Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 16 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Darwin Yunaidy
Abstrak :
Ulser adalah masalah yang sering ditemukan pada rongga mulut. Keluhan sakit seringkali menimbulkan rasa tidak nyaman pada penderita yang dapat memengaruhi kualitas hidupnya, sehingga penderita cenderung mencari pengobatan untuk menangani hal tersebut. Propolis merupakan bahan alami yang memiliki kandungan flavonoid yang dapat bertindak sebagai anti-inflamasi dalam menangani ulser. Mengetahui efektivitas pasta gigi propolis sebagai pengobatan ulserasi traumatik termal pada mukosa bukal. Penelitian dilakukan secara in vivo dengan menggunakan model ulser traumatik termal pada mukosa bukal 16 ekor Mus musculus (SwissWebster) yang terbagi dalam penelitian pendahuluan dan penelitian lanjutan. Penelitian menggunakan 3 kelompok dengan kelompok pasta gigi propolis, pasta gigi kontrol dan larutan saline (NaCl 0,9%). Dilakukan pemaparan trauma termal dengan ballpointed bersuhu 80oC selama 5 detik. Pengamatan dilakukan secara klinis berupa perubahan diameter ulser, pembengkakan dan kemerahan di sekitar ulser, berat badan serta persentase penyembuhan ulser, dan secara histopatologis berupa perubahan skor radang. Mus musculus kemudian dikorbankan pada hari pertama terbentuk ulser, hari puncak ulser dan hari sembuhnya ulser pada setiap kelompok. Pada pengamatan makroskopis, persentase penyembuhan kelompok pasta gigi propolis lebih cepat dibanding kelompok pasta gigi kontrol dan saline, serta rata-rata waktu penyembuhan ulser juga lebih cepat, yaitu sembuh pada hari ke-8. Pada pengamatan mikroskopis, semua kelompok perlakuan mengalami perubahan skor radang dibandingkan ketika hari pertama terbentuknya ulser. Pasta gigi propolis efektif terhadap penyembuhan ulser traumatik termal pada mukosa bukal Mus musculus (Swiss Webster).
Ulcer is a problem which is mainly found in the oral cavity. The pain resulted often causes discomfort towards the patients hence affecting their life quality. As a result, they tend to seek treatment to deal with it. Propolis is a natural ingredient that contains flavonoid which can act as an anti-inflammatory to treat the ulcer. To determine the efficacy of propolis toothpaste as a treatment for thermal traumatic ulcer of the buccal mucosa. The study was conducted in vivo by using the thermal traumatic ulcer model of the buccal mucosa of 16 Mus musculus (Swiss Webster) and divided into preliminary test and continuous test. There are 3 groups in the study, using propolis toothpaste, control toothpaste and saline (NaCl 0,9%) groups. The thermal trauma is exposed by a 80oC ballpointed for 5 seconds. Observations are made clinically (difference in ulcer diameter, swelling and redness around the ulcer, weight and percentage of ulcer healing) and histopathologically in the form of changes in inflammation score. Mus musculus was then sacrificed on the first day of ulcer formation, ulcer peak day and ulcer healing day in each group. In the macroscopic observation, the ulcer healing percentage in propolis toothpaste group was faster than the control groups, and the ulcer healing time was also faster, which was healed on the 8 day. In the microscopic observation, all treatment groups show changes in inflammation score compared to the first day of ulcer formation. Propolis toothpaste is effective towards the healing of thermal traumatic ulcer in the buccal mucosa of Mus musculus (Swiss Webster).
