, pembatasan aktiviti, penggunaan obat pelega, dan persepsi sendiri mengenai kontrol asma. Asthma Control Scoring System adalah suatu kuesioner yang sifatnya kuantitatif dan berisi 3 parameter yaitu gejala klinis, fungsi paru ( VEP1 ) dan persen eosinofil pada sputum induksi. Khusus parameter eosinofil disebut sebagai parameter opsi pada kuesioner ini. Kantrol asma dihitung berdasarkan skor 0-100% untuk tiap pertanyaan. Tujuan penelitian adalah untuk menilai hubungan antara ACT dan ACS pada penderita asma persisten baik sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi. Disain penelitian yang digunakan adalah kohort dan pengumpulan sampel dilakukan secara quota di poli paru RSUD Dr Moewardi, Surakarta. Jumlah sampel yang diteliti sebesar 32 orang yang seluruhnya tergolong dalam asma persisten. Janis kelamin laki-laki sebanyak 11 orang (34%) dan perempuan 21 orang (66% ). Sampel yang termasuk derajat asma persisten ringan sebesar 17 orang ( 53% ), asma persisten sedang 14 orang ( 44%) dan asma persisten berat 1 orang (3% ). Tidak ada korelasi antara skor ACS dengan skor kategori ACT sebelum pemberian kortikosteroid inhalasi dengan koefisien kesepakatan (x) : 0, 06, p : 0, 86. Sebaliknya, korelasi antara skor ACS dengan skor kategori ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi menunjukkan korelasi sedang yang bermakna (K: 0,56; p : 0,001 ). Perbedaan rata-rata skor ACT balk sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi adalah bermakna ( p : 0,001 ), sedangkan hasil yang sama juga diperlihatkan pada perbedaan rata-rata skor ACS baik sebelum dan sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi ( p : 0,001 ). Cut off point ACS sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi sebesar 60%. Kesimpulan : Hasil menunjukkan bahwa terdapat korelasi sedang dan bermakna pada penilaian skor ACS dan skor ACT sesudah pemberian kortikosteroid inhalasi pada cut off point ACS sebesar 60%.
The individual parameters to define asthma severity and asthma control overlap significantly. Although correlation exists between the various parameters, no single component can accurately classify the entire individual. Validated measures, such as ACT, ACS, ACQ, for assessing asthma control are now available, but no comparison between the existing measures has been performed. Asthma Control Test is a five item self administered survey, scored from 0-5 points and only assessed asthma control from symptom frequency, activity limitation, rescue medication and self-perception of control. Asthma Control Scoring System is a quantitative measure of asthma control incorporating 3 parameters (respiratory symptoms, FEV, and percentage eosinophit in induced sputum as an option parameter). Asthma score is quantified based on 0-100% for each component. The purposes of this study were to assess the correlation between ACT and ACS in persistent asthmatic patients either before of after inhaled corticosteroid (ICS) treatment. The study design was cohort study and the sample was collected by quota sampling. A total of 32 patients (male 11 persons (34%) and female 21 persons (66%)) which was diagnosed as persistent asthma fulfilled the criteria of this study. Samples were categorized as mild persistent asthma (53%), moderate persistent asthma (44%) and severe persistent asthma (3%). The correlation of ACS score based on ACT category score before ICS showed no agreement (agreement coefficient (K: 0,06) ; p : 0,86 ). In contrary, the correlation of ACS score based on ACT category score after ICS showed significantly moderate agreement ( K : 0,56 ; p : 0,001 ). The mean difference of ACT score before and after treatment showed significant level (p: 0,001). Likewise, the mean difference of ACS score before and after treatment showed significant level (p: 0,001). Cut off point of ACS score after inhaled corticosteroid was 60%. Conclusion: The result showed that there was a moderate correlation statistically significant agreement between ACS and ACT assessment when ACS score of 60% was used as the cut off point.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18027
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Widyawati
