Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 20 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dadan Rohdiana
Abstrak :
Gangguan pendengaran sensorineural merupakan salah satu komplikasi pada otitis media supuratif kronik (OMSK). Kelainan ini bisa bersifat sementara atau permanen dan dipengaruhi oleh banyak faktor. Pemeriksaan audiometri konvensional, masking dan tes Sensorinural Acuity Level (SAL) dapat menilai seberapa besar kejadian ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi gangguan pendengaran sensorineural pada OMSK dan faktor yang berhubungan. Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang bersifat deskriptif analitik yang dilakukan di Poli THT RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo periode Januari-Mei 2015 melibatkan 73 telinga OMSK. Gangguan pendengaran sensorineural pada OMSK didapatkan sebanyak 24,7% dan umumnya terjadi pada frekuensi tinggi. Tipe OMSK, durasi penyakit, dan tipe perforasi dapat memengaruhi gangguan pendengaran sensorineural dan secara statistik bermakna. Gangguan pendengaran sensorineural terjadi pada OMSK dan pemeriksaan audiometri yang benar dapat menentukan kejadian ini. Tipe OMSK, durasi penyakit, dan tipe perforasi memengaruhi kejadian gangguan pendengaran sensorineural pada OMSK.
Sensorineural hearing loss is one of the complications of chronic suppurative otitis media (CSOM). This order can be temporary or permanent and influenced by many factors. Conventional audiometry, masking, and Sensorineural Acuty Level (SAL) test can diagnose this incident. This study aims to determine the prevalence sensorineural hearing loss in chronic suppurative otitis media and related factors. This study was a cross sectional descriptif analytic which done at ENT Department Cipto Mangunkusumo Hospital periode January to May 2015 involving 73 ears of CSOM. The prevalence of sensorineural hearing loss in CSOM is about 24,7% and generally occurs at high frequency. Type of CSOM, duration of disease, and type of perforation may affect sensorineural hearing loss and statistically significant. Sensorineural hearing loss accurs in CSOM and audiometry examination can determine this condition. Type of CSOM, duration of disease, and type of perforation influence the incidence of sensorineural hearing loss in CSOM.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Meirida
Abstrak :
ABSTRAK Latar belakang: Paparan cairan refluksat di daerah laring menyebabkan trauma pada mukosa laring baik secara langsung ataupun melalui mekanisme sekunder yang menyebabkan batuk kronis. Hal tersebut dapat menyebabkan gangguan suara yang memang sering dikeluhkan penderita RLF. Salah satu pemeriksaan penunjang diagnosis gangguan suara adalah analisis akustik suara dengan program komputer Multi-Dimensional Voice Program MDVP . Pemeriksaan ini relatif mudah dilakukan dan bersifat objektif. Tujuan penelitian: Mengetahui perbedaan nilai parameter akustik suara pada kelompok penderita RLF dibandingkan dengan kelompok bukan RLF. Metode: Penelitian komparatif cross sectional yang dilakukan di URJT Departemen THT FKUI-RSCM pada bulan Mei hingga November 2016 dengan subjek penelitian terdiri dari 40 orang pada kelompok penderita RLF dan 20 orang pada kelompok bukan RLF. Hasil: Beberapa nilai parameter akustik suara kelompok penderita RLF lebih tinggi secara bermakna daripada kelompok bukan RLF, pada subjek laki-laki terdapat pada parameter jitter, PPQ dan NHR sedangkan pada subjek perempuan terdapat pada parameter shimmer dan APQ. Selain itu juga terdapat perbedaan bermakna nilai parameter akustik suara jitter, PPQ, APQ dan NHR pada subjek laki-laki antara kelompok penderita RLF derajat ringan dan derajat sedang berat. Kata kunci: Analisis akustik suara, disfonia pada refluks laringitis, refluks laringofaring
ABSTRACT Background Exposure gastric juice in the larynx causes trauma in laryngeal mucosa either directly or through secondary mechanism causes chronic cough. Trauma in laryngeal mucosa can cause voice problems, frequent complaint in patients with LPR. One of diagnostic examination of voice problem is acoustic voice analysis with Multi Dimensional Voice Program MDVP . This examination is relatively easy to do and give objective result. Purpose To determine differences a value of acoustic voice parameter in LPR patients compared with normal control group. Method Comparatif cross sectional study was conducted in Outpatient Clinic Cipto Mangunkusumo Hospital since May until November 2016 with 60 subjects, 40 subjects in LPR group and 20 subjects in control groups. Result Some values of acoustic voice parameter in LPR patients group are higher than normal control group. Male subjects were significant higher in jitter, PPQ and NHR. While on female were significant higher in t shimmer and APQ. There are also significant differences in value of acoustic voice parameter jitter, PPQ, APQ and NHR between groups of patients with mild LPR and moderate severely LPR in male subjects. Keywords Accoustic voice analysis, dysphonia in laryngopharyngeal reflux, laryngopharyngeal reflux.