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irfan Kalam Tauhid
Abstrak :
Latar Belakang: Rongga mulut manusia memiliki beragam mikroorganisme yang dapat membentuk suatu komunitas yang memengaruhi kesehatan rongga mulut. Menurut Riskesdas 2018, prevalensi karies di Indonesia mencapai 60-80%. Konsentrasi protein dan polipeptida yang ada dalam saliva penting dalam pemeliharaan kesehatan mulut dan homeostasis dengan perubahan kualitatif dan kuantitatif dari proteome saliva. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan total konsentrasi protein dan profil protein saliva dengan status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dan status karies dental (DMF-T dan def-t) pada subjek kelompok usia dewasa muda dan anak-anak. Metode: Penelitian ini bersifat deskriptif laboratorik dengan menggunakan Uji Bradford untuk menetapkan total konsentrasi protein dan Uji SDS-PAGE untuk menetapkan profil protein saliva. Sampel uji berupa sampel saliva berjumlah 18 sampel masing-masing kelompok usia (total 36 sampel), dengan diketahui status kebersihan rongga mulut (OHI-S) dan status karies dental (DMF-T dan def-t). Analisis statistik dijalankan dengan menggunakan uji normalitas, kemudian Uji T test-independent. Untuk menganalisis hubungan dilakukan uji korelasi spearman. Analisis data menggunakan SPSS iOS versi 22.0. Hasil: Terdapat perbedaan signifikan antara total konsentrasi protein saliva kelompok usia dewas muda dan anak-anak (p = 0.001 (p<0.05)), namun tidak terdapat korelasi signifikan antara total konsentrasi protein saliva kelompok usia terhadap OHI-S dan DMF-T atau def-t, serta terdapat perbedaan profil protein saliva berupa perbedaan frekuensi protein bands yang muncul pada masing-masing profil protein.  Kesimpulan: Total konsentrasi protein dan profil protein saliva tidak berhubungan dengan OHI-S dan DMF-T atau def-t pada kelompok usia dewasa muda dan anak-anak, namun tetap memiliki tendensi korelasi. ...... Human oral health contains various microorganisms that can form a community that affects oral health. According to Riskesdas 2018, the prevalence of caries in Indonesia ranges from 60-80%. The concentration of proteins and polypeptides in saliva is important in maintaining oral health and homeostasis through qualitative and quantitative changes in the salivary proteome.  Objective: This study aims to analyze the relationship between total protein concentration and saliva protein profile with oral hygiene status (OHI-S) and dental caries status (DMF-T and def-t) in adult and child age groups. Methode: This study is a deskriptive laboratory analysis using Bradford tests to determine total protein concentration and SDS-PAGE tests to determine saliva protein profiles. The sample consisted of 18 saliva samples from each age group (total 36 samples), with OHI-S and dental caries status (DMF-T and def-t) determined. Statistical analysis was performed using normality tests, followed by independent sample t-tests. To analyze the relationship, Spearman's correlation test was conducted. Data analysis used SPSS iOS version 22.0. Result: A significant difference was found in the total saliva protein concentration between the young adult and child groups (p = 0.001, p < 0.05), but no significant correlation was found between total saliva protein concentration and OHI-S and DMF-T or def-t status. There was a difference in saliva protein profiles, manifested as differences in the frequency of protein bands in each protein profile.  Conclusion: The total protein concentration and saliva protein profiles do not have a significant relationship with OHI-S and DMF-T or def-t status in young adult and child age groups, but they still show a tendency to correlate.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Karina Rizki Muladi
Abstrak :
