Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marendra Mahathir
"Latar Belakang: Banyak keluhan subjektif yang timbul pada kehamilan trimester III seperti gatal, edema tungkai, rasa baal, kesemutan dan nyeri pada pergelangan tangan. Keluhan tersebut dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup ibu hamil. Selama kehamilan dapat terjadi perubahan kadar albumin yang cukup masif yang diduga berhubungan dengan timbulnya keluhan subjektif tersebut.
Objektif: Mengetahui hubungan kadar albumin dengan keluhan subjektif (gatal, edema tungkai, rasa baal, kesemutan dan nyeri pada pergelangan tangan) pada kehamilan trimester III.
Metode: Ibu hamil trimester III tanpa penyakit penyerta yang kontrol kehamilan di poliklinik antenatal care (ANC) RSCM dan RSIA Anggrek Mas (n=78). Sampel tersebut di kelompokan menjadi sampel dengan keluhan subjektif (n=50) dan tanpa keluhan subjektif (n=28). Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kadar serum albumin pada semua subjek penelitian di labolatorium dan dilakukan analisis untuk mencari hubungan variabel tersebut.
Hasil dan Kesimpulan: Kadar albumin di bawah 3.51 g/dl berhubungan bermakna secara statistik dengan keluhan kesemutan (P=0.025) dan edema tungkai (P=0.001) dengan sensitifitas & spesifisitas masing-masing 76% & 55% dan 47% & 92%. Perubahan kadar albumin tidak berhubungan dengan keluhan gatal (mean 3.60 g/dl), rasa baal (mean 3.61 g/dl) dan rasa nyeri pada pergelangan tangan (mean 3.60 g/dl)

Background: There was many of subjective complaints arise in the third trimester of pregnancy such as itching, leg edema, numbness, tingling, and pain in the wrist. These complaints can cause a decrease in the quality of life for pregnant women. During pregnancy, changes in albumin levels are quite massive which is thought to be related to subjective complaints that arise.
Objective: Knowing the asociation beetween albumin serum levels and subjective complaints (itching, leg edema, numbness, tigling and pain in the wrist) during the third trimester of pregnancy
Methods: Third trimester pregnant mother without complication that control their pregnancy in the clinic RSCM and RSIA Anggrek Mas (n=78). These samples are grouped into samples with subjective complaints (n=50) and without subjective complaints (n=28). Furthermore, albumin serum level examination of all subject were performed on laboratory and all the result were analyze to obtain the association between these variables.
Results and Conclusions: Albumin serum levels below 3.51 g/dl were statistically significantly related to numbness complaints (P=0.025) and leg edema (P=0.001) with sensitivity & specificity of 76% & 55% and 47% & 92%, respectively. Changes in albumin levels were not associated with complaints of pain tingling (mean 3.60 g/dl), numbness (mean 3.61 g/dl) and pain in the whirst (mean 3.60 g/dl ).
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T58327
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Caesar Nurfiansyah
"Metode : Penelitian ini merupakan penelitian uji diagnostik dengan menggunakan metode potong lintang. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif. Penelitian dilakukan di Poliklinik Obstetri dan Ginekologi RSCM Jakarta pada 31 Januari 2015 hingga 31 Januari 2020. Sebanyak 183 pasien wanita dengan kecurigaan neoplasma ovarium padat diikutsertakan dalam penelitian. Pasien dengan penyakit sistemik lainnya atau mengalami kehamilan dieksklusi dari penetlitian. Dilakukan uji kesesuaian dengan menggunakan uji Kappa. Didapatkan sensitivitas dan spesifisitas dari masing-masing penanda tumor
Hasil : AFP memiliki sensitivitas 1,92% dan spesifisitas 77,1% sebagai penanda disgerminoma. LDH memiliki sensitivitas 55,67% dan spesifisitas 65,65% sebagai penanda disgerminoma.. AFP memiliki sensitivitas 30,43% dan spesifisitas 85% sebagai penanda teratoma. LDH memiliki sensitivitas 30,43% dan spesifisitas 58,13% sebagai penanda teratoma . AFP memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 88,89% sebagai penanda Yolk sac tumor. LDH memiliki sensitivitas 41,67% dan spesifisitas 59,65% sebagai penanda Yolk sac tumor. Kombinasi AFP dan LDH memiliki sensitivitas 100% dan spesifisitas 50,29% sebagai penanda Yolk sac tumor. Kombinasi tumor marker AFP dan LDH memiliki nilai sensitivitas yang lebih tinggi namun tidak memiliki akurasi yang lebih baik dibandingkan pemeriksaan menggunakan AFP atau LDH saja.
Kesimpulan : AFP dan LDH merupakan penanda tumor yang dapat digunakan untuk deteksi dini maupun skrining pada kasus neoplasma padat ovarium.