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Guntur Surya
Abstrak :
ABSTRAK
Hidung tersumbat merupakan salah satu keluhan terbanyak pada pasien yang datang berobat ke ahli THT. Hipertrofi konka inferior merupakan salah satu penyebab sumbatan hidung dan telah banyak dipelajari dari berbagai penelitian dan terbukti berperan dalam regulasi aliran udara hidung. Namun dari beberapa penelitian terakhir ditemukan suatu struktur yang disebut nasal septal swell body NSB yang mungkin berperan dalam regulasi tahanan aliran udara hidung karena lokasinya yang berdekatan dengan katup hidung internal serta dapat mengembang mengempis sesuai siklus hidung.Tesis ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh terapi radiofrekuensi NSB pada pasien sumbatan hidung dengan hipertrofi NSB dengan membandingkan respon klinis sebelum dan sesudah terapi berdasarkan nilai NOSE, nilai PNIF, dan nilai tahanan hidung.Penelitian ini merupakan studi eksperimental dua kelompok paralel acak yang membagi pasien sumbatan hidung dengan hipertrofi konka inferior dan NSB menjadi dua kelompok yang dilakukan radiofrekuensi konka inferior saja dan kelompok radiofrekuensi konka inferior dan NSB.Analisis data dilakukan dengan pendekatan Bootstrap. Hasil dari penelitian ini didapatkan perbedaan secara bermakna dari perubahan nilai NOSE p=0,001 dan nilai tahanan hidung 75 Pa p=0,018 antara kedua kelompok. Hasil ini berarti terapi radiofrekuensi NSB dapat menjadi terapi tambahan radiofrekuensi konka inferior terhadap pasien sumbatan hidung kronis refrakter dengan hipertrofi konka inferior dan NSB untuk mengurangi gejala sumbatan hidung.Kata kunci: radiofrekuensi, nasal septal swell body, konka inferior, sumbatan hidung kronis refrakter
ABSTRACT
Nasal obstruction is one of the most symptom in daily practice of ENT Surgeon. Inferior turbinate hypertrophy is one of the causes of nasal obstruction and has been widely studied from various research and has been shown having a role in the regulation of nasal airflow. But from several recent studies found a structure called a nasal septal swell body NSB that may play a role in the regulation of nasal airflow resistance because of its location adjacent to the internal nasal valve and alternating congestion and decongestion according to nasal cycle.This study aims to evaluate the effect of radiofrequency therapy of NSB on patients with nasal obstruction with NSB hypertrophy by comparing clinical response before and after therapy based on NOSE value, PNIF value, and nasal resistance value.This study is an experimental study of two random parallel groups that divide the nasal obstruction patients with hypertrophy of inferior turbinate and NSB into two groups which underwent radiofrequency of inferior turbinate only and underwent radiofrequency inferior turbinate and NSB.Data analyzed with bootstraps method. The results of this study show significant differences from changes in the value of NOSE p 0.001 and the nasal resistance value 75 Pa p 0.018 between the two groups. These results suggest that radiofrequency ablation of NSB may be an additional therapy to radiofrequency of inferior turbinate in patients with nasal obstruction and hypertrophy of inferior turbinate and NSB.Keywords radiofrequency, nasal septal swell body, inferior turbinate, refractory chronic nasal obstruction
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58853
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gita Aryanti
Abstrak :