Latar belakang: Penyebab stunting bersifat multifaktorial, salah satu faktor risikonya adalah malnutrisi kronis akibat kurangnya asupan protein. Kurangnya asupan protein dapat menyebabkan terjadi penurunan IGF-1, yaitu salah satu faktor pertumbuhan penting dalam pembangunan sel tubuh. IGF-1 juga memiliki peran dalam perkembangan kompleks dentoalveolar, terutama pada enamel, akar gigi, dentin, ligamen periodontal, dan jaringan pulpa gigi. Perlu dianalisis apakah gangguan perkembangan kompleks dentoalveolar akibat penuruan kadar IGF-1 pada anak stunting juga mempengaruhi waktu erupsi gigi. Tujuan: Menganalisis hubungan antara kadar IGF-1 dengan waktu erupsi gigi pada anak stunting. Metode: Pencarian literatur dilakukan dengan menggunakan pedoman alur Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analysis (PRISMA) pada tiga electronic database, yaitu PubMed, EBSCO, dan Scopus. Penilaian kualitas literatur dilakukan dengan menggunakan QUADAS-2. Hasil: Terdapat 5 studi yang terpilih berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi. Hasil temuan penelitian menunjukkan bahwa kadar IGF-1 lebih rendah pada anak stunting dibandingkan dengan kelompok anak normal. Hal ini disebabkan karena kadar IGF-1 dalam darah dipengaruhi oleh banyak faktor, di antaranya yaitu nutrisi, status gizi, dan usia. IGF-1 yang rendah pada anak stunting berpotensi menyebabkan keterlambatan waktu erupsi gigi karena mengganggu mekanisme persinyalan molekul selama erupsi gigi, seperti BMP-2, Runx-2, dan TGF-. Kesimpulan: Terdapat korelasi positif antara kadar IGF-1 yang rendah dengan erupsi gigi pada anak stunting. Ekspresi IGF-1 yang rendah dapat menyebabkan terjadinya gangguan waktu erupsi gigi karena mengganggu proses maturasi gigi. ......Background: The causes of stunting are multifactorial, one of the risk factors causing stunting is chronic malnutrition due to lack of protein intake. Lack of protein intake can cause the decrease of IGF-1 level, which is one of the important growth factor supporting the growth and development of somatic cells. Furthermore, IGF-1 also has a role in the development of the dentoalveolar complex, especially enamel, tooth roots, dentin, periodontal ligament, and dental pulp tissues. It should be clarified whether the disturbances of dentoalveolar complex development due to decreased IGF-1 level in the stunted children would also affect the eruption time of the dentition. Objective: To analyze the relationship between IGF-1 level and the timing of tooth eruption in stunted children. Methods: Literature researches were done by using the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analysis (PRISMA) guidelines through three electronic databases, which were PubMed, EBSCO, and Scopus. Quality assessment of bias was examined using QUADAS-2 tool. Results: There were 5 selected studies based on inclusion and exclusion criteria. The results of the study showed that IGF-1 levels were lower in stunted children compared to normal children. The influencing factors of the level of IGF-1 in the blood, are nutritional status and age. Low level of IGF-1 in stunted children has the potential to cause delays in the timing of tooth eruption, by interrupting the activity of BMP-2, Runx-2, and TGF-β. Conclusion: There is a positive correlation between low IGF-1 level and the timing of tooth eruption in stunted children. Low IGF-1 expression can cause disturbances in the timing of tooth eruption because it interferes with the dental maturity process.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisti Yulia
Abstrak :
Latar Belakang: Penentuan jenis kelamin merupakan langkah pertama dalam proses identifikasi individu. Tulang panggul dan tengkorak merupakan sumber yang paling akurat untuk menentukan jenis kelamin, namun apabila tulang panggul dan tengkorak yang ditemukan tidak utuh, mandibula dapat menjadi sumber utama dalam penentuan jenis kelamin karena mandibula merupakan tulang yang kuat, anatomisnya dipertahankan relatif lama, dan menunjukkan dimorfisme seksual yang tinggi. Salah satu parameter pada mandibula yang dapat digunakan untuk penentuan jenis kelamin adalah sudut gonion. Sudut gonion dapat digunakan untuk penentuan jenis kelamin karena kekuatan otot pengunyahan memiliki pengaruh yang kuat pada sudut gonion, dimana kekuatan otot ini berbeda pada laki laki dan perempuan. Tujuan: Menganalisis penentuan jenis kelamin menggunakan metode radiomorfometrik besar sudut gonion pada radiograf panoramik digital. Metode: Menganalisis radiomorfometrik besar sudut gonion pada 100 sampel radiograf panoramik digital yang terdiri dari 50 sampel laki laki dan 50 sampel perempuan. Hasil: Perempuan memiliki nilai rata-rata sudut gonion lebih besar daripada laki-laki yaitu sebesar 124.52o sedangkan laki-laki sebesar 123.84o, namun tidak terdapat perbedaan signifikan sudut gonion pada laki-laki dan perempuan secara statistik. Kesimpulan: Besar sudut gonion dengan metode radiomorfometrik pada laki-laki dan perempuan tidak dapat digunakan secara tunggal dalam penentuan jenis kelamin.