Background: Ovarian neoplasms are the most common malignancy experienced by women in Indonesia. Solid ovarian neoplasm is a form of ovarian neopalsma that has a low survival rate due to late diagnosis. Early detection using tumor markers is one of the focuses of researches on ovarian neoplasms, one of which includes AFP and LDH.
Objective : To determine the sensitivity and specificity of AFP, LDH, and the combination of the two tumor markers.
Method : This research is a diagnostic test using cross sectional method. Sampling is done consecutively. The study was conducted at the Obstetrics and Gynecology Clinic of RSCM Jakarta from 31 January 2015 to 31 January 2020. A total of 182 female patients with suspicion of solid ovarian neoplasms were included in the study. Patients with other systemic diseases or pregnant were excluded from research. Conformity test was performed using the Kappa test. Sensitivity and specificity of each tumor marker was obtained
Result : AFP has a sensitivity of 1.92% and specificity of 77.1% as a marker of dysgerminoma. LDH has a sensitivity of 55.67% and a specificity of 65.65% as a marker of dysgerminoma. AFP has a sensitivity of 30.43% and a specificity of 85% as a marker of teratoma. LDH has a sensitivity of 30.43% and specificity 58.13% as a marker of teratomas. AFP has 100% sensitivity and 88.89% specificity as a marker of Yolk sac tumor. LDH has a sensitivity of 41.67% and specificity 59.65% as a marker of Yolk sac tumor. The combination of AFP and LDH has a sensitivity of 100% and a specificity of 50.29% as a marker of Yolk sac tumor. The combination of AFP and LDH marker tumors has a higher sensitivity value but does not have better accuracy than examinations using AFP or LDH alone
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Adinda Novianti
"ABSTRAK
Latar Belakang: Kanker ovarium menjadi penyebab mortalitas yang tinggi pada wanita. Di Indonesia, kanker ovarium menempati urutan ketiga keganasan pada sistem reproduksi wanita dengan angka kejadian 4,27 dari 100.000 wanita. Di Indonesia, kejadian OCCC dari seluruh tipe histopatologi keganasan ovarium adalah 11-14%. Di Indonesia, belum ada penelitian yang membahas mengenai karakteristik klinikopatologi pasien OCCC. Hal ini disayangkan mengingat besarnya masalah yang mungkin terjadi pada pasien OCCC. Pertumbuhan OCCC yang lambat dan karakteristiknya yang tidak berespons dengan kemoterapi memerlukan tindakan operasi yang benar-benar bersih. Hal ini perlu dilakukan agar angka rekurensi dan komplikasi yang tinggi dapat diturunkan karena apabila terjadi rekurensi, maka dapat dicurigai pasien mengalami resistensi kemoterapi. Pentingnya pengetahuan mengenai karakteristik klinikopatologi OCCC diperlukan dalam hal diagnosis dan tatalaksana pasien. Oleh sebab itu penelitian ini bermaksud untuk memberikan gambaran lebih lanjut mengenai karakteristik klinikopatologi pasien OCCC yang berobat di RSUPN Ciptomangunkusumo.
Tujuan: Untuk mengetahui karakteristik klinikopatologi pasien ovarian clear cell ovarium di Indonesia
Metode: Dari tahun 2010-2015, 80 pasien dengan ovarian clear cell carcinoma teridentifikasi melalui data rekam medis dan INASGO yang didapatkan dari pasien yang berobat di RS Cipto Mangunkusumo
Hasil: Rerata usia pasien OCCC adalah 53 tahun dengan jumlah paritas terbanyak adalah 0 (46,2%). Stadium IC sebanyak 46,2% dengan riwayat operasi complete surgical staging sebesar 71,25% dan sebanyak 55% pasien OCCC melakukan kemoterapi namun tidak komplit. Jenis kemoterapi yang sering digunakan adalah multiple drug CT-platinum analogue taxane compound full course completed sebesar 10 kasus (4.4%). Hasil patologi anatomi ditemukan metastasis paling banyak pada omentum sebesar 47,5%. Respons kemoterapi komplit ditemukan pada 47,5% kasus dan status pasien ditemukan paling banyak hidup dengan penyakit sebesar 47,5%.
Kesimpulan: OCCC paling banyak ditemukan pada usia 53 tahun dengan paritas paling banyak adalah 0. Stadium ditemukan paling banyak pada stadium awal yaitu IC dengan terapi yang dilakukan juga sejalan yaitu complete surgical staging. Sebanyak 55% pasien OCCC melakukan kemoterapi namun tidak komplit dengan regimen yang paling banyak digunakan adalah multiple drug CT-platinum analogue taxane compound full course completed. Diferensiasi histopatologi ditemukan paling banyak adalah poor or undifferentiated dan metastasis ditemukan paling banyak pada omentum. Ditemukan sebanyak 47,5% respon terapi komplit dan sebanyak 47,5% pasien hidup dengan penyakit. Sebagian besar hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu yang dilakukan namun penelitian lanjutan tetap perlu dilakukan dengan jumlah sampel yang lebih banyak dan menggunakan data primer"
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Syahniar Mukmina
"ABSTRAK