Latar belakang. Proses mendengar sangat mempengaruhi proses berbahasa dan berkomunikasi. Gangguan pendengaran memberikan efek negatif pada perkembangan kognitif anak. Perlunya penilaian fungsi kognitif pada anak dengan gangguan pendengaran adalah untuk mengevaluasi fungsi kognitif normal atau abnormal, dan memberikan informasi untuk menentukan intervensi dan target yang sesuai. Pemeriksaan P300 event-related potential (ERP) merupakan teknik pemeriksaan neurofisiologis yang dapat digunakan untuk menilai fungsi kognitif secara objektif. Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk meneliti pengaruh gangguan pendengaran sensorineural terhadap fungsi kognitif anak usia 7-15 tahun yang dinilai dengan gelombang P300. Metode. Studi potong lintang ini terdiri dari 15 subjek dengan gangguan pendengaran sensorineural dan 15 subjek dengan pendengaran normal yang memenuhi kriteria inklusi. Masa laten dan amplitudo gelombang P300 yang timbul terhadap nada target direkam dan dianalisis. Hasil. Rerata masa laten gelombang P300 tidak didapatkan berbeda bermakna antara kelompok gangguan pendengaran sensorineural dengan kelompok normal (p=0,578). Selain itu, tidak didapatkan perbedaan bermakna pada nilai amplitudo gelombang P300 antara kelompok gangguan pendengaran sensorineural dengan kelompok normal (p = 0,885). Selain itu tidak didapatkan hubungan bermakna antara amplitudo P300 dengan kejadian gangguan pendengaran sensorineural (p = 0,403). Kesimpulan. Gangguan pendengaran sensorineural tidak berhubungan dengan kelainan fungsi kognitif yang dinilai dengan gelombang P300. Penggunaan alat bantu dengar yang lebih awal pada subjek dengan gangguan pendengaran sensorineural dapat mempengaruhi hasil pada studi ini. ......Background. Hearing disorder negatively impacts cognitive development. Cognitive assessment in children with sensorineural hearing loss is necessary to administer appropriate intervention. P300 is one of the auditory event-related potentials commonly used in neurophysiological examination to objectively assess cognitive function. Aim. To identify the effect of sensorineural hearing loss on cognitive function in children aged 7 to 15 years old by evaluating P300 waveform. Methods. This cross-sectional study consisted of 15 subjects with sensorineural hearing loss and 15 subjects with normal hearing function who met the inclusion criteria. P300 latency and amplitudes were recorded and analyzed. Results. The mean P300 latency between the study group and the control group was not statistically significant (p = 0.578). There was no significant difference in the amplitude of the P300 wave between the study group and the control group (p = 0.885). In addition, there were no significant association between P300 amplitude and sensorineural hearing loss (p = 0.403). Conclusion. In this study, sensorineural hearing loss is not associated with cognitive disorders as measured by P300. Early diagnosis and early hearing aid use were thought to mediate the association between sensorineural hearing loss and cognitive disorder in this study.
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gusti Benindra Pratomo
Abstrak :
ABSTRAK
Latar Belakang: Disfagia pada stroke dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang menurunkan kualitas hidup. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui apakah posisi duduk 700 membuat performa menelan berbeda dengan pada posisi duduk 900, pada pasien stroke dengan disfagia neurogenik fase oral dan faring. Metode: Desain pre-post experimental study, dilakukan pada 30 pasien stroke dengan disfagia neurogenik fase oral dan faring, berusia 40 ? 80 tahun dan memenuhi kriteria penerimaan. Performa menelan dievaluasi dengan pemeriksaan FEES pada posisi duduk 900 dan posisi duduk 700. Parameter FEES (standing secretion, preswallowing leakage, residu, penetrasi dan aspirasi) dibandingkan antara kedua posisi duduk. Hasil: Angka kejadian dan tingkat keparahan standing secretion lebih rendah bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian preswallowing leakage tidak berbeda bermakna antara kedua posisi duduk. Angka kejadian residu lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Tingkat keparahan residu lebih rendah bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian penetrasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Tingkat keparahan penetrasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Angka kejadian dan tingkat keparahan aspirasi lebih rendah tidak bermakna pada posisi duduk 700. Simpulan: Posisi duduk reclining 700 membuat performa menelan lebih baik dibandingkan pada posisi duduk 900 pada pasien stroke dengan disfagia neurogenik.