Background: The first step towards identification of an individual is by sex determination. Pelvis and skull bones are the most accurate sources used for sex determination purpose, however when a whole pelvis or skull bones could not be obtained, an alternative would be necessary. The mandible would serve as a great alternative for this purpose because it is strong, its anatomy persists for a long time and it shows a strong sexual dimorphism. One of the mandible properties that can be used for sex determination purpose is its gonial angle. This is because the gonial angle is affected by the strength of the masticatory muscles, which is different for different sexes. Aim: To analyze the validity of sex determination by radiomorphometric method using gonial angle on digital panoramic radiographs. Method: By using radiomorphometric method to analyze the gonial angle of 100 digital panoramic radiographs consisting of 50 male and 50 female samples. Result: Women have an average gonial angle of 124.52o which is greater than mens average of 123.84o, however the difference is not statistically significant. Conclusion: Radiomorphometric method using gonial angle cannot be used as a sole source for sex determination.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Aimee Suhardi
Abstrak :
Pendahuluan: Pada anak-anak prevalensi bernapas mulut mencapai 55% dan 85% diantaranya merupakan suatu kebiasaan yang terjadi tanpa disadari. Bernapas melalui mulut adalah suatu kebiasan buruk yang dapat menyebabkan penurunan laju alir saliva. Penurunan laju alir saliva ini dapat menyebabkan perubahan protein dalam rongga mulut, sehingga fungsi proteksi protein dari saliva yang akan menurun dan mikoorganisme di dalam rongga mulut akan meningkat. Hal ini menunjukan bahwa keadaan homeostasis di dalam rongga mulut dapat terganggu karena kebiasaan bernapas melalui mulut. Kondisi mikroorganisme yang semakin banyak akan meningkatkan aktivitas proteolitik sehingga protein akan terdegradasi menjadi gas-gas Volatile Sulfur Compound dan menyebabkan terjadinya bau mulut. Kondisi bau mulut dapat diuji secara klinis dengan uji organoleptik. Tujuan: menganalisis total protein dan deteksi profil protein saliva terhadap skor organoleptik serta kondisi bernapas melalui mulut dan bernapas normal. Metode: Sumber sampel dari tongue biofilm, saliva, dental biofilm, serta mukosa bukal anak yang bernapas normal dan melalui mulut. Kemudian dilakukan uji Bradford untuk mengetahui total protein dan uji SDS-PAGE untuk mengetahui profil protein pada saliva. Hasil: Tidak terdapat perbedaan bermakna kondisi bernapas mulut dan normal terhadap skor organoleptik dan total protein dari keempat sumber sampel. Korelasi total protein tongue biofilm dengan skor organoleptik pada anak bernapas mulut dan normal negatif sangat lemah tidak signifikan, sedangkan pada saliva positif lemah tidak signifikan. Korelasi total protein dental biofilm dengan skor organoleptik pada anak bernapas normal negatif sangat lemah tidak signifikan dan pada anak bernapas melalui mulut positif sangat lemah tidak signifikan. Akan tetapi, hasil korelasi total protein mukosa bukal berkebalikan dengan hasil korelasi dental biofilm baik pada kelompok bernapas normal dan mulut. Protein Amilase, MUC7, dan Cystatin yang terdeteksi pada saliva sampel lebih banyak terdapat pada anak bernapas normal. Protein MUC7dan Cystatin banyak terdapat pada anak dengan skor organoleptik rendah. Kesimpulan: Hasil analisis total protein menunjukan tidak ada perbedaan total protein terhadap kelompok bernapas mulut dan kelompok bernapas melalui hidung. Korelasi total protein dengan skor organoleptik yang menunjukkan hubungan yang berbeda-beda pada setiap sumber sampel baik pada kelompok bernapas mulut dan kelompok bernapas melalui hidung. Protein MUC7 dan Cystatin pada saliva dapat menjadi indikator kondisi bernapas melalui mulut dan skor organoleptik.