Latar belakang: Persalinan pervaginam merupakan salah satu faktor risiko terjadinya disfungsi dasar panggul. Proses persalinan menyebabkan kerusakan pada otot dasar panggul dan saraf sehingga tejadi penurunan fungsi otot. Disfungsi dasar panggul merupakan kondisi yang umum terjadi dan berhubungan dengan penurunan kualitas hidup. Salah satu tata laksana konservatifnya adalah dengan melatih kekuatan otot dasar panggul. Stimulasi elektromagnetik merupakan metode yang tidak invasif untuk tata laksana disfungsi dasar panggul. Namun, penelitian yang pernah dipublikasi mengenai efek stimulasi elektromagnetik terhadap kekuatan kontraksi otot dasar panggul terbatas.

Tujuan: Mengetahui efek stimulasi elektromagnetik terhadap kekuatan kontraksi otot dasar panggul pasca persalinan pervaginam.

Metode: Kuasi eksperimen dengan desain tes sebelum dan tes sesudah pada satu kelompok tanpa menggunakan kontrol.

Hasil: Sebanyak 10 subjek dilakukan stimulasi elektromagnetik. Kekuatan kontraksi otot dasar panggul pasca stimulasi elektromagnetik lebih tinggi dibandingkan sebelum stimulasi elektromagnetik dengan nilai  median berturut-turut 33,70 (21,25) dan 43,45 (22,2) (p= 0,008). Tidak terdapat perbedaan kekuatan kontraksi otot dasar panggul berdasarkan berat lahir bayi, episiotomi, dan ruptur perineum dengan nilai p berturut-turut sebesar 0,394, 0,425, dan 0,223. 

 

Kesimpulan: Kekuatan kontraksi otot dasar panggul setelah diberikan stimulasi elektromagnetik cenderung lebih tinggi dibandingkan sebelum stimulasi. Tidak terdapat perbedaan kekuatan kontraksi otot dasar panggul pasca persalinan pervaginam berdasarkan berat lahir bayi, episiotomi, dan ruptur perineum. 


ABSTRACT


Background: Vaginal delivery is an important risk factor for developing pelvic floor muscle dysfunction. Delivery induces damage to both pelvic floor mucle and nerve so that its function may be impaired. Pelvic floor dysfunction is a common condition and closely related to decreased quality of life. Popular conservative treatment for this condition is routine exercise of pelvic floor muscle. In the other hand, electromagnetic stimulation was introduced as an less invasive treatment of choice. However, research publication regarding electromagnetic stimulation effect to the strength of pelvic floor muscle is scarce.

Objectives: Exploring the effect of electromagnetic stimulation to the strength of pelvic floor muscle contraction after vaginal delivery.

Methods:  This is a quasi-experimental study comparing pre and post intervention in one set of patients without control.

Results: Electromagnetic stimulation program was completed in 10 subjects. The strength of pelvic floor muscle contraction after the program was significantly higher than before the program 33,7 (21,25) and 43,45 (22,2) respectively, p = 0,008). Fetal birth weight, episiotomy, and perineal rupture were not associated with pelvic floor muscle contraction (p=0,394, p=0,425, and p=0,223 respectively).

Conclusion: The strength of pelvic floor muscle contraction after electromagnetic stimulation was higher than before the procedure. No difference was identified regarding pelvic floor contraction after vaginal delivery based on fetal birth weight, episiotomy, and perineal rupture.