ABSTRACT
Background: Dysphagia in stroke can cause various complications those reducing quality of life. The aim of the study to ackowledge if 700 sitting position makes different swallowing performance from 900 sitting position, in stroke patients with oral and pharyngeal neurogenic dysphagia. Methods: A pre-post experimental study design, conducted on 30 stroke patients with oral and pharyngeal neurogenic dysphagia, aged 40 ? 80 years old and met the inclusion criteria. Swallowing performance was evaluated with FEES examination in 900 sitting position and 700 sitting position. FEES parameters (standing secretion, preswallowing leakage, residue, penetration and aspiraton) were compared between both sitting positions. Results: Incidence and severity of standing secretion was significantly lower in 700 sitting position. Incidence of preswallowing leakage wasn?t significantly different between both sitting positions. Incidence of residue was insignificantly lower in 700 sitting position. Severity of residue was significantly lower in 700 sitting position. Incidence of penetration was insignificantly lower in 700 sitting position. Severity of penetration was insigificantly lower in 700 sitting position. Incidence and severity of aspiration was insignificantly lower in 700 sitting position. Conclusions: 700 reclining sitting position makes better swallowing performance than 900 sitting position, in stroke patients with neurogenic dysphagia.
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Windy Woro Paramyta
Abstrak :
ABSTRAK
Sumbatan hidung merupakan keluhan tersering yang ditemukan pada praktek THT sehari-hari. Penyebab sumbatan hidung multifaktorial dan dapat disebabkan faktor struktural ataupun mukosa. Pemeriksaan sumbatan hidung dapat dilakukan secara subjektif dan objektif. Hidung tersumbat juga dapat mengakibatkan gangguan kualitas hidup seseorang. Penelitian ini dilakukan untuk menilai hubungan antara pemeriksaan subjektif menggunakan kuisioner Nasal Obstruction and Symptom Evaluation NOSE , dan secara objektif menggunakan Peak Nasal Inspiratory Flowmeter PNIF dan Rinomanometri Aktif Anterior untuk mendiagnosis sumbatan hidung pada subjek dengan deformitas hidung. Deformitas hidung yang masuk dalam penelitian ini adalah, crooked nose, saddle nose, gangguan katup hidung dan septum deviasi. Penelitian ini juga akan mencari hubungan sumbatan hidung terhadap kualitas hidup berupa sleep disordered breathing. Penelitian ini adalah penelitian studi potong lintang dengan desain analitik pada 52 percontoh deformitas hidung dan 10 percontoh normal yang diambil secara berurutan. Analisis data dilakukan dengan pendekatan Bootstrap. Tahanan hidung populasi normal pada penelitian ini didapatkan sebesar 0,172 Pa/cm3/detik, dan pada populasi deformitas hidung sebesar 0,173 Pa/cm3/detik. Hasil dari penelitian ini didapatkan tidak ada hubungan yang bermakna antara NOSE dan PNIF serta NOSE dengan rinomanometri. Didapatkan adanya hubungan bermakna antara pemeriksaan PNIF dan rinomanometri aktif anterior.
ABSTRACT Nasal obstruction is the most common symptom in daily practice. Etiology of nasal obstruction is multi factorial and can be caused by mucosal or structural factors. Nasal obstruction also correlate with quality of life. There was subjective and objective evaluation to diagnose nasal obstruction. This study aim to evaluate the correlation between Nasal Obstruction and Symptom Evaluation NOSE questionnaire, Peak Nasal Inspiratory Flowmeter PNIF and Active Anterior Rhinomanometry to diagnose nasal obstruction in nasal deformity. Nasal deformity that include in this study were crooked nose, saddle nose, nasal valve incompetence, and deviated septum. This study also will examined correlation between nasal obstruction and sleep disordered breathing. This study is cross sectional study with analitic design on 52 subject with nasal deformity, and 10 normal subject taken consecutively with data analyzed with bootstraps method. The result of this study was nasal resistance in normal subject 0,172 Pa cm3 sec and in nasal deformity subject 0,173 Pa cm3 sec on 75 Pa pressure. There is no significant correlation between NOSE score and PNIF value also between NOSE score and rhinomanometry value. There is significant correlation between PNIF and active anterior rhinomanometry.
