Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 37 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dyah Chitraria Listyati K.N.P
"ABSTRAK
Cerita Parthayajna diambil dari episode epos Mahabrata, menceritakan permainan dadu antara Pandawa dan Kourawa. Sebagai akibat kekalahan di pihak Pandawa, Arjuna harus melakukan tapa untuk menebus dosa dan menghilangkan noda. Inti cerita dititikberatkan pada peristiwa-peristiwa yang dialami Arjuna selama perjalanannya ke Indrakila. Cerita Parthayajna ditampilkan dalam seni rupa pada relief teras kedua candi Jago. Hasil penelitian Van Stein Callenfels menerangkan bahwa relief cerita Parthayajna itu harus dibaca secara prasawya. la juga menekankan bahwe relief cerita ini bersandar pada gaya kakawin. Berdasarken penelitian Callenfels serta didorong oleh teori yang diajukan oleh Th.A.Resink maka penulis memutuskan memilih subyek ini sebagai telaah perbandingan. Sebagai data bantu dalam identifikasi tokoh-tokoh yang ada pada reliefnya dipergunakan ikonografi tokoh-tokoh yang ada dalam wayang, khususnya pada bentuk mahkotanya. Hasil yang dicapai, memberikan suatu kesimpulan bahwa pemahat relief cerita Parthayajna tidak sepenuhnya mengacu pada kakawin. Kesamaannya terdapat pada alur atau, jalannya cerita. Penyajiannya (penempatan dan penggambaran tokoh-to_kohnya serta pembatas adegan) mengikuti tradisi wayang. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa relief cerita Parthayajna, di candi Jago itu bersandar pada lakon wayang, khususnya dalam penyajiannya.

"
1985
S11842
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kresno Yulianto Soekardi
"ABSTRAK
Dari sekian banyaknya karangan tentang bangunan-bangunan candi di Indonesia, candi Borobudur merupakan salah sahu candi yang sudah sering dibicarakan. Penelitian terhadap candi itu meliputi berbagai aspek, seperti arsitektur. geologis, kimiawi, historis, maupun arkeologis. Aneka ragam penelitian itu sudah barang tentu melibatkan berbagai ahli dari berbagai disiplin ilmu.
Candi Borobudur mulai muncul dari kegelapan masa lalu ketika Raffles, Gubernur Jendral Inggris yang bertugas di Indonesia, mendapat keterangan tentang adanya sebuab candi besar yang disebut Candi Borobudur, terletak di desa Bumisegoro, dekat Magelang, propinsi Jawa Tengah (Soekmono 1981:21). Selanjutnya, Raffles menguraikan tentang candi itu meskipun secara singkat di dalam bukunya yang terkenal, History of Java {1965).
Semenjak itu, makin barnyak karya tulis di terbitkan oleh peneliti aging tentang candi. Borobudur. Krom (1920) dan Erp (1931 misalnya, telah menerbitkan karya besar mereka berupa monografi sebanyak 2 jilid dan 3 album. Belum lagi karang_an-karangan baik dalam bentuk buku maupun artikel yang tak terhitung jumlahnya...

"
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1984
S11770
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. Widiati
"ABSTRAK
Trowulan adalah sebuah situs besar yang terletak di dalam wilayah Kabupaten Mojokerto, Propinsi Jawa Timur. Di dalam situs ini yang luasnya diperkirakan 10 X 10 kilometer terdapat sejumlah bangunan kuna Diantaranya ada sebuah bangunan yang dikenal penduduk sebagai Kubur Panggung.
Situs Kubur Panggung terletak di dukuh Nglingguk, Ke_lurahan Trowulan, Kecamatan Trowulan..Tempat tersebut dapat dicapai melalui jalan desa Trowulan-Troloyo yang membentang dari arah utara ke selatan pada kilometer 13 dari jalan raya Surabaya-Jombang .Lokasi tersebut ter_letak lebih kurang 2 kilometer di sebelah selatan dari ja_lan raya tersebut dan berada di sisi barat dari jalan de_sa .