"
2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gregorius Tanamas
"Latar Belakang : WHO melaporkan angka persalinan preterm mencapai 15 juta persalinan dan menyumbang kematian neonataus hingga 1 juta kasus. Berbagai faktor yang berhubungan dengan kematian neonatus terkait ketuban pecah dini sudah banyak diteliti, namun hubungannya terhadap kematian neonatus belum konsisten di berbagai literature. Peneliti ingin meneliti hubungan faktor-faktor tersebut di RSCM.
Metode : Penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan rekam medis ibu dan neonatus yang mengalami kasus ketuban pecah dini preterm (<37 minggu) dari tahun 2013-2017 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Luaran neonatus yang dinilai adalah nilai APGAR menit ke-1 dan ke-5, Respiratory Distress Syndrome, sepsis neonatorum, dan kematian neonatus. Data dianalisis secara univariat dan multivariat.
Hasil : Terdapat 1336 kasus ketuban pecah dini preterm dalam periode 5 tahun, namun hanya 891 kasus yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Faktor utama yang terkait morbiditas dan mortalitas neonatus dengan kasus ketuban pecah dini adalah usia kehamilan, dimana usia <28 minggu memiliki RR 18.8, IK 95%12.9-27.3; p=<0.01 dan berat badan lahir <1000 gr memiliki RR 34.1, IK 95%11.1-104.5; p=<0.01. Sepsis secara klinis meningkat risiko kematian neonatus RR 8.1, IK 95%5.2-12.8; p=<0.01.
Kesimpulan : Usia kehamilan yang semakin muda dan berat badan lahir yang semakin rendah meningkatkan risiko morbiditas dan kematian neonatus

Background :  WHO reported the rate of preterm labor are 15 million cases and contributed to 1 million neonatal death. Factors contributed to neonatal death in preterm premature rupture of membrane has been reported in many literatures, however the results are inconsistent. The Authors want to analyze factors contributing to neonatal death in RSCM
Method : This is a retrospective cohort using medical records of both mother and neonatal of preterm premature rupture of membrane from 2013-2017 in RSCM. Neonatal outcome analyzed in this study are minute-1 and minute-5 APGAR, respiratory distress syndrome, neonatal sepsis, and neonatal death. Data was analyzed with univariate and multivariate analysis.
Result : There was 1336 cases of preterm premature rupture of membrane during 5 years period. However, only 891 cases analyzed in this study. Main factors contributed to morbidity and mortality in preterm premature rupture of membrane are gestational age and birth weight, which gestational age <28 weeks has RR 18.8, IK 95%12.9-27.3; p=<0.01 and birth body weight <1000 gr has RR 34.1, IK 95%11.1-104.5; p=<0.01. Clinically sepsis increases neonatal mortality RR 8.1, IK 95%5.2-12.8; p=<0.01.
Conclusion : Younger gestational age and lower birth weight increase the risk of neonatal morbidity and mortality."
Depok: Universitas Indonesia, 2018
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zulfitri Dewi
"ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui akurasi parameter pola gambaran ultrasonografi dan kadar CA 125 untuk membedakan endometrioma dengan kistadenoma musinosum yang merupakan penelitian uji diagnostik dengan desain penelitian cross-sectional yang dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dengan mengambil data retrospektif dari Januari 2015 hingga Desember 2017. Pasien poliklinik rawat jalan ginekologi dengan kecurigaan memiliki neoplasma ovarium kistik direkrut. Sebagai Gold standar adalah temuan histologi dari massa adneksa yang dioperasi. Pola gambaran ultrasonografi dan kadar CA 125 akan disusun menjadi model untuk mendiagnosis endometrioma, kistadenoma musinosum, tumor jinak lain, dan tumor ganas/ borderline. Analisis statistik dari prediksi model untuk mebedakan endometrioma dengan kistadenoma musinosum dihitung berdasarkan cross tabulation sehingga didapatkan nilai akurasi, sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif. Penelitian ini melibatkan 200 pasien, sebanyak 83 kasus (41,5%) adalah endometrioma, 50 kasus (25%) adalah kistadenoma musinosum, 35 kasus (17,5%) adalah tumor jinak lain, 32 kasus (16%) adalah tumor ganas/ borderline. Karakteristik endometrioma adalah median CA 125 158,25 IU/mL, dinding tipis (72,29%), unilokuler (78,31%), bilateral ( 56,60%), ekogenisitas ground glass (66,27%), adanya perlengketan (68,7%), tanpa komponen padat (80,7%), sementara itu karakteristik kistadenona musinosum adalah median CA 125 52,85 IU/mL, dinding tipis (58 %), multilokuler (76%), unilateral (98%), ekogenisitas campuran (52%), tanpa perlengketan (84%), dan tanpa komponen padat (66%). Akurasi dari model regresi multinomial untuk membedakan endometrioma dengan kistadenoma musinosum yaitu 86%, dengan nilai sensitivitas, spesifisitas, nilai prediksi positif, dan nilai prediksi negatif masing-masing 87%, 84%, 92%, dan 77%. Model ini akurat  secara statistik (p <0,05). Sebagai kesimpulan didapatkan parameter pola gambaran ultrasonografi dikombinasikan dengan kadar CA 125 memiliki kemampuan yang baik untuk membedakan endometrioma dengan kistadenoma musinosum.