2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ivana Supit
Abstrak :
Latar belakang: Botol susu saat ini sudah rutin digunakan, terutama pada ibu yang aktif dan bekerja. Penggunaan botol susu secara global mencapai 56%, sedangkan di Indonesia mencapai 37,9%. Penggunaan botol susu yang tidak tepat dapat mengakibatkan locking phenomenonkarena peningkatan tekanan negatif secara berlebih pada rongga nasofaring, yang berujung pada kejadian disfungsi tuba Eustachius. Penelitian ini menilai faktor yang berkaitan dan pengaruhnya terhadap disfungsi tuba Eustachius pada anak-anak yang menggunakan botol susu.Tujuan : mengetahui pengaruh dan hubungan faktor yang dapat menyebabkan disfungsi tuba Eustachius pada penggunaan botol susu. Metode :Penelitian ini melibatkan 160 subjek berusia 24 – 48 bulan yang menggunakan botol susu. Fungsi tuba Eustachius setiap subjek dievaluasi menggunakan alat sonotubometer untuk menentukan ada tidaknya disfungsi tuba Eustachius. Pengolahan data dilakukan dengan uji chi square, menggunakan Pvalue <0,25 untuk melihat hubungan antar faktor dengan kejadian disfungsi tuba Eustachius. Faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan kejadian disfungsi tuba Eustachius dianalisis dengan uji regresi logistik untuk menentukan faktor determinan terhadap kejadian disfungsi tuba Eustachius.Hasil : Penelitian ini mendapatkan gambaran penggunaan botol susu yang baik dapat mencegah kejadian disfungsi TE hingga 6,8 kali. Hipertrofi adenoid memiliki pengaruh terhadap kejadian disfungsi TE hingga 10,5 kali. Jenis susu memiliki pengaruh terhadap kejadian disfungsi TE 4,1 kali. Kesimpulan : Cara penggunaan botol susu, hipertrofi adenoid dan jenis susu sebagai faktor determinan terhadap disfungsi tuba Eustachius. ......Backgroud: Bottle feeding has been considered normal and widely used, preferably by active and working mother. Numbers of bottle feeding globally reach 56% of total population, while the Indonesian use of bottle feeding up to 37,9%. Improper use of bottle feeding may lead to locking phenomenon due to excessive pressure changes in nasopharynx area. This study aims to evaluate factors and their contribution in the development of Eustachian tube dysfunction in bottle feeding children. Aims : to evaluate factors and their contribution in the development of Eustachian tube dysfunction in bottle feeding children. Methods : This study involved 160 subjects 24 – 48 months old children with bottle feeding. We evaluated their Eustachian tube using a sonotubometer to determine the presence of Eustachian tube dysfunction. Data analysis was done using chi square method to determine the significant factors with Pvalue<0,25. Significant factors then analyzed by logistic regretion in order to determine determinan factors. Result : This study found that proper used of bottle feeding protect children from Eustachian tube dysfunction up to 6,8 times. Adenoid hypertrophy 10,5 times effected the Eustachian Tube, Type of milk consumed contributed up 4,1 times toward Eustachian tube dysfunction.Conclusion : Proper used of bottle feeding, adenoid hypertrophy and milk type are the determinant factors on Eustachian tube dysfunction.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Michael
Abstrak :
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efektivitas NNP dan Mini FESS sebagai modalitas terapi pasien hidung tersumbat dengan SDB. Digunakan rancangan pre eksperimental sebelum dan sesudah NNP dan Mini FESS dengan menilai perubahan pemeriksaan kualitatif menggunakan Epworth Sleepiness Scale (ESS), Skor Analog Visual (SAV), Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF), nasoendoskopi dan Polisomnografi (PSG). Pengambilan subyek penelitian secara berurutan (consecutive sampling) selama 6 bulan di poli THT-RSCM. Sebanyak 7 pasien dengan keluhan hidung tersumbat disertai sleep disordered breathing menunjukkan perbaikan pasca operasi berdasarkan ESS dengan delta 48,28±1,99% nilai p=0,017, SAV median delta 100%(80% - 100%) nilai p=0,018, PNIF delta 52,03±2,69% p=0.017 dan 85,71% (6 dari 7) perbaikan ukuran konka inferior menjadi normal. Seluruh parameter PSG tidak didapatkan adanya perubahan yang bermakna dengan p>0,05. NNP dan mini FESS efektif untuk mengatasi hidung tersumbat yang disertai SDB berdasarkan perbaikan parameter pemeriksaan kualitatif. Hipereaktifitas parasimpatis yang mengakibatkan hipertrofi konka inferior merupakan hipotesis yang dapat dibuktikan pada penelitian ini dan memperkaya kerangka teori pada patofisiologi obstruksi nasal sebagai penyebab SDB.