Background: In children, the prevalence of mouth breathing reaches 55% and 85% of them are habits that occur unwittingly . Mouth breathing is one of the bad habit that can reduce salivary flow rate. Decreased salivary flow rate can affect condition of protein in oral cavity, so that the protective function of saliva will decrease and microorganism in oral cavity will increase. This shows that the state of homeostasis in the oral cavity can be disrupted due to the habit of mouth breathing. The increasing number of microorganisms will increase proteolytic activity so that the protein will be degraded into Volatile Sulfur Compound gases and cause bad breath. The condition of bad breath can be clinically tested with organoleptic tests. Objective: to analyse total protein and detection of salivary protein against organoleptic score in mouth breathing children. Methods : Sample sources of tongue biofilms, saliva, dental biofilms, and buccal mucosa of children mouth breathers and nasal breathers. Then, the Bradford Assay was performed to determine the total protein and SDS-PAGE test to determine the protein profile in saliva. Result : there is no significant difference between mouth breathing and nose breathing against organoleptic score and total protein. The correlation of total tongue biofilm protein and organoleptic score in mouth breathing and nasal breathing children was negative very weak and not significant, while positive weak relationship was found in the correlation of total salivary protein and organoleptic score in mouth breathing and nasal breathing children. The correlation of total dental biofilm protein with organoleptic score in nasal breathers was negative very weak not significant, although in mouth breathers was found positive very weak not significant. However, the relationship between total buccal mucosa protein and score organoleptic was the opposite of the result of dental biofilm correlation. Amylase, MUC7, and Cystatin were found more in nasal breathers. MUC7 and Cystatin were found more in low organoleptic score. Conclusion : The result of total protein analysis show that there is no significant difference data in mouth breathers and nasal breathers children also there are variant correlation between total protein and organoleptic score. MUC7 and Cystatin protein in saliva can be indicators of mouth breathing condition and organoleptic score.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Farahyati
Abstrak :
Latar belakang : Prakiraan usia penting untuk identifikasi individu dalam kasus seperti human trafficking atau perebutanwali anak pada rentang 16-21 tahun. Tujuan : Menguji rumus metode TCI-Benindra dibandingkan dengan metode lainnya. Metode penelitian : Prakiraan usia 16-21 tahun dilakukan dengan rumus Tooth Coronal Index (TCI)-Benindra kemudian dibandingkan dengan metode Kvaal dan Schour dan Massler. Hasil : Prakiraan usia dengan rumus metode TCI-Benindra berbeda bermakna dengan metode Kvaal (p<0,05)dan tidak berbeda bermakna dengan metode Schour dan Massler (p>0,05). Kesimpulan : Tidak terdapat perbedaan prakiraan usia dengan rumus metode TCI-Benindra dan Schour dan Massler, tetapi terdapat perbedaan pada metode Kvaal.