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian peran n-acetlylcsteine (NAC) dosis tinggi jangka pendek pada perubahan klinis dan kadar protein C-reaktif (CRP) penderita penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain completely randomized experiment. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran n-acetylcysteine dosis tinggi jangka pendek terhadap perubahan kiinis dan nilai CRP penderita PPOK eksaserbasi akut. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua penderita PPOK eksaserbasi akut tanpa disertai gagal jantung, penyakit hepar, batu ginjal dan gagal ginjal, kanker paru, infeksi di Iuar saluran pernapasan, diabetes melitus dan pemakai kortikosteroid oral. Semua penderita dinilai skala klinis dan CRP sebelum dan 5 hari setelah periakuan. Penilaian skala klinis berupa kesulitan mengeluarkan dahak dan auskultasi paw. Pemeriksaan nilai CRP menggunakan metode kuantitatif high sensity CRP. Subyek penelitian berjumlah 42 orang, secara random dibagi menjadi 3 kelompok yaitu kelompok kontrol, NAG 600 mg dan NAC 1200 mg, masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Semua subyek penelitian mendapatkan terapi standar berupa aminofilin drip, cefotaxim 1 gram 1 12 jam IV, metilprednisoion 62,5 mg 1 8 jam IV, nebulizer ipratropium bromida 4x20 µg/hari dan fenoterol 4x200 µg/hari. Penelitian diikuti selama 5 hari dan tiap hari dinilai skala klinis. Data yang diperoleh dianalisis uji beda dengan ANOVA dan uji korelasi dengan uji pearson, dikatakan bermakna bila p < 0,05. Hasil penelitian didapatkan perbedaan penurunan skala klinis antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 1,21 (p=0,001), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg 3,71 (p=0,000), dan kelompok NAC 600 mg dengan NAC 1200 mg 2,50 (p=000). Perbedaan penurunan rata-rata kadar CRP antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 16,93 (p=0,266), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg -14,97 (p=0,39). Lama perawatan di rumah sakit kelompok kontrol adalah 6-14 hari, rata-rata 7 hari (SD 2,287), kelompok NAC 600 6-12 hari, rata-rata 6,71 hari (SD 1,637) dan kelompok NAC 1200 6-10 hari, rata-rata 6,50 hari (SD 1,160). Uji korelasi antara kadar CRP dengan hitung leukosit didapatkan korelasi sedang dan bermakna. (r=0,402; p=0,08), dan korelasi antara kadar CRP dan hitung jenis neutrofil adalah korelasi sedang dan bermakna. (r-0,423; p=0,05). Hasil penelitian di atas menunjukkan perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibandingan tanpa pemberian NAC. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding tanpa pemberian NAC. Perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim. Kesimpulan penelitian adalah pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dapat memberikan perbaikan klinis pada penderita PPOK eksaserbasi akut, tetapi tidak terdapat perubahan nilai CRP yang bermakna.
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is an obstructive airway disorder characterized by slowly progressive and irreversible or only partially reversible. Oxidative stress is increased in patients with COPD, particularly during exacerbations and reactive oxygen species contribute to its path physiology. These suggest that antioxidants may be use in the treatment of COPD. Other studies have shown that nacetylcysteine (NAC) has antioxidant and antiinflamatory properties. In vitro, NAC inhibit neutrophil chemotaxis, interleukin (1L)-8 secretion and other pro-inflammatory mediators such as the transcription nuclear factor (NF)-izB, which is directly correlated with the production of the systemic inflammatory marker C-reactive protein (CRP). The aim of this study was to evaluate the role of high dose-short course n-acetylcysteine in clinical improvement and C - reactive protein's patients with exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Forty two patients exacerbations of COPD participated in this study. The subjects were randomly assigned, divided by three treatment groups: placebo (n=14), NAC 600 mg/day (n=14) and NAC 1200 mg/day (n=14). Concomintant use of inhaled B2-agonist and anticholinergics, aminophylline drip, cefotaxim 1g/12h, methylprednisolon 62,5mg/8h were permitted during the study, while the use of antitussive and mucolitic were prohibited. Clinical symptoms were scored on 2-point scales, difficulty of expectoration and auscultation breath sound. CRP level are determined by high sensitivity C-reactive protein (HS-CRP). All measurements would be taken in baseline and were repeated after 5 days. The results of this study showed that clinical outcomes were improved significantly in patients treated with NAC compared to placebo and clinical outcome of patients treated with NAC 1200 mg/day were more frequently significant than treated with NAC 600 mg/day. There was no significantly reduction in CRP level. The conclusion was treatment with high dose short course NAC improving clinical outcomes in patients exacerbations of COPD.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T18029
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
I Gusti Ngurah Widiyawati
Abstrak :