ABSTRACT
This study was aimed to assess the accuracy a set of parameter which are based on ultrasonography features and CA 125 level to discriminate endometrioma and mucinous cystadenoma. This was [i-[1] a diagnostic test research with cross-sectional study design conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital with retrospective data from January 2015 through December 2017. Gynecological outpatients clinics with suspicion of having ovarian cyst neoplasms based on patient history, clinical examination and ultrasonography were recruited. The gold standard is the histological findings of discarded adnexal masses. We conducted models based on multinomial regression analysis using gray-scale ultrasound characteristics and CA 125 level variables to diagnose endometrioma, mucinous cystadenoma, other benign tumor, malignant/ borderline tumor. Statistical analysis were calculated using cross-tabulation, to get accuracy, sensitivity, specificity, positive predictive value, and negative predictive value to differentiate endometrioma and mucinous cystadenoma. This study involved 200 patients, as many as 83 cases (41.5%) were endometriomas, 50 cases (25%) were mucinous cystadenoma, 35 cases (17,5%) were other benign tumor, and 32 cases were (16%) malignant/ borderline tumor. The characteristic endometrioma patients were median CA 125 level 158,25 IU/mL, thin wall (72,29%), unilocular cysts (78,31%), bilateral ( 56,60%), ground glass echogenicity (66,27%), adhesion (68,7%), without solid component (80,7%), while the ovarian mucinous cystadenomas were median CA 125 52,85 IU/mL, thin wall (58 %), multilocular (76%), unilateral (98%), variable echogenicity (52%), without adhesion (84%), and without solid component (66%). The multinomial logistic models can discriminate endometrioma and mucinous cystadenoma with accuracy 86%, and sensitivity, specificity, positive predictive value, negative predictive value of 87%, 84%,  92%, and 77%, respectively. The models were significantly accurate (p<0,05). Inconclusion, a multinomial logistic model derived from ultrasonography features and CA 125 level can accurately to discriminate endometriomas and mucinous cystadenoma [i-[1]"
2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Heru Prasetyo
"Latar belakang: Kanker ovarium khususnya jenis epitelial merupakan salah satu kanker tersering yang diderita oleh perempuan dengan angka mortalitas dan morbiditas yang tinggi. Hingga saat ini, beberapa penelitian telah meneliti berbagai faktor prognostik pada kanker ovarium, khususnya trombosit yang secara patofisiologi memiliki hubungan dengan berbagai marker inflamasi pada kanker. Tujuan: (1) Membuktikan bahwa trombositosis sebagai faktor prognosis pada pasien kanker ovarium jenis epitelial (2) Membuktikan angka OS selama 3 tahun pada pasien kanker ovarium jenis epitelial dengan trombositosis lebih buruk dibandingkan tanpa trombositosis. Metode: Penelitian ini menggunakan studi kohort retrospektif menggunakan data rekam medis pasien kanker ovarium epitelial yang terdaftar pada cancer registry Departemen Obstetri dan Ginekologi Divisi Onkologi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun Januari 2014- Juli 2016. Pengamatan dilakukan saat subjek pertama kali didiagnosis kanker ovarium hingga terjadi peristiwa hidup, meninggal, atau hilang dari pengamatan dalam waktu 3 tahun. Hasil: Didapatkan 220 subjek penelitian yang merupakan populasi terjangkau dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Dari 220 subjek penelitian, 132 (60%) dari 220 subjek penelitian merupakan pasien dengan kanker ovarium stadium lanjut (Stadium II/III/IV). Trombositosis didapatkan pada 94 orang subjek penelitian (42,7%). Pasien dengan kanker stadium lanjut memiliki risiko trombositosis yang lebih tinggi dibandingkan subjek pada stadium awal (p=0,005;OR=2,329). Meski begitu, ada atau tidaknya trombositosis secara statistik tidak bermakna pada OS selama 3 tahun (p=0,555). Terdapat mean time survival yang lebih rendah pada pasien dengan trombositosis tetapi tidak ada perbedaan hazard ratio yang bermakna antara subjek dengan atau tanpa trombositosis (p=0,399). Pada penelitian ini, didapatkan faktor prognostik yang bermakna pada OS selama 3 tahun antara lain adalah ada tidaknya asites (HR=3,425; p=0,025), stadium (HR=9,523; p=0,029) dan residu tumor ≥ 1 cm (HR=4,137; p=0,015) dengan stadium kanker ovarium merupakan faktor independen (HR=9,162; p=0,033). Sensitivitas dan spesifisitas trombositosis terhadap kanker ovarium stadium lanjut didapatkan sebesar 50,75% dan 69,32%. Kesimpulan: Trombositosis sebagai faktor prognostik pada pasien kanker ovarium jenis epitelial tidak dapat dibuktikan dan angka OS selama 3 tahun pada pasien dengan trombositosis dibandingkan dengan pasien tanpa trombositosis tidak bermakna secara statistik.