Kubur Panggung adalah nama yang diberikan penduduk se_tempat terhadap suatu kompleks makam. Salah satu di antara makam-makam tersebut letaknya lebih tinggi...

"
1985
S12080
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aam Zamila
"ABSTRAK
Salah satu wilayah Indonesia yang mendapat pengaruh kebudayaan India adalah Pulau Jawa. Pengaruh kebudayaan ini terdapat pada berbagai unsur kebudayaan, salah satu di antaranya adalah agama Hindu aliran Siva. Di Jawa hal yang membuktikan terdapat peninggalan-peninggalan kepurbakalaan hasil kebudayaan Hindu yang beraliran Siva adalah adanya candi-candi yang ditemukan masih bersama arcanya, di puncak candinya selalu dijumpai area Siva atau perwujudannya berupa linga (Sedyawati 1978:38).
Prasasti yang jugs menunjukkan adanya agama Hindu ber_aliran Siva di Jawa Tengah ialah prasasti Canggal yang ditemukan di halaman percandian gunung Wukir di kecamatan Salam (Magelang)1. Isi prasasti ini antara lain menyebutkan puji-pujian kepada Siva, Brahma dan Vishnu. Akan tetapi penyebutan kepada Siva lebih banyak bila dibandingkan dengan Brahma dan Vishnu (Poerbatjaraka 1952:42, Sumadio 1984:98). Penyebutan ini merupakan bukti adanya pemujaan yang istimewa terhadap Siva.
Dalam aliran Siva, Siva dianggap sebagai dewa tertinggi, mempunyai tiga sifat, yaitu sebagai pencipta, pelindung dan perusak (Gupta 1972:45). Tiga sifat yang dimiliki oleh Siva ini sebenarnya dimiliki oleh Brahma sebagai dewa pencipta...

"
1985
S11537
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nursilah
"Pengelolaan taxi tradisional di Indonesia menjadi perdcbatan di kalangan seniman tentang arah perkembangan dan batas tanggung jawabnya Perdebatan berkisar pada pertentangan antara keinginan imtuk tetap menjaga keaslian seni tradisi dan usaha untuk mengembangl-can sejauh mungkin agar lebih aktual dan selalu mengikuti perkembangan jaman. Tanpa mengesampingkan pertentangan tersebut, usaha uniuk tetap melestarikan tradisi maupun mengembangknn tetap bisa dilakukan jika dilandasi alasan-alasan yang bisa dipenanggungjawabkan.
Kajian terhadap seni tari terdiri dari dua aspek, yaitu sebagai produk dan proses. Sebagai produk, tari diamati sebagai scbuah karya seni yang mempunyai nilai estetis dan sejauh mana lcualitas estetis suaru knrya. Sebagai proscs, seni tari dapat diamati scbagai proses perilaku manusia dalam rangka merefleksikan kehendak baik secara individu maupun kolektif sebagai ekspresi budaya Pada umumnya kajian seni tari yang ada hanya mengambil salah satu yaitu sebagai proses atau produk saja kajian yang menggabungkan keduanya jarang dilakukan, padahal sangat diperlukan agar upaya pengelolaan tari tradisional dapat terwujud secara komprehensif dan menyeluruh.