Telah dilakukan penelitian peran n-acetylcysteine (NAC) dosis tinggi jangka pendek pada perubahan klinis dan kadar protein C-reaktif (CRP) penderita penyakit paru obstruksi kronik eksaserbasi akut di RSUD Dr.Moewardi Surakarta. Penelitian ini adalah penelitian eksperimental dengan desain completely randomized experiment. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran n-acetylcysteine dosis tinggi jangka pendek terhadap perubahan klinis dan nilai CRP penderita PPOK eksaserbasi akut. Kriteria inklusi pada penelitian ini adalah semua penderita PPOK eksaserbasi akut tanpa disertai gagal jantung, penyakit hepar, batu ginjal dan gagal ginjal, kanker paru, infeksi di luar saluran pemapasan, diabetes melitus dan pemakai kortikosteroid oral. Semua penderita dinilai skala klinis dan CRP sebelum dan 5 hari setelah perlakuan. Penilaian skala klinis berupa kesulitan mengeluarkan dahak dan auskultasi paru. Pemeriksaan nilai CRP menggunakan metode kuantitatif high sensity CRP. Subyek penelitian berjumlah 42 orang, secara random dibagi menjadi 3 kelompok yaltu kelompok kontroi, NAC 600 mg dan NAC 1200 mg, masing-masing kelompok terdiri dari 14 orang. Semua subyek penelitian mendapatkan terapi standar berupa aminofilin drip, cefotaxim 1 gram / 12 jam IV, metilprednisolon 62,5 mg / 8 jam IV, nebulizer ipratropium bromida 4x20 µg/hari dan fenoterol 4x200 µg/hari. Penelitian diikuti selama 5 hari dan tiap hari dinilai skala klinis. Data yang diperoleh dianalisis uji beda dengan ANOVA dan uji korelasi dengan uji pearson, dikatakan bermakna bila p < 0,05. Hasil penelitian didapatkan perbedaan penurunan skala klinis antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 1,21 (p=0,001), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg 3,71 (p=0,000), dan kelompok NAC 600 mg dengan NAC 1200 mg 2,50 (p=0,000). Perbedaan penurunan rata-rata kadar CRP antara kelompok kontrol dengan NAC 600 mg 16,93 (p=0,266), kelompok kontrol dengan NAC 1200 mg 1,95 (p=1,00) dan kelompok NAC 600 mg dengan NAC 1200 mg -14,97 (p=0,39). Lama perawatan di rumah sakit kelompok kontrol adalah 6-14 hari, rata-rata 7 hari (SD 2,287), kelompok NAC 600 6-12 hari, rata-rata 6,71 hari (SD 1,637) dan kelompok NAC 1200 6-10 hari, rata-rata 6,50 hari (SD 1,160). Uji korelasi antara kadar CRP dengan hitung leukosit didapatkan korelasi sedang dan bermakna. (r=0,402; p=0,08), dan korelasi antara kadar CRP dan hitung jenis neutrotil adalah korelasi sedang dan bermakna. (r=0,423; p=0,05). Hasil penelitian di atas menunjukkan perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding tanpa pemberian NAG. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding tanpa pemberian NAC. Perbedaan skala klinis lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim. Perbedaan nilai CRP tidak lebih besar pada penderita PPOK eksaserbasi akut dengan pemberian NAC dosis tinggi jangka pendek dibanding dengan pemberian NAC dosis lazim. Kesimpulan penelitian ini adalah pemberian NAC dosis dosis tinggi jangka pendek dapat memberikan perbaikan klinis pada penderita PPOK ekasaserbasi akut, tetapi tidak terdapat perubahan nilai CRP yang bermakna.
Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is an obstructive airway disorder characterized by slowly progressive and irreversible or only partially reversible. Oxidative stress is increased in patients with COPD, particularly during exacerbations and reactive oxygen species contribute to its pathophysiology. This suggests that antioxidants may be use in the treatment of COPD. Other studies have shown that nacetylcysteine (NAC) has antioxidant and antiinflamatory properties. In vitro, NAC inhibit neutrophil chemotaxis, interleukin (IL)-8 secretion and other pro-inflammmatory mediators such as the transcription nuclear factor (NF)-xB, which is directly correlated with the production of the systemic inflamatory marker C-reactive protein (CRP). The aim of this study was to evaluate the role of high dose-short course n-acetylcysteine in clinical improvement and C - reactive protein's patients with exacerbations of chronic obstructive pulmonary disease. Forty two patients? exacerbations of COPD participated in this study. The subjects were randomly assigned, divided by three treatment groups: placebo (n=14), NAC 600 mg/day (n=14) and NAC 1200 mg/day (n=14), Concomintant use of inhaled p2-agonist and anticholinergics, aminophylline drip, cefotaxim 1g/12h, methyiprednisolon 62,5mg/8h were permitted during the study, while the use of antitussive and mucolitic were prohibited. Clinical symptoms were scored on 2-point scales, difficulty of expectoration and auscultation breath sound. CRP level are determined by high sensitivity C-reactive protein (HS-CRP). All measurements would be taken in baseline and were repeated after 5 days. The results of this study showed that clinical outcomes were improved significantly in patients treated with NAC compared to placebo and clinical outcome of patients treated with NAC 1200 mg/day were more frequently significant than treated with NAC 600 mg/day. There was no significantly reduction in CRP level. The conclusion was treatment with high dose short course NAC improving clinical outcomes in patients? exacerbations of COPD.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library