This study aims to determine the effectiveness of PNN and Mini FESS as a therapeutic modality for patients with nasal congestion and SDB. This pre- experimental study evaluated the efficacy of PNN and mini FESS in management of nasal obstruction with SDB subjects. The evaluation performed by assessing changes in qualitative examination using Epworth Sleepiness Scale (ESS), Visual Analog Score (VAS) of nasal obstruction symptom Peak Nasal Inspiratory Flow (PNIF), nasoendoscopic examination. and Polysomnography (PSG). The subjects were included consecutively for 6 months at ENT clinic-Cipto Mangunkusumo Hospital. A total of 7 patients with nasal obstruction and sleep disordered breathing showed post-operative improvement in evaluations by using ESS (delta 48.28 ± 1.99% p-value = 0.017), VAS of nasal obstruction with median delta of 100 % ( 80 % - 100 % ) and p-value = 0.018, PNIF (delta 52.03 ± 2.69% p-value = 0.017) and regaining normal size of inferior turbinate in 85,71% (6 of 7) subjects. While all of the PSG parameters did not had any significant changes with p > 0.05. PNN and mini FESS is effective to overcome nasal obstruction with SDB based on an improvement in the qualitative evaluations. Parasympathetic hyperreactivity resulting in inferior turbinate hypertrophy is a proven hypothesis; thus may enrich the theoretical framework on the pathophysiology of nasal obstruction in SDB.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T58744
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Ayu Anatriera
Abstrak :
Latar belakang: Teknik rekayasa jaringan kartilago memiliki potensi besar dalam rekonstruksi trakea. Scaffold sebagai salah satu unsur utama rekayasa jaringan berperan dalam menyediakan lingkungan tempat sel punca bertumbuh. Komposit campuran kolagen tipe I dan II dipadukan dengan kondroitin serta teknik crosslinkingkedua bahan scaffolddengan genipin dilakukan untuk meningkatkan sifat mekanis. Tujuan: Mengetahui karakteristik morfologi permukaan, biomekanik, dan sitotoksisitas scaffold komposit kolagen-kondroitin crosslink secara in vitro. Metode: Scaffold campuran komposit kolagen tipe I dan tipe II perbandingan 3:1 kemudian dicampur kondroitin dengan rasio 1:3 dibagi dalam kelompok dengan dan tanpa genipin. Hasil: Gambaran morfologi permukaan scaffold dengan genipin menunjukkan matriks padat homogen sedangkan matriks scaffoldtanpa genipin berupa fibriler longgar. Hasil sitotoksisitas menunjukkan tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik (p=0,09) pada rerata jumlah sel pada scaffolddengan dan tanpa genipin serta kontrol. Kesimpulan: Scaffold kolagen kondroitin dengan genipin memiliki mikrostruktur yang lebih padat dan ukuran pori kecil. Genipin dapat menunjang mikrostruktur pada scaffold berbahan kolagen-kondroitin. Scaffold kolagen kondroitin dengan dan tanpa genipin tidak bersifat toksik terhadap sel punca mesenkimal. ......Background: Tissue engineering for trachea reconstruction nowadays plays an important rule to endow an ideal biomaterial for cartilage, the tracheal backbone. In this study, the biocomposit of collagen type I, type II, and chondroitin sulfate was investigated. Chemical crosslinking using genipin to improve its properties was then studied. Objective: To find out the surface morphology characteristics, biomechanics, and cytotoxicity of crosslinked scaffold collagen-chondroitin composites in vitro. Method: hydrogel mixture of collagen type I and type II at the ratio of 3:1, was then added into chondroitin sulfate (1 in 3), crosslinked using genipin. Sample without genipin was compared. Results: Crosslinked collagen chondroitin biocomposit showed a homogeneous shape while the non-crosslinked biocomposit had rough surface and bigger pore size. Both types of biocomposits were biocompatible, showed no toxic effects, as the ATP counts had no different compared to the cell colony only. Conclusion: collagen chondroitin crosslinked with genipin had generated a fine microstructure scaffold with smaller pore size, while no exhibition of residual toxicity.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59148