Background: Ovarian cancer, especially, epithelial ovarian cancer is one of the most common cancer in women with high rate of mortality and morbidity. Some studies have found that some biological factors that can be used as a prognostic factor for epithelial ovarian cancer, particularly, thrombocytes which pathophysiologically correlates with inflammation markers in cancer. Aim: (1) To determine thrombocytosis as a prognostic factor for epithelial ovarian cancer. (2) To determine that 3-year overall survival in epithelial ovarian cancer with thrombocytosis is significantly shorter than patients without thrombocytosis. Method: This study is a retrospective cohort study using medical record of patients with epithelial ovarian cancer which are registed in the cancer registry of Oncology Division in Obstetric and Gynecology Department, Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2014 until July 2016. Datas were collected when subjects were first diagnosed with epithelial ovarian cancer until diseases outcomes (survive, death, or loss to follow up) were identified in 3 years. Result: Out of 220 subjects, 132 (60%) were patients with advanced stage epithelial ovarian cancer (stage II/III/IV). 94 (42,7%) subjects had thrombocytosis. Patients with advanced stage of disease had higher risk of having thrombocytosis than the ones with earlier stage (p=0,005;OR=2,329). Correlation between thrombocytosis and 3-year overall survival was known to be insignificant (p=0,555). There was shorter mean time survival between patients with thrombocytosis and the ones without but the there was no significant difference in hazard ratio between the two groups. In this study, several prognostic factors of epithelial ovarian cancer were identifed such as ascites (HR=3,425; p=0,025), stage of disease (HR=9,523; p=0,029), and post-operative residual tumor ≥ 1 cm (HR=4,137; p=0,015) with stage of disease being the independent prognostic factor (HR=9,162; p=0,033). Sensitivity and specificity of thrombocytosis to advance stage of epithelial ovarian cancer were found to be 50,75% and 69,32%, respectively. Conclusion: Thrombocytosis as a prognostic factor in patients with epithelial ovarian cancer cannot be proven statistically. There is also no significant difference of 3-year overall survival between patients with or without thrombocytosis."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T58866
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Renny Surya Wardany
"ASBTRAK
Latar Belakang: Kanker serviks merupakan kanker dengan jumlah kasus baru terbanyak urutan kedua di Indonesia (Globocan 2018). Penyebab kanker serviks yaitu Infeksi Human Papilloma Virus (HPV). Inspeksi visual dengan asam asetat (IVA) merupakan salah satu metode deteksi dini yang dipilih menjadi program nasional di Indonesia. Namun kurang efektifnya pelaksanaan program penapisan kanker serviks ini masih menjadi masalah di Indonesia. Berkembangnya teknologi untuk mengambil gambaran foto serviks menggunakan kamera telepon seluler menjadi suatu gagasan metode penapisan alternatif berupa dokumentasi hasil temuan IVA DoVIA yang dapat disebut sebagai mini colposcopy.
Tujuan: Untuk mengetahui hasil kesesuaian temuan dokumentasi IVA (Documentation of Visual Inspection with Acetic Acid / DoVIA) terhadap hasil temuan kolposkopi sebagai metode skrining kanker serviks.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, menggunakan desain potong lintang yang dilaksanakan pada April tahun 2017 - Maret 2019 dengan mengikutsertakan 182 sampel foto dokumentasi yang diambil oleh peneliti, menggunakan kamera dengan ketajaman minimal 13 megapixel, memiliki autofokus dan aplikasi pencahayaan assistive light atau lampu sorot, analisis penilaian yang dilakukan 3 penilai yang telah ditentukan yaitu; konsulen onkologi ginekologi, residen obstetri ginekologi dan dokter umum yang telah mendapatkan pembekalan dan pengetahuan mengenai DoVIA dan kolposkopi, dengan kategori penilaian yang dilakukan menilai hasil kesesuaian dengan kappa test adalah ketajaman gambar foto serviks, tampilan sambungan skuamo kolumnar (SSK), kejelasan tampilan white epitel pada serviks.
Hasil : Hasil yang didapat pada Dokumentasi IVA DoVIA terhadap kolposkopi, nilai kappa 0.717 (baik), kemudian dilakukan uji inter-rater untuk melihat konsistensi terhadap Dokumentasi IVA, nilai kesesuaian 0.764 (baik) pada penilai konsulen dan residen, nilai 0.703 (baik) pada penilaian konsulen dan dokter umum.
Kesimpulan: Nilai kesesuaian Dokumentasi IVA DoVIA terhadap kolposkopi dengan Kappa baik, sehingga dapat melengkapi pemeriksaan IVA sebagai alternatif skrining kanker serviks.