Reyog Ponorogo dipilih untuk menjelaskan kajian seni tari sebagai produk dan proses budaya Sebagai produk budaya, pengamatan diarahkan pada isi karya seni dan elemen-elemen estetis yang terkandung di dalamnya Berdasarkan uraian ini terungkap bahwa reyog Ponorogo merupakan bentuk seni pertunjukan rakyat yang lebih mementingkan aspek fungsi dan maknanya di masyarakat. Scbagai proses budaya pengamalan diarahkan pada bagaimana kehidupan seni tari tersebut berlangsung di tengah-tengah masyaraj-cat. Berdasarkan uraian ini dapat dikatakan bahwa reyog Ponorogo mempunyai peran penting dalam rangka menyertai berbagai aktivitas rnasyarakat sesuai dengan tuntutan kehidupan
Kajian terhadap seni perumjukan nzyog Ponorogo sebagai produk dan proses budaya ini pada akhimya dapat digunakan untuk mengetahui idcntitas budaya masyarakat pendukungnya. Identitas budaya dapat diketahui berdasarkan keunikan, kcpribadian, dan peran yang dapat dilakukan dalam lingkungannya. Keunikan dalam reyog Ponorogo dapat dilihat dari ciri khas seni pertwijukan baik teknik penyajian tari, elemen pendukung, maupun nilai estetis seni. Kepribadian dapat dilihat dari nilai-nilai budaya yang dianggap berharga yang tcrungkap dalam seni pertunjukan, ditinjau dari aspek karya scni dan seniman pelaku. Tinjauan terhadap karya seni terungkap bahwa reyog Ponorogo bemilai bagi masymakat karena mempunyai berbagai fungsi dalam menyenai aktivitas budaya. Berbagai fungsi ini dapat diiihat berdasarkan kajian folklor lerhadap reyog Ponorogo di masyaral-Lat. Tinjauan terhadap senjman pelaku reyog Ponorogo terungkap bahwa warok sebagai pelaku seni pertunjukan mempunyai peran penting di masyarakat_ Warok menjadi tcladan dan panutan dalam sikap dan perilaku hidupnya Sifat teladan walok menjadi orientasi nilai dan pandangan hidup masyarakat. Reyog Ponorogo sebagai eksprcsi seni pertunjukan rakyat merefleksikan kehidupan rakyat sesuai dengam nilai-nilai dan pola budaya di mana kesenian tersebut tumbuh dan berkembang. Uraian ini akhirnya dapat menjelaskan bahwa melalui seni pertunjukan reyog Ponorogo dapat digunakan imtuk mengetahui nilai-nilai dan pandangan hidup sebagai pembentuk identitas budayanya."
2001
T4920
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lindia Chaerosti
"Keberadaan keraton dalam suatu kerajaan memegang peranan penting, karena keraton selain sebagai tempat tinggal raja beserta keluarganya merupakan pula suatu bangunan inti yang berfungsi sebagai pusat kerajaan sekaligus sebagai pusat kota. Keraton sebagai hasil karya arsitektur masa lampau merupakan obyek yang menarik untuk diteliti. Dibaliknya tersembunyi simbol yang mengisyaratkan kekuasaan dan kesucian seorang raja. Mengingat bangunan keraton atau istana merupakan tempat raja bersemayam, maka tentunya dalam pembuatan keraton disesuaikan dengan kebutuhan dan nilai seorang raja.
Dalam tesisnya yang meneliti Keraton Kasunanan Surakarta, Behrend melihat adanya bentuk yang hampir sama (mirip) dalam tata keraton, antara keraton tersebut dengan Keraton Kasultanan Yogyakarta. Terlihat dari pola pembagian wilayahnya, pola pembagian halamannya dan juga dari bangunan-bangunan yang ada di dalam keraton. Keadaan tersebut menjadi suatu model penelitian dan dasar pemikiran untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang keraton, khususnya pada Keraton Kasepuhan, Kanoman dan Kacirebonan yang terdapat di Cirebon. Penelitian yang dituangkan dalam bentuk skripsi ini pada dasarnya ingin melihat kemungkinan adanya suatu pole tertentu dalam bentuk tata ruang dan tata bangunan keraton, khususnya terhadap keraton-keraton yang ada di Cirebon.