Background : Age estimation is important foridentification in human trafficking or struggle for the rights of heirsjusticecases in 16 - 21 years. Aims : TCI-Benindra`s formula method compared with Kvaal and Schour and Massler methods. Methodology : Age estimation is performed by TCI(Tooth Coronal Index)-Benindra`s formula then compared with Kvaal and Schour and Massler methods. Result : TCI-Benindra`s formula has a significant difference with Kvaal method(p<0,05) and no significant difference with Schour and Massler method (p>0.05). Conclusion: TCI-Benindra`s formula and Schour and Massler methods are close to real age, but significant difference shows in Kvaal method.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2012
S45191
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nisa Ajeng Puspitasari
Abstrak :
Latar Belakang: Gen E-cadherin CDH1 berperan dalam komunikasi sel untuk memelihara hubungan antar sel. Kehilangan fungsi dari gen CDH1 dapat mempengaruhi perkembangan kanker. Polimorfisme genetik CDH1 -160C>A terdeteksi memiliki hubungan dengan penyakit kanker kepala leher KKL. Tujuan: Mendeteksi polimorfisme genetik CDH1 -160C>A pada penderita KKL dan individu sehat populasi Indonesia. Metode: Sampel DNA tersimpan dari 50 individu sehat dan 50 penderita KKL dianalisis dengan metode PCR-RFLP menggunakan enzim restriksi HincII dan divisualisasi dengan elektroforesis. Hasil: Polimorfisme genetik CDH1 -160C>A terdeteksi pada penderita KKL sebesar 78 dan pada individu sehat sebesar 68. Simpulan: Penelitian ini menunjukkan bahwa polimorfisme genetik CDH1 -160C>A meningkatkan risiko KKL pada populasi Indonesia.
Background: E cadherin CDH1 gene plays a role in cell communication to maintain the relationship between cells. Loss of function of CDH1 gene affects the development of cancer. CDH1 160C A polymorphisms have been detected to have a relationship with head and neck cancer HNC. Objective: To detect CDH1 160C A polymorphisms in HNC patients and healthy subjects of Indonesian population. Methods: Stored DNA samples of 50 healthy subjects and 50 HNC patients were analyzed by PCR RFLP using HincII restriction enzyme and were visualized by electrophoresis. Results: Genetic polymorphisms of CDHI 160C A were detected both in HNC patients 78 and in healthy subjects 68. Conclusion: This study suggested that CDH1 160C A polymorphisms increased HNC risk in Indonesian population.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priscilla Dayanara
Abstrak :
Latar Belakang: Silver Diamine Fluoride SDF dan Propolis Fluoride PPF dapat mencegah karies karena mengandung agen remineralisasi yaitu fluoride dan agen antibakteri yaitu silver pada SDF dan flavonoid pada PPF. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis efektivitas aplikasi varnish SDF dan PPF pada dentin dalam waktu 60 hari. Metode: Enam puluh spesimen dentin gigi permanen manusia berbentuk balok 4x4x2 mm dibagi menjadi 6 kelompok waktu; 0 hari, 1 hari, 7 hari, 14 hari, 30 hari, dan 60 hari. Setiap kelompok diaplikasikan varnish SDF dan PPF sebanyak 20 ?L di sisi oklusal. Pada uji fluoride seluruh spesimen direndam pada air deionisasi, sedangkan pada uji flavonoid seluruh spesimen direndam pada cairan etanol 20. Kelompok perlakuan dikocok dengan kecepatan 45 rpm selama 30 menit bergantung pada kelompok waktunya. Pengukuran ion fluoride menggunakan alat ion selective electrode dan pengukuran absorbansi flavonoid menggunakan spektrofotometer dengan panjang gelombang 425 nm. Hasil: Terdapat peningkatan konsentrasi ion fluoride setelah aplikasi kedua varnish dan SDF melepaskan ion fluoride lebih banyak dibandingkan PPF. Terdapat peningkatan absorbansi flavonoid setelah aplikasi PPF. Kesimpulan: Aplikasi SDF dan PPF pada dentin efektif dalam waktu 60 hari. ......Background: Caries are preventable by Silver Diamine Fluoride SDF and Propolis Fluoride PPF due to their fluoride and antibacterial agent content with aim of teeth remineralization. Objective: This study aims to analyse effectivity of varnish SDF and PPF application in dentine within 60 days. Methods: Sixty blocks 4x4x2 mm human permanent teeth dentine speciments were divided into six time groups 0 day, 1 day, 7 days, 14 days, 30 days, and 60 days. SDF and PPF varnish 20 L were applied to speciments rsquo occlusal surface. For fluoride test, all speciments were submerged in deionized water, in contrast speciments were submerged in ethanol 20 for flavonoid test. In treatment group, speciment were shaked for 30 minutes at 45 rpm everyday in accordance to their time group. Ion selective electrode and spectrophotometer with 425 nm wavelenght absorbance were utilised for fluoride ion and flavonoid absorbance measurement respectively. Results: There is an increase in fluoride ion concentration after SDF and PPF application in dentine and SDF releases more fluoride ion compared to PPF. There is an increase in flavonoid absorbance after PPF application. Conclusion: SDF and PPF application in dentine is effective within 60 days.