ABSTRACT
Abstract: Cervical cancer has the second highest number of new cases in Indonesia (Globocan 2018). Human papilloma virus (HPV) infection has been known as the etiology of cervical cancer so that the disease course and early detection methods has been studied. Visual inspection with acetic acid (VIA) is one of the early detection methods chosen as the national program in Indonesia. However, lack of efectiveness in executing cervical cancer screening program is still our biggest problem. Taking photograph of the cervix using mobile phone may become an alternative idea to document VIA results or DoVIA that can be termed as mini colposcopy.
Aim : To find out the suitability of Documentation of Visual Inspection with Acetic Acid DoVIA result compare to colposcopy result as a method of cervical cancer screening.
Method: This is a descriptive study using cross sectional design that took place from April 2017 until March 2019. One hundred eighty two sampels of documentation photographs taken by the researcher were included, using minimized 13 mepapixel, and the best lighting method such autofocus, and assistive light application. The photographs were reviewed by the 3 selected reviewers: oncology and gynecology consultant, obstetric and gynecology resident, and general practitioner that were trained about DoVIA and colposcopy. The review was based on kappa test which assessed the sharpness, squamo-columnar junction and white epitel visualization on the cervix.
Results: Kappa score on DoVIA versus colposcopy was 0,717 (good). Inter-rater test was performed to assess consistency and the result was 0,764 (good) between consultant and resident, 0,703 (good) between consultant and general practitioner.
Conclusion: Kappa test of IVA documentation DoVIA gives a good kappa value, so that it is expected to be an alternative screening for cervical cancer."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59147
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Pramini Arti
"Latar Belakang : Indonesia merupakan salah satu negara di Asia dengan angka kematian ibu yang tinggi yaitu berkisar 126 per100,000 kelahiran hidup, dan 14% dari angka ini adalah karena hipertensi dan preeklampsia. Hal ini menjadi dasar perlunya upaya pencegahan preeklampsia yang dapat dilakukan melalui program skrining kehamilan berisiko tinggi yang efektif pada saat kunjungan antenatal, antara lain dengan penilaian karakteristik ibu dan faktor biofisik.
Tujuan : Memperoleh kalkulasi faktor risiko dari karakteristik dan biofisik ibu hamil sebagai prediktor preeklampsia dan aplikasi penggunaannya dalam suatu program berbasis android yang dapat digunakan oleh tenaga medis.
Metode : Studi ini kohort prospektif, dengan consecutive sampling mengumpulkan 1150 subyek terdiri dari ibu hamil dengan janin tunggal hidup dan tak terdapat kelainan kongenital. Setiap faktor maternal dan biofisik akan dianalisis bivariat, kemudian hasil yang bermakna dilanjutkan dengan analisis multivariat. Variabel yang bermakna hingga analisis multivariat akan menghasilkan persamaan regresi logistik yang digunakan untuk menghitung a priori risk seorang perempuan mengalami preeklampsia.
Hasil : Berdasarkan hasil analisis, faktor risiko yang bermakna untuk prediktor preeklampsia meliputi hipertensi kronis, nilai indeks massa tubuh lebih besar sama dengan 25 kg/m2, nilai tekanan arteri rerata lebih besar sama dengan 95 mmHg, dan indeks pulsatilitas arteri uterina tinggi. Model prediksi risiko preeklampsia yang didapatkan yaitu logit (preeklampsia=1) adalah -3,63 + 2,11 (hipertensi kronik) + 0,50 (IMT lebih besar sama dengan 25 kg/m2) + 1,61 (MAP lebih besar sama dengan 95 mmHg) + 1,74 (IP arteri uterina tinggi). Cut-off 0,08 dengan sensitivitas 81,06% dan spesifisitas 73,07%. Kemampuan diskriminasi memprediksi preeklampsia sebesar 84% (instrumen yang baik untuk skrining).
Kesimpulan : Faktor maternal dan biofisik dapat digunakan untuk skrining preeklampsia. Akurasi skoring dan sensitivitas pada penelitian ini mempunyai nilai yang tinggi sehingga digunakan sebagai acuan pembuatan program aplikasi prediktor preeklampsia berbasis android sebagai alat skrining preeklampsia yang efektif.