Hasil penelitian ini menunjukkan, bahwa pada prinsipnya kita melihat adanya suatu pola yang sama pada tata ruang dan tata bangunan keraton-keraton di Cirebon, walaupun tidak sama persis dengan keadaan (tata keraton) yang terlihat pada Keraton Surakarta dan Yogyakarta. Hal itu didasari oleh adanya suatu pemikiran atau konsep mengenai mikrokosmos-makrokosmos dalam masyarakat, serta dipengaruhi oleh tradisi lainnya yang telah berkembang pada masa pra-Islam. Perbedaan dalam tata keraton, antara keraton-keraton di Cirebon yang merupakan peninggalan Kasultanan Cirebon, dengan Keraton Surakarta dan Yogyakarta sebagai peninggalan dinasti Mataram Islam, kemungkinan menunjukkan suatu perbedaan bentuk antara keraton-keraton dari kerajaan pesisir dan pedalaman.
Dari penelitian ini kita juga mendapatkan gambaran tentang bangunan-bangunan yang menjadi bangunan inti sebagai suatu prasyarat sebuah keraton. Fungsi bangunan dan tingkat kepentingannya sangatlah menentukan lokasi atau daerah penempatannya dalam ruang (halaman) keraton.
Bertolak dari hasil penelitian ini, diharapkan akan dilakukan suatu penelitian lebih lanjut terhadap keraton, khususnya pads keraton-keraton yang berada di pesisir dan pedalaman."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1990
S11752
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sitorus, Tambos
"Penelitian mengenai sifat ideal raja Jawa Kuno dilakukan dengan mengamati keterangan-keterangan yang tertulis pada 23 (dua puluh tiga) buah prasasti yang berasal dari masa pemerintahan Airlanga sampai masa Ka_diri. Tujuannya ialah untuk mengetahui pandangan masyarakat kerajaan Jawa kuno mengenai kedudukan seorang raja yang berkuasa. Selain itu jugs untuk mengetahui perkembangan konsepsi tersebut khususnya pads masa (pe_riode) yang diteliti. Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan se_jumlah transkripsi prasasti dari masa Airlangga - Kadiri yang telah diterbitkan/dipublikasikan. Uraian mengenai sifat ideal raja yang disebutkan di dalam prasasti-pra_sasti tersebut kemudian dipisahkan dan dianalisa lebih jauh melalui pemeriksaan (pembacaan) ulang kepada pra_sasti aslinya dan interpretasi terhadap isinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sifat kekuasaan Raja-raja Jawa kuno sering digambarkan seperti sifat_-sifat yang dimiliki oleh dewa-dewa. Dan khusus pada masa Airlanga - Kadiri, dewa Wisnu merupakan dewa yang paling sering dihubungkan dengan raja. Pandangan menurut mitologi Hindu yang menganggap dewa Wisnu sebagai dewa penyelamat dunia setelah masa kehancuran (pralaya), kemungkinan besar mendasari konsep pemikiran tersebut. Hal ini dapat dilihat dari keterangan-keterangan yang tertulis di dalam beberapa prasasti dan karya-karya sastra. Namun demikian dewa yang dihubungkan dengan seorang raja tidak hanya satu dewa (dewa Wisnu) saja, me-lainkan juga bersama-sama dengan dewa-dewa lainnya, se_perti dewa Suryya, Siwa dan Buddha. Hal ini diketahui berdasarkan keterangan sumber-sumber prasasti yang ber_asal dari masa sebelumnya, yaitu masa kerajaan Taruma_nagara dan Mataram Kuno dan juga dari masa sesudahnya yaitu masa kerajaan Sinhasari - Majapahit. Uraian mengenai sifat ideal raja tersebut ternyata tidak hanya terapat di dalam prasasti-prasasti saja, melainkan juga di dalam karya-karya sastra seperti kakawin-kakawin dari masa Kadiri. Apabila uraian dari ke_dua sumber tersebut dibandingkan, maka akan terlihat adanya perbedaan di dalam penekanan sifat raja tersebut. Pada prasasti-prasasti yang sering dikemukakan adalah sifat murah hati sang raja, sementara di dalam karya-karya sastra umumnya lebih menekankan sifat keperwiraan dari rajanya. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh perbedaan tema atau isi dari kedua sumber itu. Prasasti umumnya bertujuan untuk penetapan suatu daerah perdikan sehingga akan lebih tepat jika mengemukakan sifat murah hati seorang raja. Sementara itu kakawin-kakawin umumnya mengisahkan tentang cerita-cerita kepahlawanan, sehingga akan lebih tepat jika sifat ideal raja yang dikemukakan adalah sifat keperkasaannya di medan pertempuran."