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Julia Dharmawan
Abstrak :
Pendahuluan: Ulser traumatik merupakan salah satu penyakit rongga mulut yang sering terjadi dan dapat menimbulkan sakit sehingga mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Penderita ulser mencari pengobatan untuk mengurangi rasa sakit dan mempercepat waktu penyembuhan. Hingga saat ini belum terdapat standar terapi ulser sehingga penemuan obat terapi ulser sangat diperlukan. Tujuan: Mengetahui efektivitas obat kumur propolis UI sebagai obat ulser rongga mulut. Metode: Penelitian in vivo menggunakan 18 ekor Mus musculus sebagai model ulser trumatik termal pada mukosa bukal. Pembentukan ulser dengan paparan trauma termal dilakukan pada hari pertama. Kelompok penelitian terdiri dari kelompo obat kumur propolis UI, obat kumur klorheksidin glukonat 0,2% dan larutan saline sebanyak 0,2 ml. Bahan uji dipaparkan setiap hari pada model ulser. Pengamatan makroskopis dilakukan setiap hari berupa berat badan, diameter ulser kemerahan, pembengkakan dan presentase penyembuhan ulser. Mus musculus dikorbankan pada hari pertama dan kesembilan untuk dibuatkan sediaan histopatologis dan pengamatan gambaran mikroskopis berupa penilaian skor radang Eda dan Fukuyama. Hasil: Penyembuhan ulser traumatik termal Mus musculus kelompok obat kumur propolis UI lebih baik dibandingkan pada kelompok larutan saline namun tidak lebih baik dari obat kumur klorheksidin 0,2%. Kesimpulan: Efektivitas obat kumur propolis UI pada ulser mukosa mulut lebih baik dari saline namun belum setara dengan klorheksidin glukonat 0,2%
Background: Traumatic ulcer is one of oral diseases that often occur and produce pain which can affects someones life quality. Ulcers patients search therapy to relieve pain and speed up healing time. There hasnt been a standard therapy for ulcer so that drug development and research is really needed. Objectives: Discover efficacy of UI propolis-based mouthwash as oral ulcer medication. Methods: In vivo study on 18 Mus musculusas thermal traumatic ulcer model on buccal mucosa. Establishment of thermal traumatic ulcer done on the first day. Research groups consist of 0,2 ml UI propolis-based mouthwash group, chlorhexidine gluconate 0,2% group and saline group. Test material is given everyday on ulcer model. Macroscopic observation was done every day by observing Mus musculuss weight, ulcers diameter, redness and swollen around the ulcers and ulcers healing percentage. Mus musculus was decapitated on the first and ninth day to be made into histopathology specimen and observed microscopically by scoring inflammation score of Eda and Fukuyama. Results: Healing of thermal traumatic ulcer of Mus musculus on propolis-based mouthwash is better than saline group but not better than chlorhexidine gluconate 0,2% mouthwash. Conclusion: Efficacy of UI propolis-based mouthwash on oral ulcer is better than saline but not yet equal with chlorhexidine gluconate 0,2%.