Background : Indonesia is one of the Asia countries with high maternal mortality rate range 126/100,000 live births, and 14% of them is due to preeclampsia. This is the reason for the need to perform preeclampsia prevention. An effective high-risk pregnancy screening during antenatal visits, by assessing maternal characteristics and biophysical factors.
Aim : To obtain risk calculations from maternal and biophysical characteristics as preeclampsia predictors and their use in an android-based program for medical daily practice.
Methods : This is a prospective cohort design studies. Around 1150 subjects was collected by consecutive sampling for every pregnant woman with a single live fetus with out any congenital anomalies. Each maternal and biophysical factor will be analyzed bivariately, then significant results are followed by multivariate analysis. Variables that are significant until multivariate analysis will produce a logistic regression equation that can be used to calculate a priori risk of a woman experiencing preeclampsia.
Results : Based on the analysis, there are some risk factors that significant for predicting preeclampsia, included chronic hypertension, body mass index ​​the same as or more than 25kg/m2, mean arterial pressure ​​the same as or more than 95mmHg, and high uterine artery pulsatility index. The risk prediction model of preeclampsia obtained was logit (preeclampsia = 1) was -3.63 + 2.11 (chronic hypertension) + 0.50 (BMI the same as or more than 25 kg/m2) + 1.61 (MAP the same as or more than 95 mmHg) + 1 , 74 (high PI uterine artery). Cut-off was 0.08 with sensitivity of 81.06% and specificity of 73.07%. Discrimination ability to predict preeclampsia by 84% (a good instrument for screening).
Conclusion : A combination of maternal and biophysical factors can be used for preeclampsia screening. This study shows a high accuracy scoring and sensitivity that can be use as a reference for making an Android-based preeclampsia predictor application program as an effective preeclampsia screening tool.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyudi
"Metode: Pasien HIV yang melahirkan di RSUPNCM dan RSPI Sulianti Saroso periode Oktober 2012 hingga Maret 2013 masuk sebagai subyek penelitian. Subyek dilakukan skrining depresi dengan EPDS dan untuk mengukur dukungan sosial yang diberikan dengan KDS. Analisis statistik menggunakan uji Fisher, Chi-Square dan uji T tidak berpasangan.
Hasil: Sebanyak 34,1% subyek yang mengalami depresi pascapersalinan. Dimana didapatkan bahwa 40% yang mengalami depresi pascapersalinan tersebut tidak mendapatkan dukungan sosial yang baik. Dari karakteristik subyek yang mengalami depresi tersebut, 70% dari kelompok umur 20-35 tahun. Berdasarkan tingkat pendidikan, 56.7% subyek yang mengalami depresi pendidikannya rendah. Dari status paritas didapatkan 70% yang mengalami depresi pascapersalinan yaitu primipara.
Kesimpulan: Dukungan sosial merupakan efek protektif terhadap terjadinya depresi pascapersalinan pada pasien HIV

Objective : this study aim to evaluate the relation between social support given to HIV patients with the incidence rate of postpartum depression among them.
Methods : All HIV patients who was having delivery in RSUPNCM and Sulianti Saroso the period October 2012 to March 2013 entered as research subjects. We performed depression screening with the EPDS and to measure the social support provided by KDS. Statistical analysis was using Fisher's exact test, Chi-square and unpaired t test.
Results : We found total of 34.1% of subjects experienced postpartum depression, in which 40% did not received proper social support. By demographics characteristics of the subjects who experienced depression, 70% was in group of age 20-35 years, 56.7% of subjects with low education level and 70% was primiparous patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8   >>