1989
S11977
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Junus Satrio Atmodjo
"Tesis ini secara umum membicarakan tentang pengaruh faktor lingkungan tehadap proses perdagangan yang berlangsung antara kawasan pesisir dengan kawasan pedalaman di Provinsi Jambi abad XII-XIII Masehi, tanpa membahas lebih jauh bagaimana proses berlangsungnya perdagangan itu sendiri. Kawasan pesisir yang umumnya berupa rawa gambut semenjak lama diyakini merupakan daerah kosong yang tidak berpenghuni, minimnya dataran kering yang dapat dijadikan lahan pertanian menjadi alasan atas pendugaan itu, termasuk dugaan-dugaan bahwa kawasan ini pada abad XI-XI I masih berupa laut dangkal berbentuk teluk. Namun penemuan-penemuan arkeologi di akhiur tahun 1980-an memperlihatkan bahwa dugaan tersebut tidak beralasan karena ditemukan cukup banyak situs purbakala di kawasan pesisir yang dapat menunjukkan bukti pemukiman yang permanen. Terdapatnya persamaan benda temuan dengan sejumlah situs di kawasan pedalaman, khususnya keramik-keramik Cina dari abad tersebut, memperlihatkan bahwa kedua kawasan semenjak lama telah melakukan pertukaran barang yang intensif. Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa walaupun kawasan pesisir sepanjang tahun tertutup oleh genangan air, namun hal tersebut tampaknya tetap memberi kemungkinan bagi masyarakat Jambi kuno untuk menetap di kawasan ini dan melakukan komunikasi dengan dunia luar dan tetangga-tetangganya di pedalaman.
Kapal dan perahu merupakan dua sarana transportasi air yang paling mungkin berkembang di kawasan pedalaman dan pesisir yang banyak memiliki sungai dari berbagai ukuran. Sejumlah reruntuhan perahu yang ditemukan menjadi bukti bahwa 700 tahun yang lalu masyarakat Jambi kuno mampu membuat perahu dan melakukan perjalanan jauh untuk mempertukarkan barang yang dikumpulkan dari kawasan berbeda. Keberadaan sungai dan sumberdaya alam yang berlimpah memungkinkan terjadinya perdagangan itu. Faktor curah hujan yang besar, kelandaian permukaan sungai, percabangan sungai, atau pengaruh siklus pasang-surut air laut yang membentuk genangan besar di wilayah Delta Batanghari adalah faktor-faktor pendukung kemudahan pelayaran. Di lain pihak tersedianya cadangan logam emas, getah damar, getah kemenyan, dan kayu gaharu yang sangat diminati oleh masyarakat Cina, India, dan Timur Tengah membuka kesempalan bagi penduduk pedalaman Jambi untuk berpartisipasi dalam perdagangan internasional abad XI-XIII. Tanpa faktor-faktor alam ini kecil kemungkinan bagi Jambi untuk terlibat di dalam kegiatan perdagangan lintas wilayah hingga keluar dari pulau Sumatera.
Secara tidak langsung tesis ini menempatkan Kawasan Timur Jambi yang didominasi rawa dan sungai menjadi pintu masuk komoditas asing ke Jambi, sekaligus pintu keluar bagi komoditas Jambi memasuki pasar internasional. Tingginya curah hujan, luasnya wilayah genangan, dan siklus pasang-surut air bukannya menjadi rintangan bagi kelangsungan proses perdagangan, sebaliknya justru menjadi pendorong yang mempermudah proses tersebut."