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Riski Satria Perdana
Abstrak :
ABSTRAK Obstructive sleep apnea (OSA) adalah salah satu dari bentuk gangguan pernapasan saat tidur (sleep disordered breathing) dengan angka prevalensi yang tinggi dan sering tidak terdiagnosis. OSA adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peristiwa kolapsnya saluran napas bagian atas secara periodik pada saat tidur yang mengakibatkan apnea, hipoapnea atau. Gejala klinis OSA sering tidak terdeteksi, namun diduga kuat berhubungan dengan berbagai macam komplikasi medis. Data terkini dari beberapa penelitaan mendokumentasikan hubungan antara OSA dan penyakit kardiovasular, seperti hipertensi, penyakit jantung koroner (PJK), gagal jantung, aritmia dan arterosklerosis. PJK merupakan penyebab kematian tertinggi setelah kecelakaan pada usia produktif. Patofisiologi OSA pada kardiovaskular yang sulit dideteksi dapat menyebabkan penatalaksanaan penyakit kardiovaskular menjadi kurang efektif. Keberadaan OSA merupakan prediktor kuat kejadian fatal kardiovaskular pada pasien dengan masalah jantung dan pembuluh darah. peningkatan aktifitas simpatis, aktifasi penanda gangguan metabolik dan penanda inflamasi, dan kerusakan fungsi pembuluh darah, adalah bebarapa mekanisme penyebab yang menjelaskan hubungan antara OSA dan penyakit kardiovaskular. Identifikasi OSA pada PJK menjadi penting untuk menentukan strategi tatalaksana. Keberadaan OSA pada PJK harus betul-betul diperhatikan pada praktek sehari-hari. Berbagai penelitian harus dilakukan untuk mengetahui apakah tatalaksana OSA pada penderita PJK dapat menurunkan morbiditas. Pada penelitian ini, yang melibatkan 62 percontoh, dilaporkan sebanyak 35 (56,5%) percontoh yang semua adalah penderita PJK, juga mempunyai OSA positif berdasarkan pemeriksaan polisomnografi (PSG). Obesitas dan nilai Friedman tounge position menjadi dua faktor risiko bermakna pada OSA dengan PJK. Diketahui keluhan excessive daytime sleepiness adalah keluhan utama yang memiliki hubungan bermakna pada OSA dengan PJK.
ABSTRACT Obstructive sleep apnoea (OSA) is a form of sleep disordered breathing with a high prevalence rate and is often underdiagnosed. OSA is a disease characterized by periodic upper airway collapse during sleep, which then results in either apnea, hypoapnea or both.OSA commonly undetected but it is strongly associated with variety of medical complications. Recent data from several studies has documented the association between OSA and cardiovascular disorder such as hypertension, coronary artery disease (CAD), heart failure, arrhytmias and atherosclerosis. CAD is the most commonly caused fatal even after accident in middle age. The undetectable cardiovascular complication that lead by OSA can make the management of the cardiovascular disorder became uneffective. The presence of OSA may be a strong predictor of fatal cardiovascular events in patients with cardiovascular disease (CVD). Increased sympathetic drive, activation of metabolic and inflammatory markers, and impaired vascular function are some of the proposed mechanisms that could explain the association between OSA and cardiovascular diseases. Understanding these mechanisms is important for identifying treatment strategies. The presence of OSA should be considered in clinical practice, especially in patients with CVD. Randomized intervention studies are needed to establish whether early identification and treatment of OSA patients reduces cardiovascular morbidity. In this study, that involved 62 CAD patient, 35 (56,5%) had OSA based on PSG examination.Obesity and Friedman tounge position degree are two factors that had asscosiation in OSA with CAD.based on our finding, excessive daytime sleepiness is the major complained that have asscosiation in OSA with CAD.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>