Depok: Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadyn Permata Arofah Laksmana
Abstrak :
Latar belakang: Kanker mulut merupakan salah satu dari enam keganasan yang paling sering terjadi di Asia dengan frekuensi kejadian hampir 274.300 kasus baru setiap tahunnya. Dibandingkan dengan benua lain di dunia, Asia memiliki insidensi, mortalitas, dan prevalensi yang paling tinggi dengan persentase sebanyak 65,8%, 74%, dan 60,9% secara berurutan. Tingginya angka kejadian kanker mulut di Asia ini dihubungkan dengan beberapa faktor seperti smokeless tobacco, rokok, dan alkohol yang digunakan secara luas di berbagai wilayah di Asia. Tujuan: Untuk mengetahui apakah smokeless tobacco, rokok, dan alkohol merupakan faktor risiko dari kanker mulut. Metode: Pencarian studi dilakukan melalui tiga database elektronik, kemudian dilakukan seleksi menggunakan pedoman Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA). Setelah itu, dilakukan penentuan studi-studi yang diinklusi untuk dianalisis secara kualitatif dan kuantitatif. Analisis kuantitatif dihitung menggunakan OR pooled analysis yang diolah melalui perangkat lunak Review Manager 5.4. Hasil: Didapatkan 15 studi yang diinklusi untuk analisis kualitatif dan 14 studi untuk analisis kuantitatif. Berdasarkan systematic review, seluruh studi yang membahas mengenai hubungan antara smokeless tobacco dan rokok dengan kanker mulut menyatakan bahwa kedua faktor tersebut merupakan faktor risiko kanker mulut. Sedangkan, sebagian besar studi yang membahas mengenai hubungan alkohol dengan kanker mulut menyatakan bahwa alkohol merupakan fakor risiko kanker mulut. Berdasarkan hasil meta-analisis secara keseluruhan, didapatkan bahwa smokeless tobacco dan rokok merupakan faktor risiko dari kanker mulut, namun tidak demikian dengan alkohol. Namun, berdasarkan meta-analisis subgrup, alkohol tetap merupakan faktor risiko kanker mulut. Kesimpulan: Penggunaan tembakau dalam bentuk smokeless tobacco dan rokok merupakan faktor risiko kanker mulut. Alkohol juga merupakan faktor risiko kanker mulut berdasarkan meta-analisis subgrup dan didukung dengan sebagian besar studi pada systematic review. ......Background: Oral cancer is one of the six most common malignancies in Asia with an incidence of nearly 274,300 new cases each year. Compared to other continents in the world, Asia has the highest incidence, mortality, and prevalence with percentages of 65.8%, 74%, and 60.9% respectively. The high incidence of oral cancer in Asia is associated with several factors such as smokeless tobacco, smoking, and alcohol which are widely used in various regions in Asia. Objectives: To determine whether smokeless tobacco, cigarettes, and alcohol are risk factors for oral cancer. Methods: Study searches were carried out through three electronic databases, then the study selection was carried out using the Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses (PRISMA) guidelines. After that, the included studies were determined to be analyzed qualitatively and quantitatively. Quantitative analysis was calculated using OR pooled analysis which was processed through the Review Manager 5.4 software. Results: Fifteen studies were included for qualitative analysis and fourteen studies for quantitative analysis. Based on the systematic review, all of the studies discussing the relationship between smokeless tobacco and smoking with oral cancer state that these two factors are risk factors for oral cancer. Meanwhile, most of the studies discussing the relationship between alcohol and oral cancer state that alcohol is a risk factor for oral cancer. Based on the results of the meta-analysis, it was found that smokeless tobacco and smoking were risk factors for oral cancer, except for alcohol. However, according to subgroup meta-analysis, alcohol is still considered as risk factor for oral cancer. Conclusion: Smokeless tobacco and smoking are risk factors for oral cancer. Alcohol is a risk factor for oral cancer based on subgroup meta-analysis and supported by the majority of studies in the systematic review.
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2   >>