Depok: Universitas Indonesia, 2001
T11675
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Warto
"Penelitian ini ingin mencoba mengungkapkan masalah kerja wajib blandong dalam usaha eksploitasi hutan di Jawa selama paro pertama abad XXX. Kerja wajib (kerja paksa) blandong di sini diartikan sebagai bagian dari kerja wajib negara (heerendiensten) di masa kolonial, yang dilakukan oleh penduduk desa yang tinggal di sekitar hutan. Adapun kerja blandong itu meliputi berbagai macam pekerjaan, seperti penebangan kayu di hutan, pengangkutan ke tempat-tempat penampungan kayu, penanaman kembali hutan, serta pekerjaan lainnya yang masih berhubungan dengan eksploitasi hutan. Berbeda dengan penduduk desa lainnya, penduduk desa yang secara langsung terlibat dalam kegiatan eksplotasi hutan (kerja blandong) dibebaskan dari segala beban kerja wajib lainnya, karena pekerjaan itu merupakan jenis pekerjaan yang sangat berat di antara kerja wajib lainnya.
Tidak jelas sejak kapan tepatnya kerja blandong itu mulai dikenal di Jawa, tetapi praktek kerja-wajib blandong sesungguhnya telah berlangsung eukup lama, jauh sebelum datangnya orang-orang Belanda ke Jawa. Baru setelah VOC (Verenigde Oost-Indische Compagnie, Kongsi Dagang Hindia Timur) menguasai sebagian daerah pesisir utara pulau Jawa, kerja blandong mulai diintensifkan. Secara umum daerah kerja blandong waktu itu dibagi menjadi dua, yaitu blandong di daerah pesisir bagian barat Semarang dan blandong di bagian timur Semarang, terutama di daerah-daerah yang memiliki hutan jati. Dengan kata lain, praktek kerja blandong itu semula hanya dikenal di daerah pantai utara Jawa, mulai dari Cirebon di pesisir bagian barat sampai di Banyuwangi di pesisir ujung timur Jawa. Tetapi sejalan dengan meluasnya pengaruh kekuasaan Belanda di Jawa, praktek kerja blandong juga makin meluas sampai ke wilayah pedalaman.
Penelitian ini akan dipusatkan di salah satu daerah blandong yang terkenal, yaitu di wilayah Karesidenan Rembang, Jawa Tengah. Daerah Rembang sejak dulu dikenal sebagai daerah sentral hutan jati di Jawa. Maka dalam usaha mengeksploitasi hutan di sana, VOC pada 1777 menetapkan empat distrik blandong di Kabupaten Rembang, yaitu distrik Waru, Mondotoko, Kaserman, dan Trambalang. Selain itu, di Kabupaten Lasem dan Tuban - yang juga merupakan bagian dari wilayah Karesidenan Rembang - kerja blandong juga sudah cukup lama dijalankan. Demikian juga dua Kabupaten lainnya, yakni Blora dan Bojonegoro, menjadi daerah pusat penebangan hutan sejak daerah ini diserahkan oleh Raja Mataram kepada pemerintah kolonial pada awal abad XIX. Jauh sebelum itu, di daerah Blora khususnya, kerja blandong sebenarnya sudah lama dijalankan, ketika daerah ini disewa oleh VOC dari Sunan.
Meskipun praktek kerja blandong di daerah Rembang sudah berlangsung cukup lama, namun penelitian ini hanya ingin mengungkapkan masalah itu sejauh ditemukannya sumber-sumber arsip yang mendukung. Khususnya nengenai pelaksanaan kerja blandong .selama awal abad XIX, telah diatur sedemikian rupa oleh Dereksi Kehutanan yang berdiri sejak 1808, sehingga banyak ditemukan informasi mengenai kerja blandong. Tetapi setelah lembaga kehutanan itu dihapus pada 1827, pengawasan hutan dan pengaturan eksploitasi hutan menjadi tidak efektif, karena berada di bawan Departemen Perkebunan, yang berlangsung sampai 1865.
Penelitian mengenai kerja blandong khususnya dan kerja wajib lainnya di Jawa abad XIX, belum banyak dilakukan. Ada beberapa studi yang secara umum membicarakan masalah itu, yaitu antara lain yang dilakukan oleh Djuliati Suroyo (1981, 1987), R.E Elson (1988), dan "Eindresume", yaitu laporan mengenai macam-macam kerja wajib di Jawa dan Madura yang disusun oleh pegawai pemerintah Hindia Belanda pada 1901-1903. Dalam tulisannya yang pertama, Djuliati membicarakan secara garis besar mengenai kerja wajib negara selama abad XIX di Karesidenan Kedu. Dia menjelaskan hubungan perkembangan kerja wajib dan pemilikan tanah, pendapatan petani, struktur kekuasaan, pelapisan masyarakat, dan perkembangan penduduk. Sedangkan pada tulisannya yang kedua, dia membicarakan eksploitasi buruh di Hindia Belanda dan di British-India selama abad XIX. Kemudian Elson lebih memusatkan perhatian pada pengerahan tenaga kerja petani selama berlangsungnya tanam Paksa, yang dikaitkan dengan adanya hubungan patronase dalam masyarakat Jawa.
Namun dari beberapa studi yang disebutkan itu belum ada yang secara khusus menyinggung masalah kerja wajib blandong. Uraian singkat mengenai masalah itu dalam konteks politik kehutanan di Jawa, dapat ditemukan inisalnya dalam tulisan Cordes (1881), Nancy Peluso (1988), dan Boomgaard (1988). Namun demikian, mereka itu umumnya membicarakan kerja blandong hanya sambil lalu dan lebih memusatkan perhatiannya pada politik kehutanan dalam skala makro. Oleh karenanya, bagaimana dampak?"
Depok: Universitas Indonesia, 1993
T9621
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Charunia Arni L. D.
"Gerabah merupakan salah satu benda atau alat yang diciptakan manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, misalnya untuk tempat menyimpan makanan - baik dalam bentuk cair maupun padat - untuk mengolah makanan, maupun keperluan lainnya. Gerabah seringkali diternukan di berbagai situs arkeologi di Indonesia, dari salah satu daerah persebaran tersebut adalah situs Banten Lama. Dari beberapa situs di Banten Lama yang menghasilkan banyak temuan gerabah, baik temuan permukaan maupun hasil ekskavasi, salah satunya adalah situs Surosowan. Penelitian tentang ragam hias gerabah dari situs Surosowan yang menjadi koleksi Museum Situs Banten Lama belum pernah dilakukan. Oleh karena itu Penelitian dititikberatkan pada usaha untuk mengidentifikasi variasi hiasan pada gerabah-gerabah berhias dari situs tersebut. Pengamatan juga ditujukan pada teknik-teknik yang digunakan untuk membuat hiasan-hiasan tersebut serta lokasi atau tempat hiasan pada bagian wadah. Analisis dilakukan secara khusus, dengan pengamatan utama pada atribut-atribut yang dimiliki oleh benda tersebut, dan dalam penelitian ini yang menjadi atribut kuatnya adalah atribut gaya. Selanjutnya dilakukan pemilahan yang didasarkan pada (1) ragam hias, (2) teknik hias, dan (3) bagian-bagian wadah. Setelah pemilahan tersebut selesai dilakukan kemudian ditarik hubungan antara masing-masing atribut, yaitu antara atribut ragam hias dan teknik hias, serta antara ragam hias dan bagian-bagian wadah."
1990
S11425
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4   >>